BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Secara global, pertumbuhan penduduk yang cepat berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi yang lamban yang pada gilirannya menghambat kemajuan di bidang pendidikan dan kesehatan. Kelambanan pada dua sektor ini memiliki implikasi yang buruk pada penerapan teknologi dan aturan-aturan baku yang seyogyanya jika diterapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Kebanyakan orang, terutama kaum miskin, mengandalkan hasil atau upah kerja mereka untuk bertahan hidup. Banyak dari mereka itu bekerja di sektor informal, di bidang farming subsistence (pertanian subsistens adalah pertanian yang hanya dilakukan untuk menyambung hidup) atau sebagai buruh tani untuk orang lain. Tambahan pula, bila panen gagal atau harga anjlok, pendapatan yang diperoleh tidak akan cukup untuk membebaskan diri dari kelaparan dan kemiskinan (The World Bank, 2006). Produk pertanian dan peternakan merupakan kebutuhan esensial bagi masyarakat. Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya, baik dipandang dari segi kuantitas dan kualitasnya. Tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi merupakan prasyarat utama yang harus terpenuhi dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan bermartabat serta sumber daya manusia
1
yang berkualitas. Sumberdaya manusia merupakan unsur terpenting dan sekaligus tujuan utama pembangunan nasional karena sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat serta dapat mengurangi atau menghapuskan kemiskinan. Kualitas sumber daya manusia dimaksud antara lain sangat ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya, sehingga segala daya dan upaya perlu dikerahkan secara optimal agar pangan yang aman, bermutu dan bergizi tersedia secara memadai serta terjangkau oleh daya beli masyarakat (RI, Menteri Pertanian, 2004). Brumby et al (2009) mengemukakan bahwa, para petani dan keluarganya berisiko tinggi mengalami cedera dan sakit, kerja hingga usia lanjut tanpa pensiun, jenis pekerjaannya tergolong berat dengan jangka waktu tidak menentu, mengandalkan anggota keluarga untuk menyediakan tenaga kerja tambahan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dalam lingkungannya. Lebih lanjut Brumby et al (2009), penduduk pedesaan juga mengalami di atas rata-rata tingkat kematian di bawah usia harapan hidup akibat penyakit jantung, kanker, stress dan bunuh diri. Kanker, cedera pertanian, penyakit jantung, penurunan daya dengar dan bunuh diri mengindikasikan terjadinya peningkatan mortalitas pada populasi petani (Health and Safety Executive, 2006). Dicatat pula bahwa perilaku petani membawa pestisida ke rumah dimana anak-anak dan istrinya dapat terpapar (Teitelbaum, 2002), biaya akibat petani cedera, celaka dan sakit akibat kerja
2
belum diketahui. Kondisi ini lebih mudah ditemukan di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Mengutip pendapat Juka cit. Michel (1999) mengemukakan kecelakaan kerja mencapai 250 juta orang setiap tahun yang menyebabkan kematian hingga 335,000 jiwa. Satu juta orang meninggal setiap tahun dari 160 juta orang yang sakit karena polusi, bahan beracun dan prosedur kerja yang kurang mendukung di lingkungan kerja. Lebih dari seratus ribu jenis bahan kimia sedang digunakan dalam berbagai industri termasuk pertanian dan 350 jenis daripadanya bersifat karsinogenik dan 3000 jenis yang bersifat alergenik (Michel, 1999). Menurut ILO (2011) keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah disiplin yang berhubungan dengan pencegahan cedera dan penyakit serta perlindungan dan promosi kesehatan tenaga kerja, dengan tujuan perbaikan kondisi kerja dan lingkungannya. Helmer
dari
World
Health
Organization
cit
Mitchel
(1999)
