BAB 2 DASAR TEORI 2.1
Fotogrametri Rentang Dekat (CRP) Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu seni, ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek fisik
dan
keadaan
di
sekitarnya
melalui
proses
perekaman,
pengamatan/pengukuran dan interpretasi citra fotografis atau rekaman gambar gelombang elektromagnetik (Dipokusumo, 2001). Salah satu karateristik fotogrametri adalah pengukuran terhadap objek yang dilakukan tanpa perlu berhubungan ataupun bersentuhan secara langsung dengan objek tersebut. Pengukuran terhadap objek tersebut dilakukan melalui data yang diperoleh dari sistem sensor yang digunakan. Terminologi Close Range atau Rentang Dekat muncul pada saat teknik ini digunakan untuk objek dengan jarak kurang dari 100 meter dari posisi kamera. Pada teknik CRP pengukuran terhadap suatu objek biasanya dilakukan terhadap hasil perekaman dari beberapa alat sensor. Kamera dan prosedur analisis fotogrametri terestris ini dimulai pada akhir abad ke 19 oleh seorang kolonel Perancis, Laussedat (Atkinson, 1980). Konsep fundamental fotogrametri yang digunakan tetap sama dengan konsep fotogrametri udara. Seiring dengan majunya teknologi kamera dan komputasi dijital meningkatkan efektivitas waktu dan tingkat akurasi dari sistem fotogrametri yang sudah ada. (Leitch, 2002 dalam Hanifa). 2.1.1
Prinsip Dasar Fotogrametri Rentang Dekat (CRP) Pada saat sebuah foto diambil, berkas sinar dari objek akan menjalar
menyerupai garis lurus menuju pusat lensa kamera hingga mencapai bidang film atau detektor digital. Kondisi dimana titik objek pada dunia nyata, titik pusat proyeksi, dan titik obyek pada bidang foto harus terletak satu garis dalam ruang dinamakan kondisi kesegarisan (collinearity condition) berkas sinar. Kondisi ini merupakan dasar dari konsep fotogrametri.
6
Gambar 2.1 Kondisi Kesegarisan (Collinearity Condition) (Atkinson 1996) Dalam fotogrametri, posisi dari sebuah objek pada ruang didefinisikan pada sistem koordinat kartesian 3D. Pada awalnya, objek terdefinisi pada sistem koordinat berkas. Kemudian dilakukan transformasi koordinat untuk mendapatkan koordinat objek pada sistem koordinat tanah. Antara kedua sistem koordinat itu terdapat perbedaan orientasi dan skala, sehingga transformasi koordinat terdiri dari translasi, rotasi dan perubahan skala. Pusat dari sistem koordinat berkas merupakan pusat dari lensa kamera, yang dikenal dengan nama pusat perspektif (perspective center). Titik pusat lensa kamera diketahui, sehingga berkas sinar dari objek yang melewati pusat lensa kamera akan jatuh pada sebuah titik pada bidang foto yang dapat diketahui koordinat fotonya. Perhatikan Gambar 2.1. Xo, Yo, Zo merupakan titik pusat kamera, xa, ya, -c merupakan koordinat sebuah titik A pada sistem koordinat berkas, dan XA, YA, ZA merupakan koordinat titik A pada sistem koordinat tanah, maka persamaan kolineraritas adalah : x a − x0 = −c
m11 ( X A − X L ) + m12 (Z A − Z L ) + m13 (Y A − YL ) m31 ( X A − X L ) + m32 (Z A − Z L ) + m33 (Y A − YL )
x a − x 0 = −c
m21 ( X A − X L ) + m22 (Z A − Z L ) + m23 (Y A − YL ) m31 ( X A − X L ) + m32 (Z A − Z L ) + m33 (Y A − YL )
( 2.1)
7
Dimana :
xa , y a
= Koordinat titik A di foto.
x0 , y0
= Koordinat titik utama.
X A ,YA , Z A
= Koordinat titik A di permukaan bumi.
X L , YL , Z L
= Koordinat pusat pemotretan.
c
= Panjang fokus kamera.
mij
= Elemen matriks rotasi yang diberikan oleh persamaan.
Elemen dari matriks rotasi diberikan pada persamaan 2.2.
cosω cosκ sinω sinϕ cosκ + sinω sinκ − cosω sinϕ cosκ + sinω sinκ Rω Rϕ Rκ = cosω sinκ − sinω.sinϕ sinκ + cosω cosκ cosω.sinϕ cosκ + sinω cosκ sinϕ − sinω cosϕ cosω cosϕ (2.2 ) Dimana : = rotasi terhadap sumbu x = rotasi terhadap sumbu y = rotasi terhadap sumbu z 2.1.2
Reseksi Ruang Metode reseksi ruang dengan kesegarisan merupakan metode numerik
untuk menyelesaikan enam parameter orientasi luar (exterior orientation). Orientasi luar ini ( X 0 , Y0 , Z 0 , ω , ϕ , κ ) merupakan posisi dan orientasi kamera pada saat pemotretan. Posisi dan orientasi kamera diperlukan untuk dapat menentukan posisi dari titik objek relatif dari sistem koordinat kamera. Untuk menyelesaikan parameter orentasi luar (exterior orientation) dibutuhkan minimal 6 persamaan. Oleh karena itu dibutuhkan minimal 3 titik kontrol dimana setiap 1 titik kontrol mendapatkan 2 persamaan, sesuai dengan persamaan (2.1), sistem persamaan ini diselesaikan secara serentak untuk 6 parameter orientasi luar (exterior orientation). Untuk titik kontrol lebih dari 3, dilakukan dengan cara hitung perataan.
