BAB II DASAR TEORI II.1
Pengolahan Citra
II.1.1 Citra Sebuah citra yang didefinisikan di dunia nyata dipetakan sebagai sebuah fungsi terhadap intensitas cahaya terhadap bidang dwimatra. Sebagai contoh fungsi f(x,y) dengan f sebagai suatu amplitudo dari citra tersebut pada koordinat nyata (x,y), di mana amplitudo tersebut dapat berupa intensitas cahaya. Suatu citra dihasilkan dari adanya pemantulan cahaya dari suatu objek yang ditangkap oleh alat-alat optik. Suatu citra mungkin mempunyai sub-citra yang sering disebut sebagai region-of-interest (ROIs). Hal ini merefleksikan kenyataan bahwa suatu citra seringkali memiliki suatu koleksi objek yang dapat menjadi suatu region tersendiri. Untuk dapat ditampilkan dan diproses dalam komputer, sebuah citra harus menjadi bentuk numerik dengan nilai diskrit. Pengubahan sebuah keadaan nyata analog a(x,y) dalam 2D kontinu menjadi citra digital a[m,n] dideskripsikan dalam sebuah 2D diskrit yang berasal dari sebuah melalui proses sampling disebut dengan metoda digitasi. Citra digital biasanya dinyatakan dengan bentuk matriks N x M dengan N kolom dan M baris. Sebuah citra dengan matriks N x M dan dengan derajat keabuan L dapat dianggap sebagai sebuah fungsi berikut [15]: ⎧0 ≤ x ≤ M ⎪ f ( x, y )⎨ 0 ≤ y ≤ N ......................................... (II.1) ⎪0 ≤ f ≤ L ⎩
Sehingga matriks suatu citra dengan N kolom dan M baris dapat dinyatakan sebagai suatu matriks seperti pada ilustrasi fungsi di bawah. Derajat keabuan pada sebuah titik koordinat lokasi pada citra (i,j) di mana i merupakan indeks baris dan j merupakan indeks kolom dinyatakan dengan f(i,j). Setiap titik koordinat citra
6
tersebut dinamakan image element, atau picture element atau yang lebih dikenal dengan pixel. Dengan kata lain, sebuah citra dengan ukuran N x M mempunyai NM buah piksel. f (0,0) f (1,0) f ( x, y ) = M f ( N − 1,0)
f (0,1) L f (1,1) L M M f ( N − 1,1) L
f (0, M − 1) f (1, M − 1) ........... (II.2) M f ( N − 1, M − 1)
II.1.2 Sampling Sampling dan kuantitasi adalah salah satu kunci dari pengolahan citra. Citra dua dimensi dapat di tampilkan sebagai suatu sistem yang deterministic, di mana sebuah citra analog yang bersifat berkesinambungan merepresentasikan intensitas atau luminansi pada setiap titik dari citra di-sample-kan sebagai suatu fungsi dirac-Delta yang tak terbatas. Citra berkesinambungan tersebut dilakukan sampling menjadi grid-grid. Sampling berarti menghilangkan informasi suatu citra kontinu kecuali terdapat pada grid. Struktur grid tersebut dapat bermacam-macam beberapa di antaranya berbentuk segi empat dan segi enam. Elemen-elemen pada setiap grid tersebut menyatakan rata-rata intensitas cahaya pada setiap area citra yang direpresentasikan oleh piksel [1].
Gambar II-3. Sampling citra [1]
Gambar II-3 memperlihatkan efek perbedaan sampling pada suatu citra, masingmasing 256x256, 128x128, 64x64, 32x32 dan 16x16 piksel. Karena tiap-tiap citra tersebut ditampilkan pada area yang sama besar (yaitu 256x156 piksel) sedangkan memiliki resolusi yang berbeda-beda, maka piksel-piksel citra dengan resolusi
7
yang rendah diduplikasi untuk mengisi seluruh tampilan. Hal ini menghasilkan tampilan seperti blok-blok yang dapat diamati pada citra beresolusi rendah pada umumnya.
