BAB 17 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NON-MIGAS Salah satu sebab utama dari lambatnya pemulihan ekonomi sejak krisis 1997 adalah buruknya kinerja investasi akibat sejumlah permasalahan yang mengganggu pada setiap tahapan penyelenggaraannya. Keadaan tersebut menyebabkan lesunya kegairahan melakukan investasi, baik untuk perluasan usaha yang telah ada maupun untuk investasi baru. Masalah ini akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian yang selama ini lebih didorong oleh pertumbuhan konsumsi ketimbang investasi atau ekspor. Rendahnya investasi dalam beberapa tahun terakhir sejak krisis ekonomi juga telah mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar dalam maupun luar negeri. Situasi di atas diperparah dengan masih belum efisiennya fasilitasi perdagangan nasional yang berkaitan dengan aktivitas ekspor-impor. Fasilitasi perdagangan, menurut catatan UNCTAD 2002, dapat menghemat sekitar seperempat dari volume perdagangan dunia pada tahun 2000. Nilai penghematan tersebut mencapai sekitar US$ 100 miliar (sekitar 2 persen dari nilai impor seluruh dunia). Biaya fasilitasi perdagangan meliputi seluruh komponen biaya transaksi langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi kegiatan ekspor-impor (termasuk biaya untuk urusan perbankan dan asuransi, informasi bisnis, urusan bea-cukai, biaya transportasi, dan administrasi pengadaan barang sesuai aturan pemerintah). Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, efisiensi fasilitasi perdagangan nasional relatif rendah sehingga memperburuk posisi daya saing produk ekspor nasional.
A. PERMASALAHAN Dalam tahun 1999–2003, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh ratarata 1,3 persen per tahun; jauh di bawah tahun 1991–1996 yang tumbuh rata-rata sekitar 10,6 persen per tahun. Dengan lambatnya pemulihan investasi, peranan investasi berupa pembentukan modal tetap bruto terhadap PDB menurun dari 29,6 persen pada tahun 1997 menjadi 19,7 persen pada tahun 2003. Dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis, secara riil tingkat investasi pada tahun 2003 baru mencapai sekitar 69 persen dari volume investasi 1997 (harga konstan 1993). Sampai dengan triwulan III/2004, pembentukan modal tetap bruto mulai tumbuh yaitu sebesar 11,3 persen. Meskipun demikian, peningkatannya masih sangat awal dan perlu didorong dengan mengatasi masalah-masalah pokok yang menghambat investasi. Pengembangan investasi ke depan menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan. Salah satunya adalah kecenderungan berkurangnya arus masuk investasi global melalui FDI sejak sebelum tahun 2000. Sementara itu, daya tarik investasi pada beberapa negara Asia Timur pesaing Indonesia seperti antara lain RRC, Vietnam, Thailand, dan Malaysia justru meningkat. Oleh karena itu, lambannya respon terhadap penciptaan lingkungan usaha yang kondusif serta terhadap kebutuhan penyederhanaan berbagai perangkat peraturan dan formulasi sistem insentif di bidang investasi dikhawatirkan berimplikasi jangka menengah-panjang untuk perkembangan ekonomi ke depan. Secara ringkas, permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan investasi adalah iklim investasi yang memburuk karena berbagai faktor sebagai berikut. Bagian IV.17 – 1
Prosedur perijinan investasi yang panjang dan mahal. Berdasarkan studi Bank Dunia pada tahun 2004, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, perijinan untuk memulai suatu usaha dari berbagai instansi baik pusat maupun daerah di Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama dengan 12 prosedur yang harus dilalui dengan waktu yang dibutuhkan selama 151 hari (sekitar 5 bulan) dan biaya yang diperlukan sebesar 131 persen dari per capita income (sekitar US$ 1.163). Sementara itu untuk memulai usaha di Malaysia hanya melalui 9 prosedur dengan waktu yang dibutuhkan hanya 30 hari dan biaya yang diperlukan hanya sekitar 25 persen dari per capita income (sekitar US$ 945). Adapun untuk memulai usaha di Filipina dan Thailand hanya membutuhkan waktu masing-masing selama 50 hari dan 33 hari dengan biaya masing-masing sebesar 20 persen (sekitar US$ 216) dan 7 persen (sekitar US$ 160) dari per capita income. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk penciptaan lapangan kerja. Rendahnya kepastian hukum. Ini tercermin antara lain dari berlarutnya perumusan RUU Penanaman Modal dan lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga. Rendahnya kepastian hukum juga tercermin dari banyaknya tumpang tindih kebijakan antar pusat dan daerah dan antar sektor. Belum mantapnya pelaksanaan program desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Disamping itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi. Suatu studi yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bekerjasama dengan The Asia Foundation tahun 2002 pada 134 kabupaten/kota di Indonesia menyatakan bahwa penerapan peraturan daerah (perda) pungutan lebih didorong oleh keinginan untuk menaikkan PAD secara berlebihan yang dikuatirkan dapat merugikan pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian menyatakan bahwa penerapan perda tentang pungutan (retribusi, pajak daerah, dan pungutan lainnya) kurang menunjang kegiatan usaha (proporsinya: 38,1 persen distortif, 47,8 persen bisa diterima, dan 14,2 persen menunjang). Berdasarkan penelitian LPEM UI Tahun 2003, pengeluaran perusahaan untuk biaya “tambahan atau pungutan liar” telah mencapai 11 persen dari biaya produksi. Lemahnya insentif investasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia relatif tertinggal dalam menyusun insentif investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia kurang memberi kelonggarankelonggaran perpajakan dalam upaya mendorong investasi. Kualitas SDM rendah dan terbatasnya infrastruktur. Kurang bergairahnya iklim investasi juga disebabkan oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side) dan kapasitas dari sistem dan jaringan infrastruktur karena sebagian besar dalam keadaan rusak akibat krisis. Pengembangan manufaktur yang belum berbasis pada kemampuan penguasaan teknologi dan masih relatif rendahnya kemampuan SDM tenaga kerjanya memiliki implikasi yang tidak ringan. Sementara itu, keterbatasan kapasitas infrastruktur berpengaruh pada peningkatan biaya distribusi yang pada gilirannya justru memperburuk daya saing produk-produknya. Di samping jaringan transportasi darat, satu contoh lain yang juga merupakan masalah kunci adalah bottleneck di pelabuhan-pelabuhan ekspor karena ketidakefisiensian pengelolaan pelabuhan dan urusan-urusan kepabeanan. Pembahasan bagian ini akan dielaborasi lebih lanjut di dalam Bab tersendiri.