8
2.1.3
Interseksi Ruang Untuk objek yang sama di dunia nyata kedua berkas sinar akan saling
berpotongan. Interseksi ruang merupakan metode untuk menentukan koordinat medan X,Y,Z titik-titik pada daerah pertampalan pasangan foto stereo dengan menggunakan persamaan (2.2). Hal ini dapat dilakukan jika posisi kamera dan orientasinya telah diketahui (Gambar 2.2). y1 x1
p1 a1
z1
y2 z2
x2
p2
a2
Gambar 2.2 Interseksi 2 berkas sinar (Cooper & Robson, 1996 dalam Atkinson 1996) Untuk menentukan koordinat titik A harus diketahui parameter orentasi luar foto 1 ( X 01 , Y01 , Z 01 , ω1 , ϕ1 , κ 1 ) dan 2 ( X 02 , Y02 , Z 02 , ω 2 , ϕ 2 , κ 2 ) serta titik-titik pengamatan dalam sistem koordinat foto1 ( x a1 , y a1 ) dan 2 ( x a 2 , y a 2 ) . 2.1.4
Kalibrasi Kamera Kalibrasi kamera adalah proses menentukan parameter internal dari
sebuah kamera. Parameter internal ulang berkas-berkas sinar pada
dibutuhkan untuk dapat merekonstruksi
saat
pemotretan dan
untuk
mengetahui
besarnya kesalahan sistematik dari sebuah kamera. Selama kalibrasi kamera, kita akan memperoleh unsur-unsur dari orientasi dalam, yang terdiri dari : 1. Jarak Utama /Principal Distance Jarak utama adalah jarak tegak lurus antara titik pusat lensa (titik fokus) dengan bidang proyeksi kamera CCD (Charge-Coupled Device) atau CMOS
9
(Complimentary Metal-oxide Semiconductor) dalam kamera digital, atau film dalam kamera analog). Umumnya dari metadata sebuah foto digital dapat diketahui panjang fokusnya, namun nilainya belum tentu sama dengan jarak utama yang diperlukan dan merupakan nilai pendekatan dari pabrik pembuat kamera tersebut. Untuk pekerjaan fotogrametri dibutuhkan nilai yang pasti dari jarak utama ini, karena akan berhubungan dengan hasil pengukuran obyek, sehingga diperlukan kalibrasi kamera.
2. Posisi titik utama foto ( Xp, Yp ) Titik utama adalah titik hasil proyeksi tegak lurus titik pusat perspektif (titik pusat proyeksi) pada bidang foto. Posisi ini dinyatakan dengan Xp dan Yp yang merupakan koordinat titik utama dalam sistem koordinat foto. Sistem koordinat foto adalah sistem kordinat yang berpangkal pada titik pusat foto, dimana sumbu X positif adalah garis lurus yang menghubungkan dua titik yang berhadapan pada sebuah foto (sejajar arah jalur pemotretan). Sedangkan sumbu Y positif adalah tegak lurus berlawanan arah jarum jam dari sumbu X positif. 3. Distorsi lensa Distorsi lensa dapat menyebabkan bergesernya titik citra pada foto dari posisi yang sebenarnya, sehingga akan memberikan ketelitian pengukuran yang kurang baik. Distorsi lensa tidak akan mempengaruhi kualitas ketajaman foto yang dihasilkan. Namun untuk pekerjaan fotogrametri, besarnya distorsi tak dapat diabaikan. (Fryer, 1989 dalam Atkinson, 1996). Distorsi lensa diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu distorsi radial dan distorsi tangensial (decentering). a. Distorsi radial (K1, K2, K3) Distorsi radial merupakan “aberasi” lensa yang menyebabkan sinar datang yang masuk melalui lensa kamera mengalami deviasi setelah melalui titik pusat proyeksi lensa. Deviasi ini terjadi akibat tidak sempurnanya komposisi lensa. Distorsi lensa akan mengakibatkan pergeseran bayangan ke arah radial terhadap titik utama. Distorsi radial (δ r) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan polinomial sebagai berikut (Fryer, 1989 dalam Atkinson, 1996) :
10
δr = K1 r 3 + K 2 r 5 + K 3 r 7 + ...
(2.3)
Dimana K i = Koefisien polinomial distorsi radial (i = 1,2,3,…) dengan fokus tak hingga,
δ r = Distorsi radial ( m) r
= Jarak radial titik citra terhadap titik utama foto (mm) dengan nilai :
r = ( X i − X p ) 2 + (Yi − YP ) 2
(2.4)
Dimana Xi, Yi = Posisi titik pada foto (mm) Xp, Yp = Posisi titik utama foto (mm) Untuk pada umumnya lensa, 3 koefisien dirasakan cukup untuk menjelaskan kurva distorsi secara lengkap. Tapi untuk lensa fish eye mungkin diperlukan tambahan koefisien (Fryer, 1989 dalam Atkinson, 1996). b. Distorsi tangensial (P1, P2) Semua elemen dalam sistem lensa, idealnya harus diatur sejajar dengan sumbu optis dari seluruh sistem lensa. Pergeseran vertikal ataupun rotasi pada elemen lensa dari susunan yang sempurna akan mengakibatkan pergeseran geometrik dari foto, yang dikenal sebagai distorsi tangensial. Distorsi tangensial mempunyai komponen radial dan tangensial. Pergeseran ini dideskripsikan dengan 2 persamaan polinomial yaitu pergeseran pada arah x adalah x dan y adalah y (Cooper & Robson, 1996).