Gambar II-4. Hasil Sampling Citra [1]
II.1.3 Kuantitasi Konversi dari sebuah titik berkesinambungan dalam citra di dunia nyata menjadi sebuah nilai intensitas diskrit disebut proses kuantitasi [1]. Kuantitasi melibatkan penentuan pemberian nilai kepada setiap titik dalam citra digital berdasarkan rekonstruksi dunia nyata, sedemikian rupa sehingga nilai tersebut berkualitas baik dan eror yang dihasilkan dari proses kuantitasi sedikit. Proses kuantitasi membagi skala keabuan (0, L) menjadi G buah level yang biasanya dinyatakan dalam perpangkatan dari 2 dari bilangan bulat positif [11]:
G = 2m Pengodean seperti ini seringkali dikenal dengan nama pulse code modulation (PCM), di mana G melambangkan derajat keabuan dan nilai m adalah suatu bilangan bulat positif. Penentuan nilai G dipilih sedemikian rupa sehingga kualitas citra dapat dirasakan dengan baik bagi mata seseorang yang melihatnya [4]. Mata seseorang dapat membedakan hanya sekitar 15 tingkat keabuan, dan akan lebih
8
sensitif
pada tingkat keabuan yang ditampilkan bersebelahan dengan tingkat
keabuan yang berbeda. Sebuah citra seringkali diasosiasikan dengan kedalaman pikselnya
(piksel
depth),
yaitu
jumlah
bit
yang
diperlukan
untuk
merepresentasikan nilai keabuan piksel tersebut. II.1.4 Histogram Histogram menggunakan suatu grafik batang untuk menggambarkan tingkat kerapatan suatu warna pada suatu grey level. Sebuah contoh histogram yang sederhana ditunjukkan pada Gambar II-5. Sumbu horizontal menunjukkan nilai warna keabu-abuan pada suatu citra. Nilai ini dimulai dari nol hingga suatu tingkat keabu-abuan tertentu (pada contoh ini adalah 256). Setiap grafik batang vertikal yang digambarkan tersebut merepresentasikan banyaknya suatu warna tersebut yang terdapat pada citra.
(a)
(b)
Gambar II-5. Histogram, (a) citra dengan pemindaian yang buruk, (b) citra dengan pemindaian yang baik [16]
Suatu histogram juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah suatu citra dipindai dengan baik atau tidak. Pada Gambar II-5 (a) menunjukkan suatu histogram dari sebuah citra yang dipindai dengan cukup buruk. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengumpulan konsentrasi pada tingkat warna tertentu
9
pada akhir histogram yang merupakan suatu warna yang cenderung gelap. Adanya pengelompokan pada histogram ini menunjukkan bahwa citra tersebut memiliki kontras yang lemah atau pemindaian yang kurang benar. Suatu histogram juga dapat digunakan untuk membantu memilih thresholds untuk pendeteksian objek [16]. Suatu objek di dalam suatu citra biasanya memiliki tingkat keabu-abuan yang mirip. Sebagai contoh suatu citra dari sebuah rumah bata, semua bata dalam rumah tersebut cenderung memiliki tingkat keabu-abuan yang hampir sama. Atap dari rumah tersebut juga akan memiliki tingkat keabuan yang hampir sama juga namun berbeda dengan tingkat keabuan dari bata. Pada Gambar II-5 (b) menunjukkan suatu citra dengan histogramnya. Tingkat keabuan pada histogram tersebut tersebar merata hampir pada tiap-tiap skala, hal ini menunjukkan bahwa citra tersebut dipindai dengan tingkat kontras yang baik. Berbeda dengan objek yang dipindai dengan kontras yang kurang baik, objek yang gelap dan yang terang akan memiliki tingkat keabuan yang sama dan menjadi satu kelompok. Pada citra dengan tipe ini, mata manusia akan kesulitan untuk mengenali dua objek tersebut, dan operasi pengolahan citra pada citra ini juga tidak akan optimal.
