BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) atau dalam program kesehatan dikenal dengan TB.Paru merupakan penyakit yang mudah menular dan bersifat menahun, disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Oswari, 1995). Kuman ini dapat menyerang semua bagian tubuh manusia dan yang paling sering terkena adalah organ paru (90%). WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis, karena di sebagian besar negara di dunia, penyakit tuberkulosis tidak terkendali disebabkan banyaknya penderita tuberkulosis yang tidak berhasil disembuhkan (Aditama, 2006). WHO menyatakan bahwa sekitar 1,9 milyar manusia atau sekitar sepertiga penduduk dunia ini telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Di Indonesia, tuberkulosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat, karena jumlah penderita TB.Paru di Indonesia merupakan ke-4 terbanyak di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB.Paru di dunia (Depkes RI, 2010). Jumlah penderita TB.Paru klinis di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak 104.992 orang, yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 13.744 orang serta yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32% (Dinkes Prov. Sumatera Utara, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Di Kota Medan, jumlah penderita klinis TB.Paru tahun 2010 sebanyak 10.653 orang, yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 1.960 orang yang sembuh sebanyak 790 orang (52,11%). Proporsi penderita penyakit TB.Paru di Kota Medan dari seluruh penderita di Provinsi Sumatera Utara sebesar 10,15%, merupakan wilayah dengan penderita tertinggi ketiga setelah Kabupaten Langkat (15,21%) dan Kabupaten Deli Serdang (11,75%). Namun tingkat kesembuhan hanya 52,11% merupakan paling rendah dibandingkan kabupaten/kota lain di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan target nasional sebesar 80% (Dinkes Kota Medan, 2010). Penyakit TB.Paru merupakan penyakit dengan pasien rawat jalan terbanyak untuk jenis penyakit menular pada tahun 2006 dan 2007, sedangkan pada tahun 2008 menjadi urutan terbesar kedua. Penderita penyakit TB.Paru yang menjalani rawat inap, pada tahun 2006 urutan 4 terbesar, tahun 2007 dan 2008 meningkat menjadi urutan 3 terbesar (RSPI Prof. Dr.Sulianti Saroso Jakarta, 2009). Penyakit TB.Paru penyebab kematian utama di masyarakat. Proporsi penyakit TB.Paru sebagai penyebab kematian berdasarkan untuk wilayah pedesaan merupakan penyebab terbesar yaitu 12,3%, sedangkan untuk wilayah perkotaan merupakan urutan ke 4 terbesar yaitu 7,9 % (Depkes RI, 2008). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk penanggulangan penyakit TB.Paru, dan telah banyak kemajuan yang dicapai, antara lain program DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) dimana Indonesia hampir mencapai target 80%, artinya minimal 80% penderita TB.Paru yang ditemukan
Universitas Sumatera Utara
berhasil disembuhkan. Di Indonesia juga diperkenalkan beberapa program seperti HDL (Hospital DOTS Linkage) yang melakukan program DOTS di RS, PPP (public private partnership) atau PPM (public private mix) yang melibatkan sektor private dalam penanggulangan TB.Paru. Diharapkan agar berbagai upaya ini memberi hasil yang optimal dan untuk itu perlu melibatkan semua stakeholder secara aktif dengan memberi peran dan kesempatan kepada semua pihak secara jelas (Aditama, 2006). Program pengendalian penyakit TB Paru dengan strategi DOTS telah dilaksanakan di seluruh provinsi (33 provinsi) dan 462 Kabupaten/Kota, namun belum seluruh sarana kesehatan melaksanakan strategi DOTS, seperti puskesmas mencapai 94,7%, Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4) atau Rumah Sakit TB Paru (RSTP) mencapai 65% dan pada Rumah Sakit mencapai 38,1%. Pelaksanaan pengendalian penyakit TB Paru sampai tahun 2010 telah dapat menurunkan insiden kasus menular dari 130/100.000 penduduk menjadi 101/100.000 penduduk.. Tahun 1995 telah dilakukan Program Pemberantasan Penyakit TB.Paru (P2TB). Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan program P2TB Paru, prioritas ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan pengobatan yang rasional. Dalam pemberantasan penyakit TB Paru, pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan menggunakan Puskesmas sebagai ujung tombak untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru di masyarakat yaitu dengan cara menemukan dan mengobati penderita sampai sembuh, maka pengobatan diberikan secara gratis di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) Pemerintah khususnya Puskesmas.