mengemukakan bahwa banyak industri di negara maju memindahkan tempat usahanya di negara-negara berkembang untuk menekan biaya produksi, tenaga kerja lebih murah dan tuntutan penerapan aturan K3 yang masih lemah. Pemindahan lokasi usaha ini akan selalu disertai pemindahan segala risiko yang berhubungan dengan K3. Mayoritas (75%) tenaga kerja di dunia bermukim di negara-negara berkembang. Kondisi pendidikan dan ekonomi serta kesehatan yang masih rendah di kawasan ini akan memperburuk implikasi dari kebijakan pemindahan lokasi usaha tersebut. Selanjutnya Kinnunen (2009) mengemukakan
3
bahwa hanya 5 - 10% tenaga kerja termasuk (petani dan peternak) di negara berkembang dan antara 20 - 50% tenaga kerja di negara-negara industri memiliki aksesibilitas yang memadai pada layanan kesehatan. Sebagai contoh, untuk kasus Amerika Serikat saja, hanya 10% dari total industri besar yang diperiksa oleh para inspektor K3 (Kinnunen, 2009). Dari pernyataan ini dapat diasumsikan bahwa industri dan perusahaan berskala mikro dan kecil di negara-negara berkembang termasuk Indonesia akan mengekspos tenaga kerja pada kondisi K3 yang relatif buruk. Pergeseran Bangsa Indonesia secara bertahap dari negara agraris dengan teknologi pertanian konvensional yang relatif tidak efisien menuju negara industri yang menuntut efisiensi yang semakin tinggi pada seluruh lini produksi, sangat membutuhkan terobosan-terobosan. Terobosan yang dimaksud meliputi penelitian ilmiah dan publikasi tentang K3 di bidang pertanian yang untuk kondisi Indonesia masih terbatas. Keterbatasan ini umumnya dapat diketahui dari kurangnya publikasi ilmiah mengenai K3 dalam sistem produksi pertanian. Hal ini sangat kontras dengan kondisi di negara-negara maju, juga termasuk Thailand dan Vietnam yang telah menerapkan standar K3 di sistem pertanian mereka yang didukung oleh tersedianya aturan-aturan hukum yang efektif dan didukung oleh kesadaran penduduk/petani akan K3 yang cukup tinggi. Lebih dari 1 miliar orang di Asia atau sama dengan 60% dari angkatan kerja mendapatkan perlindungan sosial yang seadanya atau bahkan tanpa proteksi sama sekali. Pengalaman menunjukkan bahwa tenaga kerja pada usaha-usaha
4
kecil sektor ekonomi informal biasanya termotivasi secara mandiri untuk memperbaiki kondisi keamanan dan kesehatan kerja, tetapi mereka tetap membutuhkan dukungan dari luar (Öjermark, 2008). Suardi (2005) mengutip hasil riset yang dilakukan Organisasi Buruh Internasional (ILO, 2003) yang menyimpulkan bahwa setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, setara dengan satu orang untuk setiap 15 detik, atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit atau kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaannya. Sejak tahun 2004 sampai tahun 2006 tingkat kecelakaan kerja di Indonesia tergolong tinggi. Selanjutnya dikemukakan bahwa Indonesia berada pada urutan ke 26 dari 27 negara dengan kejadian kecelakaan dan penyakit akibat kerja terbanyak (Suardi, 2005). Tenaga kerja formal maupun informal termasuk petani sawah belum diproteksi secara baik dari akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja, terutama tidak diadakannya pendidikan dan pelatihan K3 khusus bagi petani sawah. Hasil penelitian Hard & Myers (2006) di Amerika Serikat, melaporkan bahwa dalam kurun waktu 1992 – 2002, terdapat 310 pekerja usia di bawah 20 tahun yang meninggal dari total 1958 kecelakaan dari semua jenis pekerjaan berbahaya bidang industri pertanian (operator mesin, peternak, listrik, bahan kimia, kebisingan). Laporan United Stated Bureau of Labor Statistic cit. Öjermark (2008), dikemukakan bahwa pertanian dan pengelolaan hutan (agriculture & forestry) menempati urutan pertama tertinggi untuk angka rerata kecelakaan kerja (27,3%),
5