[
2
[
2
]
δx = P1 r 2 = 2( x − x0 ) + 2 P2 ( x − x0 )( y − y 0 )
(2.5)
]
δy = P1 r 2 = 2( y − y 0 ) + 2 P2 ( x − x 0 )( y − y 0 )
11
2.2
Digital Surface Model (DSM)
2.2.1
Pengertian DSM Istilah Digital Terain model (DTM) pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1958 oleh C. Miller dan R.A. LaFlamme, dan didefinisikan sebagai berikut : “Digital Terrain Model (DTM) adalah representasi statistik permukaan tanah yang kontinyu dari titik-titik yang diketahui koordinatnya (X, Y, dan Z) pada suatu sistem koordinat tertentu.”(Petrie dan Kennie, 1991 dalam Ma'ruf, 2003) Selain definisi tersebut, dari berbagai sumber diperoleh definisi lainnya, yaitu : 1. Digital Terain model (DTM) / Digital Elevation model (DEM) adalah suatu set pengukuran ketinggian dari titik-titik yang tersebar dipermukaan tanah. Digunakan untuk analisis topografi daerah tersebut. (Aronoff, 1991 dalam Ma'ruf, 2003). 2. Suatu DTM merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua bagian, yaitu : a. Sekumpulan titik-titik yang mewakili bentuk terrain yang disimpan pada memori komputer, dan b. Algoritma untuk interpolasi titik baru dari data titik yang diberikan atau menghitung data lain. (Linkwitz, 1970 pada Raswati, 1988 dalam Ma'ruf, 2003). 3. DTM adalah suatu teknik penyimpanan data tentang topografi suatu terrain. Suatu DTM merupakan penyajian koordinat (X, Y, H) dari titiktitik secara digital, yang mewakili bentuk topografi suatu terrain. (Dipokusumo dkk, 1983 dalam Ma'ruf, 2003). 4. DTM adalah suatu basis data tentang koordinat x, y, z, digunakan untuk merepresentasikan permukaan tanah secara digital. (Kingston Center for GIS, 2002 dalam Ma'ruf, 2003). 5. DTM adalah informasi digital mengenai tinggi (atau variasi relief) dari suatu area. (Spasial Data System Consulting, 2002 dalam Ma'ruf, 2003). Definisi yang diberikan oleh beberapa referensi tersebut cukup bervariasi, namun kesemuanya merujuk pada pemodelan permukaan bumi ke dalam suatu
12
model digital permukaan tanah 3 dimensi (3D) dari titik-titik yang mewakili permukaan tanah tersebut. “Digital Terrain model (DTM) merupakan model digital permukaan tanah, berupa bidang yang dibentuk oleh titik-titik yang diketahui koordinat 3 dimensinya (X, Y, Z)”. Selain dari DTM ada model tiga dimensi yang lain yaitu Digital Surface Model. Digital Surface model (DSM) merupakan model digital permukaan suatu objek (permukaan tanah, permukaan dari wajah, dll) berupa bidang yang dibentuk oleh titik-titik yang diketahui koordinat tiga dimensinya (X, Y, Z). Pada tugas akhir ini model digital yang digunakan adalah Digital Surface Model (DSM). DSM terbentuk dari titik-titik yang memiliki nilai koordinat 3D (X, Y, Z). Permukaan dimodelkan dengan membagi area menjadi bidang-bidang yang terhubung satu sama lain dimana bidang–bidang tersebut dibentuk oleh titiktitik pembentuk DSM. Titik-titik tersebut berupa titik sampel permukaan atau titik hasil interpolasi/ekstrapolasi titik-titik sampel. Titik-titik sampel merupakan titik-titik yang didapat dari hasil sampling permukaan bumi, yaitu pekerjaan pengukuran/pengambilan data ketinggian titiktitik yang dianggap dapat mewakili relief permukaan tanah. Data sampling titiktitik tersebut kemudian diolah hingga didapat koordinat titik sampel. Jika diperlukan akan dilakukan seleksi titik sampel dan/atau interpolasi/ekstrapolasi titik-titik baru dari titik sampel. 2.2.2
Jenis DSM Secara umum DSM dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu DSM grid dan
DSM non-grid. DSM bukan grid dapat berupa DSM Triangulated Irregular Network (TIN) maupun DSM kontur. Ketiga model tersebut masing-masing memiliki sebaran titik DSM yang berbeda.
1. DSM Grid Titik DSM pada DSM Grid tersebar secara merata pada seluruh permukaan model dan teratur dalam interval tertentu. Titik DSM dapat berupa titik sampel atau titik baru hasil interpolasi titik sampel. Permukaan model
13
terbentuk oleh Grid yang menghubungkan titik DSM. DSM Grid juga dikenal dengan nama DSM Raster.
2. DSM TIN Titik DSM yang digunakan untuk membentuk TIN merupakan titik sampel yang tersebar secara tidak teratur pada permukaan model. Permukaan model TIN adalah jaring bidang segitiga yang terbentuk dari triangulasi titik-titik DSM.