II.2
Warna
Warna adalah suatu informasi visual yang penting. Suatu sinar dipantulkan dari sebuah objek diserap oleh sel kerucut dari sistem penginderaan yang mengakibatkan suatu persepsi terhadap warna benda tersebut. Sebagai contoh suatu benda dapat berwarna biru disebabkan oleh benda tersebut memantulkan cahaya biru (panjang gelombang 430 nm) yang kemudian diterima oleh mata kita. Terdapat tiga macam sel kerucut yang menerima rangsangan warna. Cahaya yang dipantulkan oleh suatu benda tersebut diterima oleh ketiga sel kerucut dengan penyerapan panjang gelombang yang berbeda-beda. Interpretasi dari penyerapan sel ini adalah dasar dari persepsi warna yang dilihat oleh manusia. Jadi warna adalah representasi persepsi dari permukaan suatu objek. Informasi suatu warna
10
dalam citra adalah informasi yang penting yang telah sukses digunakan dalam aplikasi pengolahan citra seperti pendeteksian objek, perbandingan citra, dll. II.2.1 Persepsi Warna Mata manusia sensitif terhadap radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang antara 400nm(violet) hingga 770nm(merah) [4]. Jarak kepekaan ini hanyalah sebagian
kecil
dari
keseluruhan
panjang
gelombang
dari
spektrum
elektromagnetik. Beberapa mesin optik saat ini bahkan telah dapat menangkap panjang gelombang yang lebih luas, yaitu 780nm hingga 1400nm pada nearinfrared, 1400nm hingga 3300nm pada mid-infrared, 3 hingga 10pm pada farinfrared dan juga 100nm hingga 380 pada sinar ultraviolet. Hal ini dimungkinkan karena
kemampuan
dari
sensor spesial
yang
mampu
merespons
dan
menginterpretasikan sinyal-sinyal tersebut.
Gambar II-6. Gelombang Cahaya Tampak
Suatu citra berwarna dapat direpresentasikan sebagai suatu fungsi C(z, y, t, λ). Di mana fungsi tersebut merupakan suatu fungsi terhadap lokasi titik (z, y), suatu panjang gelombang λ dari cahaya yang dipantulkan, dan juga pada suatu saat tertentu pada dunia nyata. Ketika suatu citra ditangkap pada panjang gelombang λ yang tetap, citra tersebut dinamakan citra monokromatik. Keberadaan dari tiga fungsi sensitivitas spektrum VR(λ), VG(λ), dan VB(λ) menyediakan dasar dari penglihatan akan warna. Penelitian menyebutkan bahwa kombinasi warna yang dapat memberikan rentang warna yang paling lebar adalah red (R), green (G), dan blue (B), yang sering disebut sebagai warna pokok. Sesuai dengan teori Young (1802) yang menyatakan bahwa sembarang warna dapat dihasilkan dengan mencampurkan warna-warna pokok C1, C2, dan C3 dengan persentase tertentu [15]. Faktanya, cahaya monokromatik
pada panjang
gelombang 430, 530, dan 560nm di mana mata kita berespons paling tinggi
11
bukanlah tepat biru, hijau dan merah, dan beberapa peneliti lebih sering menggunakan kata-kata short-, medium-, long-wavelength dibanding R, G, dan B. Suatu objek pada dunia nyata yang ditangkap oleh mata manusia ataupun alat optik lainnya dikarakteristikkan dengan cahaya itu sendiri R(λ, x, y, t), di mana λ adalah panjang gelombang dari radiasi elektromagnetik pada titik (x, y) dan pada waktu t. terdapat sebuah hubungan langsung antara rangsangan fisik dari suatu objek, contohnya luminansi dari monitor, dan persepsi manusia. Hubungan tersebut pertama kali dirumuskan dengan Weber dengan hukumnya yang menyebutkan bahwa: WL = k .................................................. (II.3) L
di mana WL adalah just noticeable difference dalam brightness atau luminance yang dibutuhkan untuk mendapatkan perbedaan antara L dan L+WL. Nilai k adalah variabel konstan dengan nilai 0.015. Dalam formula tersebut terlihat jelas bahwa ketika brightness L meningkat, maka WL pun akan meningkat, agar nilai k tetap konstan. Hal ini berarti untuk suatu nilai luminansi L yang besar, dibutuhkan suatu peningkatan nilai WL yang cukup besar juga agar dapat membedakan dua buah objek dengan luminansi L dan L+WL. Just noticeable difference, bagaimanapun juga, akan lebih kecil pada luminansi yang lebih kecil. Investigasi secara eksperimental membuktikan bahwa hubungan antara pengamat dan luminansi tidak terjalin secara linear, dan hukum Weber di atas hanya berlaku untuk luminansi sedang, bukan untuk yang sangat rendah atau sangat tinggi. Hasil dari percobaan tersebut adalah formula B α log L dengan B adalah brightness dan L adalah luminance.
