BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dunia kesusasteraan memiliki ruang lingkup yang begitu luas dalam
rangka penciptaannya atas representasi kebudayaan nusantara. Salah satu hasil ekspresi yang muncul ditampilkan dalam karya sastra tradisional berupa cerita wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai sebuah bentuk karya sastra tradisional, sehingga membuat seniman berusaha membuka ruang untuk menampilkan kreativitas (Teeuw, 1983:7-8). Kenyataan bahwa cerita wayang dipandang sebagai karya adiluhung menunjukkan betapa tingginya nilai literer karya itu sendiri sebagai sebuah fenomena sastra. Wayang sebagai sebuah karya sastra memiliki ciri kesastraan yang dominan, yaitu ciri estetik. Cerita wayang menganut prinsip-prinsip estetika timur seperti prinsip keseimbangan, kesatuan, keteraturan, fokus, variasi, pola karakterisasi, tidak membedakan pola struktur tragedi komedi, menekankan keindahan rasa, dan sekaligus menjadi ensiklopedi hidup (Nurgiyantoro, 1998:28). Selain itu, cerita wayang merupakan salah satu bentuk karya sastra Jawa yang memiliki berbagai motif apabila dikaji lebih mendalam. Hal ini dapat disejajarkan dengan karya sastra lainnya yang juga memiliki struktur sebagai pembentuk motif cerita. Perlu diketahui pula bahwa sastra wayang juga memiliki struktur pembangun cerita yang merujuk pada lakon sebagai representasi
1
2
pertunjukan wayang (baik kulit maupun orang) dan memiliki definisi sebagai pencerminan kehidupan manusia.
Sastroamidjojo (1964: 98) mengungkapkan
bahwa lakon (cerita wayang kulit) berasal dari pangkal kata laku yang berarti sesuatu pertunjukan wayang kulit yang sedang berjalan atau sesuatu “peristiwa”, ataupun gambaran atau sifat kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, lakon yang dipertontonkan merupakan salah satu pokok acara terpenting dalam suatu pertunjukan wayang kulit. Lakon wayang disusun menurut suatu struktur klasik yang tidak pernah berubah. Diperkirakan struktur lakon ini merupakan kreasi dalam budaya Jawa, karena drama-drama Hindhu (termasuk drama Sansekerta atau teater bonekanya) tidak mengenal struktur ini . Struktur wayang pada dasarnya menuruti struktur drama yang terdiri dari tiga bagian yaitu permualaan, pertengahan, dan akhir. Cerita-cerita wayang selalu dimulai dari suatu keadaan yang tenang dan damai lalu kembali ke keadaan yang tenang dan damai lagi, dengan suatu perubahan pada akhir cerita. Hal-hal atau pelaku-pelaku yang menyebabkan berubahnya keadaan disingkirkan, kalah perang, atau menyadari kekeliruannya (Aristoteles via Amir, 1991:50). Sehubungan dengan penjelasan di atas, lakon Jaladara Rabi menjadi sebuah objek yang perlu diteliti dalam rangka penelusuran motif dalam cerita pewayangan. Cerita Jaladara Rabi merupakan salah satu jenis lakon carangan, yaitu cerita wayang yang memiliki pengertian dengan merunut sistem pengibaratan dalam budaya Jawa (pepindhan) sebagai ranting pohon yang bercabang atau disebut carang (Fenstein, 1986:XVII). Hal ini depertegas dengan
3
istilah carangan yang berasal dari kata dasar carang mendapat akhiran –an yang berarti sebuah cerita kreasi yang muncul dari cerita baku atau disebut juga cerita karangan (Poerwadarminta, 1939:626). Selanjutnya Sastroamidjojo (1964:101) mengungkapkan bahwa lakon Jaladara Rabi termasuk dalam kategori lakon carangan adhapur, yaitu lakon karangan yang masih berhubungan dengan lakon pokok yang berpegang pada tema atau tidak terlalu jauh dari siklus cerita utama Mahabarata ataupun Ramayana. Lakon sebagai salah satu bentuk sastra, disoroti keseluruhannya sebagai suatu karya sastra dengan bentuknya yang khas, yaitu percakapan atau dialog. Keistimewaan bentuk ini yang membedakan lakon dengan ciptaan lainnya (Oemarjati, 1971:61). Melalui keseluruhan dialog dari urutan peristiwanya, dapat diambil pada suatu kesimpulan yang merujuk pada motif cerita. Motif juga yang mendasari cerita wayang sebagai letak identifikasi karya sastra. Hal tersebut dapat dipahami sebagai satu unsur atau zat penggerak cerita ke dalam berbagai peristiwa yang akhirnya membentuk ke dalam satu topik atau pokok persoalan yang sama (Dundes via Susanto, 2012:115). Adanya sebuah motif menandakan korelasi yang terbentuk pada satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Dengan kata lain, karya sastra wayang biasanya memiliki motif yang khas. Apabila ditinjau dari segi nama judul, Jaladara Rabi mengungkapkan maksud dan tujuan lakon yang berisi tentang pernikahan, yaitu mengenai beberapa halangan yang dihadapi seorang laki-laki dalam mempersiapkan pernikahannya. Dikisahkan seorang kesatria yang bernama Prabu Kakrasana tengah mempersiapkan pernikahannya dengan Dewi Erawati. Prabu Kakrasana
