BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Globalisasi ekonomi sudah ada sejak dahulu, tetapi mulai kelihatan ke permukaan pada dasawarsa 60-an. 1 Hal ini dapat dilihat dengan menyebarnya mata rantai produksi dan pemasaran sejumlah perusahaan multinasional dari negara-negara industri ke seluruh pelosok dunia. Pada kenyataannya tidak satupun negara di dunia yang mampu menghindari dampak globalisasi. Globalisasi pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan berpencar di dunia kepada suatu tradisi tunggal yang tidak mengenal batas-batas wilayah. 2 globalisasi telah membuat dunia seolah tanpa batas (borderless). Era ini ditandai dengan maraknya aktivitas di bidang ekonomi. Salah satu ciri bisnis atau perekonomian yang paling menonjol pada era globalisasi : moving quickly, sangat cepat mengalami perubahan. Seperti yang dikemukakan oleh William Irvin Thompson, dengan dukungan teknologi dan informasi, kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad, tahun, dan bulan, tetapi pergeseran dan perubahan bisa terjadi setiap hari. 3
1
Ian Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes between States : History and Prospect, dalam R. St. J. Macdonald and Douglas M. Johnston (eds), The Structure and Process of International Laws : Essay in Legal Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff, 1986, hlm. 1095. 2 Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction, dikutip dalam Ida Susanti, dkk (ed), Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 3. 3 Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 143.
Universitas Sumatera Utara
Globalisasi ekonomi tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang yang melintasi batas-batas negara yang dikenal dengan istilah perdagangan internasional atau transaksi bisnis internasional. Penggambaran tentang proses globalisasi dapat dilakukan dalam banyak dimensi di antaranya dimensi ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum. Namun meskipun demikian dalam banyak pembicaraan globalisasi senantiasa dipandang identik dengan internasionalisasi kegiatan ekonomi, khususnya dalam bentuk liberalisasi perdagangan dan investasi. 4 Globalisasi ekonomi yang semakin berkembang oleh prinsip perdagangan bebas selanjutnya membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai undang-undang dan melewati batas-batas negara.5 Globalisasi dalam dunia bisnis telah menimbulkan kompleksitas dan keberagaman transaksi. Kondisi seperti ini menimbulkan tuntutan akan kepastian hukum (legal certainty) dari setiap transaksi. 6 Kondisi seperti diuraikan di atas menjadikan kebebasan berkontrak sebagai paradigma utama dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak dipandang sebagai penjelmaan hukum (legal expression) prinsip perdagangan bebas. 7 Sama halnya
4
Ibid. Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Tehnologi, Implikasi Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Di Indonesia, Pidato pada Dies Natalis USU ke 44 Medan, 20 November 2001, hal. 4. 6 Ibid, hal. 6. 7 Ridwan Chairandi, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2003), hal. 1. 5
Universitas Sumatera Utara
dengan liberalisasi perdagangan, doktrin kebebasan berkontrak dibangun diatas asumsi terdapatnya kekuatan posisi tawar yang sama antara para pihak yang melakukan transaksi. Akibatnya bisa terjadi pihak yang lemah dikuasai oleh pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Kritikan terhadap doktrin kebebasan berkontrak menyebutkan terjadinya perubahan paradigma hukum kontrak dari kebebasan berkontrak kearah kepatutan. Saat ini kebebasan berkontrak tidaklah berarti kebebasan tanpa batas. 8 Unsur kepastian hukum dalam kebebasan berkontrak diimbangi dengan unsur keadilan (justice) bagi para pihak dalam kontrak. 9 Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesia masih sangat rendah dan sangat mengurangi minat investor. 10 Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan seringkali disebabkan karena adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman akan substansi kontrak yang berakibat terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak investor proyek jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa karena baru beberapa tahun proyek berjalan, kontrak dibatalkan oleh pengadilan. Secara perhitungan ekonomi, hal ini jelas sangat merugikan investor mengingat keuntungan belum didapat, bahkan break even point (titik balik modal) 8
M. Yahya Harahap, Dua sisi Putusan Hakim tidak adil bagi yang kalah, adil bagi yang menang, Varia Peradilan, Tahun VIII, No. 95, Agustus 1993, hal. 107. 9 Bayu Seto, Lex Mercatoria Baru dan Arah perkembangan Hukum Kontrak Indonesia di dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Ida Susanti, dkk (ed), Aspek Hukum dari Perkembangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 72. 10 Ibid hal 75.