Bagian IV.17 – 2
Tidak adanya kebijakan yang jelas untuk mendorong pengalihan teknologi dari PMA. Perkembangan globalisasi serta pesatnya kemajuan teknologi dan komunikasi membawa pengaruh besar di dalam liberalisasi investasi. Fenomena ini, menurut World Investment Report 2002 (WIR 2002) dimotori dan sangat didominasi oleh transnational corporations (TNCs) melalui terjadinya fragmentasi (internasionalisasi) produksi komponen dengan memperhitungkan keunggulan komparasi tingkat global. WIR 2002 menyebutkan bahwa pesatnya perkembangan dominasi TNCs dapat dicermati dari perkembangannya dalam foreign direct investment (FDI). Bila pada tahun 1990 jumlah modal yang ditanamkan sebesar USD 1,7 triliun (melibatkan 24 juta tenaga kerja di seluruh dunia), pada tahun 2001 jumlah modal yang ditanam meningkat empat kali lipat menjadi USD 6,6 triliun dan melibatkan pekerja 45 juta orang di seluruh dunia. Dengan kekuatannya dalam jaringan nilai tambah (value-added chain) dari mulai R & D sampai pada logistik dan pemasaran, aktivitas TNCs banyak mendominasi pola perdagangan global, terutama jaringan ekspor-impor (baik produk antara maupun final) dari dan ke negara-negara berkembang. Fenomena ini mengindikasikan perlunya rumusan strategi dan kebijakan investasi, terutama di negara-negara berkembang, yang menyesuaikan dan mengamati konstelasi global. Dalam kaitannya dengan peningkatan ekspor, perlunya merumuskan strategi dan kebijakan yang mempertimbangkan kehadiran TNCs sebagai FDI memiliki manfaat ganda. Pertama, TNCs memiliki jaringan logistik internasional yang kuat sehingga dapat mendorong peningkatan akses pasar ekspornya, dan kedua, TNCs merupakan sumber yang potensial bagi tranfer teknologi produksi yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan basis produksi dan daya saing industri manufaktur dalam negeri. Meskipun demikian, strategi dan kebijakan ekspor tersebut perlu pula mempertahankan keseimbangannya dengan kepentingan pembangunan nasional yang strategis. Dalam kaitan ini, strategi dan kebijakan pengembangan ekspor perlu diintegrasikan dengan pengembangan sistem jaringan perdagangan dalam negeri terutama terhadap produk-produk pertanian agar tercipta ketahanan ekonomi yang lebih kokoh. Sejak krisis 1997, kinerja ekspor nasional masih belum maksimal. Sampai dengan 2003, kondisinya masih relatif stagnan di saat gairah perdagangan dunia justru membaik. Pertumbuhan ekspor hanya sekitar 3 persen, jauh lebih kecil dibandingkan saat sebelum krisis yang sekitar 16 persen. Beberapa komoditi yang dulunya menjadi andalan seperti minyak kelapa sawit, furniture, dan sepatu, justru mengalami penurunan tingkat pertumbuhan paling besar. Meskipun terdapat perubahan komposisi karena mulai bermunculan ekspor dengan kandungan teknologi lebih tinggi, kontribusinya terhadap keseluruhan ekspor masih sangat kecil. Secara total pangsa ekspor Indonesia memang masih sedikit meningkat di pasar dunia (dari 0,81 persen menjadi 0,84 persen), namun pangsa ekspor 30 komoditi utama (di luar minyak dan gas bumi) justru menurun karena ketatnya persaingan dengan negara-negara Asia lain yang struktur ekspornya mirip seperti Cina, Korea, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Secara rinci, terdapat 8 (delapan) permasalahan pokok yang menyebabkan penurunan kinerja ekspor nasional, yaitu berkenaan dengan: Biaya ekonomi tinggi. Masih tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh dunia usaha secara langsung menurunkan daya saing produk ekspor. Banyak faktor penyebab yang antara lain adalah masih maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang; belum terjaminnya keamanan berusaha (belum berjalannya penegakkan hukum); kurang efektifnya peraturan pemerintah (tidak konsistennya antara peraturan yang ditetapkan dengan pelaksanaan di lapangan).
