BAB II PENCOCOKAN CITRA DALAM FOTOGRAMETRI Perkumpulan fotogrametriawan Amerika mendefinisikan fotogrametri sebagai seni, ilmu, dan teknologi untuk memperoleh informasi terpercaya tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran, dan interpretasi gambaran fotografik dan pola radiasi tenaga elektromagnetik yang terekam. Meskipun akhir-akhir ini arti fotogrametri telah diperluas hingga meliputi analisis rekaman lain selain foto, seperti misalnya pancaran pola tenaga akustik dan gejala magnetik, namun foto masih merupakan sumber informasi utama di dalam fotogrametri (Wolf, 1983). Dalam ruang lingkup fotogrametri, pencocokan citra digunakan ketika proses orientasi relatif, yang merupakan otomatisasi di dalam fotogrametri dijital. Proses pencocokan citra dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik hitungan, yaitu korelasi silang ternormalisasi / Normalized Cross Correlation (NCC), Korelasi nilai rata-rata kanal terpisah / Separate Channel Mean Value (SCMV),
dan korelasi nilai rata-rata yang diberi bobot (KNRB).
Upaya
peningkatan keberhasilan pencocokan citra pada kajian ini, dilakukan dengan metode HE. Untuk itu, pada bab ini akan dibahas pula tentang HE. Seperti telah dijelaskan pada pendahuluan, metode IM yang digunakan pada kajian ini adalah metode AB yang menggunakan komposisi nilai derajat keabuan. Untuk itu, maka pada bab ini akan dibahas pula teori tentang warna. 2.1
Proses Pencocokan Citra
Hubungan SCA (Sub Citra Acuan), CP (Citra Pencarian) dan SCP (Sub Citra Pencarian) pada proses pencocokan citra berbasis area ditunjukkan pada Gambar 2.1. SCA adalah area objek yang dipilih pada foto kiri sebagai acuan. CP adalah area objek yang memiliki area objek paling mirip dengan SCA dengan SCAkupan area lebih luas dari SCA. SCP merupakan jendela berukuran sama dengan SCA sebagai alat bantu array pencarian lokasi area objek yang paling berkorelasi.
6
kolom
kolom
SCA
SCP
baris
baris CP
Citra Kiri
Citra Kanan Gambar 2.1.
Hubungan SCA (Sub Citra Acuan), CP (Citra Pencarian) dan SCP (Sub Citra Pencarian) Agar didapat nilai korelasi yang diberi bobot maksimum, SCP harus bergerak pada ruang pada citra pencarian. Pada setiap pergerakan jendela SCP tersebut dilakukan hitungan untuk memperoleh nilai korelasi yang diberi bobot. Area yang berkorelasi maksimum merupakan indikasi bahwa area tersebut adalah area yang paling cocok dengan area pada citra acuan. Bila ukuran SCA (3x3) piksel dan ukuran CP (5x5) piksel, maka jumlah pergerakan SCP ialah sebanyak (m baris CP – m baris SCA) + 1 = (5-3)+1= 3 gerakkan jendela ke arah kolom, dan (n kolom CP – n kolom SCA) + 1 = (5-3)+1= 3 gerakkan ke arah baris. Jadi jumlah pergerakkan total adalah 9 kali pergeseran SCP. 2.2.
Pencocokan Berbasis Area
Pencocokan citra berbasis area merupakan metode pencocokan citra yang pada dasarnya membandingkan distribusi nilai keabu-abuan suatu subcitra kecil pada suatu citra terhadap pasangannya di dalam citra lain (Schenk, 1996). Pada metode area-based digunakan komposisi nilai derajat keabuan (gray level) citra di dalam pengujian nilai korelasi objek pada citra foto kiri dan kanan. Identifikasi objek pada metode ini bukan berdasarkan bentuk tepi objek secara utuh melainkan berdasarkan warna yang direpresentasikan pada window dengan ukuran tertentu dimana objek itu berada. Metode pencocokan citra berbasis area pada kajian ini menngunakan teknik hitungan metode korelasi silang ternormalisasi (Normalized Cross Correlation) 7
2.2.
