BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Upaya menurunkan hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui Millenium Development Goals (MDG’s) dengan 189 negara anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB) melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyebab Human Immuno Deficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta pembangunan kemitraan global dalam pembangunan (Prasetyawati, 2012). Prinsip ke 4 (empat) International Conference Population and Development (ICPD) yang berbunyi yaitu peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan penghapusan segala kekerasan terhadap perempuan untuk mengontrol fertilitasnya adalah kunci dari program yang mengkaitkan masalah kependudukan dan pembangunan. Peningkatan partisipasi pria dalam Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan reproduksi adalah langkah yang tepat dalam upaya mendorong kesetaraan gender (Kumalasari, 2012). Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) tahun 2012, pertambahan jumlah penduduk merupakan masalah di suatu negara apabila
Universitas Sumatera Utara
tidak disertai peningkatan kualitas hidupnya. Penduduk Indonesia berjumlah 224,9 juta pada tahun 2007, sebelumnya 205,8 juta jiwa (Sensus Penduduk, 2000) dan berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai sekitar 237,6 juta jiwa dan berada di peringkat ke 4 (empat) di dunia berpenduduk tertinggi, berdasarkan kuantitasnya penduduk Indonesia tergolong sangat besar namun dari segi kualitasnya masih memprihatinkan dan tertinggal dibandingkan negara Asean lainnya. Dalam rangka upaya pengendalian jumlah penduduk, maka pemerintah menerapkan program KB. Program KB dan kesehatan reproduksi saat ini tidak hanya ditujukan sebagai upaya penurunan angka kelahiran (pengendalian penduduk), namun dikaitkan pula dengan tujuan untuk pemenuhan hak-hak reproduksi, promosi, pencegahan, dan penanganan masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksual, serta kesehatan dan kesejahteraan ibu, bayi, dan anak. Menurunnya angka Total Fertility Rate (TFR) atau rata-rata kemampuan seorang perempuan melahirkan bayi selama masa reproduksinya sebesar 0,1 selama kurun waktu 5 tahun (2002/2003-2007), dibarengi dengan angka Contraceptive Prevalence Rate (CPR) hanya sebesar 1,1%. Untuk mengurangi jumlah kelahiran setiap tahunnya diupayakan meningkatkan penggunan metode kontrasepsi baik bagi wanita berstatus menikah dan juga pasangannya. CPR diharapkan meningkat menjadi 65% dengan bertambahnya pengguna kontrasepsi yang merata pada tahun 2014 (BKKBN, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Saat ini diperkirakan masih ada sekitar tiga setengah juta Pasangan Usia Subur (PUS) di Indonesia yang ingin menunda, menjarangkan dan membatasi kelahiran untuk masa dua tahun berikutnya, namun tidak menggunakan metoda kontrasepsi apapun. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi (unmet need) mencapai 8,5% dari jumlah PUS, dengan rincian untuk menjarangkan kelahiran (spacing) 3,9% dan membatasi kelahiran (limiting) 4,6%. Terjadi peningkatan dibanding dengan hasil SDKI 2007 yang mencatat unmet need sebesar 9,1%, 4,3% untuk penjarangan dan 4,7% untuk pembatasan kelahiran. Unmet need ini sangat bervariasi antara provinsi, terendah 3,2% di provinsi Bangka Belitung dan tertinggi 22,4% di provinsi Maluku. Unmet need KB diharapkan menurun menjadi 5,0% pada tahun 2014 (BKKBN, 2012). Selama ini masyarakat menganggap Program KB Nasional identik dengan kaum perempuan. Anggapan ini tidak berlebihan karena kenyataannya selama ini sasaran utama program KB sebagian besar adalah perempuan. Namun semua itu mulai berubah, kaum pria pun kini ikut menjadi akseptor KB. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), salah satu indikator keberhasilan BKKBN adalah tercapainya kesetaraan KB pria sebesar 4,5% pada tahun 2010 (BKKBN, 2012). Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pria dalam berKB dan kesehatan reproduksi diantaranya adalah rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, sikap dan perilaku suami, keterbatasan alat