Bagian IV.17 – 3
Meningkatnya nilai tukar riil efektif rupiah. Nilai tukar rupiah secara nominal memang mengalami depresiasi bila dibandingkan pada masa sebelum krisis (tahun 1997), namun nilai tukar efektif riilnya mengalami penguatan sebesar 80% dibandingkan pada masa sebelum krisis. Penguatan tersebut terutama terjadi pada tahun 2002 dimana terjadi penguatan sebesar 21%. Nilai tukar efektif riil dibentuk oleh dua komponen yaitu nilai tukar nominal dan rasio harga relatif antara harga domestik dengan harga di negara mitra dagang. Meningkatnya nilai tukar efektif riil rupiah membuat produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal (kurang kompetitif) dibandingkan dengan produk yang sama dari negara pesaing. Masih besarnya ketergantungan pasar ekspor pada tiga negara utama, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Dominasinya mencapai sekitar 42 persen dari total ekspor nasional dan kondisinya praktis tidak berubah selama lebih dari 10 tahun. Hal ini tentu kurang menguntungkan bagi upaya menjaga kesinambungan ekspor nasional ke depan. Dengan penghapusan penuh kuota tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Amerika Serikat dan Eropa, menurut sekretariat WTO, pangsa pakaian jadi Indonesia di Amerika Serikat diperkirakan menurun dari 4 persen (USD 2.556,7 juta pada tahun 2003) menjadi 2 persen. Hal itu berarti nilai ekspor total akan memiliki potensi berkurang sekitar USD 1.280 juta (atau Rp.10,8 triliun) pertahun. Keragaman ekspor yang masih rendah. Dari data BPS 2003, kontribusi 20 produk ekspor terbesar di dalam total ekspor non-migas (SITC 3 digit) sekitar 60,8 persen. Dari jumlah tersebut, kontribusi dari ekspor produk manufaktur hanya sekitar 24 persen. Dari informasi yang sama dapat juga disimpulkan bahwa ketergantungan ekspor yang masih besar pada komoditi bernilai tambah rendah (ekspor non-manufaktur) yang umumnya memiliki elastisitas penggunaan rendah dan harganya cenderung sangat berfluktuatif. Meningkatnya hambatan non tarif. Setidaknya dalam satu dekade terakhir kecenderungan meningkatnya hambatan non tarif yang awalnya ditandai dengan isu lingkungan seperti ecolabelling dan perlindungan terhadap spesies hewan tertentu, serta isu pekerja anak pada produk-produk pertanian dan perikanan. Bahkan saat ini, dalam kerangka pelaksanaan Cargo Inspection Security, sejak serangan teroris WTC 2001, Amerika menerapkan war risk surcharge atas impornya dari Indonesia mulai Desember 2002 lalu. Muatan cargo 20 kaki dikenakan biaya 500 USD, sedangkan untuk cargo 40 kaki mencapai 1.000 USD. Sementara itu, untuk alasan yang serupa, kenaikan tarif per peti kemas ukuran 20-40 kaki tujuan negara-negara Eropa mencapai maksimal 600 dollar AS. Disamping itu, terdapat kecenderungan meningkatnya potensi kerugian eksport akibat pengenaan peraturan/standar yang menyebabkan ketidakberterimaan (rejection) bagi beberapa produk ekspor seperti Automatic Detention (HACCP) terhadap kakao (akibat terkontaminasi serangga & infeksi jamur) dan CPO serta Holding Order terhadap produk makanan dan minuman. Setidaknya potensi kerugian diperkirakan mencapai 250 juta USD per tahun. Belum optimalnya pemberian insentif dan fasilitasi, terutama kepada eksportir kecil dan menengah. Terbatasnya kemampuan SDM dan kecilnya akses mereka kepada informasi pasar dan sumber pembiayaan pada UKM ekspor masih tetap merupakan problema pokok UKM yang sangat memberatkan di dalam menghasilkan produk yang memenuhi kuantitas pemesanan dan kualitas yang konsisten dengan standar teknisnya. Keterbatasan dan menurunnya kualitas infrastruktur. Masalah infrastruktur juga menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor Indonesia. Keterbatasan dan rendahnya kualitas infrastruktur seperti jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, listrik dan jaringan komunikasi merupakan faktor utama penyebab tingginya biaya ekspor. Meskipun tarif pelabuhan di Indonesia relatif rendah, namun pengapalan kontainer dari Indonesia dilakukan melalui Singapura dan Malaysia. Hal ini disebabkan tingkat efisiensi pelabuhan di Indonesia relatif rendah. Bagian IV.17 – 4
Lemahnya sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional yang kurang mendukung peningkatan daya saing ekspor. Dewasa ini jaringan koleksi dan distribusi barang dan jasa perdagangan dalam negeri banyak mengalami hambatan karena belum terintegrasinya sistem perdagangan di tiga tingkatan pasar (pengumpul, eceran, dan grosir) serta maraknya berbagai pungutan dan peraturan di tingkat daerah akibat penyelenggaraan otonomi. Masalah ini menyebabkan berkurangnya daya saing produk dalam negeri untuk dimanfaatkan sebagai bahan antara (intermediate goods) karena kalah bersaing dengan produk impor sejenis dan berkurangnya daya saing produk yang langsung di ekspor. Masalah ini juga menyebabkan berkurangnya atau bahkan terbatasnya pilihan pemasaran para produsen ke dalam jaringan pasar dalam negeri yang dampaknya lebih jauh adalah kelesuan untuk peningkatan volume produksinya. Perbaikan dalam sistem koleksi dan distribusi (atau jaringan perdagangan dalam