diikuti pertambangan (24%), transportasi dan manufaktur (16%). Lebih lanjut berdasarkan estimasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) cit Öjermark (2008) tercatat 337 juta kecelakaan di tempat kerja setiap tahun. Jumlah orang yang menderita sakit yang ada hubungannya dengan pekerjaan mencapai 2 juta orang setiap tahun. Kesalahan-kesalahan ini membawa korban jiwa sebanyak 2.3 juta setiap tahun dan 650,000 orang dari padanya meninggal karena bahan-bahan kimia berbahaya. Nilai ekonomi dari praktek OHS (Occupational Health and Safety) yang buruk mencapai angka yang fantastis yaitu sekitar 1,25 triliun dolar AS setiap tahun dalam bentuk kehilangan jam kerja (lost working hour), gangguan/tertundanya pekerjaan, kompensasi bagi tenaga kerja, dan biaya pelayanan medis. Jauh di atas pertimbangan ekonomis, tanggung jawab moral serta nilai kemanusiaan tidak terbayangkan (Öjermark, 2008). Öjermark (2008) menjelaskan bahwa walaupun pekerjaan sifatnya tidaklah selalu berbahaya, dalam kenyataannya orang yang terbunuh akibat kecelakaan dan kesakitan di tempat kerja jauh lebih banyak dari yang meninggal karena perang. Mengapa ini harus terjadi padahal jumlah riset dan publikasi tentang pengelolaan risiko dan sedemikian banyak instrumen legal seputar K3 tentang standar teknis, petunjuk dan manual pelatihan, serta informasi praktis yang tersedia sangat banyak? Jawabannya ada pada statistik yang menunjukkan kejadian kontras antara negara maju dan negara-negara berkembang dengan industri yang berkembang pesat. Untuk negara-negara maju, telah terjadi penurunan yang berarti dan secara bertahap, angka kecelakaan dan kesakitan ditempat kerja. Sebaliknya di negara-
6
negara berkembang, industri-industri baru cenderung mengabaikan K3 mungkin karena penekanan pada perlunya penerapan standar K3 itu belum ketat atau karena mereka terlalu miskin untuk menerapkan secara baik aturan-aturan K3 (Öjermark, 2008). Karena itu langkah-langkah perbaikan di berbagai bidang terkait perlu dilaksanakan termasuk penerapan standar K3 di bidang pertanian (Öjermark, 2008). WHO (2010), menetapkan jangka waktu aksi global terhadap kesehatan pekerja termasuk tenaga kerja bidang pertanian yakni dari tahun 2008 hingga tahun 2017. Melalui aksi global tersebut WHO mendesak negara-negara anggota merancang dan bekerja sama dengan tenaga kerja, pengusaha dan organisasi mereka, membuat kebijakan nasional pelaksanaan rencana aksi global kesehatan kerja, serta merancang mekanisme dan rencana kerja serta aturan hukum, termasuk monitoring dan evaluasi pelaksanaannya. Tenaga kerja dimaksudkan adalah semua tenaga kerja termasuk sektor ekonomi informal, usaha kecil dan usaha menengah, pertanian, tenaga kerja kontrak, dengan intervensi layanan kesehatan kerja dasar yakni pencegahan penyakit akibat kerja dan kecelakaan berhubungan dengan cedera. Lebih lanjut WHO (2010), melaporkan bahwa cakupan dan mutu pelayanan kesehatan kerja harus ditingkatkan dengan mengintegrasikan pengembangannya ke strategi kesehatan nasional, reformasi sektor kesehatan dan rencana untuk meningkatkan kinerja sistem kesehatan; menentukan standar
7
organisasi dan cakupan pekerjaan pelayanan kesehatan; menetapkan target untuk meningkatkan cakupan dari penduduk yang bekerja dengan jasa kesehatan kerja; menciptakan mekanisme untuk penyatuan sumber daya untuk membiayai pelayanan kesehatan kerja; memastikan sumber daya manusia yang memadai dan kompeten dengan sistem jaminan pelayanan berkualitas. Pelayanan kesehatan dasar bagi tenaga kerja harus disediakan untuk semua tenaga kerja, termasuk sektor ekonomi informal, usaha kecil, dan pertanian. Untuk kasus di Indonesia, walaupun angka-angka di atas tidak secara spesifik menunjuk pada kecelakaan kerja di bidang pertanian, dapat diasumsikan bahwa pada sistem pertanian berskala mikro dan kecil masih banyak yang belum menerapkan standar K3. Konsekuensi dari keadaan ini adalah tingginya frekuensi kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat menyebabkan tidak saja penurunan produktivitas usaha tetapi juga pada kesehatan produk-produk pertanian dan kesehatan