4
harus memenuhi permintaan mempelai wanita sebagai syarat pernikahan, namun ternyata pihak Kurawa ikut campur dan memberatkan syarat yang telah ditetapkan. Tantangan pun bertambah ketika ada raja raksasa yang berniat menculik Dewi Erawati dan dijadikan sebagai istrinya. Hal tersebut menjadi landasan kajian motif cerita yang akan dititikberatkan pada cerita Jaladara Rabi. Kajian motif cerita juga dapat digunakan sebagai salah satu penemu kesimpulan akhir terjadinya suatu cerita lakon dalam wayang. Adapun motif penghasutan dan alap-alap menjelang pernikahan Prabu Kakrasana menjadi kunci keseluruhan jalan cerita dalam lakon tersebut. Identifikasi motif tersebut dilihat pada relasi antara bagian-bagian adegan yang mengikuti struktur cerita dalam pedalangan. Struktur pedalangan pada umumnya memiliki urutan cerita yang diawali dengan pembicaraan dalam kerajaan (jejer), pemberangkatan pasukan (budhalan), dan perang. Susunan tersebut terjadi berulang-ulang dalam beberapa babak yang membentuk satu garis besar sebuah cerita. Sesuai dengan alur cerita pewayangan pada umumnya, maka kajian motif cerita pada Jaladara Rabi dapat ditelusuri melalui analisis struktur naratif yang disesuaikan dengan unsur tokoh, latar, aksi, kejadian akibat aksi tokoh, relasi antartokoh, serta tinjauan motif penghasutan dan alap-alap. Gaya penceritaan yang memakai sudut pandang pedalangan juga membuat pola cerita Jaladara Rabi memiliki struktur dramatik. Alur yang terdiri dari beberapa peristiwa dalam mencapai suatu kesimpulan akhir cerita, yaitu perjuangan seseorang yang berusaha mempertahankan jodohnya. Melalui penjelasan tersebut, maka kajian
5
motif melalui tinjauan struktur naratif pada cerita Jaladara Rabi akan menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini.
1.2
Rumusan Masalah Jaladara Rabi merupakan salah satu lakon wayang purwa yang bercerita
tentang persiapan pernikahan Prabu Kakrasana dengan Dewi Erawati. Alur dramatik di dalamnya memiliki pola cerita yang menampilkan usaha penggagalan pernikahan pada tokoh utama. Berdasarkan keterangan yang dijelaskan sebelumnya, maka fokus penelitian dalam cerita Jaladara Rabi karya Ki Reditanaya yang telah dialihaksarakan S. Z. Hadisutjipto adalah sebagai berikut: a. Bagaimana gambaran struktur naratif yang disesuaikan dengan unsur tokoh, latar, dan aksi dalam cerita Jaladara Rabi? b. Bagaimana tinjauan motif penghasutan dan alap-alap menjelang pernikahan Prabu Kakrasana dalam cerita Jaladara Rabi?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kepada pembaca tentang motif
penghasutan dan alap-alap menjelang pernikahan Prabu Kakrasana dalam cerita Jaladara Rabi. Penjelasan tentang motif tersebut melalui analisis struktur naratif yang mengutamakan deskripsi unsur tokoh, latar, dan aksi. Selain itu, penelitian teks Jaladara Rabi merupakan bentuk apresiasi terhadap karya sastra pewayangan dengan gaya pedalangan, sehingga para pembaca dapat mengerti kandungan struktur dramatik yang direpresentasikan dalam sebuah seni pertunjukan wayang
6
kulit. Diharapkan pula penelitian ini memberikan manfaat bagi perkembangan disiplin ilmu sastra.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada buku terbitan Balai Pustaka tahun 1983 yang
berjudul Jaladara Rabi karangan Ki Reditanaya dan dialihaksarakan oleh S. Z. Hadisutjipto dengan memakai alat teori struktur naratif untuk memecahkan masalah. Analisis struktur naratif diawali dari gambaran secara keseluruhan tentang peristiwa dalam cerita berdasarkan struktur dramatik. Tahap identifikasi berikutnya dibatasi lagi ke dalam tokoh, latar, dan aksi yang disesuaikan dengan kajian motif penghasutan dan alap-alap menjelang pernikahan Prabu Kakrasana.