Universitas Sumatera Utara
belum tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of contract) seolah tidak berlaku di Indonesia. 11 Dengan banyaknya kegiatan bisnis yang ratusan jumlah transaksinya setiap hari, tidak mungkin dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute) diantara para pihak. Setiap sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian. Semakin banyak dan luas kegiatan perdagangan, semakin banyak pula kemungkinan terjadi sengketa. 12 Sengketa terjadi karena adanya perbedaan kepentingan masing-masing para pihak, yaitu bila ada interaksi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak percaya bahwa kepentingannya tidak sama dengan kepentingan yang lain. 13 Di Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei) sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya dituangkan dalam bentuk UndangUndang Konsiliasi Perdata atau “Minji Chotei Ho” pada tahun 1951. 14 Di samping itu, baik Cina dan Jepang sejak lama mengenal mediasi juga sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina tidak suka kepada Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Di sini sengketa-sengketa perdata diselesaikan melalui mediator. Untuk priode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi antara kaum Confucius dan Legalist mengenai bagaimana 11
Mohammad Ikhsan, Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru, Kompas 31 Maret 2004. Hal 9. 12 Richard Hill, Overview of Dispute Resolution, hal. 1, http/www.batnet com/oikoumene/arbined3 html./. 13 Ibid. 14 Hideo Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo : University of Tokyo Press, 1988), hal. 492.
Universitas Sumatera Utara
mengatur masyarakat. Di satu pihak, kaum Confucius menekankan pentingnya ditegakkan prinsip-prinsip berdasarkan moral (li). Sedangkan kaum Legalist memandang perlunya aturan-aturan hukum tertulis yang pasti (fa). 15 Rakyat kebanyakan sadar dan menerima ikatan-ikatan moral yang berlaku lebih banyak akibat pengaruh sanksi sosial daripada karena dipaksakan oleh hukum yang berlaku. Oleh karenanya clan, gilda, dan kelompok golongan terkemuka (Gentry) menjadi institusi hukum yang informal dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dalam masyarakat Cina tradisional. Kepala clan, gilda dan tokoh masyarakat menjadi penengah (mediator) dalam sengketa-sengketa yang timbul dan bila perlu mengenakan sanksi disipliner dan denda. Confuciusnisme yang mengartikan fa sebagai hukuman (Hsing), bukan merupakan cara yang baik untuk menjaga ketertiban sosial. Menurut Erman Rajagukguk, masuk akal, jika masyarakat Cina tradisional enggan membawa persengketaan di antara mereka ke depan pengadilan yang resmi, karena hubungan yang harmonis bukan konflik mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat. 16 Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda oleh setiap kultur dan arbitrase tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural. Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultur konsiliatori (conciliatory
15 16
Erman Rajagukguk, Loc.Cit, hal. 105. Ibid, hal. 105-106.
Universitas Sumatera Utara
culture), dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui sebagai mekanisme yang lebih cocok untuk penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan kultur Jepang yang menekankan
keharmonisan,
yang
pada
gilirannya
mempengaruhi
untuk
mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi. Setidak-tidaknya ada empat cara untuk menyelesaian sengketa. Pertama, satu pihak atau lebih sepakat untuk menerima suatu situasi, dimana kepentingan mereka tidak terpenuhi seluruhnya. Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau persyaratan secara lengkap kepada orang atau panel, yang akan memutuskan kepentingan mana yang harus dipenuhi dan kepentingan mana yang tidak dipenuhi. Pada umumnya, orang atau panel yang tidak memihak tersebut akan merujuk kepada aturan-aturan atau pedoman yang telah ada dan yang telah disepakati oleh semua pihak atau sedikitnya sudah diketahui oleh semua pihak. Ketiga, persepsi satu pihak atau pihak lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan. Keempat, kepentingan satu pihak atau pihak yang lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan. 17 Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi (Pengadilan) dimana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. 18 Proses ini membutuhkan waktu yang amat lama, oleh karena itu penyelesaian secara litigasi tidak diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan
17 18
Ibid, hal. 1. Sudargo Gautama, Hukum Bisnis Indonesia, (Bandung : Citra adytia bakti, 2002) hal.
67.
