1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Di negara tropis yang sedang berkembang seperti Indonesia, masih banyak
penyakit yang masih menjadi permasalahan di dunia kesehatan, salah satunya adalah infeksi kecacingan (Helminthiasis) (Yudhastuti, 2012). Kecacingan (Helminthiasis) merupakan infestasi satu atau lebih parasit usus golongan nematoda. Cacing golongan nematoda yang sering menginfeksi usus manusia antara lain, cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), dan cacing cambuk (Trichiuris trichiura). Beberapa spesies cacing tersebut merupakan parasit yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Bentuk infektif inilah yang berperan dalam penularannya sehingga disebut dengan istilah Soil-Transmitted Helminthes (STH) (Suriptiastuti, 2006). World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan infeksi STH ke dalam salah satu Neglected Tropical Diseases (NTDs) di dunia yang artinya penyakit ini selama ini terabaikan, meskipun tidak berakibat fatal tapi sangat mempengaruhi status kesehatan masyarakat dan tak jarang menyebabkan kematian. WHO menyebutkan 150.000 kematian terjadi setiap tahunnya akibat infeksi STH. (Gass dan Addiss, 2013). Pada tahun 2014 terdapat lebih dari 1,5 miliar penduduk atau sekitar 24 % dari seluruh populasi dunia terinfeksi STH. Lebih lanjut, terdapat 5,3 miliar penduduk di seluruh dunia yang beresiko terinfeksi minimal satu spesies dari STH (WHO, 2014). Berdasarkan data WHO pada tahun 2006 diketahui bahwa infeksi kecacingan tertinggi disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides yang menginfeksi lebih dari 1.2 miliar orang, disusul oleh cacing Trichuris trichiura yang menginfeksi 795 juta orang, dan cacing Hookworm yang menginfeksi 740 juta orang (Mardiana, 2008). Infeksi tersebar secara luas baik di daerah tropis maupun subtropis dengan angka tertinggi terjadi di dataran Afrika, Amerika, Cina, dan Asia bagian timur (WHO, 2014).
Universitas Sumatera Utara
2
Sebagai negara yang beriklim tropis dengan tanah yang lembab dan terlindung dari sinar matahari, Indonesia merupakan tempat yang baik untuk perkembangbiakan cacing yang siklus hidupnya di tanah. Prevalensi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6% dan pada tahun 2007 mencapai 65% (Samad, 2009). Pada pemeriksaan feses yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 2002 di 230 Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiah yang tersebar di 27 provinsi, menunjukkan rata-rata preavalensi kecacingan sebesar 35,5% dengan infeksi terbanyak berturut-turut disebabkan oleh Trichuris trichiura (20,5%), Ascaris lumbricoides (17,4%), Hookworm (2,3%) (Ditjen PPM&PL, 2004). Pada tahun 2008, dilakukan survei oleh Sub Direktorat Diare dan Penyakit Pencernaan Direktorat Jenderal PPM&PL pada 8 provinsi di Indonesia, menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 5,25-60,98% dengan infeksi terbanyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura (Ditjen PPM&PL, 2008). Berdasarkan laporan dari kabupaten/kota tahun 2012 menyebutkan bahwa prevalensi kecacingan di Indonesia berkisar antara 10%85,9%, terutama pada golongan kurang mampu dengan sanitasi buruk (Ditjen PPM&PL, 2012). Sejauh ini upaya penenanggulangan kecacingan belum membuahkan hasil yang maksimal, hal tersebut dapat dilihat pada sebagian besar provinsi di Indonesia yang menunjukkan bahwa angka prevalensi kecacingan saat ini masih di atas target nasional yang ingin dicapai pada tahun 2010 (<10%) (KEMENKES, 2006). Dari laporan survei pada 10 propinsi yang dilakukan oleh Ditjen PPM-PL menyebutkan bahwa Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki angka kecacingan tinggi, yaitu menduduki peringkat ketiga dengan angka kecacingan 60,4% setelah Nusa Tenggara Barat (83,6%) dan Sumatera Barat (82,3%). Sedangkan untuk angka nasional adalah 30,35%, dengan rincian prevalensi cacing Ascaris lumbricoides 17,75%, cacing Trichuris trichiura 17,74% dan cacing Hookworm 6,46% (Ditjen PPM-PL, 2004). Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial dimasa akan datang
Universitas Sumatera Utara
3
sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik dan intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa penelitian ternyata menunjukkan bahwa anak usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan (DEPKES, 2004; Tumanggor, 2010). Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan 600 juta anak usia sekolah di seluruh dunia tinggal di daerah yang memilki angka penyebaran infeksi STH yang tinggi, daerah tersebut tentunya membutuhkan penanganan dan upaya prevensi yang tepat (WHO, 2014). Penelitian tentang kecacingan pada anak sekolah dasar menunjukkan angka kejadian yang cukup tinggi. Penelitian Mardiana dan Djarismawati (2008) menemukan data prevalensi cacing usus pada murid SD WGT Taskin dari lima wilayah, dua wilayah yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat, penderita askariasis masing-masing 80% dan 74,70%, sedangkan penderita trikuriasis di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat masing-masing 68,42% dan 25,30%. Penelitian yang dilakukan Pertiwi, et al (2013) pada murid SD di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar menemukan dari 239 responden, terdapat 181 responden (75,7%) yang positif kecacingan. Sementara data prevalensi kejadian kecacingan pada murid SDN 100400 Pargarutan dan SDN 100570 Palsabolas Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2012, didapatkan sebanyak 60% murid yang positif terinfeksi kecacingan dari total 100 orang responden (Fitri, 2012). Tingginya angka kecacingan tersebut pada usia anak prasekolah dan sekolah dikarenakan mereka sering bermain atau kontak dengan tanah yang merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya cacing-cacing perut (Chadijah, 2014). Demikian pula dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang di jual di sekolah tanpa memperhatikan higenitas serta sanitasi lingkungan (Silitonga et al, 2008). Pencemaran tanah merupakan penyebab utama terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing lalu masuk ke mulut melalui makanan. Selain itu larva dari cacing yang terkontaminasi di tanah juga mampu menembus kulit manusia sehingga menimbulkan infeksi (Resnhaleksmana, 2014).