negeri), selain bermanfaat untuk peningkatan daya saing produk ekspor, juga akan meningkatkan ketahanan ekonomi karena mendorong integrasi komponen-komponen produksi dalam negeri yang terkait. Lebih jauh lagi, perbaikan sistem akan memiliki kehandalan di dalam mendorong perwujudan stabilitas harga serta bermanfaat untuk pengamatan dini dan akurat terhadap misalnya kemungkinan serbuan produk-produk impor tertentu. Dalam konteksnya yang lebih luas, penurunan perolehan devisa ekspor (jasa) juga terjadi pada sektor pariwisata. Sampai dengan tahun 2002 pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah ekspor migas. Oleh karenanya, sektor ini mampu berperan penting dalam penyerapan kesempatan kerja serta menopang pertumbuhan ekonomi yang sampai saat itu masih lambat. Pada tahun 2003, jumlah wisman hanya mencapai 4,46 juta orang dengan perolehan devisa sekitar USD 4,04 miliar atau menurun sekitar 10,2 persen dari tahun 2002. Meskipun demikian, sektor pariwisata masih merupakan penyumbang devisa keempat terbesar setelah ekspor migas, ekspor kelompok komoditi mesin elektrik dan elektronik, dan ekspor dari tekstil dan produk tekstil TPT). Penurunan kinerja daya saing pariwisata disebabkan oleh beberapa permasalahan yang berkenaan dengan: 1. Kurang kondusifnya kondisi keamanan dan ketertiban dalam negeri akhir-akhir ini terutama dengan maraknya berbagai aksi terorisme seperti pemboman yang memberikan citra buruk bangsa Indonesia. 2. Maraknya hambatan dari bermunculannya berbagai regulasi baik di pusat maupun daerah sebagai dampak masa transisi pelaksanaan otonomi daerah. Keadaan ini memberatkan pelaku industri pariwisata yang tercermin dari menurunnya minat dunia usaha di dalam pengembangan obyek wisata potensial dan infrastruktur yang berkenaan dengan kepariwisataan. 3. Masih lemahnya pengelolaan sebagian besar daerah tujuan wisata dan aset-aset warisan budaya sehingga kurang atraktif dan kurang mampu bersaing dengan obyek-obyek wisata terutama dengan negara-negara ASEAN. 4. Belum efektifnya kelembagaan pengelolaan pemasaran dan promosi pariwisata terutama ke masyarakat internasional. Dengan permasalahan-permasalahan di atas, penciptaan iklim investasi yang mendukung peningkatan daya saing Indonesia (baik di sektor barang maupun jasa-jasa) menjadi tantangan yang mendesak ke depan. Dengan stabilitas ekonomi dan politik yang terjaga, upaya tersebut akan memberi perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, peningkatan devisa, dan pada akhirnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan itu, prioritas diletakkan pada perkuatan upaya penegakan hukum demi terciptanya kepastian usaha serta pengembangan kapasitas Bagian IV.17 – 5
kelembagaan pelayanan publik terkait untuk menjawab tuntutan kebutuhan dunia usaha. Komitmen yang kuat dari pemerintah di segala tingkatan akan menjadi faktor penentu utama.
B. SASARAN Sasaran yang hendak dicapai dalam upaya meningkatkan investasi dan ekspor non-migas adalah sebagai berikut: 1. Terwujudnya iklim investasi yang sehat dengan reformasi kelembagaan ekonomi di berbagai tingkatan pemerintahan yang mampu mengurangi praktik ekonomi tinggi. Reformasi dimaksud mencakup upaya untuk menuntaskan sinkronisasi sekaligus deregulasi peraturan antarsektor dan antara pusat dengan daerah serta peningkatan kapasitas kelembagaan untuk implementasi penyederhanaan prosedur perijinan untuk start up bisnis, penyempurnaan sistem perpajakan dan kepabeanan, penegakan hukum untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban berusaha. 2. Peningkatan efisiensi pelayanan ekspor-impor kepelabuhanan, kepabeanan, dan administrasi (verifikasi dan restitusi) perpajakan ke tingkatan efisiensi di negara-negara tetangga yang maju perekonomiannya di lingkungan ASEAN. Dalam 3 (tiga) tahun pertama diharapkan setengahnya telah dicapai. 3. Pemangkasan prosedur perijinan start up dan operasi bisnis ke tingkatan efisiensi di negara-negara tetangga yang maju perekonomiannya di lingkungan ASEAN. Dalam 3 (tiga) tahun pertama, diharapkan setengahnya telah tercapai. 4. Meningkatnya investasi secara bertahap sehingga peranannya terhadap Produk Nasional Bruto meningkat dari 20,5 persen pada tahun 2004 menjadi 27,4 persen pada tahun 2009 dengan penyebaran yang makin banyak pada kawasan-kawasan di luar Jawa, terutama Kawasan Timur Indonesia. 5. Meningkatnya pertumbuhan ekspor secara bertahap dari sekitar 5,2 persen pada tahun 2005 menjadi sekitar 9,8 persen pada tahun 2009 dengan komposisi produk yang lebih beragam dan kandungan teknologi yang semakin tinggi. 6. Meningkatnya efisiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga dan kepastian berusaha untuk mewujudkan perdagangan dalam negeri yang kondusif dan dinamis. 7. Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perolehan devisa menjadi sekitar USD 10 miliar pada tahun 2009, sehingga sektor pariwisata diharapkan mampu menjadi salah satu penghasil devisa besar. 8. Meningkatnya kontribusi kiriman devisa dari tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri dari perkiraan sekarang yang berkisar sekitar US$ 1 miliar.
C. ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mewujudkan sasaran di atas, arah kebijakan bagi penciptaan iklim investasi yang sehat dan peningkatan daya saing ekpor nasional adalah sebagai berikut: Bagian IV.17 – 6
1. Mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi baik untuk tahapan memulai (start up) maupun tahapan operasi suatu bisnis. Inti dari kegiatan ini adalah penuntasan deregulasi (pemangkasan birokrasi) peraturan dan prosedur perijinan dan pengembangan kapasitas lembaga publik pelaksananya. Upaya ini akan bermanfaat dalam menekan sekecil-kecilnya barier to entries terutama UKM. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain meliputi: a. Menata aturan main yang jelas pemangkasan birokrasi dalam prosedur perijinan dan pengelolaan usaha dengan prinsip transparansi dan tata kepemerintahan yang baik. b. Menata aturan main yang jelas pemangkasan birokrasi dalam pengelolaan aktivitas ekspor/impor (kepabeanan dan kepelabuhanan) dengan prinsip transparansi dan tata kepemerintahan yang baik. c. Menata aturan main yang jelas peningkatan efisiensi waktu dan biaya administrasi perpajakan, terutama untuk verifikasi nilai pajak dan pengembalian (restitusi) PPN. Keinginan politik (political will) dan komitmen yang kuat akan sangat mempengaruhi keberhasilan upaya ini. Revitalisasi pelaksanaan dan penegakan semua peraturan serta perundangan sebagaimana digariskan di dalam Inpres Nomor 5 tahun 2003 (White Paper) dapat menjadi titik awal untuk penyelenggaraan kegiatan ini. 2. Menjamin kepastian usaha dan meningkatkan penegakan hukum, terutama berkenaan dengan kepentingan untuk menghormati kontrak usaha, menjaga hak kepemilikan (property rights), terutama berkenaan dengan kepemilikan lahan, dan pengaturan yang adil pada mekanisme penyelesaian konflik atau perbedaan pendapat (dispute settlements) terutama berkenaan dengan perselisihan niaga, perkuatan implementasi persaingan usaha, perkuatan implementasi standardisasi produk-produk yang dipasarkan, serta penyelesaian konflik antara produsen dan konsumen untuk tujuan perlindungan konsumen. 3. Memperbaiki kebijakan investasi dengan merumuskan cetak biru pengembangan kebijakan investasi ke depan termasuk di dalamnya melakukan revisi terhadap RUU Penanaman Modal sesuai dengan praktek internasional terbaik dan mengutamakan perlakukan yang nondiskriminatif antara investor asing dan domestik serta antara investor besar dan investor skala kecil-menengah, merumuskan sistem insentif dalam kebijakan investasi dalam rangka bersaing (dengan negara lain) menarik investor asing, serta merumuskan reformasi kelembagaan penanaman modal sebagai lembaga fasilitasi dan promosi investasi yang berdaya saing. Mengingat permasalahannya yang cross-sectoral, kuatnya koordinasi di tingkat kabinet yang terkait akan sangat menentukan. 4. Memperbaiki harmonisasi peraturan perundangan antara pusat dan daerah terutama di dalam pengembangan (formalisasi) dan operasionalisasi usaha di daerah-daerah dengan mengedepankan prinsip kepastian hukum, deregulasi (simplifikasi) dan efisiensi dalam biaya dan waktu pengurusan. 5. Dalam rangka mendukung perkuatan daya saing produk ekspor, arah kebijakan bidang perdagangan luar negeri adalah meningkatkan akses dan perluasan pasar ekspor serta perkuatan kinerja eksportir dan calon eksportir. Aspeknya meliputi: a. Mendorong secara bertahap perluasan basis produk ekspor dengan tetap memperhatikan kriteria produk ekspor yang ramah lingkungan. b. Peningkatan nilai tambah ekspor secara bertahap terutama dari dominasi bahan mentah (sektor primer) ke dominasi barang setengah jadi dan barang jadi. c. Revitalisasi kinerja kelembagaan promosi ekspor dan perkuatan kapasitas kelembagaan pelatihan eksportir kecil; Bagian IV.17 – 7
d. Peningkatan jenis dan kualitas pelayanan ekspor melalui konsep support at company level kepada para eksportir dan calon eksportir UKM potensial; e. Peningkatan perbaikan kinerja diplomasi perdagangan internasional, baik untuk negara maju maupun negara sedang berkembang; f. Peningkatan fasilitasi perdagangan melalui penyederhanaan prosedur ekspor –impor melalui implementasi konsep single document, mengurangi sistem tata niaga untuk komoditi-komoditi non-strategis dan yang tidak memerlukan pengawasan, dan perkuatan kapasitas lembaga uji mutu produk ekspor-impor; g. Optimalisasi sarana penunjang perdagangan internasional seperti kelembagaan trade financing untuk ekspor; h. Optimalisasi implementasi berbagai bentuk kerjasama perdagangan seperti skema imbal dagang dan perdagangan bebas antar negara (free trade agreement); i. Perkuatan kelembagaan pengamanan perdagangan internasional (safeguard dan antidumping) serta kelembagaan harmonisasi tarif; dan j. Peningkatan keberterimaan (acceptance) produk di pasar global melalui pengembangan SNI dan kerjasama standardisasi regional dan internasional. 6. Di bidang perdagangan dalam negeri, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, dan kepastian berusaha. Upaya ini perlu diintegrasikan dengan arah kebijakan peningkatan kinerja perdagangan luar negeri guna mewujudkan ketahanan ekonomi yang kokoh. Langkah-langkahnya mencakup: a. Harmonisasi kebijakan pusat dan daerah, penyederhanaan prosedur, perijinan yang menghambat kelancaran arus barang serta pengembangan kegiatan jasa perdagangan; b. Perkuatan kelembagaan perdagangan yaitu kelembagaan perlindungan konsumen, kemetrologian, bursa berjangka komoditi, dan kelembagaan persaingan usaha, dan kelembagaan perdagangan lainnya; c. Fasilitasi pengembangan prasarana distribusi tingkat regional dan prasarana sub-sistem distribusi pada daerah tertentu (kawasan perbatasan dan daerah terpencil) dan sarana penunjang perdagangan melalui pengembangan jaringan informasi produksi dan pasar serta perluasan pasar lelang lokal dan regional; dan d. Peningkatan efektivitas pelaksanaan perlindungan konsumen, tertib ukur, dan perkuatan sistem pengawasan barang beredar dan jasa. 7. Arah kebijakan pengembangan pariwisata dalam 5 (lima) tahun ke depan adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara dengan fokus pada upaya: a. Peningkatan efektivitas kelembagaan promosi pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri; b. Pengembangan jenis dan kualitas produk-produk wisata, terutama pengembangan wisata bahari yang potensinya sangat besar dengan tetap memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan; c. Harmonisasi dan simplifikasi berbagai perangkat peraturan yang terkait di dalam mendukung pengembangan pariwisata, termasuk di dalamnya wisata bahari; dan d. Optimalisasi dan sinkronisasi dalam pengelolaan jasa pelayanan pariwisata, terutama yang melibatkan lebih dari satu moda transportasi.