II.3
Permodelan Warna
Beberapa permodelan warna telah ditawarkan dan tiap-tiap permodelan tersebut memiliki sistem koordinat warna yang spesifik dan setiap titik pada domain permodelan warna tersebut hanya merepresentasikan satu warna yang spesifik [1]. Setiap permodelan warna memiliki kelebihan dan kelemahan yang berbeda-beda, sehingga suatu permodelan akan lebih berguna pada suatu spesifik kasus tertentu. Permodelan citra berwarna secara umum direpresentasikan oleh red, green, blue, 12
yang biasanya dikenal dengan permodelan RGB. Permodelan ini berguna untuk aplikasi monitor, dan kamera video. Beberapa permodelan domain warna yang umum digunakan selain RGB adalah XYZ, CMYK, HSV, HIS dan LUV. II.3.1 RGB Permodelan warna RGB adalah permodelan yang paling sering digunakan dalam monitor dan kamera digital. Permodelan ini menggunakan tiga buah warna dasar yaitu merah, hijau, dan biru (Red, Green, dan Blue) sebagai warna pembentuk berbagai macam warna yang lainnya. Tiga warna tersebut dipilih berdasarkan penelitian sebelumnya, bahwa warna-warna yang dapat ditangkap oleh mata manusia adalah hasil perpaduan dari cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda-beda. Dari penelitian juga telah didapatkan bahwa kombinasi warna yang dapat memberikan rentang warna yang paling luas adalah perpaduan warna merah, hijau, dan biru. Hal ini sesuai dengan teori Young (1982) yang menyatakan bahwa berbagai macam warna dapat dihasilkan dari percampuran warna-warna pokok C1, C2, dan C3 dengan persentase tertentu [15]: C = aC1 + bC 2 + cC3 ................................................................... II.4 Permodelan warna dengan mencampurkan tiga warna pokok tidak hanya permodelan RGB namun terdapat satu permodelan lagi yang disebut CMYK.
Gambar II-7. Permodelan RGB [6]
II.3.2 CMYK CMYK adalah permodelan warna yang disusun berdasarkan warna cyan (C), magenta (M), yellow (Y), dan key (K) yang biasanya adalah warna hitam. Permodelan ini biasanya digunakan untuk mesin pencetak termasuk printer atau copier. Permodelan warna ini mirip dengan permodelan RGB, karena sebenarnya
13
CMY adalah warna-warna primer dilihat dari sisi yang berbeda. Oleh sebab itu, konversi dari permodelan CMYK menjadi RGB dapat dilakukan dengan: ⎡ C ⎤ ⎡1⎤ ⎡ R ⎤ ⎢ M ⎥ = ⎢1⎥ − ⎢G ⎥ ........................................... (II.5) ⎢ ⎥ ⎢⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ Y ⎥⎦ ⎢⎣1⎥⎦ ⎢⎣ B ⎥⎦
di mana R, G, B merepresentasikan nilai warna dengan rentang 0 hingga 1. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa warna cyan tidak mengandung warna merah, atau benda dengan warna magenta tidak mengandung warna hijau sama sekali. Perbedaan utama dari RGB dan CMYK adalah pada warna pokok additive atau subtractive. Itulah sebabnya biasanya penggunaan permodelan RGB adalah pada layar monitor atau kamera, sedangkan permodelan CMYK biasanya digunakan pada aplikasi percetakkan.