3. DSM Kontur Pada DSM kontur topografi permukaan bumi disajikan dalam bentuk garis-garis kontur yang menghubungkan titik-titik dan memiliki nilai ketinggian yang sama. Garis kontur tersebut berupa polyline dengan vertex-vertex berupa titik-titik DSM yang dapat berupa titik-titik sampel yang sudah berpola kontur ataupun titik-titik hasil interpolasi. DSM kontur didapat dari tracing/ploting model stereo citra ataupun dari hasil interpolasi DSM Grid atau TIN. Dalam pemilihan jenis DSM yang digunakan haruslah mengacu spesifikasi yang diberikan oleh aplikasi penggunaan DSM tersebut. Hal-hal yang harus dipertimbangkan terutama adalah peruntukan dari DSM tersebut, kemudian dari hal tersebut diturunkan spesifikasi DSM yang diinginkan. 2.2.3
Prosedur Pembuatan DSM (Umum) Pembuatan DSM dapat dipandang sebagai suatu sistem pembentukan
model permukaan suatu objek yang pekerjaannya terbagi dua tahap utama yaitu :
1. Pengadaan titik-titik DSM. 2. Pembentukan DSM dari titik-titik tahap 1. Pekerjaan pengadaan titik DSM terbagi menjadi tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Persiapan Meliputi penentuan spesifikasi hasil yang diinginkan serta batasan-batasan pekerjaan.
2. Pengambilan data Dibagi menjadi beberapa tahap pekerjaan, yaitu :
14
a. Klasifikasi Surface Klasifikasi
surface dilakukan untuk mengetahui
karakteristik dari
permukaan yang nantinya akan dipetakan. Karakteristik tersebut dibutuhkan untuk menentukan jenis DSM, strategi sampling, serta metode dan fungsi interpolasi. klasifikasi terrain dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan/pengamatan antara lain : 1. Langsung ke lapangan 2. Model stereo foto udara 3. Peta yang sudah ada
b. Penentuan strategi sampling serta metode dan fungsi interpolasi. Penentuan strategi sampling serta metode dan fungsi interpolasi merupakan pekerjaan yang berhubungan satu sama lain, sehingga kedua tahap pekerjaan tersebut tidak dapat dikerjakan secara terpisah. Dalam menentukan strategi sampling, harus memperhatikan metode dan fungsi sampling yang akan dipakai agar jumlah titik sampel yang dipeoleh dapat mencukupi untuk menyelesaikan parameter fungsi interpolasi. Begitu pula dalam penentuan metode dan fungsi interpolasi, sebaiknya disesuaikan dengan strategi sampling yang digunakan.
c. Pengambilan data titik-titik sampel. Sampling, merupakan pekerjaan pengambilan data informasi permukaan bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketelitian sampling data adalah : 1. Ketelitian pengukuran yang bergantung pada peralatan, operator, dan sumber data yang digunakan. 2. Kelengkapan penyajian informasi ketinggian dan variasi relief permukaan bumi yang dipengaruhi oleh jumlah dan sebaran titik sampel. Pekerjaan
sampling
merupakan
tahapan
yang
paling
banyak
menghabiskan sumber daya baik itu waktu maupun biaya.
15
3. Pengolahan data Jika data yang dipeoleh belum berupa nilai koordinat 3D, pada tahap ini akan dilakukan pengolahan data hingga diperoleh koordinat titik-titik sampel. Selain itu jika diperlukan, dilakukan penambahan titik-titik sampel baru dan/atau kompresi/pengarangan titik-titik sampel yang berlebih. Dari pengolahan data diperoleh titik-titik DSM koordinat tiga dimensinya (X,Y,Z) yang siap digunakan untuk membentuk DSM. Setelah diperoleh titik-titik sampel pembentuk DTM dengan koordinat 3Dnya, maka dilakukan pekerjaan pembentukan DSM.
2.2.4
Pembentukan DSM dengan Metode Pengambilan Titik Sampel dengan Fotogrametri Rentang Dekat Pekerjaan pengadaan titik DSM terbagi menjadi tahapan-tahapan sebagai
berikut :
1. Persiapan Pesiapan dilakukan meliputi penentuan spesifikasi hasil yang diinginkan serta batasan-batasan pekerjaan. Persiapan kamera yang akan digunakan memenuhi spesifikasi hasil yang diinginkan dan batasan daerah yang akan diukur.
2. Pengambilan Data (Pemotretan) Sebuah aturan sederhana telah dikembangkan untuk pengukuran CRP dengan menggunakan kamera non-metrik. Aturan ini disebut sebagai aturan 3 x 3. Disebut aturan 3 x 3 karena berisi 3 kategori, dengan masing masing kategori memiliki 3 sub kategori (Waldhäusl & Ogleby, 1994 dalam Kusumadarma 2008). Pada awalnya, aturan ini dikembangkan untuk keperluan fotogrametri arsitektur, namun karena pada umumnya permasalahan yang akan terjadi serupa, maka aturan ini cukup bersifat fleksibel karena sangat membantu untuk merencanakan semua pekerjaan CRP. Aturan ini terdiri dari : a. Geometri Aturan yang pertama adalah mengenai geometri. Geometri yang dimaksud disini adalah berdirinya
geometri
stasiun
pemotretan
(tempat
kamera). Geometri mencakup hal-hal seperti : informasi
kontrol, cakupan foto, dan pasangan foto.