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu pelayanan yang diberikan di Puskesmas kepada penderita TB.Paru adalah pemeriksaan laboratorium. Dalam program penanggulangan TB Paru, pemeriksaan sediaan mikroskopis BTA dari spesimen dahak merupakan komponen kunci untuk menegakkan diagnosis serta evaluasi dan tindak lanjut pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Gerdunas TB, 2001). Pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan pemeriksaan dahak yang paling efisien, mudah dan murah. Pemeriksaan mikroskopis bersifat spesifik dan cukup sensitif karena pemeriksaan spesimen dahak dilakukan 3 kali (Sewaktu Pagi Sewaktu / SPS) secara mikroskopis sehingga hasil yang diperoleh dinilai tepat dalam menegakkan diagnosa TB Paru (Depkes RI, 2002). Salah satu permasalahan yang masih dijumpai dalam pelaksanaan program P2TB Paru adalah mutu pemeriksaan dahak belum sepenuhnya terjamin secara merata. Ketidakmampuan untuk menafsirkan pemeriksaan laboratorium secara optimal dapat mengganggu perawatan penderita dan penggunaan laboratorium secara tidak tepat dapat mengganggu diagnosis (Suyono, 2000). Untuk menjamin ketepatan dan ketelitian hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung harus dilakukan kegiatan pemantapan mutu laboratorium. Kegiatan pemantapan mutu laboratorium untuk memantau kualitas tata laksana pemeriksaan laboratorium Puskesmas dilaksanakan melalui pemeriksaan cross check atau uji silang yaitu pengiriman satu sediaan dari seluruh slide BTA + masing-masing
Universitas Sumatera Utara
tersangka penderita ditambah 10% BTA negatif (–) hasil pemeriksaan Puskesmas yang diambil secara acak ke Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) atau BP4 yang ditunjuk (Depkes RI, 2002). Error rate diagnosa TB.Paru adalah angka kesalahan laboratorium pada saat melakukan pemeriksaan sediaan secara mikroskopis. Angka error rate (angka kesalahan laboratorium) yang di dapat dari hasil pemeriksaan cross check merupakan salah satu indikator program penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2002). Menurut WHO dimana jika error rate < 5% maka mutu pemeriksaan dahak di Kabupaten atau Kota tersebut dinilai bagus. Dengan dilaksanakannya cross check spesimen maka dapat diketahui kualitas hasil pemeriksaan sediaan dahak pada Puskesmas yang bersangkutan. Akurasi pemeriksaan spesimen ini sangat penting karena menyangkut ketepatan diagnosa pada tersangka penderita. Apabila angka kesalahan laboratorium (error rate) dari hasil cross check diketahui >5% maka dapat berdampak pada hasil pembacaan spesimen yang pada akhirnya terjadi kesalahan pengobatan pada penderita sehingga dapat mengganggu program penanggulangan penyakit TB Paru. Selain itu apabila angka kesalahan tersebut melampaui batas maka akan diadakan tindak lanjut kepada petugas laboratorium Puskesmas yang bersangkutan, seperti mendapatkan bimbingan atau petugasnya perlu magang di BLK (Depkes RI, 2002). Survei Dampak Bantuan Global Fund Komponen TB (2003 s/d 2009) menemukan bahwa pencapaian angka kesalahan laboratorium pada sebagian besar provinsi belum dapat diukur. Berdasarkan data seluruh provinsi yang dilaporkan ke
Universitas Sumatera Utara
Dirjen Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Menular pada tahun 2009 diketahui bahwa suspek yang dilakukan pemeriksaan bakteriologis sebanyak 1.440.779 orang dan yang BTA positif sebanyak 161.115 orang (11,18%). Tingkat error rate yang terjadi dalam pemeriksaan bakteriologis sebesar 11,1% (Warta Gerdunas, 2010). Sejalan dengan hasil cross check Departemen Kesehatan di Kabupaten Kudus menemukan angka error rate menduduki peringkat 1 di Jawa Tengah. Hasil cross check ini harus ditindaklanjuti. Bila hasil cross check menunjukkan error rate lebih dari 5%, unit-unit terkait harus meneliti lebih lanjut apa kemungkinan penyebabnya (Depkes RI, 2002). Dalam program penanggulangan tuberkulosis, diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pengetahuan petugas pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung sangat berguna bagi petugas laboratorium dalam menjalankan pekerjaannya untuk memperoleh kualitas pemeriksaan yang baik (Depkes RI, 2002). Pengetahuan dan informasi penting sangat dibutuhkan untuk melakukan tugas sehari-hari serta informasi dapat memberikan pengertian yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul. Dengan pengetahuan yang dimiliki dapat berdampak kepada perilaku yang meliputi perubahan kebiasaan atau kelakuan (Hadi, 2000). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006) kata “tahu” berarti mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami atau diajar). Sedangkan arti dari
