BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Chikungunya merupakan suatu penyakit dimana keberadaannya sudah ada sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut sejarah, diduga penyakit Chikungunya pertama kali ditemukan di dunia tahun 1952 di Afrika pada suatu tempat yang dinamakan Makonde Plateau. Tempat ini merupakan daerah perbatasan Tanzania and Mozambique, kemudian terjadi di Uganda tahun 1963. Dari tahun 1952 sampai kini virus telah tersebar luas di daerah Afrika, menyebar ke Amerika dan Asia. Virus Chikungunya menjadi endemis di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1954. Pada akhir tahun 1960 virus berkembang di Thailand, Kamboja, Vietnam, Manila dan Burma. Tahun 1965 terjadi KLB di Srilanka (Balitbangkes Depkes, 2005). Chikungunya adalah suatu jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK) termasuk dalam genus Alphavirus dari famili Togaviridae. Penyebaran virus Chikungunya bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor potensial dalam penyebaran Chikungunya (Depkes, 2007). Vektor penular penyakit ini adalah nyamuk Aedes spp juga sebagai penular Demam Berdarah Dengue (DBD) yang merupakan penyakit endemis di Indonesia. Dengan demikian Demam Chikungunya ini sangat berpotensi menjangkiti suatu daerah dan bahkan bisa menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.Tiga faktor 1
Universitas Sumatera Utara
2
yang memegang peranan dalam penularan penyakit Chikungunya yaitu manusia,virus dan vector perantara (Kemenkes RI, 2012). Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5 hari (vijfdaagse koorts) yang kadangkala disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di Jakarta. Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Yogyakarta. Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah melaporkan adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim, tahun 2000 di Aceh, tahun 2001 di Jawa Barat ( Bogor, Bekasi, Depok ), tahun 2002 di Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI, Banten, tahun 2003 terjadi di beberapa wilayah pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Secara epidemiologis, saat ini hampir seluruh wilayah di Indonesia berpotensial untuk timbulnya KLB Chikungunya. (Kemenkes RI, 2012) Selama tahun 2008, di Indonesia terjadi KLB Chikungunya di beberapa provinsi, ditemukan di Jawa Barat (718 kasus), Jawa Tengah (26 kasus) dan Jawa Timur (368 kasus). di Kalimantan (32 kasus), di Lampung (99 kasus) dan di Sumatera Selatan (581 kasus) serta di Sumatera Utara tercatat (444 kasus) (Aditama, 2009).
Universitas Sumatera Utara
3
Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis Demam Berdarah Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia potensial untuk terjadinya KLB Chikungunya. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Penyakit Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sangat berbahaya sekali karena bisa mempengaruhi peningkatan kejadian Chikungunya dan juga kedekatan tempat perindukan nyamuk tersebut dengan tempat tinggal manusia merupakan faktor risiko terjadinya Chikungunya (Kemenkes RI, 2012). Manusia mempunyai hubungan timbal balik terhadap lingkungan dalam hal ini menitikberatkan pada interaksi manusia dengan lingkungannya. Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan salah satunya adalah penyakit yang ditularkan oleh vector. Mewabahnya penyakit yang disebabkan oleh vector diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang buruk (Anies, 2006 ). Kondisi faktor lingkungan fisik seperti adanya perubahan iklim, pencahayaan yang kurang, kelembaban yang tinggi, kondisi lingkungan rumah yang buruk menyebabkan perkembangbiakan vektor semakin meningkat, salah satunya adalah penyakit demam chikungunya. Demam chikungunya banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropics (Anies, 2006). Kesehatan lingkungan merupakan bagian dari dasar-dasar kesehatan masyarakat modern yang meliputi semua aspek manusia dalam hubungannya dengan
Universitas Sumatera Utara
4
lingkungan, yang terikat bermacam-macam ekosistem. Lingkungan merupakan segala sesuatu yang mengelilingi kondisi luar manusia atau hewan yang menyebabkan penularan penyakit. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup sumber air, kebersihan jamban, pembuangan sampah, kondisi rumah, pengelolaan air limbah (Timmreck, 2004). Selain masalah kesehatan lingkungan fisik, masih ada dari sebagian masyarakat yang belum mengetahui apa itu penyakit chikungunya , dan sebagian masyarakat lainnya baru mengerti tentang cikungunya setelah mereka terkena penyakit ini. Pencegahan sejak dini terhadap chikungunya dapat dilakukan pada masyarakat yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang chikungunya. Pengetahuan tentang kesehatan sangat penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari terlebih pengetahuan tentang chikungunya (Suriptiastuti, 2007). Pada bulan November–Desember tahun 2014, berdasarkan laporan Puskesmas Batangtoru, ditemukan kasus Chikungunya sebanyak 74 kasus tanpa ada laporan kematian, sebagian besar kasus berumur ≥ 18 tahun yaitu 65 kasus (87%). Dengan perbandingan penderita Chikungunya antara laki-laki dan perempuan yaitu 23 kasus (31%) dan 51 kasus (69%). Dengan ditemukannya kasus baru Chikungunya tersebut, dikhawatirkan dapat memperburuk keadaan karena daerah tersebut termasuk daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD) yang tiap tahunnya terjadi kasus DBD sehingga perlu mendapat perhatian dalam upaya penanggulangan (Puskesmas Batangtoru, 2014).