16
b. Fotografi Aturan yang kedua adalah mengenai fotografi. Aturan ini mencakup kamera, parameter kamera dan penggunaannya di lapangan. c. Organisasi Aturan yang terakhir mengatur tentang hal-hal yang tidak terkait langsung dengan pemotretan, namun tidak boleh dilupakan, yaitu antara lain mencakup mengenai perencanaan penelitian, sketsa lokasi, dan informasi tambahan.
3. Pengolahan data a. Proses orientasi Pada proses ini, adalah mencari pasangan titik dari beberapa foto yang diamati, kemudian melakukan proses reseksi.
b. Pembentukan model 3D Setelah proses reseksi selesai, pada tiap foto telah diketahui koordinat dan orientasi pengambilannya, selanjutnya dilakukan proses bundle adjustment.
c. Pembuatan titik sampel Setelah terbentuk model 3D, proses selanjutnya adalah menambah titiktitik sampel yang akan digunakan untuk pembuatan DSM. Pada tahapan penandaan titik, dilakukan dua cara yaitu secara manual dan otomatis. Proses otomatisasi Image Matching dilakukan untuk penandaan titik sampel secara otomatis. Image matching atau automatic stereo matching adalah suatu proses mencari/mengidentifikasi pasangan suatu titik yang muncul pada dua foto atau lebih. Pada instrumen analog/analitik image matching dilakukan oleh operator secara manual dengan menggunakan persepsi 3D mata kiri dan kanan. Pada fotogrametri digital image matching dilakukan secara otomatis dengan mencocokkan dua citra.
17
Kegunaan image matching dalam fotogrametri antara lain : 1. Pada proses Orientasi Dalam dan Relatif saat mencari pasangan titik untuk diamati. 2. Pada proses Triangulasi Udara saat mencari pasangan titik ikat pada semua foto dimana titik tersebut muncul. 3. Pembentukan DTM/DSM, mencari pasangan titik foto untuk posisi titik DTM/DSM. 4. Proses pembuatan Orthofoto. 5. Digitasi pada layar monitor.
Teknik metode Area-Based Matching membandingkan tingkat keabuan (grey-levels) antar (sebagian kecil) citra. Pada citra digital, akan sangat memungkinkan, dan relatif mudah dilakukan proses penentuan letak titik dengan penyelesaian matematis. Sekumpulan nilai piksel (greyvalue= GV) pada sebuah citra dapat dibandingkan kemiripannya dengan sekumpulan GV dari citra di sebelahnya (citra-2) yang bertampalan. Tingkat kemiripan kumpulan data tersebut ditentukan oleh variasi GV yang merepresentasikan bentuk objek lapangan (permukaan bumi). Tingkat kemiripannya dapat dihitung dengan mencari korelasi berdasarkan kuadrat terkecil. Dengan berpedoman pada hasil hitungan nilai korelasi, selanjutnya dapat ditentukan tingkat “kesamaan” dua kumpulan data yang berasosiasi dengan citra tersebut. Setelah penandaan titik, dilakukan proses selanjutnya yaitu proses interseksi ruang. Setelah mendapatkan titik-titik sampel pembentuk DSM dengan koordinat 3Dnya, maka dilakukan pekerjaan pembentukan DSM. Tahapan pembentukan DSM metode CRP digambarkan seperti pada gambar 3.1, sebagai berikut :
18
Persiapan
Pengambilan Data (pemotretan)
Pengolahan Data Proses Orentasi Pembentukan Model 3D Pembuatan Titik Sample
Penandaaan titik Otomatis (Image Matching)
Penandaaan titik Manual
Interseksi
Pembentukan DSM
Gambar 2.3 Tahapan Pembentukan DSM Metode CRP 2.2.5
Pembentukan DSM dengan Metode Pengambilan Titik Sampel dengan Tachymetri Metode tachymetri merupakan metode penentuan posisi yang langsung
ditujukan untuk mendapatkan posisi 3D (pengukuran horizontal dan vertikal secara bersamaan), dengan menggunakan metode polar untuk penetuan titik horizontalnya dan metode trigonometrik untuk penetuan titik tingginya. Metode polar adalah penentuan koordinat horizontal dengan melakukan pengukuran sudut ( ) dan jarak (D) dengan hubungan matematis sebagai berikut : X A = X 1 + D sin α Y A = Y1 + D cos α
(2.6)
Metode trigonometrik merupakan metode penentuan tinggi dengan menerapkan prinsip trigonometri dalam suatu segitiga. Dari Gambar 2.4 nilai h dapat ditentukan dengan persamaan :
h = Dm cos Z atau h = D cot Z
(2.7)
19
Maka tinggi titik A dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :
T A = Dm cos Z + t a atau T A = D cot Z + t a
( 2.8) A h
Dm Z
m
Xa, Y a
ta D 1
Gambar 2.4 Metode Tachymetri (Soedomo, 2003) Keterangan gambar : = Sudut jurusan z
= Sudut zenith
Dm
= Jarak miring
D
= Jarak datar
ta
= Tinggi alat
A
= Titik detail
1
= Titik kerangka dasar
Pekerjaan pengadaan titik DSM terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Persiapan Meliputi penentuan spesifikasi hasil yang diinginkan serta batasan-batasan pekerjaan. Persiapan alat ukur sudut dan jarak yang akan digunakan memenuhi spesifikasi hasil yang diinginkan dan batasan daerah yang akan diukur.
2. Pengambilan Data Pada tahapan ini, melakukan pengambilan data titik-titik sampel pembentuk DSM dengan menggunakan metode tachymetri.