Universitas Sumatera Utara
4
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan faktor yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Perilaku ini menyangkut pengetahuan akan pentingnya higenitas personal serta sikap dalam menanggapi suatu penyakit atau permasalahan kesehatan lainnya. Dalam upaya pemeliharaan kebersihan diri ini, pengetahuan anak terhadap pentingnya kebersihan diri sangat diperlukan karena pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentukan tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007) Higenitas personal atau kebersihan diri merupakan upaya seseorang dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperoleh kesejahteraan fisik dan psikologis (Wahit Iqbal, 2008). Salah satu penyebab tingginya angka kecacingan adalah rendahnya tingkat higienitas personal atau kebersihan diri seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar, kebersihan kuku, perilaku jajan di sembarang tempat, perilaku buang air besar tidak di WC, serta ketersediaan sumber air bersih (Tumanggor, 2010). Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri, didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di Indonesia (Zit, 2000). Penyediaan air bersih dan kepemilikan jamban yang baik akan menurunkan prevalensi kecacingan, tetapi hal tersebut harus diikuti dengan perilaku anak, sosial ekonomi, dan sarana air bersih yang baik (Albonico, 2008). Penelitian Jalaluddin (2009) menyebutkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan dengan kejadian infeksi Soil Transmitted Helminthes (STH) (p=0,000). Lebih lanjut, Jalaluddin (2009) juga menyebutkan adanya hubungan yang cukup signifikan anatara sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian infeksi Soil Transmitted Helminthes (STH), penelitian ini menemukan bahwa siswa-siswi yang kondisi sanitasi lingkungan tidak baik berpeluang 14,8 kali lebih besar terinfeksi cacing dibanding yang sanitasi lingkungannya baik (p=0,000). Berdasarkan penelitian Salbiah (2008)
Universitas Sumatera Utara
5
menyebutkan adanya hubungan yang cukup signifikan antara higienitas personal dengan kejadian infeksi Soil Transmitted Helminthes (STH) (p=0,002). Melihat kondisi lingkungan di daerah Medan Amplas, masih banyak dijumpai pemukiman warga yang belum mencapai kelayakan sanitasi lingkungan. Salah satu faktor utamanya adalah tingkat sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang belum memadai. Selain itu sistem drainase dan pembuangan air limbah rumah tangga belum tertata dengan baik. Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hubungan antara perilaku, higienitas personal, dan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminthes pada siswa-siswi SD Negeri 060925 Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan Amplas Tahun 2015.
1.2.
Rumusan Masalah Apakah ada hubungan antara perilaku, higienitas personal, dan sanitasi
lingkungan rumah dengan kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminthes pada siswa-siswi SD Negeri 060925 Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan Amplas Tahun 2015?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara perilaku, higienitas personal, dan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminthes pada siswa-siswi SD Negeri 060925 Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan Amplas Tahun 2015.
Universitas Sumatera Utara
6
1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui prevalensi infeksi Soil-Transmitted Helminthes pada siswa-siswi SD Negeri 060925 Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan Amplas Tahun 2015. 2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan anak dan hubungannya dengan kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminthes pada siswa-siswi SD Negeri 060925 Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan Amplas Tahun 2015. 3. Untuk mengetahui hubungan sikap anak dengan kejadian infeksi SoilTransmitted Helminthes pada siswa-siswi SD Negeri 060925 Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan Amplas Tahun 2015. 4. Untuk mengetahui hubungan higienitas personal anak dengan kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminthes pada siswa-siswi SD Negeri 060925 Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan Amplas Tahun 2015. 5. Untuk mengetahui sanitasi lingkungan rumah anak dan hubungannya dengan kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminthes pada siswa-siswi SD Negeri 060925 Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan Amplas Tahun 2015.
1.4.
Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah Setempat Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai data prevalensi kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminthes di SD Negeri 060925 Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan Amplas Tahun 2015, perilaku anak sekolah dasar tentang infeksi Soil-Transmitted Helminthes, higenitas personal anak, dan keadaan sanitasi lingkungan rumah anak, sehingga pemerintah setempat diharapkan dapat mencanangkan dan menyusun program pencegahan dan pengendalian kejadian infeksi SoilTransmitted Helminthes pada masyarakat setempat.
Universitas Sumatera Utara
7
2. Bagi Orang Tua Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi orang tua mengenai keadaan kesehatan anaknya menyangkut infeksi kecacingan, serta dapat menjadi masukan yang berharga agar orang tua lebih peduli terhadap sanitasi lingkungan rumah dan juga agar mengajarkan anaknya agar berperilaku hidup bersih dan sehat. 3. Bagi Siswa/Siswi Melalui penelitian ini, diharapkan siswa/siswi dapat mengetahui penyebab infeksi Soil-Transmitted Helminthes, sehingga memahamii bahwa dengan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat dapat menghindarkan mereka dari infeksi kecacingan. 4. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah wawasan dan sebagai referensi bagi penelitian lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara