15
BAB 2 IKHWAL PRAGMATIK, SEMIOTIK, STRATEGI MENYINDIR, DAN IMPLIKATUR PERCAKAPAN Pada bab ini peneliti menguraikan beberapa teori yang akan diperlukan untuk menganalisis data sesuai dengan topik pembahasan skripsi ini. Adapun teori-teori yang akan dijabarkan adalah sebagai berikut: 1) Pragmatik; 2) Semiotik; 3) Strategi Menyindir; 4) Implikatur. 2.1 Pragmatik Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara berbeda-beda. Yule (1996: 3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Pragmatik itu sendiri menurut Leech (1993: 8) adalah studi tentang makna ujaran di dalam situasi-situasi tertentu. Lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa pragmatik merupakan kajian mengenai makna dalam hubungannya dengan situasi ujar. Dari pengertian ini terlihat bahwa kedua batasan tersebut mengeksplisitkan makna, yang kemudian dalam pragmatik disebut maksud. Lebih lanjut, Gunarwan (Rustono, 1999: 2) menyebutkan salah satu defenisi pragmatik, yaitu kajian mengenai kemampuan pengguna bahasa untuk menyesuaikan
16
kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut diujarkan. Jadi pragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa atau maksud di balik suatu tuturan. Leech (1993: 2) berpendampat bahwa tercakupnya pragmatik merupakan tahapan terakhir dalam gelombang-gelombang ekspansi linguistik, dari sebuah disiplin ilmu sempit yang mengurusi data fisik bahasa, menjadi sebuah disiplin yang luas yang meliputi bentuk, makna, dan konteks. Pragmatik yang pada awalanya diperlakukan sebagai keranjang tempat penyimpanan data yang bandel, yang tak terjelaskan dan yang boleh dilupakan dengan mudah. Namun sekarang para ahli sepakat bahwa sifat bahasa tidak dapat dipahami dengan benar-benar tanpa pengetahuan tentang pragmatik, yaitu, bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Bagi generasi Bloomfield, linguistik berarti fonetik dan fonemik atau morfofonemik; bagi mereka sintaksis dianggap terlalu abstrak untuk dapat dipahami dan dipelajari. Sikap ini berubah ketika pada akhir tahun 1950-an Chomsky menemukan titik pusat sintaksis; namun, sebagai seorang strukturalis, ia masih menganggap ‘makna’ terlalu rumit untuk dipikirkan secara sungguh-sungguh. Pada permulaan 1960-an (pada saat itu kecepatan perkembangan linguistik tampak meningkat), Katz dan kawan-kawannya (Katz dan Fodor, 1963; Katz dan Postal, 1964; Katz, 1964) mulai menemukan cara memasukkan makna ke dalam teori linguistik yang formal, dan tidak lama kemudian semangat ‘California atau Bust’ membuat pragmatik mulai tercakup. Lakoff dan lain-lainnya kemudian berargumentasi (1971) bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari studi penggunaan bahasa. Sejak saat itu pragmatik masuk dalam peta linguistik.
17
Ketika perintis-perintis linguistik Amerika seperti Ross dan Lakoff memasuki daerah pragmatik pada akhir tahun 1960-an, mereka menjumpai sekelompok ahli filsafat bahasa dari inggris yang telah cukup lama menggarap daerah tersebut. Sebetulnya para ahli-ahli filsafat yang paling bertahan pengaruhnya pada pragmatik modern; mereka itu ialah, khususnya, Austin (1962), Searle (1969), dan Grice (1975). Selain para pakar linguistik tersebut, sebelumnya telah muncul para pemikir bebas di luar Amerika seperti Firth yang sejak dini telah menekankan pada studi makna yang situsional. Demikian juga Halliday sudah memaparkan sebuah teori sosial yang komprehensif mengenai bahasa. 2.1.1 Situasi Ujar Leech memberi beberapa syarat situasi ujar dalam membadakan apakah fenomena yang dihadapi merupakan sebuah fenomena pragmatis atau sebuah fenomena semantis, mengingat bahwa pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar. Situasi ujar diantaranya adalah sebagai berikut. a) Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa) Para pakar terbiasa dengan istilah penutur (n) merupakan orang yang menyapa dan petutur (t) merupakan orang yang disapa. Jadi, penggunaan n dan t tidak membatasi pragmatik pada bahasan lisan saja. Istilah-istilah “penerima” (orang yang menerima dan menafsirkan pesan) dan “yang disapa” (orang yang seharusnya menerima dan menjadi sasaran pesan). Si penerima bisa saja seorang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan, dan bukan orang yang disapa. Perbedaan ini gayut dengan penelitian di sini, yaitu seorang yang menganalisis makna pragmatik dapat disamakan dengan seorang “penerima” ibarat “seekor lalat di dinding”: ia berusaaha