Universitas Sumatera Utara
kontrasepsi pria, faktor sosial budaya masyarakat, dan adanya rumor tentang vasektomi serta pengunaan kondom untuk hal yang bersifat negatif. Berdasarkan data SDKI tahun 2012, partisipasi suami dalam ber-KB secara nasional hanya mencapai 2% di antaranya 1,8% akseptor kondom dan 0,2% akseptor vasektomi. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa partisipasi suami dalam ber-KB masih rendah jika dibandingkan dengan sasaran nasional pada tahun 2012 yaitu 4,5%. Jika dibandingkan dengan pencapaian angka partisipasi suami dalam ber-KB pada tahun 2006 di negara-negara berkembang seperti Pakistan sebanyak 5,2%, Bangladesh sebanyak 13,9%, Nepal sebanyak 24%, Malaysia sebanyak 16,8% dan Jepang sebanyak 80%. Dari data ini dapat dilihat bahwa Indonesia menempati angka partisipasi suami dalam ber-KB yang paling rendah. Sebuah studi yang dilakukan oleh Puslitbang Biomedis dan Reproduksi Manusia pada tahun 1999 di DKI Jakarta dan DIY mengungkapkan bahwa rendahnya peran suami dalam ber KB disebabkan karena kurangnya informasi tentang metode KB pria, terbatasnya jenis kontrasepsi, dan terbatasnya tempat pelayanan KB pria. Studi di Jawa Barat dan Sumatera Selatan pada tahun 2001 juga mengungkapkan penyebab rendahnya suami ber KB sebagian besar disebabkan oleh faktor keluarga yaitu istri tidak mendukung (66%), adanya rumor di masyarakat bahwa vaksektomi sama dengan kebiri (47%), kurangnya informasi metode kontrasepsi pria dan terbatasnya tempat pelayanan serta terbatasnya pilihan KB (6,2%). Dari studi tersebut diketahui hanya satu dari tiga pria yang setuju dengan metode vasektomi dan
Universitas Sumatera Utara
sebanyak 41% pria mengatakan bahwa kondom tidak disukai karena mengurangi kenikmatan dalam berhubungan seksual (BKKBN, 2010). Menurut
BKKBN
(2010),
hal
yang
mendasar
dalam
pelaksanaan
pengembangan program partisipasi suami untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender adalah dalam bentuk perubahan kesadaran, sikap, dan perilaku pria atau suami maupun isterinya tentang keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Untuk meningkatkan kesertaan KB pria, yang utama hendaklah diberi pengetahuan yang cukup tentang KB dan kesehatan reproduksi. Pengelola seyogyanya memahami pengetahuan, sikap dan perilaku dalam berbagai isu serta memahami dalam hubungan pembagian kekuasaan antara suami dan istri. Dari data yang ada di BKKBN Sumatera Utara untuk Kota Medan pada bulan Agustus 2012 diperoleh 1.982.810 pasangan yang menjadi peserta KB aktif sebanyak 1.266.071 atau 63,8% %. Dari jumlah pasangan usia subur yang berhasil dibina menjadi peserta KB dengan menggunakan kondom dan metode operasi pria (MOP) masih sangat rendah yaitu kondom 4,62% dan MOP 0,30% sebagai alat kontrasepsi. peserta KB dengan menggunakan kondom dan metode operasi pria (MOP) masih sangat rendah yaitu kondom 4,62% dan MOP 0,30% sebagai alat kontrasepsi (BKKBN SUMUT, 2012). Permasalahan yang berkembang pada saat pelaksanaan program KB setelah ditetapkannya desentralisasi adalah menurunnya kapasitas kelembagaan Program KB, hal ini terjadi karena melemahnya komitmen politis dan komitmen operasional di tingkat Kabupaten atau Kota. Akibat dari menurunnya kelembagaan atau organisasi
Universitas Sumatera Utara