20
3. Pengolahan Data Pada tahapan ini, dilakukan pengolahan titik-titik hasil pengukuran metode tachymetri menjadi titik-titik dalam suatu sistem koordinat tanah. Setelah diperoleh titik-titik sampel pembentuk DSM dengan koordinat 3Dnya, maka dilakukan pekerjaan pembentukan DSM. 2.3
Interpolasi Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga
nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Proses interpolasi adalah mengisi kekosongan data dengan metoda tertentu dari suatu kumpulan data untuk menghasilkan sebaran yang kontinyu. Ada beberapa metode interpolasi untuk pembentukan DSM yaitu : 1. Interpolasi Linear Tujuan interpolasi linier adalah menentukan titik-titik antara dari 2 buah titik dengan menggunakan garis lurus (gambar 2.5). Persamaan garis lurus yang melalui 2 titik P1(x1,y1) dan P2(x2,y2) dapat ditulis sebagai berikut : y − y1 y − y1 x − x1 ( x − x1 ) + y1 = atau y = 2 x 2 − x1 y 2 − y1 y 2 − y1
(2.9)
Gambar 2.5 Konsep Dasar Interpolasi Linier (http://en.wikipedia.org/wiki/ Interpolation) 2. Interpolasi Polinomial Interpolasi polinomial digunakan untuk mencari titik-titik antara dari n buah titik P1(x1,y1), P2(x2,y2), P3(x3,y3), …, Pn(xn,yn) dengan menggunakan pendekatan fungsi polinomial pangkat n-1 :
21
y = a0 + a1 x + a 2 x 2 + .... + an −1 x n −1
(2.10)
Masukkan nilai dari setiap titik ke dalam persamaan polinomial (2.10) dan diperoleh persamaan simultan dengan n persamaan dan n variable bebas sebagai berikut : y1 = a 0 + a1 x1 + a 2 x12 + .... + a n −1 x n −1 y 2 = a 0 + a1 x2 + a 2 x22 + .... + a n−1 x n−1 y3 = a 0 + a1 x3 + a 2 x32 + .... + a n −1 x n −1
(2.11)
...................................................... y n = a 0 + a1 x n + a 2 x12 + .... + a n−1 x n−1 Penyelesaian persamaan simultan di atas adalah nilai-nilai a0, a1, a2, a3
, a n yang merupakan nilai-nilai koefisien dari fungsi pendekatan polinomial
yang akan digunakan. Dengan memasukkan nilai x dari titik yang dicari pada fungsi polinomialnya, akan diperoleh nilai y dari titik tersebut. 2.4
Volume Volume mempunyai dimensi kubik, misalnya meter kubik (m3). Secara
sederhana diambil contoh suatu balok yang mempunyai ukuran panjang 10 m, lebar 0,5 m dan tinggi 6 m akan mempunyai volume = panjang x lebar x tinggi = 10 m x 0,5 m x 6 m = 30 m3. Benda yang tidak beraturan bentuknya, tentu akan sulit menentukan volume dengan perhitungan matematis seperti pada bola atau balok. Untuk benda tidak beraturan, volume dapat dihitung dengan merendam benda tersebut pada cairan volume tertentu dalam gelas ukur, kemudian dihitung selisih volume cairan sebelum dan setelah benda dicelupkan, itulah volume benda. Contoh sebuah piala dimasukan kedalam suatu tabung ukur dengan air. Volume air dalam tabung awal adalah 2 liter setelah piala dimasukan volume menjadi 3 liter jadi volume piala adalah 1 liter. (gambar 2.6)
22
Gambar 2.6 Ilustrasi Menghitung Volume dengan Air Pada pembahasan kali ini yang dimaksud volume adalah volume permukaan. Sering terjadi bahwa bentuk tanah yang akan dihitung volumenya tidak ideal, artinya tidak selalu berbentuk balok atau silinder. Permukaan tanah yang tidak beraturan akan dihitung volumenya dengan beberapa metode. 2.4.1
Metode Perhitungan Volume Prinsip hitungan volume adalah 1 (satu) luasan dikalikan dengan 1 (satu)
yang diwakili tinggi. Jika ada beberapa luasan atau beberapa tinggi, maka dibuat wakilnya, misalnya dengan menghitung luas rata-rata ataupun tinggi rata-rata. Ada beberapa cara atau metode untuk menghitung volume yaitu dengan cara : 1. Metode End Area Didalam gambar 2.7 area A1, A2, dan A3 diasumsikan telah diketahui. Jika A1 adalah luas penampang awal, A2 adalah luas penampang akhir dan d adalah jarak antaranya, maka volumenya adalah : A + A2 V = d × 1 2
(2.12)
Kemudian ada beberapa bagian (n) dengan jarak yang sama dengan d maka volumenya adalah : A + A3 A + A4 A + An A + A2 V = d × 1 + d × 2 + d × 3 + ......... + d × n−1 2 2 2 2 A + 2 A2 + 2 A3 + 2 A4 + ......... + 2 An−1 + An V = d × 1 2
(2.13)
23
Gambar 2.7 Ilustrasi Metode End Area (www.sli.unimelb.edu.au) Dimana V
= Volume.
A1, A2, A3, A4,…., An = Luas penampang 1,2,3,….,n. d
= Jarak antara penampang.