18
mengartikan isi wacana hanya berdasarkan bukti kontekstual yang ada saja tanpa menjadi sasaran pesan penutur. b) Konteks sebuah tuturan Diartikan sebagai aspek-aspek yang terkait dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Leech mengartikan konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh n dan t dan yang membantu t menafsirkan makna tuturan. c) Tujuan sebuah tuturan. d) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar Tata bahasa berurusan dengan maujud-maujud statis yang abstrak, seperti kalimat (dalam sintaksis), dan proposisi (dalam semantik), sedangkan pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-performasi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. e) Tuturan sebagai produk tindak verbal Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam pragmatik kata “tuturan” dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu, sebagai “produk” tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri) sebagai contoh pada kata-kata Would you please be quiet yang diucapkan dengan intonasi naik yang sopan. Rangkaian katakata tersebut dapat disebut dengan istilah “kalimat” atau “pertanyaan” atau “permintaan” ataupun “tuturan”. Namun sebaiknya istilah-istilah seperti “kalimat”, “pertanyaan”, “permohonan” dipakai untuk mengacu pada maujud-maujud gramatikal system bahasa, sedangkan “tuturan” sebaiknnya mengacu saja pada
19
“contoh-contoh” maujud-maujud gramatikal tersebut sebagaimana digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya dikaji dalam pragmatik, sehingga dengan tepat pragmatik dapat digambarkan sebagai suatu ilmu yang mengkaji makna tuturan. Dari unsur-unsur yang telah disebutkan di atas, dapat pula ditambahkan konsep “situasi ujar” yang mencakup semua unsur ini, dan mungkin juga unsur-unsur lain, seperti waktu dan tempat ketika tuturan dihasilkan.
2.2 Semiotik Semiotika merupakan sebuah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan segala hal yang berkaitan dengan tanda. Kata semiotik sendiri berasal dari bahasa yunani, semion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir” tanda. Contohnya asap yang membumbung tinggi menandai adanya api. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya (Alex Sobur, 2004: 16). Tanda merupakan suatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah kemudian yang dikenal dengan istilah semiotik dan semiologi. Semiotik, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan manusia. Pakar semiotika atau semiologi Amerika (Charles Sanders Peirce) dan Eropa (Fendinand de Sausure) membedakan jenis tanda, yaitu, tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal),
20
gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Chaer (2007: 37-42) memaparkan jenis-jenis tanda yang disebutkan oleh Peirce dan Sausure sebagai berikut. Tanda, tanda adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara langsung dan alamiah. Misalnya, kalau di kejauhan tampak ada asap membumbung tinggi, maka kita tahu bahwa di sana pasti ada api, sebab asap merupakan tanda akan adanya api itu. Kalau di tengah jalan raya terlihat banyak pecahan kaca mobil berhamburan, maka kita akan tahu di tempat itu sudah terjadi tabrakan mobil, dan pecahan kaca itu menjadi tanda akan peristiwa tabrakan itu. Kalau kita melihat wajah seseorang luka-luka babak belur, itu menjadi tanda bahwa orang itu baru berkelahi atau dipukuli orang. Lambang atau simbol. Berbeda dengan tanda, lambang atau simbol tidak bersifat langsung dan alamiah. Lambang menandai sesuatu yang lain secara konvensional. Misalnya, bila di mulut gang atau jalan terdapat bendera kuning (entah terbuat dari kain atau kertas), maka kita tahu bahwa di tempat itu atau daerah itu ada orang yang baru meninggal. Karena sifatnya yang konvensional maka lambang atau simbol berlaku pula sifat arbitrer, yaitu tidak ada hubungan langsung yang bersifat wajib antara langbang dengan yang dilambangkannya. Misalnya warna kuning dalam hal menandai kematiaan, keresidenan, sepak bola, dan lalu lintas. Sinyal, tampak ada ketumpangtindihan antara istilah “tanda”, “lambang”, dan “sinyal”. Untuk membedakannya yaitu, “tanda” bersifat alami (ada asap tandanya ada api), “lambang” bersifat konvensi (padi dan kapas lambang keadilan sosial), sedangkan “sinyal” bersifat inperatif (merupakan perintah, larangan atau keharusan melaksanakan