perangkat daerah adalah kelembagaan program KB di kabupaten atau kota menjadi sangat beragam. Akibat lain dari ditetapkannya kebijakan desentralisasi yaitu jumlah institusi KB tingkat lini lapangan berkurang, dan jumlah serta kualitas tenaga pengelola dan pelaksanaan program KB di tingkat lapangan menurun karena banyak yang dimutasi atau pensiun, serta dukungan sarana, prasarana dan anggaran kurang memadai (BKKBN, 2012). Kota Tebing Tinggi yang merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki jumlah penduduk 147.771 jiwa dengan jumlah PUS sebesar 23.550 orang. Peserta KB aktif tahun 2013 berjumlah 17.450 orang dengan jumlah akseptor KB pria yaitu 200 akseptor vasektomi (1,15%) dan 610 akseptor kondom (3,50%) pada umur 30-45 tahun. Cakupan PUS akseptor vasektomi terbesar ditemukan di Kecamatan Rambutan tahun 2013 yaitu 52 orang (1,32%) dari 5.578 PUS, kemudian Kecamatan Bajenis yaitu 49 orang (1,23%) dari 5.081 PUS, Kecamatan Tebing Tinggi Kota 48 orang (1,85%) dari 3,539 PUS, Kecamatan Padang Hilir yaitu 33 orang (0,97%) dari 4.697 PUS, dan Kecamatan Padang Hulu yaitu 18 orang (0,51%) dari 4.655 PUS. Pada bulan Januari–Mei 2014 akseptor vasektomi di Kota Tebing Tinggi bertambah sebanyak 50 orang dengan rincian Kecamatan Rambutan yaitu 7 orang, Kecamatan Bajenis yaitu 5 orang, Kecamatan Tebing Tinggi Kota 31, Kecamatan Padang Hilir yaitu 4 orang, dan Kecamatan Padang Hulu yaitu 3 orang. Kondisi ini menjelaskan bahwa Kecamatan Tebing Tinggi Kota merupakan Kecamatan terbesar penggunan vasektomi dan terkecil adalah Kecamatan Padang Hulu. Apabila ditinjau dari cakupan yang dicapai tahun 2013 yaitu 1,15%, maka cakupan akseptor
Universitas Sumatera Utara
vasektomi di Kota Tebing Tinggi belum sasaran nasional pengguna vasektomi yang diharapkan yaitu 4,5%. Kecamatan Padang Hulu tidak dipilih sebagai tempat penelitian karena jumlah wanita pasangan usia subur menggunakan metode kontrasepsi lebih tinggi tahun 2014 yaitu 3,529 orang dari 4.655 PUS (75,8%), sedangkan Kecamatan Padang Hilir yaitu 3.407 orang dari 4.697 PUS (72,54%) dan penggunan vasektomi (0,97%) masih jauh berada dibawah sasaran nasional (4,5%). Kecamatan Padang Hulu mempunyai kondisi permukiman lebih rendah sering mengalami banjir sehingga pria mengguna vasektomi ada yang tidak berdomisili lagi di daerah tersebut. Cakupan akseptor KB pria di Kota Tebing Tinggi masih perlu ditingkatkan seoptimal mungkin sehingga target keikutsertaan suami dalam ber-KB dapat tercapai sesuai dengan standar nasional yaitu sebesar 4,5%. Pada umumnya akseptor vasektomi memiliki ekonomi pra sejahtera dengan jenis pekerjaan buruh bangunan, tukang becak, pedagang keliling, petani, pemulung dan supir. Adanya pemberian dana sebesar Rp. 200.000, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan bagi suami pasangan usia subur yang memilih vasektomi merupakan promosi yang diberikan pemerintah Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi (Profil Kota Tebing Tinggi, 2012). Penyebab rendahnya partisipasi suami dalam ber-KB adalah keterbatasan pengetahuan suami tentang kesehatan reproduksi dan paradigma yang berkaitan dengan budaya patriarki dimana peran suami lebih besar dari pada wanita. Ketidaksetaraan gender dan kesehatan reproduksi sangat berpengaruh pada keberhasilan program KB. Sebagian besar masyarakat masih mengganggap bahwa
Universitas Sumatera Utara
penggunaan kontrasepsi adalah urusan wanita saja. Wahyuni (2013), menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya penggunaan kontrasepsi vasektomi di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng yaitu pengetahuan dan sikap tentang vasektomi dan dukungan keluarga. Penelitian yang dilakukan Budisantoso (2009), menunjukkan bahwa dukungan istri berhubungan dengan suami dalam ber KB (vasektomi dan kondom) di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Penelitian Rustam (2006), partisipasi pria dalam praktik metode KB modern di Indonesia dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi yang meliputi pengetahuan, umur istri, pendidikan suami, jumlah anak masih hidup dan sikap terhadap program KB. Penelitian tentang penggunaan vasektomi telah dilakukan Budisantoso dan Rustam, namun penelitian ini dilakukan sebagai pengembangan lanjutan pada lokasi yang berbeda yaitu Kota Tebing Tinggi. Rendahnya penggunaan kontrasepsi oleh pria terutama karena keterbatasan macam dan jenis kontrasepsi pria serta rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak reproduksi serta rendahnya partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB baik dalam praktik KB, mendukung istri dalam menggunakan kontrasepsi, sebagai motivator atau promotor dan merencanakan jumlah anak. Faktor lain adalah (a) Kondisi lingkungan sosial, budaya, masyarakat dan keluarga yang masih menganggap partisipasi pria belum atau tidak penting dilakukan, (b) Pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarganya dalam ber KB rendah, dan (c) Keterbatasan penerimaan dan aksesibilitas pelayanan kontrasepsi pria, selain itu juga karena pelayanan KIP/Konseling kontrasepsi pria masih terbatas, (d) Adanya anggapan, kebiasaan serta persepsi dan pemikiran yang salah yang masih cenderung
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan tanggung jawab KB sepenuhnya kepada para istri atau perempuan (BKKBN, 2008). Dalam mewujudkan metode vasektomi, tidak terlepas kaitannya dengan peran petugas kesehatan (konseling) yang berperan langsung dalam pengembangan program vasektomi. Namun apabila tempat-tempat pelayanan kesehatan yang dapat memberikan pelayanan KB untuk pria masih sangat terbatas, kurangnya sarana dan prasarana puskesmas dalam pelayanan metode vasektomi dapat menghambat penjaringan program kontrasepsi pria. Selain itu, keberadaan tokoh masyarakat cenderung kurang mendukung dalam melaksanakan program KB khususnya tokoh agama yang masih kontraversi dalam menggunakan vasektomi dalam menjarangkan kelahiran karena melanggar agama (Winardi, 2007). Menurut Notoatmodjo (2010), yang mengutip teori Green, faktor yang memengaruhi pria dalam penggunaan kontrasepsi vasektomi dapat menggunakan pendekatan faktor perilaku pada kerangka kerja dari teori Green (1991) yaitu faktor predisposisi (predisposing factors) meliputi pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, budaya), Faktor pemungkin (enabling factors) meliputi tersedianya pelayanan kesehatan, keterjangkauan, dan faktor penguat (reinforcing factors) meliputi perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan). Hasil survei pendahuluan pada 10 orang pria pasangan usia subur pengguna vasektomi berdomisili di Kecamatan Padang Hilir berumur antara 30-45 tahun dan istri tergolong usia subur yaitu 30-35 tahun dan memiliki anak lebih dari 3 orang. Penggunan vasektomi pada umumnya tergolong pra sejahtera dengan jenis pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
sebagai penarik becak, buruh bangunan (kebun), dan pedagang keliling. Temuan hasil wawancara pengguna vasektomi menyebutkan pada umumnya alasan mengikuti vasektomi dikarenakan adanya insentif berupa uang (Rp.200.000) yang diberikan pemerintah setelah mengikuti vasektomi, ada juga menyatakan istrinya mengalami sakit sehingga tidak dapat menggunakan metode kontrasepsi dan tidak ingin menambah anak lagi atau apabila menambah anak akan menambah beban hidup keluarga. Jumlah anak menjadi salah satu faktor penting seseorang untuk menjadi akseptor vasektomi. Semakin banyak jumlah anak, maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk menjadi akseptor KB vasektomi atau tidak. Petugas kesehatan menganjurkan persyaratan suami pasangan usia subur menjadi akseptor vasektomi
telah memiliki 2 anak. Suami pasangan usia subur yang memakai metode kontrasepsi vasektomi menyatakan didukung istri sepenuhnya. Temuan hasil wawancara dengan 10 orang suami PUS tidak menggunakan metode vasektomi cenderung kurang paham tentang metode vasektomi dan mereka tidak didukung oleh istri untuk menjadi akseptor vasektomi. Istri merasa sewaktuwaktu ada keinginan untuk menambah anak lagi dan takut suami terganggu dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu suami PUS merasa bahwa urusan anak atau melahirkan bukan urusan laki-laki tetapi merupakan urusan wanita. Namun, selain faktor pasangan usia subur, petugas kesehatan juga berkontribusi terhadap rendahnya penggunaan KB pada pria. Sering sekali kompetensi dan motivasi petugas kesehatan yang rendah menyebabkan proses sosialisasi penggunaan KB pada pria jadi terhalang. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan 2 orang petugas kesehatan bahwa petugas kesehatan jarang