2. Metode Kontur Prinsip metode kontur mirip dengan metode end area sebagai berikut (gambar 2.8) : A + A3 A + A4 A + An A + A2 V = h× 1 + h× 2 + h× 3 + ......... + h × n−1 2 2 2 2 A + 2 A2 + 2 A3 + 2 A4 + ......... + 2 An −1 + An V = h× 1 2
(2.14)
Dimana : V
= Volume.
A1, A2, A3, A4,…., An = Luas yang dibatasi Kontur 1,2,3,…,n. h
= Interval Kontur.
Gambar 2.8 Ilustrasi Kontur (sipil.uns.ac.id/kulol/Ilmu_Ukur_Tanah_1)
24
3. Metode Grid Cara menghitung volume dengan metode Grid adalah dengan membagi daerah tersebut berbentuk segiempat berjarak a, umumnya berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang. (gambar 2.9) Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : V=
A (1 × ∑ h1 + 2 × ∑ h2 + 3 × ∑ h3 + 4 × ∑ h4 ) 4
(2.15)
Dimana : A = luas penampang segiempat h1 = tinggi yang digunakan 1 kali untuk menghitung volume h2 = tinggi yang digunakan 2 kali untuk menghitung volume h3 = tinggi yang digunakan 3 kali untuk menghitung volume h4 = tinggi yang digunakan 4 kali untuk menghitung volume a a
Gambar 2.9 Ilustrasi Metode Grid (www.sli.unimelb.edu.au) 2.4.2
Ketelitian Hasil Hitungan Volume
1. Metode End Area Dari persamaan (2.13) yang dapat dituliskan sebagai V= F (d, A1, A2, A3,…, An), dan dengan menggunakan dalil perambatan kesalahan diperoleh : 2
2
2
2
∂F ∂F ∂F ∂F ∂F σAn2 (2.16) σA32 + .....+ σA22 + σA12 + σV = σd 2 + ∂d ∂A1 ∂A2 ∂An ∂A3 2
2
Untuk dapat menyelesaikan persamaan terlebih dahulu harus diperoleh nilai-nilai variansi d2, A12, A22, A32., …., An2. Koefesien persamaan (2.16), diperoleh sebagai berikut :
25
∂F A1 + 2 A2 + 2 A3 + ..... + 2 An−1 + An = 2 ∂d
(2.17)
∂F d = ∂A1 2
(2.18)
∂F d = ∂A2 2
(2.19)
∂F d = ∂A3 2
(2.20)
∂F d = ∂An 2
(2.21)
2. Metode kontur Dari persamaan (2.14) yang dapat dituliskan sebagai V= F (h, A1, A2, A3,…, An) dengan menggunakan dalil perambatan kesalahan diperoleh : 2
2
2
2
∂F ∂F ∂F ∂F ∂F σA (2.22) σA32 + .....+ σA12 + σA22 + σV = σd 2 + ∂h ∂A1 ∂A2 ∂An ∂A3 2
2
Untuk dapat menyelesaikan persamaan terlebih dahulu harus diperoleh nilai-nilai variansi h2, A12, A22, A32, …., An2. Koefesien persamaan (2.22), diperoleh sebagai berikut : ∂F A1 + 2 A2 + 2 A3 + ..... + 2 An −1 + An = 2 ∂h
(2.23)
∂F h = ∂A1 2
(2.24)
∂F =h ∂A2
(2.25)
∂F h = ∂A3 2
(2.26)
26
∂F h = ∂An 2
(2.27)
3. Metode Grid Dari persamaan (2.15) yang dapat dituliskan sebagai V= F (A, h1, h2, h3, h4) dengan menggunakan dalil perambatan kesalahan diperoleh : 2
∂F ∂F ∂F 2 σh12 + σV = σA + ∂A ∂h1 ∂h2 2
2
2
2
∂F ∂F σh32 + σh22 + ∂h3 ∂h4
2
σh42 (2.28)
Untuk dapat menyelesaikan persamaan terlebih dahulu harus diperoleh nilai-nilai variansi A2, h12, h22, h32, h42. Koefesien persamaan (2.28), diperoleh sebagai berikut : ∂F h1 + 2 h2 + 3h3 + 4h3 = ∂A 4
(2.29)
∂F A = ∂h1 4
(2.30)
∂F A = ∂h2 2
(2.31)
∂F 3 A = 4 ∂h3
(2.32)
∂F =A ∂h4
(2.33)
2.5
Uji Statistik Uji statistik digunakan untuk membandingkan hasil hitungan statistik
dengan hasil sebelumnya atau dengan standar tertentu. Hipotesa : Pernyataan explisit maupun implisit tentang distribusi probabilitas sebuah variabel acak. Hipotesa dikatakan “sederhana” jika mencakup semua parameter distribusi, dan dikatakan “komposit” jika hanya mencakup sebagian parameter distribusi. (Setyadji, 2005) Prosedur umum selalu mengacu pada satu “hipotesa nol” H0 (null hypothesis), yaitu parameter-parameter distribusi yang menjadi pembanding hasil
27
estimasi sampel. H0 ini sering disebut sebagai hipotesa yang dituntut sebagai nilai yang “benar”. Hasil pengujian adalah sebuah pernyataan bahwa hipotesa nol tersebut dapat diterima atau tidak dalam hubungannya dengan bukti-bukti (statistik) yang ada. Penggunaan lain uji statistik ini adalah mengambil keputusan antara hipotesa nol H0 dibandingkan dengan hipotesa-hipotesa alternatif (Ha, alternative hypothesis) lain, yang disebut juga sebagai hipotesa tandingan. Hipotesa