Korelasi Silang Ternormalisasi
Korelasi silang ternormalisasi adalah metode hitungan kecocokan citra yang umum digunakan di dalam fotogrametri. Metode ini mengukur nilai korelasi satu kanal warna berupa warna keabuabuan. Koefisien korelasi yang dihasilkan memiliki nilai pada rentang -1 hingga 1. Nilai 1 berarti objek pada CA dan SCP identik. Nilai 0 berarti objek tersebut tidak berkorelasi. Nilai -1 menunjukkan bahwa SCP merupakan kebalikan (inverse) dari objek pada CA. Suatu objek pada CA dapat dikatakan cocok dengan objek pada SCP jika nilai korelasinya ≥ 0.7 (Wolf, 2000). Koefisien korelasi pada proses pencocokan citra metode korelasi silang ternormalisasi didefinisikan sebagai perbandingan antara kovariansi nilai kecerahan pada CA dan SCP terhadap perkalian antara standar deviasi CA dan standar deviasi SCP (Vosselman, et. al, 2004) dan (Kuzu, 2002) seperti pada persamaan 2.1.
ρ=
σg g = σ g .σ g 1 2
1
2
_ _ ⎛ ⎞⎛ ⎞ . g − g g − g ⎜ ⎟ ⎜ ∑ ⎝ 1ij 1 ⎠ ⎝ 2ij 2 ⎟⎠
⎛
∑ ⎜⎝ g
1ij
2
⎞ ⎛ ⎞ − g1 ⎟ .∑ ⎜ g 2ij − g 2 ⎟ ⎠ ⎝ ⎠ _
_
2
(2.1)
dimana :
ρ = koefisien korelasi σ g g = kovariansi nilai keabuan CA dan SCP 1 2
σ g = standar deviasi untuk CA 1
σ g = standar deviasi untuk CP 1
g1ij , g 2ij = nilai keabuan pada kolom ke - i dan baris ke - j pada CA dan SCP _
_
g1 , g 2 = nilai rata - rata pada kolom ke - i dan baris ke - j pada CA dan SCP 1,2 = CA dan SCP
Metode korelasi silang ternormalisasi adalah dasar dari metode korelasi nilai rata-rata kanal terpisah dimana citra foto udara digital yang digunakan adalah citra berwarna. Melalui penggunaan citra foto berwarna, diharapkan keberhasilan proses pencocokan citra dapat ditingkatkan, karena warna merupakan informasi penting dalam identifikasi objek.
8
2.3.
Korelasi Nilai Rata-rata Kanal Terpisah
Citra foto udara berwarna yang menggunakan tiga kanal warna, yaitu merah, hijau, dan biru, proses hitungan korelasinya dilakukan dengan menghitung korelasi pada masing-masing kanal. Hal ini dilakukan karena penampakan objek dan nilai kecerahan setiap piksel pada masingmasing kanal berbeda. Karena sensitivitas sensor warna, setiap objek dapat memiliki nilai kecerahan yang berbeda pada masing-masing kanal (0-255). Hal ini dapat menyebabkan nilai korelasi masing-masing kanal akan berbeda pula (lihat persamaan 2.2). Korelasi suatu objek yang diamati adalah rata-rata nilai korelasi dari ketiga kanal seperti ditunjukkan oleh persamaan 2.3 atau 2.4., (Kuzu, 2002).
∑∑ i
rch =
∑∑ i
j
j
_ ⎞ ⎛ ch _ch ⎞ ⎛ ⎜ ⎟ ⎜ .⎜ g ij − g ⎟.⎜ Gij − G ch ⎟⎟ ⎠ ⎠⎝ ⎝
⎛ ch ⎜⎜ g ij − g ⎝
_ ch
2
⎞ ⎟⎟ .∑∑ ⎠ i j
⎛ ⎜⎜ Gij − G ⎝
_ ch
⎞ ⎟⎟ ⎠
2
,
(2.2)
k
r=
∑r
ch =1
ch
k
(2.3)
dimana : rch = koefisien korelasi kanal r = koefisien korelasi i, j, k = kolom, baris, jumlah kanal m, n = jumlah kolom, jumlah baris g ijch = nilai kecerahan pada kolom i dan baris j pada CA G ijch = nilai kecerahan pada kolom i dan baris j pada CP g ch = nilai kecerahan rata - rata pada CA G ch = nilai kecerahan rata - rata pada CP
Persamaan 2.4 merupakan persamaan normalized cross correlation yang berlaku untuk menghitung nilai korelasi citra dengan sumber informasi 1 channel penyimpan warna, misalnya yang banyak dipakai dalam penentuan tingkat kesamaan citra hitam putih.