Gambar II-8. Warna Additive dan Subtractive [6]
II.3.3 HSV/HSL/HSI HSL atau HSI adalah satu permodelan warna, di mana warna diformulasikan menurut apa yang diterima oleh mata manusia. HSI atau HSV adalah kependekan dari hue (H), saturation (S) dan intensity (I) (atau value V). Hue adalah suatu atribut atau sifat dari cahaya. Juga dapat dikatakan sebagai sifat suatu permukaan yang memantulkan atau memancarkan cahaya. Sebagai contoh, benda berwarna biru memantulkan hue biru. Hue juga menggambarkan persepsi penglihatan manusia terhadap warna. Suatu hue di mana sangat esensial untuk persepsi manusia terhadap warna, dapat dibagi menjadi hue kuat dan hue lemah. Kekuatan dan kelemahan hue ini dideskripsikan dengan saturation. Sebagai contoh suatu warna dari sumber cahaya
14
monochromatic, di mana menghasilkan warna dari satu hue saja, maka akan sangat dipengaruhi oleh saturation. Saturation adalah komponen untuk mendeskripsikan kekuatan warna atau kepudaran suatu warna (kemudaan yang mengarah pada warna putih) dari warna yang diterima mata. Sedangkan lightness (L), atau intensity (I), atau value (V) digunakan untuk menyatakan kecerahan (brightness) dari suatu warna. Atribut ini adalah representasi jumlah, banyak sedikitnya, suatu cahaya dipantulkan atau dipancarkan dari suatu objek. Nilai ini sangat berpengaruh dalam membantu manusia melihat warna, karena suatu objek yang berwarna tidak akan terlihat berwarna pada ruangan yang gelap.
Gambar II-9. Permodelan HSV dan HLS [6]
II.4
Buta Warna
Mata manusia dapat melihat ketika sebuah cahaya pantulan dari suatu benda ditangkap dan disimulasikan pada retina (suatu membran saraf yang terdapat pada bagian belakang dalam mata). Retina tersebut terdiri dari suatu rangkaian Rods dan Cones. Rods, yang terletak pada permukaan retina, sangat peka terhadap intensitas cahaya dan berfungsi sangat baik pada malam, namun tidak dapat
15
membedakan warna. Cones, yang terletak pada tengah retina (disebut macula), tidak begitu peka pada malam, tapi membuat kita dapat mengenali warna pada saat siang hari.
Gambar II-10. Penampang mata beserta sel cone dan rod [12]
Penglihatan warna pada mata normal (disebut trichromat) sangat bergantung pada sel kerucut (Cones) retina yang mengandung tiga jenis photopigments yang memiliki tingkat kepekaan spektrum yang berbeda [2]. Sel kerucut tersebut, masing-masing memiliki pigmen cahaya yang sensitivitasnya berbeda terhadap suatu panjang gelombang tertentu (setiap warna yang terlihat oleh mata memiliki panjang gelombang yang berbeda antara 400 sampai 700 nm). Instruksi pembuatan sel kerucut ini terdapat dalam gen-gen tertentu, dan jika gen tersebut memuat instruksi yang salah maka sel kerucut tersebut akan peka terhadap panjang gelombang yang tidak semestinya, yang akhirnya mengakibatkan buta warna. Pada tahun 1911, dilakukan observasi terhadap penderita buta warna, dan dari observasi tersebut disimpulkan bahwa buta warna dipengaruhi oleh kromosom X pada manusia. Hal ini dilihat dari penurunan kelainan tersebut yaitu dari seorang ibu kepada anaknya. Itulah sebabnya buta warna lebih banyak diderita oleh pria, dan sangat sedikit diderita oleh wanita, karena wanita memiliki kromosom yang normal pada kromosom X yang kedua. Berbeda dengan pria yang hanya memiliki satu kromosom X.