21
perbuatan). Sebagai contoh lampu merah di jalan raya menandakan “bahaya” akan tetapi menurut pengemudi merupakan sinyal atau isyarat untuk berhenti. Dalam pertandingan sepak bola, peluit panjang mengisyaratkan agar permainan segera dihentikan, namun bagi penonton menandakan bahwa permainan telah selesai. Gerak isyarat atau gesture adalah tanda atau gerak yang dilakukan oleh anggota badan, dan tidak bersifat inperatif seperti pada sinyal. Gerak ini bisa merupakan tanda bisa juga merupakan simbol. Kalau seekor kucing merendahkan tubuhnya dengan pandangan lurus ke depan, lalu bergerak mundur sedikit, itu adalah tanda bahwa dia akan menerkam sesuatu. Gejala atau symptom adalah suatu tanda yang tidak sengaja, yang dihasilkan tanpa maksud, tetapi alamiah untuk menunjukkan atau mengungkapkan bahwa sesuatu akan terjadi. Gejala sebenarnya agak mirip dengan tanda; hanya gejala itu agak terbatas, sebab tidak semua orang dapat menjelaskan artinya, atau apa yang akan terjadi nanti; sedangkan tanda itu berlaku umum. Ikon, ikon adalah tanda yang paling mudah dipahami karena kemiripannya dengan sesuatu yang diwakili. Karena itu ikon sering juga disebut gambar dari wujud yang diwakilinya. Misalnya, denah jalan, gambar bangunan, tiruan benda atau alam, baik dengan bahan kertas, logam, batu, dan lainnya. Ada kemungkinan Ikon dan lambang dapat terjadi tumpang tindih. Patung R.A. Kartini yang terbuat dari batu atau logam bisa merupakan ikon karena patung itu mewakili R.A. Kartininya, akan tetapi bisa juga patung itu merupakan lambang, yakni lambang perjuangan kaum wanita Indonesia.
22
Indeks merupakan tanda yang menunjukkan adanya sesuatu yang lain, seperti asap menunjukkan adanya api. Contoh lain, suara gemuruh air menujukkan adanya sungai atau air terjun, juga tulisan “jalan ke puri” yang merupakan petunjuk jalan menuju puri. Kode, ciri kode sebagai tanda adalah adanya sitem, baik berupa simbol, sinyal, maupun gerak isyarat yang dapat mewakili pikiran, perasaan, ide, benda, dan tindakan yang disepakati untuk maksud tertentu. Bahasa rahasia yang digunakan sekelompok petugas keamanan dalam menjalankan tugas tentu mempunyai sistem. Karena itu bahsa rahasia juga dapat disebut sebagai kode.
2.3 Strategi Menyindir Ada dua teori starategi menyindir yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori Prinsip Kerja Sama (PKS) yang dikemukakan oleh Grice dan teori gaya bahasa yang dikemukakan oleh Gorys Keraf. Menurut Grice (1975) wacana yang wajar terbentuk karena kepatuhan terhadap prinsip kerja sama komunikasi. Menurut teori ini penutur dan petutur mempunyai komitmen bahwa tuturan-tuturan mereka benar dan relevan dengan konteks pembicaraan. Ada empat maksim yang dikenal yaitu: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksana. 1. Maksim Kuantitas Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan
23
bicaranya, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. 2. Maksim Kualitas Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa ibu kota Indonesia Jakarta bukan kota-kota yang lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya. tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi. 3. Maksim Relevansi Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Berikut contohnya. (+) Sang Hyang Tunggal: “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata kataku ini dalam hati” (-) Semar
: “Hamba bersedia, ya Dewa.”
Tuturan ini di tuturkan oleh Sang Hyang Tunggal kepada tokoh semar dalam sebuah adegan pewayangan.
24
Pertuturan
pada (+) di atas dapat di katakan mematuhi dan menepati
maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apbila dicermati secara lebih mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh semar, yakni “Hamba bersedia, ya, Dewa,” benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni “Namun, sebelum kau pergi, letakkan katakataku ini dalam hati.” Dengan perkataan lain, tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice. 4. Maksim Pelaksanaan/cara Maksim palaksanaan mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung,
jelas,
dan
tidak
kabur.