konsumen (Roga. 2008). Mergler (1999) mengemukakan selama beberapa tahun terakhir, situasi kerja telah mengalami transformasi penting, terutama revolusi teknologi dan globalisasi, masuknya perempuan ke dalam pasar tenaga kerja dan ketergantungan yang meningkat pada penggunaan zat kimia. Perubahan ini penting dampaknya pada sifat dan jenis kecelakaan kerja serta pada angkatan kerja, yang mempengaruhi hubungan antara kerja dan kesehatan. Sementara penelitian kuantitatif telah mendominasi penelitian kesehatan kerja selama setengah abad terakhir. Metode kualitatif dapat menjadi pilihan lain dalam penyediaan data
8
kuantitatif berkaitan dengan mendefinisikan pertanyaan penelitian, memberikan informasi lebih lanjut tentang dampak kondisi kerja pada kesehatan dan kesejahteraan, dan mengurangi kesalahan dalam hasil paparan dan kesehatan. Menggabungkan
metode
kualitatif
dan
kuantitatif
dapat
menghasilkan
pemahaman dan kesimpulan yang lebih baik dari situasi lingkungan kerja yang berubah dengan cepat, guna mengembangkan strategi yang sesuai untuk intervensi pencegahan pada tenaga kerja (Mergler, 1999). Buranatrevedh & Sweatsriskul (2005) mengemukakan bahwa pertanian adalah salah satu pekerjaan mayoritas masyarakat di Thailand. Hasil penelitian pada tahap pertama menunjukkan bahwa terdapat tiga masalah utama dalam K3 pada petani-petani di Thailand yakni gejala-gejala penyakit akibat kontak dengan pestisida (65%), problem musculoskeletal (16.6% - 75.9%) dan cedera (1.1% 83.2%) selama proses bertani. Survei pendahuluan yang peneliti lakukan secara acak sederhana pada 3 orang petani di Kabupaten Bantul dan 4 orang petani sawah di Kabupaten Sleman diawal tahun 2009, diperoleh informasi bahwa para petani tidak mengetahui, tidak memahami dan tidak menerapkan K3. Petani tidak memiliki prosedur kerja yang standar sesuai K3 dalam bertani terutama ketika menggunakan traktor dalam membajak sawah, tetapi bekerja berdasarkan pengalaman yang ditularkan secara orang per orang. Petani bekerja berdasarkan pesan yang disampaikan secara lisan atau melihat langsung ketika anggota keluarganya menerapkan cara-cara dan tahapan bertani di sawah yang mengandalkan tenaga manusia, hewan dan
9
peralatan sederhana lainnya seperti cangkul dan sabit yang kemudian menjadi tradisi turun temurun. Petani tidak menggunakan alat-alat pelindung diri saat bertani seperti (sepatu lumpur, sarung tangan, tidak ada pelindung bagian traktor yang berputar, tanpa masker saat menggunakan bahan kimia dan pestisida). Temuan peneliti tersebut di atas jelas bahwa para petani sawah mengabaikan K3 dalam segala aktivitas kerja mereka, dan kemungkinan besar kejadian yang sama terjadi di wilayah lain di Indonesia. Sehingga mendesak dilakukan perbaikan melalui pengkajian dan pembinaan melalui pendidikan dan pelatihan kepada petani sawah tentang cara kerja aman sehat dan selamat Tenaga kerja di perusahaan jika cedera atau sakit dapat segera diganti dengan tenaga kerja yang baru, agar proses produksi tidak terganggu dan perusahaan atau industri tidak rugi. Seharusnya para tenaga kerja yang mengalami kecelakaan dan atau sakit akibat kerja akan segera mendapatkan bantuan medis, asuransi dan ketika sudah sehat akan dipekerjakan lagi (Roga, 2008), tetapi para tenaga kerja pertanian (petani sawah) jika mengalami cedera atau sakit akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan, dimana perannya tidak bisa digantikan, dan berdampak serius pada penghasilan dan ekonomi keluarganya. Jadi bisa dibayangkan betapa besar akibatnya bagi petani sawah jika dibiarkan bekerja terus menerus dalam kondisi seperti di atas. Bukan hal yang mustahil jumlah petani sawah akan terus berkurang atau migrasi pada pekerjaan lain dengan risiko lebih kecil dibandingkan dengan pertanian dan pada akhirnya produksi pangan berkurang dan bangsa ini bergantung dan didikte bangsa lain.
10
Bertitik tolak dari keterbatasan informasi ilmiah tentang penerapan K3 pada pertanian khususnya petani sawah di Indonesia dan indikasi permasalahan di sekitar industri tersebut, maka dinilai sangat mendesak untuk melakukan berbagai upaya mengatasi keterbatan-keterbatasan di lingkungan kerja dan tenaga kerja di bidang usaha ini. Menurut pendapat peneliti dalam menciptakan kondisi sehat , selamat dan bekerja pada lingkungan yang aman, yaitu guna mengurangi kecelakaan kerja dan Penyakit akibat kerja (PAK) serta meningkatkan produktivitas kerja diperlukan intervensi berupa pelatihan tentang K3 termasuk cara pengendalian dampak lingkungan kerja yang berbahaya disamping sangat diperlukan pembimbingan dalam pembentukan organisasi K3 dan pembentukan prosedur kerja pada kelompok petani sawah. Sehingga dengan elemen baru tersebut yang mengintegrasikan faktor manusia dan lingkungan kerja melalui kajian ilmiah yang komprehensip sehingga keselamatan, kesehatan dan produktivitas kerja petani sawah dapat ditingkatkan. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapatlah diidentifikasi permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yakni: 1.
Apakah ada perbedaan angka kecelakaan kerja dan PAK serta produktivitas kerja petani sawah kelompok perlakuan yang mendapatkan program manajemen K3 sektor pertanian (organisasi dan administrasi K3,
11
pelatihan K3, prosedur kerja K3, pengendalian dampak lingkungan kerja/environment health and safety control) dengan kelompok kontrol? 2.
Apakah
program
manajemen
K3
sektor
pertanian
dapat
meningkatkan/menurunkan angka kecelakaan kerja petani sawah di Kabupaten Sleman? 3.
Apakah
program
manajemen
K3
sektor
pertanian
dapat
meningkatkan/menurunkan angka PAK petani sawah di Kabupaten Sleman? 4.
Apakah ada pengaruh atau efek dari angka kecelakaan kerja terhadap produktivitas kerja petani sawah di Kabupaten Sleman?
5.
Apakah angka PAK dapat meningkatkan/menurunkan produktivitas kerja petani sawah di Kabupaten Sleman?
6.
Apakah
program
manajemen
K3
sektor
pertanian
dapat
meningkatkan/menurunkan produktivitas kerja petani sawah di Kabupaten Sleman? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum: Menilai efek penerapan manajemen K3 sektor pertanian (organisasi dan administrasi K3, pendidikan dan pelatihan K3, prosedur kerja K3, pengendalian dampak lingkungan kerja K3) terhadap kecelakaan kerja, PAK, dan produktivitas kerja petani sawah di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
12
Tujuan khusus: 1.
Mengkaji efek perbedaan dari program manajemen K3 sektor pertanian pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol terhadap angka kecelakaan kerja, PAK dan produktivitas kerja petani sawah
2.
Mengkaji pengaruh program manajemen K3 sektor pertanian terhadap angka kecelakaan kerja kelompok perlakuan
3.
Mengkaji pengaruh program manajemen K3 sektor pertanian terhadap angka PAK.
4.
Mengkaji pengaruh kejadian kecelakaan kerja terhadap produktivitas kerja petani sawah di Kabupaten Sleman.
5.
Mengkaji pengaruh kejadian PAK terhadap produktivitas kerja petani sawah di Kabupaten Sleman.
6.
Mengkaji pengaruh dari program manajemen K3 sektor pertanian terhadap produktivitas kerja petani sawah.
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Bagi petani : a) Mengaplikasi K3 dalam bekerja di sawah b) Terhindar dari kecelakaan kerja dan PAK c) Aman dan selamat dalam bekerja d) Memiliki produk yang berdaya saing tinggi e) Meningkat angka kesejahteraannya
13
2.