tandingan
ini
yang sering
disebut sebagai
“hipotesa
peneliti/pengukur” karena nilai ini yang akan divalidasi. Prosedur pengujian melingkupi dua hal : 1. Uji statistik atau fungsi dari sampel untuk basis pengambilan keputusan. 2. Daerah penolakan, himpunan nilai statistik pengujian yang akan menolak H0. Kemungkinan hasil pengujian, dapat dituliskan seperti tabel 2.1, sebagai berikut Tabel 2.1 Kemungkinan Hasil Pengujian
H0
Diterima
Ditolak
True
Ok
Kesalahan Tipe 1 ( )
false
Kesalahan Tipe 1 ( )
Ok
Probabilitas tipe I ( ) : disebut sebagai level signifikan uji (significance level of the test). Bisa 5%, 2%, atau 1%. Dalam kasus ini, uji hipotesa ditolak jika H0 benar. Probabilitas tipe II ( ) : (1
) disebut sebagai kekuatan uji (power of a
test). Dalam kasus ini, uji hipotesa diterima jika H0 salah. 2.5.1
Uji Hipotesa mengenai Menengah sampel Jika nilai simpangan baku populasi diketahui, suatu sampel berukuran (n)
dengan nilai-nilai xi atau nilai menengah sampel x , dan juga simpangan baku populasi normal σ . Hipotesa nol yang dipakai adalah H0 :
=
0,
untuk menguji
apakah nilai menengah populasi sama dengan nilai o apriori. Tiga kemungkinan hipotesa alternatifnya :
<
0,
>
0,
atau kasus uji dua sisi
0.
Digunakan
rumusan variabel acak normal berstandarisasi :
28
z=
x − µ0
(2.34)
σ/ n Dengan tingkat signifikan, ada tiga kemungkinan kesimpulan : 1. H0 : µ = µ 0 ; Ha : µ < µ 0 ; H0 ditolak jika z < − z a karena
x − µ0 P z = < −za = α σ/ n 2. H0 : µ = µ 0 ; Ha : µ < µ 0 ; H0 ditolak jika z > − z a karena
x − µ0 P z = > −za = α σ/ n 3. H0 : µ = µ 0 ; Ha : µ ≠ µ 0 ; H0 ditolak jika z < − z a atau z > − z a karena
x − µ0 P z a / 2 < < −za / 2 = α σ/ n
Jika nilai simpangan baku populasi tidak diketahui, variabel acak yang digunakan adalah : t=
x − µ0
(2.35)
s/ n Untuk membandingkan dua nilai menengah sampel, hipotesa nol yang
diuji adalah µ1 − µ 2 = δ . Dengan nilai simpangan baku populasi diketahui, variabel acak normal yang digunakan adalah :
z=
x1 − x 2 − δ
(2.36)
σ / n1 + σ 22 / n 2 2 1
Jika nilai simpangan baku populasi tidak diketahui, variabel acak yang digunakan adalah :
t=
x1 − x 2 − δ (n1 − 1)s + (n 2 − 1) s 22 n1 + n2 − 2 2 1
(2.37)
1 1 + n1 n1
29
2.5.2
Uji Hipotesa mengenai variansi-variansi
1. Uji Chi Square Hipotesa nol σ 2 = σ 02 diuji terhadap hipotesa tandingan σ 2 ≠ σ 02 ,
σ 2 > σ 02 , dan σ 2 < σ 02 . Variabel yang digunakan adalah : χ m2 =
mσ 2 σ 02
(2.38)
1. H0 : σ 2 = σ 02 ; Ha : σ 2 < σ 02 ; H0 ditolak jika χ m2 < χ12−α ,m karena
mσ 2 P 2 < χ12−α , m = α σ0 2. H 0 : σ 2 = σ 02 ; Ha : σ 2 > σ 02 ; H0 ditolak jika χ m2 > χ α2 ,m karena
mσ 2 P 2 > χ α2 ,m = α σ0 3. H0 : σ 2 = σ 02 ; Ha : σ 2 ≠ σ 02 ; H0 ditolak jika χ m2 < χ12−α ,m atau χ m2 > χ 12−α ,m
mσ 2 karena P χ 12−α ,m < 2 < χ α2 ,m = α σ0
2. Uji Fisher Untuk mengetahui kesamaan variansi sample satu dengan yang lain. Hipotesa nol σ 12 = σ 22 diuji terhadap hipotesa tandingan σ 12 ≠ σ 22 , σ 12 > σ 02 , dan
σ 12 < σ 12 . variabel yang digunakan adalah : Fm1,m 2 =
s12 s 22
(2.39)
Kemungkinan solusi : 1. H0 : σ 12 = σ 22 ; Ha : σ 12 < σ 22 ; H0 ditolak jika Fm1.m 2 < F1−α ,m1.m 2 karena
s2 P 12 < F1−α ,m1,m 2 = α s2 2. H0 : σ 12 = σ 22 ; Ha : σ 12 > σ 22 ; H0 ditolak jika Fm1.m 2 > Fα ,m1.m 2 karena
s2 P 12 > Fα ,m1,m 2 = α s2
30
H0 : σ 12 = σ 22 ; Ha : σ 12 ≠ σ 22 ; H0 ditolak jika Fm1.m 2 > Fα / 2,m1.m 2 atau
F m1 . m 2 < F1− α /, m1 . m 2
31