Universitas Sumatera Utara
memberikan pendidikan kesehatan kepada suami pasangan usia subur tentang metode vasektomi karena keterbatasan klien yang ingin mengetahui metode tersebut dan promosi kesehatan ke rumah-rumah terkait vasektomi jarang dilaksanakan. Kurangnya informasi kesehatan yang diterima suami tentang metode vasektomi oleh petugas kesehatan (konseling) menyebabkan kejelasan cara, proses dan dampak yang akan terjadi masih merupakan persepsi negatif karena vasektomi dapat membahayakan dan menimbulkan impotensi apabila terjadi kesalahan proses operasi, menurunnya kegairahan seks, dan kemampuan ereksi. Ditambah lagi dengan istilah operasi membuat suami merasa takut dan cemas. Selain itu, tempat-tempat khusus pelayanan KB pria untuk memperoleh informasi kesehatan tentang vasektomi sangat terbatas, bahkan apabila ingin memperoleh informasi kesehatan tentang vasektomi harus ke puskesmas yang jaraknya cukup jauh. Sedangkan keberadaan petugas KB dalam melakukan penyuluhan di wilayah kerjanya belum berjalan dengan baik karena kekurangan tenaga kesehatan. Selain itu, ada tanggapan masyarakat bahwa kontrasepsi vasektomi tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang berlaku di masyarakat serta vasektomi dianggap bukan merupakan kebutuhan suami. Selain itu, tanggapan dari suami menyebutkan bahwa vasektomi dapat menyebabkan gangguan terhadap ejakulasi, dan menganggap vasektomi sama dengan kebiri, serta vasektomi merupakan tindakan operasi yang menyeramkan. Untuk mengatasi ketakutan dan kecemasan karena daerah kemaluan mendapat cedera/luka akibat operasi. sekarang ini telah dikembangkan teknik vasektomi yang baru yaitu vasektomi tanpa pisau dengan menggunakan jarum untuk menusuk vas
Universitas Sumatera Utara
deferens dan menggunakan anestesi lokal (Suratun, 2008). Apabila terjadi peningkatkan akseptor vasektomi sebagai bentuk kesetaraan gender bagi kaum istri dapat meningkatkan derajat kesehatan keluarga (istri dan anak), meningkatkan pendapat keluarga, dan mendapatkan kemudahan dalam memperoleh layanan kesehatan. Berdasarkan fenomena di atas, perlu dilakukan penelitian tentang faktorfaktor yang memengaruhi penggunaan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Tahun 2014. 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas dapat dilihat bahwa keikutsertaan suami pasangan usia subur dalam vasektomi masih rendah disebabkan kurangnya pemahaman suami dan persepsi bahwa urusan melahirkan merupakan tanggung jawab istri. Faktor dukungan istri yang tidak ingin suaminya menggunakan kontrasepsi vasektomi karena dapat mengganggu pekerjaan serta ketersediaan pelayanan vasektomi atau keterjangkauan sarana kesehatan dirasa kurang terjangkau sehingga penggunan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir tahun 2013 yaitu 1,15% belum mencapai target nasional (4,5%). Maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: apakah faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) berpengaruh terhadap penggunaan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Tahun 2014.
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui dan menganalisis faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) terhadap penggunaan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Tahun 2014. 1.4. Hipotesis Ada pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) yang memengaruhi terhadap penggunaan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Tahun 2014. 1.5. Manfaat Penelitian Diperoleh gambaran perilaku suami dalam pemilihan vasektomi sebagai alat kontrasepsi yang dipilih Pasangan Usia Subur (PUS) sebagai dasar untuk membuat kebijakan dan program KB vasektomi di wilayah kerja Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi.
Universitas Sumatera Utara