16
Gambar II-11. Ilustrasi penurunan penyakit buta warna [9]
Kegagalan penglihatan terhadap suatu warna terjadi ketika satu atau lebih dari ketiga jenis sel kerucut tersebut tidak peka sebagaimana seharusnya, atau sensitivitasnya terganggu. Kegagalan penglihatan terhadap suatu warna yang lebih berat terjadi saat satu atau lebih dari ketiga jenis sel kerucut tersebut benar-benar hilang. Sekitar 2.4% dari pria dan sekitar 0.3% wanita di dunia terlahir sebagai penderita buta warna (lihat Tabel II-1). Persentase ini menggambarkan satu dari dua belas pria, dan satu dari dua ratus wanita di dunia terlahir sebagai penderita buta warna dan 99% dari penderita buta warna adalah protan dan deutan.
Tabel II-1. Jenis Buta warna beserta presentase populasinya [18][19]
Jenis
Pria
Wanita
Monochromacy
-
-
Rod monochromacy (no cones)
0.00001%
0.00001%
Dichromacy
2.4%
0.03%
Protanopia (L-cone absent)
1% to 1.3% 0.02%
17
Deuteranopia (M-cone absent)
1% to 1.2% 0.01%
Tritanopia (S-cone absent)
0.001%
0.03%
Anomalous Trichromacy
6.3%
0.37%
Protanomaly (L-cone defect)
1.3%
0.02%
Deuteranomaly (M-cone defect) 5.0%
0.35%
Tritanomaly (S-cone defect)
0.0001%
0.0001%
Banyak orang berpikir bahwa semua penderita buta warna hanya dapat melihat hitam dan putih layaknya menonton televisi hitam putih. Ini adalah suatu pandangan salah dan tidak benar. Memang ada suatu jenis buta warna yang hanya dapat membedakan hitam dan putih (Monochromacy), namun ini adalah jenis yang sangat sedikit ditemukan, atau sekitar 0.00001%. Jenis buta warna yang paling banyak ditemukan dapat melihat warna lebih banyak daripada sekedar hitam dan putih saja. Untuk memperjelas pengertian tentang buta warna, kita dapat menggunakan yang dinamakan dengan confusion lines. Confusion lines adalah suatu garis pada skema warna CIE yang dibentuk dari warna-warna yang terlihat identik oleh penderita buta warna. Garis-garis tersebut ditemukan berpotongan di satu titik yang sering disebut co-punctal point. Pada jenis buta warna yang berbeda, akan ditemukan copunctal point yang berbeda-beda. Dengan garis tersebut maka akan lebih dimengerti macam-macam warna yang sulit untuk dibedakan oleh penderita buta warna. Penggambaran confusion lines dan co-punctal point dapat dilihat pada Gambar II-12. Pada tahun 1855, J. C. Maxwell mengatakan “Carilah dua warna di mana penderita buta warna tidak dapat membedakannya. Lalu tandai warna-warna tersebut pada CIE diagram dan buatlah garis melalui kedua tanda tersebut. Garis ini akan menghubungkan semua warna di mana seorang penderita buta warna tidak dapat membedakannya. Kamu kemudian akan menemukan garis-garis lainnya dan garis-garis tersebut akan sejajar atau akan berpotongan pada satu titik” [13]. Pada tahun 1953 F. H. G. Pitt melakukan penelitian lebih lanjut terhadap confusion lines dan mendapati titik perpotongan (co-punctal point) untuk 18
protanopia dan deuteranopia. Sedangkan pada tahun 1955 D. Farnsworth dan L. C. Thompson melengkapi titik perpotongan tersebut untuk tritanopia [13]. II.4.1 Protanomaly Protanomaly dapat dikategorikan sebagai “red-weak”, yaitu lemah penglihatan terhadap warna merah. Hal ini disebabkan karena sel kerucut yang peka terhadap panjang gelombang yang panjang (disebut juga L, atau sel kerucut merah) yang sensitivitasnya berkurang dan mengalami kemiripan dengan panjang gelombang menengah (disebut juga M, atau sel kerucut hijau). Semua warna kemerahan yang terlihat pada mata normal akan terlihat lebih