D.
PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN
REFORMASI PERPAJAKAN DAN KEPABEANAN Bagian IV.17 – 8
Seperti diuraikan dalam program-program di Bab 24 tentang Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro, terutama di dalam Program Peningkatan Penerimaan dan pengamanan Keuangan Negara yang di dalamnya terdapat kegiatan antara lain: 1. Amandemen Undang-Undang Perpajakan; 2. Peningkatan pelayanan kepada wajib pajak melalui: (a) pengembangan fitur-fitur Large Taxpayer Office (LTO) pada kantor pajak menengah dan kecil; (b) pengembangan sistem pembayaran pajak dan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahun secara elektronik; (c) melakukan kerjama dengan perbankan dalam rangka memberikan kemudahan pembayaran pajak; 3. Reformasi adnimistrasi sengketa pajak (tax court reform) melalui upaya: (a) mendorong partisipasi masyarakat wajib pajak dalam menggunakan haknya untuk mencari/mendapatkan keadilan atas kasus sengketa pajak; (b) melakukan pembangunan sistem informasi sengketa pajak yang meliputi pengembangan data warehouse putusan pengadilan, pembangunan situs pengadilan pajak; dan (c) penyempurnaan Sistem Informasi Sengketa Pajak (SISPA); dan 4. Reformasi kepabeanan melalui: (a) pemberian fasilitasi perdagangan; (b) peningkatan pemberantarasan tindak pidana penyelundupan dan under-valuation; (c) peningkatan integritas pegawai melalui penyempurnaan kode etik (code of conduct), pembentukan komite kode etik (code of conduct committee – CCC), pembentukan unit investigasi khusus, penyediaan saluran pengaduan dan pembentukan ombudman kepabeanan, serta pemberian insentif. PERBAIKAN IKLIM INVESTASI 1. PROGRAM PENINGKATAN IKLIM INVESTASI DAN REALISASI INVESTASI Program ini bertujuan menciptakan iklim investasi yang berdaya saing global. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok dalam lima tahun ke depan adalah sebagai berikut: 1. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang investasi; 2. Penyederhanaan prosedur pelayanan penanaman modal; 3. Pemberian insentif penanaman modal yang lebih menarik; 4. Konsolidasi perencanaan penanaman modal di pusat dan daerah; 5. Pemantauan dan evaluasi, serta pengawasan pelaksanaan investasi, baik asing maupun domestik; 6. Pengembangan sistem informasi penanaman modal di pusat dan daerah; 7. Perkuatan kelembagaan penanaman modal di pusat dan daerah; serta 8. Melakukan kajian kebijakan penanaman modal baik dalam dan luar negeri. 2. PROGRAM PENINGKATAN PROMOSI DAN KERJASAMA INVESTASI Program ini bertujuan membangun citra Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang menarik. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok dalam lima tahun kedepan adalah: 1. Penyiapan potensi sumberdaya, sarana dan prasarana daerah yang terkait dengan investasi; 2. Fasilitasi terwujudnya kerjasama strategis antara usaha besar dengan UKMK; 3. Promosi investasi yang terkoordinasi baik di dalam dan di luar negeri; 4. Revitalisasi kinerja kelembagaaan promosi ekspor di luar negeri; dan 5. Mendorong dan memfasilitasi peningkatan koordinasi dan kerjasama di bidang investasi dengan instansi pemerintah dan dunia usaha baik di dalam maupun di luar negeri.