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan adalah hal mengetahui segala sesuatu apabila penerima pesan dapat memperoleh pengetahuan yang didapatnya dari pesan yang disampaikan oleh sumber pengetahuan dan berkenaan dengan sesuatu hal (disiplin ilmu). Dengan demikian salah satu proses mendapatkan pengetahuan adalah melalui pendidikan. Penelitian Djamirun (2005), menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang akan berpengaruh terhadap cara berfikir dan tindakan. Menurut Malayu (2002), pendidikan merupakan suatu indikator yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan latar belakang pendidikan pula seseorang dianggap akan mampu menduduki suatu jabatan tertentu. Secara umum pendidikan yang diperoleh akan mempengaruhi tingkat pemahaman, cara berfikir serta cara mengambil keputusan dalam suatu pekerjaan. Seorang petugas laboratorium dituntut untuk dapat mengetahui tentang banyak hal yang diperiksanya dengan baik (Tarwaka, 2004). Penelitian Yamoto (2001), menyatakan bahwa error rate dalam pemeriksaan sputum TB Paru lebih tinggi pada petugas yang belum pernah pelatihan (10,6%) dibandingkan yang sudah pernah pelatihan (5,4%). Kesimpulan penelitian bahwa ada hubungan antara pelatihan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate, Hal ini sangat berkaitan dengan ketrampilan petugas agar petugas mampu bekerja dengan baik, terampil dan menghasilkan hasil pemeriksaan dengan kualitas yang baik.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan keterampilan petugas laboratorium melalui pelatihan merupakan upaya logis yang dapat dilakukan. Menurut Manulang (2001), bahwa jenis pelatihan yang diikuti seseorang yang berhubungan dengan bidang kerjanya akan mempengaruhi ketrampilan dan sikap mentalnya serta meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dirinya, hal ini akan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan yang bersangkutan. Kemampuan dan ketrampilan tenaga pemeriksa antara lain ditentukan oleh pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 2002). Setiap tenaga laboratorium perlu selalu meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya melalui pelatihan berkelanjutan baik di dalam laboratorium maupun di luar laboratorium (Gerdunas TB, 2001). Kota Medan memiliki 39 Puskesmas di wilayah kerjanya dan 13 puskesmas diantaranya merupakan Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM). Menurut hasil kegiatan program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru (P2TB Paru) tahun 2010 ditemukan error rate (angka kesalahan laboratorium) masih diatas 5% yaitu berkisar rata-rata 15,2% untuk seluruh puskesmas, namun dilihat dari masing-masing unit puskesmas ditemukan error rate yang mencapai 30%, yaitu di Puskesmas Belawan (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010). Berdasarkan tingkat error rate dalam penegakan diagnosa TB.Paru di Kota Medan terdapat kesenjangan (gap) antara yang diharapkan sebesar 5% dengan kenyataan 15,2% menunjukkan masalah yang perlu dikaji penyebabnya. Tingginya
Universitas Sumatera Utara
error rate menyebabkan angka Case Detection Rate (CDR) di Kota Medan menjadi rendah yaitu dari 11.487 kasus klinis ternyata hanya 1.843 yang positif (+) penderita TB paru setelah pemeriksaan. (Profil Dinas Kesehatan Prov. Sumatera Utara, 2010). Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan dan keterampilan petugas laboratorium terhadap error rate diagnosa TB.Paru di Puskesmas Kota Medan.
1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka yang menjadi permasalahan penelitian adalah: “Bagaimana pengaruh pengetahuan dan keterampilan petugas laboratorium terhadap error rate dalam penegakan diagnosa TB.Paru di Puskesmas Kota Medan ?”
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis pengaruh pengetahuan
dan keterampilan petugas laboratorium terhadap error rate dalam
penegakan diagnosa TB.Paru di Puskesmas Kota Medan.
1.4 Hipotesis Penelitian Pengetahuan dan keterampilan petugas laboratorium berpengaruh terhadap error rate dalam penegakan diagnosa TB.Paru di Puskesmas Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan, sebagai masukan untuk melakukan evaluasi terhadap pengelola atau pelaksana program P2TB Paru serta membuat perencanaan yang mendukung peningkatan kinerja petugas kesehatan khususnya dalam pelaksanaan pemeriksaan laboratorium TB Paru di Puskesmas sehingga error rate dapat diturunkan. 2. Bagi Petugas Laboratorium TB Paru Puskesmas, sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru (P2 TB Paru). 3. Bagi Peneliti sebagai wahana pengembangan wawasan keilmuan di bidang kesehatan masyarakat, khususnya tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit TB Paru. 4. Bagi penelitian selanjutnya sebagai bahan perbandingan atau referensi dalam penelitian tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit TB Paru.
Universitas Sumatera Utara