BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian Manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya saling berinteraksi dengan manusia lain. Masing-masing individu dalam berinteraksi adalah subjek hukum yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu perbuatan hukum. Salah satu perbuatan hukum yang sering muncul dalam suatu masyarakat adalah perjanjian. Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, maka perjanjian dapat dibuat secara bebas dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas untuk menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis. Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kata sepakat di antara dua pihak atau lebih, cakap dalam bertindak, adanya suatu hal tertentu, dan adanya suatu sebab yang halal. Syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut sebagaimana dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut dengan KUHPerdata). Perjanjian dapat dibuat secara tertulis dan tidak tertulis. Bagi para pihak yang membuat perjanjian secara tertulis, salah satunya dapat dibuat dengan Akta Perjanjian di hadapan notaris. Lembaga notaris memiliki tujuan untuk melayani dan membantu masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik, termasuk dalam hal ini adalah Akta Perjanjian. Kebutuhan akta otentik adalah untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang
mengadakan suatu perjanjian atau perbuatan hukum. Notaris sebagai pejabat umum, sedangkan wewenangnya adalah membuat akta otentik. Akta otentik merupakan suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat. Notaris dalam melaksanakan tugasnya membuat akta otentik, selain harus memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang agar suatu akta menjadi otentik maka seorang notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut wajib melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin, professional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertuang dalam awal dan akhir akta yang menjadi tanggung jawab notaris adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta.1 Perjanjian batal demi hukum jika melanggar syarat objektif yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sedangkan apabila perjanjian tersebut melanggar syarat subjektif yaitu kata sepakat dan cakap dalam bertindak maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Pihak yang tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam perjanjian, maka pihak tersebut telah melakukan wanprestasi, apabila tidak ditentukan lain dalam perjanjian atau dalam undangundang, maka wanprestasi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur. Suatu akta perjanjian yang dibuat dihadapan notaris merupakan akta para pihak, dimana akta para pihak mempunyai kekuatan pembuktian materiil oleh karena peristiwa atau perbuatan hukum yang dinyatakan oleh para pihak dan dikonstatasi 1
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Cet I, Icthiar Baru van Hoeve, Jakarta, hlm.166.
oleh notaris dalam akta itu benar-benar terjadi.
2
Perjanjian para pihak, meski diatur dalam suatu akta otentik bukan tidak mungkin akan dilanggar ataupun tidak dipenuhi prestasi oleh pihak-pihak di dalamnya, sehingga akan terjadi sengketa diantara para pihak. Pengaturan cara penyelesaian sengketa dalam suatu perjanjian jika terjadi wanprestasi dapat diatur dalam klausula tersendiri dalam perjanjian tersebut serta ditentukan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Klausula penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui musyawarah secara kekeluargaan antara para pihak. Penyelesaian sengketa yang tidak berhasil melalui musyawarah secara kekeluargaan antara para pihak maka dapat dilanjutkan ke jalur hukum. Jalur hukum yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa dalam suatu perjanjian biasanya dapat menggunakan jalur mediasi, menggunakan jalur arbitrase melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau dapat juga melalui pengadilan negeri dengan domisili hukum yang telah ditentukan para pihak. Pilihan untuk menyelesaian sengketa bagi para pihak jika terjadi persengketaan melalui arbitrase dapat dicantumkan pada perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta notaris, sebagai suatu klausula di dalam akta perjanjian. Berkaitan dengan hal diatas, berikut ini terdapat putusan peradilan umum, yakni Putusan Sela Nomor 53/ Pdt.G/ 2012/ PN.Yk yang menggambarkan Akta Notaris yang mencantumkan klausula arbitrase yakni Akta Perjanjian Kerjasama Kontrak Bagi Tempat Usaha
(Akta Nomor 8 tertanggal 6 Maret 1994 yang dibuat
dihadapan Notaris AH di Yogyakarta. Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam 2
Herry Susanto, 2010, Peranan Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam Berkontrak, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 67.
Putusan Sela Nomor 53/ Pdt.G/ 2012/ PN.Yk, dalam perkara antara PT AMI sebagai penggugat melawan PT WTB sebagai tergugat memutuskan bahwa pengadilan tidak berwewenang memeriksa dan mengadili perkara gugatan atas dasar wanprestasi perjanjian yang dibuat dalam Akta Perjanjian Kerjasama Kontrak Bagi Tempat Usaha (Akta Nomor 8 tertanggal 6 Maret 1994) yang dibuat dihadapan Notaris AH di Yogyakarta. Penggugat mendalilkan bahwa pada tahun 1998 telah dibuat Perjanjian Kerjasama Kontrak Bagi Tempat Usaha antara PT AMI dengan PT WTB, dalam pembangunan dan pengelolaan Kawasan Eks Hotel T dan Perum D. Perjanjian Kerjasama tersebut dibuat di hadapan notaris di Yogyakarta dengan Akta Nomor 8 tertanggal 6 Maret 1998, dimana di dalam perjanjian disebutkan satu lokasi yang akan dibangun Hotel bertaraf Internasional serta sarana penunjangnya dan tempat parkir untuk umum berkapasitas tampung 400 kendaraan roda empat. Para pihak juga sepakat jika tanah Hak Pengelolaan Nomor : HPL.1/Gow, tertanggal 24 Desember 1994 seluas 10.917 M2, Gambar Situasi tertanggal 18 Mei 1994 Nomor 1940/ 1994 telah diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT WTB sebagai Tergugat. Realisasi dari perjanjian kerjasama dengan Akta Nomor 8 tertanggal 6 Maret 1998 dibuat addendum ke-1 Perjanjian Kerjasama Kontrak Bagi Tempat Usaha antara PT AMI dengan PT WTB dalam pembangunan dan pengelolaan Kawasan Eks Hotel T dan Perum D, dengan Akta Nomor 5 tertanggal 2 Oktober 1998, dihadapan notaris di Yogyakarta. Addendum menyatakan bahwa pembangunan gedung tersebut belum dapat dilaksanakan mengingat kondisi sosial
dan ekonomi saat ini kurang mendukung untuk pelaksanaan pembangunan gedung dimaksud sesuai dengan Ketentuan Pasal 1 Perjanjian Kerjasama yang menyebutkan bahwa pihak kedua akan membangun tempat parkir untuk umum berkapasitas untuk menampung 400 kendaraan roda empat. Berdasarkan pada perjanjian kerjasama tersebut di atas, PT WTB tidak dapat melaksanakan apa yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut maka oleh pihak lainnya di dalam perjanjian yakni PT AMI dinilai dalam pelaksanaaan perjanjian ini telah terjadi perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh PT WTB dimana perbuatan wanprestasi tersebut sangat merugikan PT AMI. Pihak penggugat di dalam gugatannya memohon kepada Majelis Hakim agar tergugat dinyatakan wanprestasi atas Perjanjian Kerjasama Kontrak Bagi Tempat Usaha dengan PT AMI dan menyatakan Akta Perjanjian Kerjasama Nomor 8 tertanggal 6 Maret 1998 batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya.Pihak penggugat dalam salah satu permohonannya meminta kepada Majelis Hakim agar tergugat dinyatakan wanprestasi atas Perjanjian Kerjasama Kontrak Bagi Tempat Usaha dengan PT AMI dan menyatakan Akta Perjanjian Kerjasama Nomor 8 tertanggal 6 Maret 1998 batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya. Selanjutnya pada jawaban tergugat adalah mengenai Kompetensi Absolut adanya klausula arbitrase di dalam perjanjian, menurut tergugat
berdasarkan
Ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang
dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Berdasarkan Pasal 16 dalam Perjanjian Kerjasama Kontrak Bagi Tempat Usaha sebagaimana diatur Akta Nomor 8 tertanggal 6 Maret 1994 yang dibuat dihadapan notaris di Yogyakarta yang menjadi pokok sengketa, telah ditetapkan suatu klausula arbitrase sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut diatas. Pasal 16 Perjanjian Kerjasama telah jelas mengatur apabila timbul sengketa dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat maka para pihak saling berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan penyelesaiannya secara final kepada panitia arbitrase yang akan dibentuk oleh para pihak berdasarkan prosedur yang ditetapkan Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Berdasar dalil-dalil jawaban tergugat tersebut maka tergugat memohon Majelis Hakim memberikan putusan dengan menyatakan Pengadilan Negeri Yogyakarta tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka putusan perkara berkaitan dengan klausula arbitrase yang diatur dalam Akta Perjanjian Kerjasama Kontrak Bagi Tempat Usaha tersebut menarik untuk diteliti.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah penelitian tersebut diatas, maka rumusan masalah yang hendak diteliti adalah :
1. Mengapa di dalam Akta Perjanjian yang dibuat dihadapan notaris perlu diatur tentang klausula arbitrase ? 2. Mengapa klausula arbitrase dapat dijadikan dasar atau alasan hakim untuk tidak mengabulkan gugatan dalam Putusan Sela Nomor 53/ Pdt.G/ 2012/ PN.Yk?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang terkait dengan Klausula arbitrase sebagai dasar tidak dikabulkannya gugatan pembatalan akta perjanjian kerjasama kontrak bagi tempat usaha dengan alasan wanprestasi (Putusan Sela Nomor 53/ Pdt.G/ 2012/ PN.Yk) belum pernah ada yang meneliti, namun terdapat beberapa penelitian sejenis yang membahas mengenai klausula arbitrase dalam perjanjian diataranya yakni : 1.
Tesis Magister Kenotariatan Tahun 2016 disusun oleh Analisa Ilmiyah.
3
Penelitian ini memiliki rumusan masalah apa implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/2012 terhadap kewenangan basyarnas dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah serta apakah implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 terhadap asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian.4 Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa,
3
5
Implikasi yuridis putusan Mahkamah
Analisa Ilmiyah, 2016, “Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/ 2012 Terhadap Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Tidak diterbitkan, Yogyakarta. 4 ibid, hlm. 8. 5 ibid, hlm. 124.
Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/2012 terhadap kewenangan BASYARNAS adalah terjadi kekaburan atau ketidakpastian hukum dan implikasi penafsiran kewenangan BASYARNAS dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah.
Meski
demikian
Putusan
BASYARNAS
tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah termasuk didalamnya perbankan syariah. Implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/ 2012 terhadap asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak masih dapat diberlakukan para pihak dalam membuat akad atau perjanjian terhadap klausul penyelesaian sengketa perbankan syariah. 2.
Tesis Magister Hukum Bisnis Tahun 2015 disusun oleh Irma Anggesti.6 Penelitian ini memiliki rumusan masalah
mengenai apakah Mahkamah
Agung memiliki kewenangan memutus suatu perkara dimana dalam perkara tersebut sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya dan mengapa Putusan Mahkamah Agung dengan Putusan BANI berbeda berkaitan dengan kepemilikan saham di PT.CTPI.7 Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa,8 Mahkamah Agung tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus yang mengandung klausula arbitrase. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 11
6
Irma Anggesti, 2015, “Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memeriksa dan Memutus SengketaYang Terdapat Klausula Arbitrase (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 862K/PDT/2013 dan Putusan BANI 547/XI/ARB-BANI/2013)”, Tesis, Program Studi Magister Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Tidak dterbitkan, Yogyakarta. 7 ibid, hlm. 9. 8 ibid, hlm. 99.
ayat (1) menyatakan bahwa dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Ayat (2) Pasal ini menyatakan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang
ini.