Bagian IV.17 – 9
PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN EFISIENSI PELAYANAN INFRASTRUKTUR Pengembangan kapasitas dan perkuatan sistem pelayanan pelabuhan, baik untuk ekspor-impor, perdagangan dalam negeri, maupun kemudahan perijinan untuk tujuan pengembangan wisata bahari yang sangat potensial. Langkah-langkah tersebut di atas merupakan kebutuhan bagi peningkatan iklim investasi dan daya saing ekspor yang perlu diperhatikan dalam merumuskan strategi dan langkah-langkah pada Bab 33 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur. PENINGKATAN DAYA SAING EKSPOR DAN EFISIENSI SISTEM PERDAGANGAN 1. PROGRAM PENGEMBANGAN STANDARDISASI NASIONAL Tujuan program ini adalah meningkatkan keberterimaan (acceptance) produk nasional di pasar global, memperlancar arus barang dan jasa, dan meningkatkan perlindungan keselamatan, kesehatan, dan keamanan konsumen serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kegiatan pokok diarahkan untuk mendorong sekaligus memfasilitasi perdagangan dan berbagai aktivitas ekonomi untuk meningkatkan kualitas, mendorong produktivitas dan efisiensi, yang antara lain mencakup: 1. Pengembangan infrastruktur kelembagaan standardisasi; 2. Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI); 3. Penguatan kelembagaan standardisasi; 4. Peningkatan persepsi masyarakat; 5. Pengembangan sistem informasi standardisasi; 6. Perkuatan posisi Indonesia dalam forum standardisasi regional dan internasional; dan 7. Peningkatan partisipasi pemangku kepentingan dalam proses standardisasi. 2. PROGRAM PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN EKSPOR Tujuan dari program ini adalah mendukung upaya peningkatan daya saing global produk Indonesia serta meningkatkan peranan ekspor barang dan jasa dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan strategi pemantapan ekspor sehingga mampu meningkatkan kinerja ekspor nasional, termasuk pemanfaatan preferensi dengan mitra dagang; 2. Harmonisasi kebijakan ekspor antar-instansi terkait dan dunia usaha; 3. Peningkatan kualitas pelayanan kelembagaan Pusat Promosi ekspor (ITPC) sesuai kebutuhan eksportir secara berkelanjutan dan perluasan pembukaan kantor baru di negara/kawasan mitra dagang sesuai potensi pasar ekspornya, serta perkuatan kapasitas kelembagaan promosi daerah; 4. Peningkatan kualitas pelayanan kepada para eksportir dan calon eksportir melalui pendekatan support at company level; 5. Fasilitasi peningkatan mutu produk komoditi pertanian, perikanan dan industri yang berpotensi ekspor; 6. Melanjutkan deregulasi dan debirokratisasi melalui penyederhanaan prosedur ekspor dan impor dengan ke arah penyelenggaraan konsep single document; 7. Perkuatan kapasitas laboratorium penguji produk ekspor-impor; 8. Peningkatan jaringan informasi ekspor dan impor agar mampu merespon kebutuhan dunia usaha terutama eksportir kecil dan menengah; dan Bagian IV.17 – 10
9. Pengembangan dan implementasi fasilitasi ekspor dan impor seperti kelembagaan trade financing untuk ekspor. 3. PROGRAM PENINGKATAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kerjasama perdagangan internasional yang saling menguntungkan, adil dan terbuka. Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas partisipasi aktif dalam berbagai fora internasional (mencakup kerjasama multilateral, regional, bilateral, dan perdagangan lintas batas) sebagai upaya mengamankan kepentingan ekonomi nasional dan sekaligus meningkatkan hubungan dagang dengan negara mitra dagang potensial; 2. Fasilitasi penyelesaian sengketa perdagangan (termasuk advokasi dan bantuan teknis) seperti: dumping, subsidi dan safeguard; 3. Peningkatan efektivitas koordinasi penanganan berbagai isu-isu perdagangan internasional baik multilateral, regional dan bilateral maupun pendekatan komoditi; 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan kerjasama multilateral, regional, dan bilateral; 5. Sosialisasi hasil-hasil kesepakatan perundingan multilateral (WTO) dan kerjasama regional (ASEAN, APEC, ASEM) serta kerjasama intra dan antar regional; dan 6. Perkuatan SDM Atase Perdagangan termasuk penyediaan tenaga magang. 4. PROGRAM PERSAINGAN USAHA Tujuan program ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan usaha yang kompetitif dan memberdayakan lembaga-lembaga persaingan usaha. Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Revisi terhadap berapa materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berpotensi terjadinya disharmonisasi terhadap kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan persaingan usaha; 2. Peningkatan penerapan kebijakan dan peraturan dalam persaingan usaha; 3. Pengembangan instrumen aplikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; 4. Pengembangan jaringan kerja antar lembaga; 5. Peningkatan kualitas penanganan perkara dan rekomendasi kebijakan; dan 6. Perkuatan kelembagaan persaingan usaha antara lain yang mencakup pengembangan sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendukung. 5. PROGRAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAMANAN PERDAGANGAN Tujuan program ini adalah untuk memberdayakan konsumen, penguatan lembaga perlindungan konsumen, peningkatan kapasitas kelembagaan yang menangani sengketa dagang internasional dan perlindungan industri dalam negeri, dan peningkatan kapasitas kelembagaan metrologi legal serta optimalisasi pengawasan barang beredar terutama terhadap barang-barang strategis, obat dan makanan. Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan adalah: 1. Pemberdayaan konsumen dan peningkatan kapasitas lembaga perlindungan konsumen termasuk kapasitas lembaga penyelesaian sengketa konsumen; 2. Perkuatan sistem dan pelaksanaan pengawasan barang beredar terutama terhadap pengawasan barang-barang strategis, obat dan makanan;
Bagian IV.17 – 11