9
⎛
σg g
ρx =
1
=
1 2
σ .σ g2 2 g1
∑ ⎜⎝ g ⎛
∑ ⎜⎝ g
2
1
_ _ ⎞⎛ ⎞ − g1 ⎟.⎜ g 2 − g 2 ⎟ ⎠⎝ ⎠ 2
⎞ ⎞ ⎛ − g1 ⎟ .∑ ⎜ g 2 − g 2 ⎟ ⎠ ⎝ ⎠ _
_
2
………………………………...............(2.4)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, data citra yang dipakai dalam penelitian ialah citra RGB yang memiliki 3 channel penyimpan informasi warna. Oleh karena itu, persamaan korelasi di atas dimodifikasi menjadi persamaan yang separate channel mean value yang memanfaatkan informasi 3 channel untuk kemudian nilai korelasi yang didapat dari masing-masing channel dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai korelasi total citra. (Emalia, 2007).
ρ
red
=
σgg
red
=
1 2
red
σ g2
1
_ _ ⎛ red red ⎞ ⎛ red red ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ g g g g − − . ∑⎜ 1 1 2 2 ⎟⎜ ⎟ ⎝ ⎠⎝ ⎠
.σ g22
red
⎛
∑ ⎜⎜ g ⎝
ρ green =
σgg
2 green g1
σ
.σ
2 green g2
=
⎛
∑ ⎜⎜ g ⎝
ρ
=
blue
σgg
blue
1 2
σ g2
blue
1
.σ g22
blue
=
ρ=
ρ
+ρ
green
+ρ
⎞ ⎛ ⎟ .∑ ⎜ g 2 red − g ⎟ ⎜ ⎠ ⎝
_ red 2
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
2
....................................(2)
green 1
− g1
_ green
2
⎞ ⎛ ⎟ .∑ ⎜ g 2 green − g 2 ⎟ ⎜ ⎠ ⎝
_ _ ⎛ blue blue ⎞ ⎛ blue blue ⎞ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ g g g g . − − ∑⎜ 1 1 2 2 ⎟ ⎟⎜ ⎠ ⎠⎝ ⎝
⎛
∑ ⎜⎜ g ⎝
red
−g
2
_ _ ⎛ green green ⎞ ⎛ green green ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ∑ ⎜ g1 − g1 ⎟.⎜ g 2 − g 2 ⎟⎟ ⎝ ⎠⎝ ⎠
green
1 2
red 1
_ red 1
blue 1
− g1
_ blue
2
⎞ ⎛ ⎟ .∑ ⎜ g 2 blue − g ⎟ ⎜ ⎠ ⎝
_ blue 2
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
2
_ green
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
2
......................(3)
...............................(4)
blue
....................................................................................................(5) 3 ρ = koefisien korelasi total g 1 , g 2 = nilai keabuan (gray value) pada mask/SCA dan sub search window/SCP _
_
g 1 , g 2 = nilai rata - rata pada mask window/SCA dan sub search window/SCP 1,2 = mask window image, sub search image (Kuzu, Yasemin) 3.2.1.2. Simulasi perhitungan korelasi metode Separate Channel Mean Value
10
gambar 1
gambar 2
Citra Kiri Citra Kanan Melalui pengamatan visual dipililih posisi objek yang akan dijadikan sampel penelitian pada citra kiri (ditandai dengan warna merah pada citra kiri) untuk kemudian disebut sebagai citra acuan (CA), dan pada citra kanan dipilih posisi asumsi objek yang dianggap sama dengan dimensi area yang lebih besar (ditandai dengan warna biru pada citra kanan).
gambar 3
Citra Acuan (CA)
gambar 4 Citra Pencarian
Gambar 3 dan 4 apabila diekstrak merupakan kumpulan matriks citra (sub-array) berupa nilai gray value channel red, green dan blue dalam rentang nilai 0-255 (gambar 5,6, dan7). Selanjutnya sub-array citra acuan akan dibandingkan dengan sub array citra pencarian pada setiap channel untuk mendapatkan posisi dan nilai informasi korelasi maksimum tiap channel menggunakan metode separate channel mean value .
Berikut ini diberikan tahapan perhitungan manual tingkat kesamaan citra melalui metode separate channel mean value:
11
1.
Ekstrak nilai gray value dari posisi citra acuan dan citra pencarian setiap channel dari posisi kesatu pergerakkan CA pada CP (nilai sub-array di simukasikan sbb)
2. dari posisi kesatu pergerakkan CA pada CP (nilai sub-array di simukasikan sbb)
78
90
80
100
35
40
38
60
113
80
50
70
80
90
77
70
200
60
60
85
118
82
55
64
75
206
65
62
35
46
77
96
60
60
gambar 5
Sub-array Citra Acuan (kiri) Pencarian (kanan) Channel
100 150
60
200
240
100
90
75
10
15
40
250
95
149
58
96
39
151
33
60
7
16
39
80
46
43
147
33
39
45
140
38
121
50
dan Sub-array Citra Red
gambar 6
Sub-array Citra Acuan (kiri) dan Sub-array Citra Pencarian (kanan) Channel Green
210
99
150
12
111
135
140
80
99
135
213
93
148
77
65
75
36
46
211
190
115
168
181
49
107
180
172
100
189
71
36
47
110 170 180
gambar 7
Sub-array Citra Acuan (kiri) dan Sub-array Citra Pencarian (kanan) Channel Blue
3. Hitung nilai rata-rata gray value sub-array citra acuan dan citra pencarian setiap channel _ 70 + 90 + ... + 60 red g1 = = 90.111 9 _ 100 + 35 + ... + 60 red g2 = = 77.778 25 _ 100 + 150 + ... + 33 green g1 = = 66.444 9 _ 200 + 240 + ... + 50 green g2 = = 124.111 25 _ 210 + 99 + ... + 180 blue g1 = = 119.222 9 _ 111 + 135 + ... + 189 blue g2 = = 117.556 25
4. Hitung fungsi penjumlahan ( ∑ ) untuk menghitung nilai koefisien korelasi _ _ ⎛ red red ⎞ ⎛ red red ⎞ ⎜ ⎟ = (70- 90.111 )(100- 77.778 ) + (90- 90.111 )(35⎜ ⎟ g g . g g − − ∑⎜ 1 1 2 2 ⎟ ⎟⎜ ⎠ ⎝ ⎠⎝ ... + (60- 90.111 )(60- 77.778 ) = -1.1178e+003
77.778 ) +
13
2
2
_ _ ⎞ ⎛ red ⎛ red red ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ∑ ⎜ g1 − g1 ⎟ .∑ ⎜ g 2 − g 2 red ⎟⎟ = {(70- 90.111 )2 + (90- 90.111 )2 + ... + (60- 90.111 )2} . ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ {(100- 77.778 )2 + (35- 77.778 )2 + (60- 77.778 )2 } = 3.4785e+003 _ _ ⎛ green green ⎞ ⎛ green green ⎞ ∑ ⎜⎜ g1 − g1 ⎟⎟.⎜⎜ g 2 − g 2 ⎟⎟ = 1.5916e+003 ⎠ ⎝ ⎠⎝ 2
2
_ _ ⎛ green ⎛ green green ⎞ green ⎞ ⎟ = 3.6924e+004 ⎜ ⎟ ⎜ g g . g g − − ∑⎜ 1 1 2 ⎟ ⎟ ∑⎜ 2 ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ _ _ ⎛ blue blue ⎞ ⎛ blue blue ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ∑ ⎜ g1 − g1 ⎟.⎜ g 2 − g 2 ⎟⎟ = -1.1678e+004 ⎝ ⎠⎝ ⎠ 2
2
_ _ ⎛ blue ⎛ blue ⎞ blue ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ∑ ⎜ g1 − g1 ⎟ .∑ ⎜ g 2 − g 2blue ⎟⎟ = 2.1675e+004 ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
5. Hitung koefisien korelasi setiap channel _ _ ⎛ red ⎞ red ⎞ ⎛ red ⎜ ⎟ ⎜ ∑ ⎜ g1 − g1 ⎟.⎜ g 2 − g 2 red ⎟⎟ ⎝ ⎠⎝ ⎠ ρ red = = -0.3213 2 2 _ _ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ∑ ⎜⎜ g1red − g1red ⎟⎟ .∑ ⎜⎜ g 2 red − g 2 red ⎟⎟ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
ρ green =
_ _ ⎛ green green ⎞ ⎛ green green ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ∑ ⎜ g1 − g1 ⎟.⎜ g 2 − g 2 ⎟⎟ ⎝ ⎠⎝ ⎠
⎛
∑ ⎜⎜ g ⎝
ρ blue =
green 1
− g1
_ green
2
⎞ ⎛ ⎟ .∑ ⎜ g 2 green − g 2 ⎟ ⎜ ⎠ ⎝
_ green
_ _ ⎛ blue ⎞ blue ⎞ ⎛ blue ⎜ ⎟ ⎜ ∑ ⎜ g1 − g1 ⎟.⎜ g 2 − g 2 blue ⎟⎟ ⎝ ⎠⎝ ⎠
⎛
∑ ⎜⎜ g ⎝
blue 1
−g
_ blue 1
2
⎞ ⎛ ⎟ .∑ ⎜ g 2 blue − g ⎟ ⎜ ⎠ ⎝
_ blue 2
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
2
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
2
= 0.0431
= -0.5388
6. Rata-ratakan nilai koefisien korelasi 3 channel untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi total, hasil nilai korelasi yang disimpan ialah nilai absolutnya.
ρ=
ρ red + ρ green + ρ blue 3
=
(−0.3213) + 0.0431 + (−0.5388) = -0.272 3
14
Koefisien korelasi citra pada posisi pergerakan windows kesatu ialah:
ρ = 0.272 7. Langkah 2-5 di atas merupakan langkah penghitungan nilai koefisien korelasi pada satu posisi pergerakkan window, jumlah seluruh gerakkan window dengan data CA3x3 dan CP5x5 ialah sebanyak (n baris CP – n baris CA) + 1 = (5-3)+1= 3 gerakkan windows ke arah baris, dan (n kolom CP – n kolom CA) + 1 = (5-3)+1= 3 gerakkan windows ke arah kolom, jadi jumlah pergerakkan windows seluruhnya berjumlah 9 gerakan posisi windows. 8. Demikian seterusnya koefisien korelasi citra dihitung dengan langkah 2-5 sampai pergerakkan window ke-n. Setelah nilai koefisien korelasi citra dihitung di seluruh pergerakkan nilainya disimpan dalam array korelasi(nxn).
Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ρred 0.3213 0.7498 0.7904 0.5205 1 0.5387 0.5622 0.4513 0.9070
ρgreen 0.0431 0.0552 0.2723 0.4081 1 0.1057 0.6441 0.7599 0.0139
ρblue 0.5388 0.6167 0.3281 0.0944 1 0.0853 0.5002 0.5668 0.0960
ρ 0.2723 0.0628 0.2821 0.0060 1 0.1864 0.2354 0.2918 0.0060
windows, kemudian sebuah
tabel 1
daftar harga koefisien korelasi pada keseluruhan posisi window
0.272
0.063
0.282
0.006
1.000
0.186
0.235
0.292
0.006
tabel 2
15
susunan array koefisien korelasi
9. Pilih nilai korelasi maksimum pada array korelasi. Nilai maksimum pada susunan array korelasi di atas ialah 1.000 dan terjadi pada baris 2 kolom 2 array korelasi. Nilai ini didapat saat citra acuan(CA) dibandingkan dengan sub-citra pencarian (SCP) pada 2 pergerakkan kearah kolom dan 2 pergerakkan kearah baris pada citra pencarian. 2.4.
Korelasi Nilai Rata-Rata Yang Diberi Bobot
Dalam ilmu statistik, ada persamaan hitungan nilai rata-rata yang diberi bobot seperti pada persamaan 2.6. Nilai rata-rata yang diberi bobot adalah nilai yang muncul akibat bobot dari setiap data tidak sama satu dengan yang lain. Maksud bobot setiap data disini adalah jumlah data yang nilainya sama di dalam kumpulan data. k
x=
∑w ⋅ x i
i =1
i
k
∑w
,
(2.5)
i
i =1
di mana: x = nilai rata - rata kumpulan data x i = data ke - i w i = nilai bobot (jumlah data yang sama untuk x i ) k = jumlah data
Dalam pencocokan citra metode korelasi yang diberi bobot, persamaan korelasi nilai rata-rata yang diberi bobot yang digunakan di dalam tugas akhir ini diadaptasi dari persamaan 2.5 seperti pada persamaan 2.6. k
r=
∑w
ch =1 k
.r
ch ch
∑w
ch =1
(2.6)
ch
dimana: wch = bobot kanal rch = koefisien korelasi kanal ch = kanal r = koefisien korelasi kanal total yang sudah diberi bobot
16
k = jumlah kanal Rumus hitungan korelasi pada kanal merah, hijau dan biru dapat dilihat pada persamaan 2.7 , 2.9, dan 2.11 sedangkan nilai bobot kanal merah, hijau, dan biru dapat dilihat pada persamaan 2.8 , 2.10, dan 2.12. (Ilham, 2007) rred =
∑∑ (g i
wred =
rgreen =
−g
) .∑∑ (G
red 2
i
red ij
i
∑∑ (g
red ij
)
−G
(2.7)
)
red 2
j
− g red )
2
j
(2.8)
(m.n) − 1
∑∑ (g i
green ij
j
)(
− g green . Gijgreen − G green
)
)
(
− g green .∑∑ Gijgreen − G green 2
i
∑∑ (g i
green ij
j
∑∑ (g
wgreen =
green ij
)
2
− g green )
2
j
∑∑ (g i
blue ij
j
∑∑ (g i
blue ij
j
∑∑ (g
(2.10)
)(
− g blue . Gij − G blue
)
(
)
− g blue .∑∑ Gijblue − G blue 2
i
blue ij
(2.9)
j
(m.n) − 1
i
wblue =
red ij
j
i
rblue =
j
∑∑ (g i
)(
− g red . Gijred − G red
red ij
)
2
(2.11)
j
− g blue )
2
j
(m.n) − 1
(2.12)
Persamaan 2.13 adalah rumus nilai korelasi yang diberi bobot. r=
wred .rred + wgreen rgreen + wblue rblue wred + wgreen + wblue
(2.13)
17
dimana: r = koefisien korelasi yang diberi bobot rred = koefisien korelasi kanal merah
w red = bobot kanal merah pada CA rgreen = koefisien korelasi kanal hijau
w green = bobot kanal merah pada CA rblue = koefisien korelasi kanal biru
w blur = bobot kanal biru pada CA i = kolom j = baris m = jumlah kolom n = jumlah baris
2.5.