Universitas Sumatera Utara
5
Kasus Chikungunya yang ditemukan di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan walaupun tidak menyebabkan kematian akan tetapi angka kesakitan cukup tinggi karena kondisi lingkungan yang mendukung sehingga menimbulkan keresahan
di
masyarakat.
Masyarakat
menjadi
cemas
karena
penyebaran
Chikungunya yang cepat, dalam waktu singkat bisa menyerang banyak orang disertai dengan keluhan nyeri sendi yang hebat sehingga mengakibatkan penduduk mengalami kelumpuhan sementara dan produktivitas kerja menurun yang akhirnya berdampak pada faktor ekonomi masyarakat (Depkes, 2008). Dalam setiap masalah kesehatan termasuk dalam upaya pemberantasan Chikungunya bahwasanya faktor lingkungan dan perilaku senantiasa sangat berperan penting khususnya dalam upaya pencegahan penyakit. Selain kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, upaya pengendalian vektor dalam mencegah kejadian Chikungunya bisa dilakukan dengan menghindari terjadinya kontak dengan nyamuk dewasa dan dengan memperhatikan faktor kebiasaan keluarga antara lain; kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti nyamuk siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai yang bisa diubah ataupun disesuaikan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kasus Chikungunya terhadap salah satu anggota keluarga (Kemenkes RI, 2012). Penelitian
tentang
faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
kasus
Chikungunya pada KLB yang dilakukan oleh Rumatora (2011) di Dusun Mentubang Desa Harapan Mulia Kabupaten Kayong Utara. Hasil penelitian diperoleh dua faktor berhubungan dengan kejadian Chikungunya, yaitu kebiasaan menggunakan kelambu
Universitas Sumatera Utara
6
dan kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar. Variabel yang paling dominan pada kejadian Chikungunya adalah kebiasaan menggunakan kelambu. Kemudian penelitian Lestari (2011) didapatkan hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengetahuan dan kebiasaan menutup penampungan air tidak berhubungan dengan kejadian demam chikungunya, namun terdapat hubungan antara kebiasaan tidur pada pagi hari menjelang siang dan atau siang hari menjelang sore, kebiasaan menggantung pakaian, serta kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi. Selanjutnta Harahap (2012), menyatakan bahwa pengetahuan, sikap dan peran petugas
kesehatan
berhubungan
terhadap
pemberantasan
sarang
nyamuk
Chikungunya melalui metode PSN. Variabel yang paling dominan adalah peran petugas kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Imran (2013) menunjukkan bahwa variabel lingkungan rumah yaitu kawat kasa pada ventilasi dan variabel perilaku masyarakat yaitu sikap dan tindakan berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya, sedangkan kerapatan dinding, langit-langit rumah, TPA dan kelembaban tidak berpengaruh. Hasil uji regresi logistik berganda diketahui bahwa variabel yang dominan berpengaruh terhadap Chikungunya adalah tindakan dengan nilai koefisien Exp (B) 4,779. Hasil dari observasi di Kecamatan Batangtoru, 10 orang warga disana mengatakan bahwa belum begitu mengetahui tentang penyakit chikungunya. Sedangkan lingkungan desa masih terlihat adanya kaleng bekas, tumpukan pakaian yang menjadi tempat berkembiaknya nyamuk Aedes Aegepty. Maka dari itu peneliti
Universitas Sumatera Utara
7
tertarik untuk meneliti tentang pengaruh lingkungan fisik rumah
dan perilaku
masyarakat terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015.
1.2. Permasalahan Angka kejadian Chikungunya yang terjadi di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan suatu fenomena yang harus diketahui secara pasti tentang berbagai faktor risiko yang memengaruhi kejadian Chikungunya. Ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Chikungunya diantaranya adalah kondisi lingkungan rumah dan perilaku masyarakat dalam pengendalian penyakit tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh lingkungan rumah (pencahayaan, kelembaban, suhu, tempat perindukan nyamuk, tempat istirahat nyamuk, kerapatan dinding, ventilasi, langit-langit rumah, dan perilaku masyarakat (pengetahuan, sikap, tindakan) terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh lingkungan rumah (pencahayaan, suhu, kelembaban, tempat perindukan nyamuk, tempat istirahat nyamuk, dan kepadatan jentik, kerapatan dinding, kawat kasa pada ventilasi, langit-
Universitas Sumatera Utara
8
langit rumah, tempat penampungan air) dan perilaku masyarakat (pengetahuan, sikap, tindakan) terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ke berbagai pihak antara lain: 1.
Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Puskesmas Batangtoru sebagai bahan masukan dalam meningkatkan penyuluhan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dan juga sebagai bahan referensi dalam penyusunan program pengendalian Chikungunya.
2.
Bagi masyarakat, sebagai informasi mengenai pentingnya upaya pengendalian Chikungunya terhadap lingkungan di tempat tinggal mereka.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tentang Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri yang berkaitan dengan kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan.
4.
Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian diharapkan dapat menambah sumber kepustakaan dan sebagai data dasar dalam melakukan penelitian sejenis pada masa-masa yang akan datang berkaitan dengan Chikungunya.
Universitas Sumatera Utara