1.5
Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap karya sastra yang menggunakan struktural dalam kisah
pewayangan untuk membuka motif telah beberapa kali dilakukan. Penelitian yang pertama dilakukan oleh Sri harti Widyastuti pada tahun 1987 yang menulis skripsi “Konsep Cerita Alap-alapan dalam Cerita Kartawiyoga Maling dan Beberapa Cerita Pewayangan”. Kajian yang menjadi fokus di dalamnya adalah motif penculikan dalam rangka mencari jodoh. Penulis menitikberatkan sebuah fenomena kawin lari atau alap-alap dalam masyarakat Jawa yang tersajikan dalam struktur dan pola cerita lakon tersebut. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Bima Slamet Raharja pada tahun 2005 dalam skripsinya “Analisis Serat Bratayuda Koleksi Pura Pakualaman
7
(Pupuh XXXIX.1-26-XL.1-9 dan Pupuh LIX.17-23-LXIII.1-6) Tentang Adegan ‘Sadis’ Peristiwa Kematian Dursasana dan Duryudana”. Bima Slamet Raharja mengkaji Serat Bratayuda koleksi Pura Pakualaman menggunakan analisis struktural. Melalui metode tersebut, dijelaskan seluruh unsur-unsur pembangun dalam objek tersebut sehingga dapat diperlihatkan sebuah urutan peristiwa atau kronologis terjadinya pembunuhan Dursasana dan Duryudana dengan cara sadis. Nur Rohman pada tahun 2010 meneliti tentang motif pada cerita wayang melalui judul skripsinya “Motif Perkawinan Wayang Golek Sunda Lakon Cepot Rarabi dan Sang Hyang Tunggal Wibawa”. Penulis mencoba membuka beberapa urutan peristiwa atau kronologis dengan teori struktural yang mencakup alur, karakter, dan latar. Dengan demikian, dapat diungkapkan pembahasan utama dalam karya tersebut yaitu motif perkawinan. Penelitian yang terakhir dilakukan melalui Skripsi berjudul “Analisis Struktur Naratif Dalam Rangka Ekofeminisme dan Gender Dari Srikandhi Maguru Manah Karangan Raden Ngabehi Sindusastra” yang ditulis oleh Ika Marthiasiwi pada tahun 2011. Penelitian tersebut menggunakan sistem penyajian garis besar naratif cerita untuk membantu membuka fokus kajian. Selanjutnya pembahasan tentang gender (ekofeminisme) dikaji dengan merunut rangkaian peristiwa yang menitikberatkan pada peran tokoh. Beberapa penelitian di atas menjadi acuan untuk memecahkan motif pernikahanyang diangkat dalam kisah Jaladara Rabi karya Reditanaya. Hal ini disebabkan karena motif yang sangat kompleks melalui rentetan adegan yang disesuaikan dengan struktur pedalangan. Tahap selanjutnya akan digunakan
8
metode struktural yang menitikberatkan pada tokoh, latar, dan aksi melalui urutan peristiwa guna menangkap pembahasan utama dalam penelitian cerita Jaladara Rabi.