Warna
Persepsi visual citra berwarna (color image) umumnya lebih kaya dibandingkan dengan citra hitam putih (grey scale), karena itu citra berwarna lebih disenangi daripada citra hitam putih. Citra berwarna menampilkan warna objek seperti warna aslinya (meskipun tidak selalu tepat demikian). Warna yang diterima oleh mata dari sebuah objek ditentukan oleh warna sinar yang dipantulkan oleh objek tersebut.
Sebagai contoh, suatu objek berwarna hijau karena objek tersebut
memantulkan sinar biru dengan panjang gelombang 450 sampai 490 nanometer (nm) (Munir, 2004). Warna-warna yang diterima oleh mata manusia merupakan hasil kombinasi cahaya dengan panjang gelombang berbeda.
Penelitian memperlihatkan bahwa kombinasi warna yang
18
memberikan rentang warna yang paling lebar adalah red (R), green (G), dan blue (B). ketiga warna tersebut dinamakan warna pokok (primaries), dan sering disingkat sebagai warna dasar RGB. Warna-warna lain dapat diperoleh dengan mencampurkan ketiga warna pokok tersebut
dengan perbandingan tertentu (meskipun tidak sepenuhnya benar, karena tidak semua kemungkinan warna dapat dihasilkan dengan kombinasi RGB saja). Clark Maxwell yang di jamannya banyak bergulat dengan fotografi ingin membuktikan, bahwa dengan prinsip yang dikemukakan oleh Newton, Young dan Hemholtz, bisa dibuat foto yang berwarna. Untuk itu ia membuat eksperimen untuk membuktikan kebenaran teori-teori yang dikemukakan sebelumnya, yakni dengan menggunakan proyektor warna-warna primer cahaya Red, Green dan Blue (RGB). Pada layar proyektor pancaran sinar yang berlainan warna tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga sebagian bertumpang tindih, dan sebagian lagi memancarkan cahaya dari filter yang digunakan. Dengan cara demikian ia dapat membuktikan bahwa teori Isaac Newton yang mengemukakan bahwa cahaya putih adalah gabungan dari berbagai warna, serta warna primer cahaya adalah RGB adalah benar. Dengan kesimpulan tersebut ia berkeyakinan apabila gambar hitam putih pada produk collodion (bahan foto masa itu) masingmasing digunakan untuk memotret dengan menggunakan filter RGB yang berlainan, kemudian diproyeksikan secara bertumpang tindih dengan sempurna akan menghasilkan foto warna. ( Anonim, Fotografi Warna, http:/www.edukasi.net/pengpop/ppfull.php?ppid=226&fname=semua.htm, 2008) Sebagai ilustrasi konsep percobaan Maxwell dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1. Diagram Percobaan Maxwell
19
2.6.