Orang
bertutur
dengan
tidak
mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan itu, tuturan pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi. (+) Kakak
: “Ayo, cepat dibuka!”
(-) Adik
:“Sebentar dulu, masih dingin”
Tuturan di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan (+) yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta si mitra tutur. Kata “dibuka” dalam tuturan di atas mengandung kata ketaksaan dan kekaburan yang amat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan
25
demikian, karena kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan si mitra tutur (-), yakni ”sebentar dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi. Kata “dingin” pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih “dingin” itu. Tuturantuturan demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam Prinsip Kerja Sama Grice Dalam suatu interaksi peserta tutur akan bekerja sama agar jalannya pertuturan dapat berjalan dengan lancar, dan masing-masing peserta tutur akan dapat memahami apa yang diinginkan lawan tuturnya melalui tuturan yang dibuatnya. Sperber dan Wilson
(Nadar, 2009: 26) berargumentasi bahwa
membahas masalah komunikasi antara peserta pertuturan tidak akan terlepas dari pertanyaan dan sekaligus permasalahan bagaimana sesungguhnya komunikasi itu dapat terlaksana. Selanjutnya dijelaskan bahwa komunikasi yang berhasil bukanlan pada saat lawan tutur mengetahui makna linguistik tuturan penutur, melainkan pada saat lawan tutur tersebut dapat menangkap maksud penutur yang sesungguhnya lewat tuturan-tuturannya. Menurut Gorys Keraf dalam strategi menyindir digunakan gaya bahasa (teori gaya bahasa). Ia berpendapat bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut; kejujuran, sopan santun, dan menarik. Gaya bahasa atau majas merupakan
26
pemanfaatan kekayaan bahsa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu Gaya bahasa secara garis besar dapat dibedakan sebagai beriut. a. Gaya bahasa perbandingan (metafora, personifikasi, asosiasi, alegori, parabel, simbolik, tropem, metonomia, litotes, sinekdokhe, eifimisme, hiperbola, alusio, autonomasio, ferifrasi). b. Gaya bahasa sindiran (ironi, sinisme, dan sarkasme). c. Gaya bahasa penegasan (pleonasme, repetisi, paralelisme, tautologi, klimaks, antiklimaks, inversi, elipsi, retoris, koreksio, asidenton, polisindenton, interupsi, ekslamasio, enumerasio, dan praterito). d. Gaya bahasa pertentangan (paradox, antithesis, kontradiksio in ferminis, dan anakronisme). Dalam penelitian ini penulis menggunakan gaya bahasa sindiran (ironi, sinisme, dan sarkasme) dan gaya bahasa perbandingan (hiperbola, alusio, dan simbolik). Berikut adalah penjelasan dari masing-masing gaya bahasa tersebut. a. Ironi Ironi merupakan sindiran dengan mengatakan sebaliknya dari kata yang dimaksud. Ironi dapat kita lakukan mana kala kita menggunakan sopan santun yang tidak tulus sebagai pengganti sikap tidak sopan, dan dengan perilaku ini kita bertuajuan merugikan orang lain. Ketidaktulusan ini kadang-kadang terlihat tidak
27
jelas dan kadang-kadang sangat jelas, dan dapat berupa pelanggaran maksim kuantitas (Leech, 1993: 225). Seperti contoh berikut ini: 1) Bila kita mempunyai teman seperti dia, apakah kita masih perlu mencari musuh? 2) Bill menginginkan informasi itu ibarat ia inginkan lubang di kepalanya. Pada kalimat diatas, pelanggaran maksim kualitas diwujudkan lewat implikatur, bukan lewat pernyataan langsung. Kalimat di atas, pelanggaran maksim kualitas diwujudkan lewat implikatur, bukan lewat pernyataan langsung. b.
Sinisme Sinisme adalah sejenis gaya bahsa berupa sindiran yang berbentuk
kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme lebih kasar sifatnya. Contohnya seeperti pada kalimat berikut ini. 1) Tidak dapat disanngka lagi bahwa bapaklah orangnya, sehingga keamanan dan ketentraman akan ludes bersamamu. 2) Memang, Andalah tokohnya yang sanggup menghancurkan desa ini dengan sekejap. c. Sarkasme Sarkasme berasal dari bahasa Yunani Sarkasmos yang diturunkan dari kata kerja Sakasun yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing”, ‘menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan kepahitan”. Bila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme lebih kasar. Sarkasme adalah jenis gaya bahasa yang mengandung “olok-olok” atau sindiran pedas dan menyakiti hati. Ciri utama sarkasme adalah selalu mengandung
28
kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati dan kurang enak didengar. Contohnya adalah sebagai berikut. 1) Wajahmu tidak enak dilihat! 2) Tingkahmu sangat memalukan kami. d.