Dalam
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
862K/PDT/2013 yakni sengketa perdata antara Ny. Siti Hardiati Rukmana dkk (Pemohon Kasasi) melawan PT Berkah Karya Bersama dan PT Sarana Rekatama Dinamika (Termohon Kasasi), Mahkamah Agung berpendapat terdapat perbuatan melawan hukum yang berada diluar isi kesepakatan Investment Agreement sehingga Mahkamah Agung memutuskan Peradilan Umum mempunyai kewenangan memeriksa dan memutus sengketa tersebut dan Mahkamah Agung memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian Putusan Mahkamah Agung dengan BANI berbeda adalah disebabkan karena adanya perbedaan : 1). Para pihak dalam sengketa perdata di MA dengan sengketa di BANI berbeda kedudukan; 2). Terdapat perbedaan pokok permasalahan yang disengketakan oleh para pihak. Mengenai RUPSLB tanggal 17 Maret 2005, RUPSLB tanggal 18 Maret 2005, dan Surat Kuasa tertanggal 3 Juni 2003, Mahkamah Agung dan BANI memiliki pertimbangan hukum yang berbeda. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa hal yang menunjukan persamaan dan perbedaan dari penelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian
yang akan penulis angkat. Persamaan dengan penelitian tersebut adalah samasama meneliti mengenai pilihan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase. Perbedaannya adalah lokasi penelitian yang berbeda-beda pada masing-masing studi kasus. Penelitian Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/ 2012 Terhadap Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian menekankan penelitian mengenai Arbitrase syariah. Penelitian kedua yakni Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memeriksa dan Memutus Sengketa yang Terdapat Kalusul Arbitrase (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 86K/PDT/2013 dan Putusan BANI 547/XI/ARB-BANI/2013),
menekankan
penelitian
mengenai
kewenangan
Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus yang mengandung klausula arbitrase. Persamaan dan perbedaan dari penelitian-penelitian tersebut di atas dengan penelitian yang akan peneliti angkat. Persamaan dengan penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti mengenai pilihan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase. Perbedaannya adalah lokasi penelitian yang berbeda-beda pada masing-masing studi kasus. Penelitian Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/ 2012 Terhadap Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian menekankan penelitian mengenai Arbitrase syariah. Penelitian kedua yakni Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memeriksa dan Memutus Sengketa yang Terdapat Kalusul Arbitrase (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 86K/PDT/2013 dan Putusan BANI 547/XI/ARB-BANI/2013), menekankan penelitian mengenai
kewenangan Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus yang mengandung klausula arbitrase. Berdasarkan keaslian penelitian tersebut maka
penelitian yang diteliti
dalam tesis ini adalah asli, bukan merupakan hasil duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya pihak lain, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Apabila ternyata pernah dilakukan penelitian serupa, maka diharapkan penelitian ini melengkapinya.
D. Manfaat Penelitian Peneliti berharap hasil penelitian ini memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat khasanah pustaka dan mengembangkan
ilmu
pengetahuan
yang
berkaitan
dengan
bidang
kenotariatan khususnya mengenai perjanjian dan arbitrase. 2. Hasil penelitian
ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi
masyarakat dan profesi notaris. Bagi masyarakat diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat dalam bidang hukum kenotariatan khususnya dalam Notaris, memberikan pandangan hukum perlunya dituangkan alternative pilihan penyelesian sengketa di dalam perjanjian, sedang bagi profesi notaries karena hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pandangan baru dan suatu pemahaman bagi seorang Notaris dalam melaksanakan jabatannya dalam pembuatan perjanjian yang tertuang dalam akta yang bersifat notariil.
E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui dan menganalisis perlunya diatur atau dicantumkannya klausula arbitrase sebagai pilihan upaya penyelesaian sengketa dalam akta perjanjian yang dibuat dihadapan notaris . 2. Mengetahui dan menganalisis dasar atau alasan hakim tidak mengabulkan gugatan karena adanya klausula arbitrase akta perjanjian dalam Putusan Sela Nomor 53/ Pdt.G/ 2012/ PN.Yk.