lemah pada protanomalous, baik secara saturation maupun brightness. Warna-warna seperti merah, oranye, kuning akan terlihat menjadi kehijau-hijauan dan terlihat lebih pucat dibandingkan yang terlihat oleh mata normal[3]. Pada beberapa keadaan tertentu dengan kondisi cahaya yang kurang mendukung, akan sangat mudah bagi protanomalous untuk mendapatkan persepsi yang salah terhadap lampu merah pada lampu lalu-lintas dan lampu kuningnya, atau lampu hijau pada lampu lalu lintas dengan beberapa lampu “putih” (dengan kadar putih tertentu) pada pertokoan [3]. II.4.2 Deuteranomaly Penderita deuteranomaly (deuteranomalous) dikategorikan sebagai “green-weak”. Mirip dengan penderita protanomaly, orang dengan protanomaly akan lebih sulit untuk mengenali oranye, kuning dan hijau, yang akan terlihat lebih kemerahmerahan. Hal ini disebabkan karena sel kerucut yang peka terhadap panjang gelombang yang menengah (disebut juga M, atau sel kerucut hijau) yang sensitivitasnya tidak berlaku semestinya dan mengalami kemiripan dengan panjang gelombang panjang (disebut juga L, atau sel kerucut merah). Perbedaan antara protanomaly dan deuteranomaly adalah bahwa deuteranomaly tidak mengalami masalah “brightness”. Dalam kehidupan sehari-hari penderita protanomaly dan deuteranomaly mengerjakan kegiatan yang membutuhkan persepsi warna tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Beberapa dari mereka bahkan tidak menyadari adanya 19
kesalahan pada penglihatan mereka dan merasa penglihatannya normal. Permasalahan mereka hanya pada ketidakmampuan mereka dalam mengisi pada pengujian buta warna. II.4.3 Dichromacy Penderita dichromacy (disebut dichromat) biasanya mengetahui bahwa mereka memiliki masalah dalam penglihatannya dan dapat berdampak pada perilaku sehari-hari. Penderita ini tidak melihat perbedaan yang mencolok pada warna merah, oranye, kuning, dan hijau. Semua warna tersebut yang terlihat sangat berbeda pada mata normal akan terlihat serupa pada penderita dichromacy. II.4.4 Protanopia Penglihatan penderita protanopia (protanope) terhadap warna merah, oranye, dan kuning cenderung lebih redup (brightness melemah) jika dibandingkan oleh mata orang normal. Keredupan ini dapat diartikan bahwa untuk warna merah tua jika dilihat oleh penderita protanopia akan terlihat seperti warna hitam atau abu-abu tua. Penderita protanopia cenderung membedakan warna merah, kuning, dan hijau berdasarkan kekuatan brightness-nya atau pencahayaannya dan bukan pada perbedaan hue-nya. Warna-warna seperti violet, lavender, dan ungu sangat sulit dibedakan dari warna biru dengan kadar tertentu karena komponen kemerahannya hilang. Sebagai contoh suatu bunga violet yang memantulkan perpaduan warna merah dan biru akan tampak seperti biru saja bagi penderita protanopia. Seperti telah dikatakan sebelumnya, bahwa setiap jenis buta warna yang berbeda memiliki co-punctal poin yang berbeda juga. Protanopia memiliki co-punctal point pada titik 0.7465, 0.2535 (Gambar II-12). Perbandingannya dengan mata normal, jika mata normal dapat melihat sekitar 150 gelombang warna, maka protanopia hanya dapat melihat sekitar 17 gelombang saja [3]. II.4.5 Deuteranopia Sama halnya seperti protanope, penderita deuteranopia (deuteranope) memiliki diskriminasi hue pada penglihatannya dibandingkan dengan mata normal (trichromat). Penderita deuteranopia akan merasakan warna-warna seperti merah, 20