Hiperbola Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-
lebihan jumlahnya ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat. Contohnya seperti yang terdapat pada kalimat berikut ini. 1) Pidatonya menggelegar ke segala penjuru tanah air. 2) Darahnya mendidih ketika berhadapan dengan kantib. e.
Alusio Alusio adalah gaya bahasa mengias dengan mempergunakan peribahasa atau
ungkapan-ungkapan yang sudah lazim ataupun menggunakan sampiran pantun yang isinya sudah umum dimaklumi. 1) Ia memang keras kepala. 2) Pantaslah ia diberi kedudukan tinggi karena ia ringan tangan. f.
Simbolisme Simbolisme
merupakan
majas
yang
melukiskan
sesuatu
dengan
menggunakan simbol atau lambang, benda, binatang atau tumbuhan untuk
29
menyatakan maksud tertentu. Contohnya seperti yang terdapat pada kalimata berikut ini. 1) Ia terkenal sebagai buaya darat 2) Rumah itu habis dilalap si jago merah 1.4 Implikatur Percakapan Implikatur berarti sesuatu yang diimplikasikan dalam suatu percakapan. Menurut Mey (Nadar, 2009: 60) implikatur implicature
berasal dari kata kerja to imply
sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold “melipat”, sehingga untuk mengerti apa yang dillipat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya. Menginterpretasikan suatu tuturan sebenarnya merupakan usaha-usaha untuk menduga, yang dalam bahasa lain yang lebih terhormat merupakan suatu pembentukan hipotesa. Nadar (2009: 60) berependapat bahwa menduga guessing tergantung pada konteks, yang mencakup permasalahan, peserta pertuturan dan latar belakang penutur dan lawan tuturnya. Semakin dalam suatu konteks dipahami, semakin kuat dasar dugaan tersebut. Di dalam penuturan sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang
30
dipertuturkan itu saling dimengerti (Rahardi, 2005: 43). Seperti pada
contoh
percakapan berikut ini. (+) (-)
: “Akhirnya Kami berhasil lewat pintu belakang.” : “Apakah Kalian terpaksa merusak kuncinya?”
Kunci yang disebutkan (+) ialah kunci pintu belakang. Namun untuk sampai pada kesimpulan tersebut kita tidak sekedar mengandalkan pada kesamaan pengetahuan bahwa pintu belakang adalah satu-satunya pintu yang unik, tetapi juga pada suatu pengetahuan umum, yaitu, bahwa pintu biasanya memiliki kunci; dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa pintu belakang yang atu ini memiliki kunci. Implikatur dapat pula dikatakan sebagai keterpahaman antara penutur dan lawan tutur dengan hal-hal yang dimaksudkan dalam pembicaraan. Lebih lanjut untuk menjelasakan bahwa sebuah tuturan memang dapat mengimplikasikan proporsi yang bukan merupakan bagian dari tuturan yang bersangkutan, Wijana (1996: 37-38) memberikan contoh sebagai berikut: (+) (-)
: Ali sekarang memelihara kucing : Hati-hati menyimpan daging
Tuturan (-) bukan merupakan bagaian dari tuturan (+) karena tuturan (-) muncul akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang kucing dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang makan daging. Levinson (Nadar, 2009: 61) berpendapat bahwa implikatur memberikan penjelasan lebih banyak dari apa yang dituturkan. Contoh yang dikemukakannya adalah jawaban terhadap permintaan infeormasi mengenai waktu “Can you tell me the time?” dan dijawab “Well, the milkman has come”. Jawaban yang diberikan oleh penutur
31
tampaknya tidak relevan dengan permintaan informasi mengenai waktu, namun jawaban penutur sebenarnya ingin mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak mengetahui secara tepat pada saat itu pukul berapa. Namun, dia emengharapkan penanya dapat memperkirakan sendiri waktu itu pukul berapa dengan mengatakan bahwa tukang susu sudah datang. Dalam konteks ini tampaknya penutur dan petutur telah sama-sama mengetahui pukul berapa tukang susu biasanya datang.