Histogram Ekualisasi
Untuk mendapatkan citra yang lebih baik, dilakukan upaya mengubah penyebaran nilai intensitas. Salah satu metode yang banyak dipakai antara lain adalah perataan histogram (histogram equalization) yang mengupayakan sedemikian rupa sehingga piksel setiap objek yang berbeda memiliki brightness value yang tegas Proses perataan histogram (histogram equalization) secara umum bias diterapkan untuk citracitra yang kurang tajam. Citra dengan kondisi ini memiliki nilai korelasi yang rendah, sehingga menyulitkan untuk memperoleh nilai korelasi yang baik. Karena histogram menyatakan peluang piksel dengan derajat keabuan tertentu, maka rumus menghitung histogram ditulis kembali sebagai fungsi peluang (Munir, 2004). Pr(rk)= nk/n
(2.14)
dimana rk = k/L-1
, 0 ≤ k ≤ L-1
(2.15)
yang artinya, derajat keabuan (k) dinormalkan terhadap derajat keabuan terbesar (L-1). Nilai rk = 0 menyatakan hitam, dan rk = 1 menyatakan putih dalam skala keabuan yang didefinisikan. Yang dimaksud dengan histogram ekualisasi (perataan histogram) ialah mengubah derajat keabuan suatu pixel dengan derajat keabuan yang baru dengan suatu fungsi transformasi T, yaitu s = T(r). Dua sifat yang dipertahankan dalam transformasi ini: •
Nilai s merupakan pemetaan 1 ke 1 dari r. Ini untuk menjamin representasi intensitas yang tetap. Ini berarti r dapat diperoleh kembali dari r dengan transformasi invers: r = T-1(s)
,0≤s≤1
(2.16)
20
•
Untuk 0 ≤ r ≤ 1, maka 0 ≤ T(r) ≤ 1. Ini untuk menjamin pemetaan T konsisten pada rentang nilai yang diperbolehkan.
Dalam bentuk diskrit, nilai-nilai s diperoleh dengan persamaan berikut: k
k nj = ∑ Pr( rj ) j =0 n j =0
sk = T (rk ) = ∑
(2.17)
dimana 0 ≤ rk ≤ 1, k = 0, 1, 2, …, L-1 Sebagai contoh, misalkan terdapat citra yang berukuran 64 X 64 piksel dengan jumlah derajat keabuan (L) = 8 dan jumlah seluruh piksel (n) = 64 X 64 = 4096, seperti terlihat pada table 2.1. Tabel 2.1. Contoh nilai derajat keabuan citra dengan peluangnya k 0 1 2 3 4 5 6 7
rk 0/7 = 0.00 1/7 = 0.14 2/7 = 0.29 3/7 = 0.43 4/7 = 0.57 5/7 = 0.71 6/7 = 0.86 7/7 = 1.00
nk 790 1023 850 656 329 245 122 81
Pr(rk) = nk/n 0.19 0.25 0.21 0.16 0.08 0.06 0.03 0.02
Kita dapat menghitung peluang dari brightness value dengan membaginya dengan jumlah total piksel pada citra (n = 4096). Peluang dari piksel dengan brightness value 0 pada citra didekatkan ke 19% ((nk/n) = 790/4096) = 0.19) (Jensen,1986).
21
Gambar 2.2 adalah histogram citra semula sebelum perataan Histogram Citra Sebelum Perataan
Pr(sk) = nk/n (/10)
30 25 20 15 10 5 0 0/7 = 1/7 = 2/7 = 3/7 = 4/7 = 5/7 = 6/7 = 7/7 = 0.00 0.14 0.29 0.43 0.57 0.71 0.86 1.00 rk
Gambar 2.2. Histogram Citra Semula Sebelum Perataan
Perhitungan Perataan histogram untuk mencari nilai
derajat keabuan yang baru (sk)
menggunakan persamaan 2.14 menghasilkan nilai derajat keabuan hasil transformasi sebagai berikut: s0 = T(r0) = Pr(r0) = 0.19 s1 = T(r0) = Pr(r0) + Pr(r1) = 0.19 + 0.25 = 0.44 s2 = T(r0) = Pr(r0) + Pr(r1) + Pr(r2) = 0.19 + 0.25 + 0.21 = 0.65 dan seterusnya diperoleh: s3 = 0.81 s4 = 0.89 s5 = 0.95 s6 = 0.98 s7 = 1.00 Karena pada citra ini hanya ada 8 nilai intensitas, maka nilai-nilai sk harus dibulatkan ke nilainilai r yang terdekat:
22
s0 = 0.19 lebih dekat ke nilai 1/7(=0.14), maka s0 = 1/7 s1 = 0.44 lebih dekat ke nilai 3/7(=0.43), maka s1 = 3/7 s2 = 0.65lebih dekat ke nilai 5/7 (=0.71), maka s2 = 5/7 s3 = 0.81 lebih dekat ke nilai 6/7 (=0.86), maka s3 = 6/7 s4 = 0.89 lebih dekat ke nilai 6/7 (=0.86), maka s4 = 6/7 s5 = 0.95lebih dekat ke nilai 7/7 (=1.00), maka s5 = 7/7 s6 = 0.98 lebih dekat ke nilai 7/7 (=1.00), maka s6 = 7/7 s7 = 1.00lebih dekat ke nilai 7/7 (= 1.00), maka s7 7/7 Selanjutnya, hasil transformasi derajat keabuan dapat dilihat pada table 2.2
Tabel 2.2. Hasil transformasi nilai intensitas k 0 1 2 3 4 5 6 7
Rk 0/7 = 0.00 1/7 = 0.14 2/7 = 0.29 3/7 = 0.29 4/7 = 0.57 5/7 = 0.71 6/7 = 0.86 7/7 = 1.00
Sk 1/7 = 0.14 3/7 = 0.29 5/7 = 0.71 6/7 = 0.86 6/7 = 0.86 7/7 = 1.00 7/7 = 1.00 7/7 = 1.00
Terlihat pada table 2.2, hanya lima nilai intensitas yang terisi (1/7, 3/7, 5/7, 6/7, dan 1). Notasi untuk tiap hasil transformasi didefinisi ulang menjadi: s0 = 1/7, s1 = 3/7, s2 =5/7, s3 =6/7, s4 = 1 Karena r0 = 0 dipetakan ke s0 = 1/7, terdapat 790 piksel hasil transformasi yang memiliki nilai intensitas1/7. Selanjutnyas1 = 3/7 memiliki 1023 piksel, s2 = 5/7 memiliki 850 piksel. Juga, karena r3 dan r4 dipetakan ke nilai yang sama, s3 = 6/7, maka jumlah piksel yang bernilai 6/7 adalah 656 + 329 = 985. Sebaran derajat keabuan dan jumlah piksel hasil transformasinya diringkas pada tabel 2.3: Tabel 2.3. Jumlah piksel hasil transformasi Sk 1/7 = 0.14 3/7 = 0.29 5/7 = 0.71 6/7 = 0.86 7/7 = 1.00
nk 790 1023 850 656 +329 =985 245 + 122 + 81 = 448
Ps(sk) = nk/n 0.19 0.25 0.21 0.23 0.11
23
Histogram citra hasil perataan dapat dilihat pada gambar 2.3
Histogram Citra Hasil Perataan
Ps(sk) = nk /n (/10)
30 25 20 15 10 5 0 1/7 = 0.14
3/7 = 0.29
5/7 = 0.71
6/7 = 0.86
7/7 = 1.00
sk
Gambar 2.3. Histogram Citra Hasil Perataan
Sebagai ilustrasi, secara visual dapat dilihat perbandingan foto berukuran 10X10 piksel sebelum dan setelah
proses ekualisasi lengkap dengan BV dan histogramnya seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.4, Gambar 2.5, Gambar 2.6, dan Gambar 2.7.
foto sebelum ekualisasi
foto setelah ekualisasi
24
Gambar 2.4. Perbandingan foto sebelum setelah ekualisasi
histogram foto sebelum ekualisasi
histogram foto setelah ekualisasi
Gambar 2.5. Perbandingan histogram foto sebelum setelah ekualisasi
99
99
102
101
101
100
103
105
102
97
95
96
99
97
99
97
93
94
100
99
101
105
108
117
117
125
137
139
131
127
179
183
153
148
145
144
140
155
65
47
115
95
104
100
101
87
102
138
71
54
98
80
87
135
159
144
145
136
69
47
54
34
35
97
120
119
108
131
72
73
69
59
43
35
36
58
84
130
70
77
199
208
207
206
204
172
117
114
27
13
249
249
249
249
249
245
190
98
24
43
Gambar 2.6. Brightness Value Sebelum Ekualisasi
25
101
101
130
121
121
113
138
142
130
85
77
81
101
85
101
85
69
73
113
101
121
142
150
158
158
170
190
194
178
174
223
223
210
210
206
198
194
215
36
24
154
77
138
113
121
65
130
190
49
28
93
61
65
182
219
198
206
186
40
24
28
8
12
85
166
166
150
178
53
53
40
36
20
12
16
32
61
174
45
57
231
239
239
235
231
219
158
154
4
0
251
251
251
251
251
243
227
93
0
20
Gambar 2.7. Brightness Value Setelah Ekualisasi
26