Bagi pengembangan ilmu pengetahuan: a) Dapat menumbuh-kembangkan budaya membaca menulis dan meneliti dan publikasi sehingga ilmu pengetahuan terus tumbuh dan berkembang dalam usahanya membantu umat manusia menghargai kehidupan b) Sebagai salah satu sumber informasi bagi peneliti lainnya dalam pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan kerja yang berkelanjutan
3.
Bagi pemangku kepentingan a) Sebagai informasi terbarukan dalam perencanaan dan pengembangan usaha-usaha pencegahan kecelakaan dan PAK pada petani sawah b) Sebagai
salah
satu
sumber
informasi
dalam
penerapan
dan
pengembangan K3 pada pertanian khususnya usaha penerapan K3 pada petani sawah guna peningkatan status kesehatan dan peningkatan produksi petani sawah di Indonesia. 1.5. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran sampai dengan saat ini khususnya di Indonesia informasi ilmiah penerapan K3 dalam sistem produksi pertanian khususnya petani sawah di Indonesia belum ditemukan. Penelitian upaya pencegahan kecelakaan kerja dan PAK di kalangan petani, buruh tani dan keluarganya telah dilakukan di berbagai negara. Houghton (2009) menyimpulkan bahwa di New Zealand telah dilakukan penelitian pada petani dan dipublikasikan sejak Tahun 1992. Hasil penelitian tersebut menemukan
14
bahwa selama kurun waktu 12 bulan penelitian terdapat 50% responden melaporkan PAK, yang terdiri atas 20% responden mengalami nyeri punggung, 2% responden terluka karena kontak dengan hewan, 10% responden terluka ketika menggunakan mesin pertanian, 8% responden melaporkan kesehatan mereka telah dipengaruhi oleh bahan kimia seperti pestisida. Hanya 3% responden yang selalu menggunakan pelindung mata dan 50% reponden memakai perlindungan telinga ketika mereka menjalankan traktor. Penelitian Buranatrevedh & Sweatsriskul (2005) di Thailand tentang pengembangan model promosi kesehatan dan kontrol untuk pencegahan penyakit dan kecelakaan pada petani. Penelitian ini melibatkan 24 kelompok petani padi di 9 desa, bertujuan memberdayakan petani untuk belajar keselamatan dan kesehatan kerja dalam usaha tani padi dan mengembangkan model untuk meningkatkan pemahaman tentang keselamatan dan kesehatan kerja dan mencegah bahaya kecelakaan dan sakit akibat kerja pada petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 masalah utama K3 di antara para petani yakni gejala paparan pestisida (65%), gangguan nyeri punggung bawah (16,6% -75,9%), dan berbagai macam cedera (1,1% -83,2%). Sehingga diperlukan partisipasi aktif petani dalam upaya pencegahan kecelakaan dan sakit akibat kerja yang berkelanjutan. Bancej & Arbuckle (2000) melakukan penelitian faktor risiko kecelakaan kerja pada tenaga kerja anak usia <18 tahun di daerah pertanian Ontario di Amerika Serikat. Dengan metode analisis multivariat ditemukan bahwa tingkat pendidikan orang tua berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan kejadian
15
cedera baik pada anak dan orang dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua dengan pendidikan rendah berkaitan erat dengan risiko terjadinya cedera yang lebih berat. Terkait dengan penggunaan mesin pertanian (traktor) terjadi peningkatan risiko cedera pada operator traktor dengan pendidikan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dapat menjadi salah satu faktor penyebab kejadian cedera di lingkungan pertanian baik pada anak dan orang dewasa. Hasil penelitian Hofmann et al yang dipublikasikan pada tahun 2009, tentang persepsi bahaya kesehatan dan lingkungan kerja diantara tenaga kerja pertanian di Washington State, dengan tujuan menggambarkan persepsi tentang isu kesehatan kerja dan lingkungan diantara tenaga kerja pertanian dengan menggunakan metode CBPR (Community Based Participatory Research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masalah K3 antara tenaga kerja pertanian berbeda sesuai dengan karakteristik demografis tertentu, terutama usia dan etnis. Di Indonesia sesuai hasil pencarian peneliti sampai pada penelitian ini belum menemukan publikasi hasil penelitian yang mirip atau sama dengan topik "Manajemen K3 Sektor Pertanian (Kajian Pada Petani Sawah di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta)".
16