3. Peningkatan pelayanan informasi dan advokasi terhadap kebijakan perlindungan konsumen guna meningkatkan kesadaran konsumen terhadap pentingnya standar barang dan jasa, terutama di bidang obat dan makanan; 4. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan perdagangan dalam negeri yang terkait dengan ekspor-impor, tertib usaha, tertib ukur, perlindungan konsumen dan pengawasan barang beredar dan jasa; 5. Sosialisasi dan bimbingan teknis pengelolaan standar dan laboratorium metrologi legal serta pelaksanaan pengawasan ukuran, takaran, timbangan, dan perlengkapannya (UTTP); dan 6. Perkuatan kapasitas kelembagaan yang menangani sengketa dagang internasional dan perlindungan industri dalam negeri termasuk dukungan operasionalisasi kegiatannya (anti-dumping dan safeguard); 6. PROGRAM PENINGKATAN EFISIENSI PERDAGANGAN DALAM NEGERI Tujuan program ini adalah meningkatkan kelancaran distribusi barang dan jasa yang lebih efisien dan efektif serta mengembangkan sistem usaha dan lembaga perdagangan yang efektif dan efisien, yang berpihak pada usaha kecil, menengah, dan koperasi. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Perumusan, alternatif solusi, dan implementasi penyelesaian permasalahan termasuk harmonisasi dari berbagai perangkat peraturan perundang-undangan tentang distribusi dan sarana penunjang perdagangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; 2. Deregulasi dan debirokratisasi dalam rangka mengurangi hambatan perdagangan; 3. Promosi penggunaan produksi dalam negeri; 4. Fasilitasi pengembangan prasarana distribusi tingkat regional dan prasarana sub-sistem distribusi pada daerah tertentu (kawasan perbatasan dan daerah terpencil) dalam rangka peningkatan efisiensi perdagangan; 5. Peningkatan efektivitas dan ketersediaan jaringan informasi distribusi baik di tingkat pusat maupun di daerah; 6. Peningkatan pengawasan dan pembinaan usaha, kelembagaan dan kemitraan di bidang perdagangan; 7. Pemberdayaan dagang kecil dan menengah melalui peningkatan SDM, akses pasar dan kemitraan usaha; 8. Perkuatan kapasitas kelembagaan perdagangan bursa komoditi (PBK) termasuk menyiapkan penyempurnaan berbagai perangkat peraturan kebijakan dan operasional PBK; dan 9. Pemantapan dan pengembangan Pasar Lelang Lokal dan Regional serta sarana alternatif pembiayaan melalui Sistem Resi Gudang (SRG). PENINGKATAN DAYA SAING PARIWISATA 1. PROGRAM PENGEMBANGAN PEMASARAN PARIWISATA Program Pengembangan Pemasaran Pariwisata ditujukan untuk menciptakan promosi pariwisata yang efektif dengan pendekatan profesional, kemitraan antara swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Optimalisasi kegiatan pameran baik yang bertaraf nasional maupun internasional baik di dalam maupun di luar negeri baik pada negara-negara mitra pariwisata potensial maupun negara-negara yang memilki kedekatan secara historis dan kultural dengan Indonesia, seperti Asia Timur, India dan Timur Tengah; Bagian IV.17 – 12
2. Fasilitasi pemasaran paket-paket wisata dan jaringan distribusinya; 3. Fasilitasi kerjasama pemasaran antar negara, antar pusat dengan daerah, dan antar pelaku industri pariwisata dalam bentuk aliansi strategis, seperti kerjasama antar travel agent dan antar tour operator, antara pelaku pariwisata dengan perusahaan transportasi udara, laut dan darat; 4. Peningkatan sadar wisata di kalangan masyarakat, baik sebagai tuan rumah maupun sebagai calon wisatawan; 5. Memotivasi dan memberikan kemudahan bagi perjalanan wisata domestik; 6. Pengembangan sistim informasi yang efisien dan efektif. 2. PROGRAM PENGEMBANGAN DESTINASI PARIWISATA Program Pengembangan Destinasi Pariwisata ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan destinasi wisata dan aset-aset warisan budaya menjadi obyek daya tarik wisata yang atraktif dengan pendekatan profesional, kemitraan swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan serta mendorong investasi. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan adalah: 1. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan investasi dalam industri pariwisata melalui penyederhanaan perizinan dan insentif perpajakan bagi investor. 2. Mendorong pengembangan daya tarik wisata unggulan di setiap propinsi (“one province one primary tourism destination”) secara bersama dengan pemerintah daerah, swasta dan masyarakat; 3. Pengembangan paket-paket wisata yang kompetitif di masing-masing destinasi pariwisata; 4. Peningkatan kualitas pelayanan dan kesiapan daerah tujuan wisata dan aset-aset warisan budaya sebagai obyek daya tarik wisata yang kompetitif. 5. Revitalisasi dan pembangunan kawasan pariwisata baru, termasuk pula prasarana dan sarana dasarnya (seperti jaringan jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih dan sarana kesehatan); 6. Pemberian insentif dan kemudahan bagi pelaku usaha pariwisata dalam membangun produk pariwisata (daya tarik dan sarana pariwisata); 7. Pemberian perhatian khusus kepada pengembangan kawasan ekowisata dan wisata bahari, terutama di lokasi-lokasi yang mempunyai potensi obyek wisata alam bahari yang sangat besar; 8. Pengembangan pariwisata yang berdaya saing melalui: (a) terbangunnya komitmen nasional agar sektor-sektor di bidang keamanan, hukum, perbankan; perhubungan, dan sektor terkait lainnya dapat memfasilitasi berkembangnya kepariwisataan terutama pada wilayah-wilayah yang memiliki destinasi pariwisata unggulan; (b) Harmonisasi dan simplifikasi perangkat peraturan baik di tingkat pusat, daerah dan antara pusat dan daerah; (c) memformulasi, menerapkan, dan mengawasi standar industri pariwisata yang dibutuhkan.
3. PROGRAM PENGEMBANGAN KEMITRAAN Tujuan program ini adalah untuk mengembangkan dan memperkuat jaringan kerjasama antara Pemerintah (pusat-kabupaten/kota)-swasta-dan masyarakat dan pelaku industri budaya dan pariwisata di dalam maupun di luar negeri dalam bidang penelitian, sumber daya manusia, dan kelembagaan dan sekaligus mengembangkan pariwisata yang berbasis budaya. Dalam rangka pencapaian tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pembangunan dan perkuatan jaringan database dan informasi kebudayaan dan kepariwisataan, baik di dalam negeri (antara pusat-propinsi, dan kabupaten/kota) dan luar negeri termasuk pengembangan SDM-nya; 2. Pengembangan Litbang dan pengembangan SDM dalam bentuk joint research, dual-training serta aliansi strategis terutama dengan lembaga sejenis di luar negeri; Bagian IV.17 – 13
3. Fasilitasi pembentukan forum komunikasi antar pelaku industri budaya dan pariwisata dan pelaku sosio-ekonomi lainnya.
Bagian IV.17 – 14