1.6
Landasan Teori Penelitian ilmiah ini menggunakan landasan teori analisis struktur naratif
dengan tujuan memaparkan dan menjelaskan motif penghasutan dan alap-alap melalui urutan peristiwa yang saling terkait dalam Jaladara Rabi. Pada prinsipnya pendekatan struktural bertujuan untuk membantu menjelaskan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan (Nurgiyantoro, 1995:37). Pendekatan struktural tersebut diaplikasikan dalam sebuah struktur cerita yang berbentuk narasi. Narasi, baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu (Ratna, 2011:128). Tokoh, latar, dan aksi merupakan elemen penting dalam kajian struktur naratif. Ketiga elemen tersebut berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita sehingga mengakibatkan representasi pembaca sebagai makna. Dalam hal ini, pemberian makna sebagai tugas pembaca tidak hanya berarti memahami bagian-bagian atau baris-baris sebuah karya seni, tetapi pula berarti memberikan makna padanya sebagai unsur sebuah struktur yang total dan bulat (Teeuw, 1983:24). Ketiga unsur yang saling berkaitan di atas menjadi suatu kesatuan sehingga tampak sebuah alur yang merupakan rangkaian peristiwa dalam cerita.
9
Chatman dalam Ratna (2011:157) berpendapat bahwa cerita disebut sebagai isi, sedangkan wacana disebut sebagai ekspresi. Baik cerita maupun wacana, masingmasing terdiri atas bentuk dan substansi. Dalam bentuk terkandung motif-motif (events) dan eksistensi, yang masing-masing berisi aksi dan kejadian (happenings) serta tokoh dan latar. Oleh karena itu, setiap adegan yang dilakukan oleh seorang tokoh akan mempengaruhi hubungannya dengan karakter-karakter lain. Pada gilirannya, reaksi yang ditimbulkan oleh karakter-karakter lain itu akan balik mempengaruhinya (Stanton, 2007:26). Keadaan seperti itu akan memunculkan sebuah narasi yang menjadi mencakup unsur-unsur sebagai rangka cerita. Selanjutnya rangka tersebut memiliki sebuah plot atau alur yang didasarkan pada kesinambungan peristiwa-peristiwa dalam hubungan sebab akibat, sehingga terbentuklah bingkai narasi yang membungkus rangkaian kejadian dalam keutuhan cerita sebagai struktur dramatik (Keraf, 1989:145). Sehubungan dengan teori di atas, maka pembahasan pada cerita Jaladara Rabi menitikberatkan ketiga komponen yang terdiri atas tokoh, latar, dan aksi. Ketiga unsur tersebut diwujudkan sebagai pembentuk rangkaian kejadian yang menimbulkan relasi antartokoh, sehingga terlihat peran aktif yang digunakan untuk memperjelas pelaku-pelaku utama dalam analisis terakhir tentang tinjauan motif penghasutan dan alap-alap menjelang pernikahan Prabu Kakrasana.
1.7
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan yaitu melalui beberapa tahap. Pertama
menggunakan studi pustaka, yaitu mengumpulkan data dengan membaca buku-
10
buku yang berhubungan dengan kajian yang akan dibahas. Melalui metode tersebut, kemudian diterapkan teori struktur naratif yang menitikberatkan tokoh, latar, dan aksi untuk mengetahui kajian motif utama dalam cerita Jaladara Rabi. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu: a. Menentukan obyek penelitian, yaitu kisah Jaladara Rabi karangan Ki Reditanaya yang telah dialihaksarakan dan digubah dalam bentuk prosa oleh S. Z. Hadisutjipto b. Mencatat data-data penelitian yang terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah obyek utama yaitu buku Jaladara Rabi sedangkan data sekunder yaitu buku-buku pendukung yang berisi teori struktural yang menitikberatkan tokoh, latar, dan aksi melalui rangkaian peristiwa c. Menganalisis data yang diperoleh serta diolah untuk dapat dipahami secara tepat dan jelas.
1.8
Sistematika Penyajian Sistematika penyajian penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima
bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi tentang deskripsi naskah cerita Jaladara Rabi yang meliputi pengantar, sinopsis, dan urutan peristiwa naratif. Bab III meliputi analisis struktural naratif yang meliputi identifikasi tokoh, latar, aksi tokoh, kejadian akibat aksi tokoh, relasi antartokoh, serta tinjauan motif penghasutan dan alap-alap. Bab IV berisi kesimpulan.