oranye, kuning dan hijau terlihat mirip. Hal ini sama halnya seperti warna violet, lavender, ungu, dan biru akan terasa sangat banyak nama bagi suatu warna yang terlihat memiliki hue yang sama. Deuteranopia memiliki titik perpotongan pada koordinat 1.4, -0.4 (Gambar II-12). Dengan titik perpotongan yang terletak cukup jauh diluar CIE diagram, maka dapat dikatakan penderita deuteranopia memiliki penglihatan yang sedikit lebih baik dibandingkan protanopia, yaitu sekitar 27 gelombang warna dari 150 gelombang warna yang dapat dilihat oleh mata orang normal [14]. II.4.6 Tritanopia Buta warna jenis ini seringkali disebut buta warna biru-kuning (blue-yellow colour-blind). Namun sebutan ini sebenarnya tidak terlalu tepat, karena sesungguhnya penderita buta warna jenis tritanopia lebih cenderung tidak dapat membedakan antara warna biru dengan hijau, dan kuning dengan violet [3]. Titik perpotongan tritanopia berada pada titik ujung warna biru pada diagram CIE yaitu pada titik 0.0, 0.18 yang mengakibatkan buta warna jenis ini memiliki penglihatan yang sangat berbeda dibandingkan dengan protanope dan deuteranope yang memiliki titik potong yang hampir sama. Dan dengan posisi titik potong seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa buta warna jenis ini hanya memiliki penglihatan warna yang lebih sedikit dibandingkan dengan jenis yang lain.
II.5
Simulasi Buta Warna
Beberapa pendekatan telah dilakukan untuk menyimulasikan penglihatan buta warna (dichromat) dengan menggunakan pengolahan citra, beberapa di antaranya adalah Hans Brettel, Wachtler, dan Vischeck. Ketiga simulasi yang ditawarkan tersebut menggunakan LMS Cones sebagai basis perhitungannya. Namun begitu mereka memiliki metoda perhitungan simulasi yang berbeda-beda. Dengan melakukan perhitungan jumlah tiap jenis sel kerucut, diharapkan mereka dapat melakukan simulasi perhitungan gelombang warna yang ditangkap oleh mata.
21
(a)
(b)
(c) Gambar II-12. (a) Co-punctal point untuk protanopia, (b) Co-punctal point untuk deuteranopia, dan (c) Co-punctal point untuk tritanopia [14]
Perhitungan simulasi ini diawali dengan mengubah permodelan RGB menjadi LMS
terlebih
dahulu
melalui
perbandingan antara S/L dengan
perkalian
matriks.
Kemudian
dilakukan
konstanta inflection yang akan menentukan
suatu warna berubah menjadi suatu warna yang lainnya. Hasil perhitungan dalam LMS tersebut kemudian diubah kembali menjadi RGB dengan perkalian matrik. Selain menggunakan LMS sebagai dasar perhitungan skala RGB, metoda lain yang ditawarkan untuk dapat menyimulasikan penglihatan buta warna adalah dengan menggunakan confusion lines sebagai pedoman memilih warna-warna yang tampak serupa bagi penderita buta warna. 22
L M S
Perhitungan
R
0.05059983 0.08585369 0.00952420
= G ∗ 0.01893033 0.08925308 0.01370054 ......... (II.6) B 0.00292202 0.00975732 0.07145979 30.830854 − 29.832659
1.610474
R
L
G
= M
∗ - 6.481468
17.715578
− 2.532642
B
S
− 0.375690
− 1.199062
14.273846
simulasi
dengan
confusion
lines
ini
......... (II.7)
dilakukan
dengan
mentransformasi dahulu permodelan warna RGB menjadi permodelan warna XYZ. Dengan begitu suatu warna dapat ditransformasi lebih lanjut ke dalam diagram chromacity (x,y). Untuk setiap titik chromacity A(x, y) pada diagram chromacity, akan ditemukan suatu titik A’(x’, y’), yang merupakan warna yang dilihat oleh penderita buta warna, dengan cara memotongkan confusion lines yang melewati titik A dengan kurva hue.
(a)
(b)
(c) Gambar II-13. Confusion Lines untuk (a) protanopia, (b) deuteranopia dan (c) tritanopia [2]
23