Universitas Sumatera Utara
perkembangannya. 19 Pengadilan dianggap sebagai lembaga yang tidak efektif untuk penyelesaian sengketa bisnis. Disamping panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk menjalani proses persidangan, putusan pengadilan yang bersifat terbuka juga dapat “mematikan” reputasi seorang pelaku bisnis. Sedangkan dalam dunia bisnis, reputasi merupakan unsur yang sangat penting. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi hukum terkemuka Jepang bernama Takeyosi Kawasima : ”membawa perkara ke pengadilan berarti mengisukan suatu tantangan umum dan membakar suatu pertengkaran”. 20 Forum peradilan selama ini dianggap jauh dari ideal untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang muncul dikalangan dunia usaha, khususnya dengan mitra usaha luar negeri. 21 Seiring dengan makin tumbuhnya keperluan dunia usaha dan kesadaran kalangan praktisi dan pemerintah akan suatu proses penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, dengan demikian diambil suatu cara sebagai alternatif atau pelengkap terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute Resolution/ADR). Istilah ADR yang pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika Chief Justice Warren Burger mengadakan The Roscoe E. Pound “Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the 19
Sujud Margono, Alternative Disputes Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hal. 5. 20 Alternative Disputes Resolution, Section 4-Choosing ADR, http/www.open.gov.uk/Icd/Consult/civ.just/adr/section 4 htm. Available : 19 Juni 200, Sebagaimana dikutip oleh Runtung dalam Disertasi, “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di KabanJahe dan Brastagi”, 2002, hal. 5. 21 Gunawan Widjaja, Alternati Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. VII.
Universitas Sumatera Utara
Administration of Justice” (Pound Conference) di Saint Paul, Minesota. Para akademisi, para anggota pengadilan, dan para public interest lawyer, secara bersamasama mencari cara terbaru dalam menyelesaikan konflik. Pada tahun 1976 itu pula American Bar Association (ABA) mengakui secara resmi gerakan ADR dan membentuk satu Komisi Khusus untuk Penyelesaian Sengketa (Special Committee on Dispute Resolution). 22 Di negara-negara Asia Timur ADR muncul didasari pada kultur yang menekankan keharmonisan, seperti kultur Jepang dan Indonesia. 23 Hal itu telah membuat ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, di Indonesia pada tahun 1999, Pemerintah Negara Republik
Indonesia
dibawah
Pemerintahan
Presiden
BJ
Habibie
telah
mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa diluar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa. 24
22
Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, ( ST. Paul, Minn : West Publishing Co, 1992), hal. 5. 23 Erman Rajagukguk, Loc.Cit, hal. 3. 24 Gunawan Widjaja, Alternati Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu model alternatif penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda, oleh setiap kultur dan arbitrase tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural. 25 Arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa hukum di luar proses Pengadilan bukan sesuatu yang baru dalam sistem penyelesaian sengketa di Indonesia, tetapi di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian, karena itu jarang terdengar. Berbeda dengan sekarang, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum penting sebagai cara menyelesaikan sengketa di luar proses Pengadilan. Meningkatnya peranan arbitrase bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga baik nasional maupun internasional.26 Bahkan kini penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase merupakan kebutuhan bahkan idola bagi para pelaku bisnis. Menyikapi kebutuhan dunia usaha akan penyelesaian sengketa non litigasi ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai landasan hukum pelaksanaan arbitrase di Indonesia. Arbitrase dipilih oleh para pelaku bisnis antara lain disebabkan : sengketa diperiksa oleh orang-orang yang ahli mengenai masalah-masalah yang disengketakan oleh karena itu waktu penyelesaian sengketa relatif cepat, biaya lebih ringan, serta
25
Yasunobu Sato, The Japanese Model Dispute Processing of, Proceedings Of Roundtable Meeting the, Law Asian Development And Socio-Economic Changes in [of] II, Bangkok : 19-20 November 2001, hal. 156. 26 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), 2002, hal. ii.
Universitas Sumatera Utara
pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang mungkin dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya. 27 Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai kelebihan atau keuntungan, antara lain 28 : 1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; 2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; 5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan; Selain hal-hal di atas, arbitrase mempunyai keistimewaan dibanding peradilan, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali, karena putusan arbitrase bersifat ”final and binding” (upaya terakhir dan mengikat) sehingga proses dalam arbitrase harusnya lebih efisien dan putusannya dapat segera dilaksanakan. 29 Namun tidak jarang para pelaku bisnis, terutama mereka yang memenangkan perkara akan menghadapi suatu kekecewaan apabila dihadapkan pada pelaksanaan putusan arbitrase yang melibatkan Pengadilan.
27
Ibid. Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan pengadilan, (Jakarta : Chandra Pratama, 2000), hal 392. 29 Ibid, hal 393. 28
Universitas Sumatera Utara
Hal ini disebabkan tindakan pengadilan yang seringkali membatalkan dan menolak putusan arbitrase. Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase ini, di Indonesia masih banyak menghadapi masalah, khususnya masalah arbitrase internasional. 30 Banyak putusan arbitrase yang sudah diputus oleh arbiter, kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN). Oleh karena itu, hal tersebut akan menimbulkan tanda tanya, apakah lembaga arbitrasenya yang sudah tidak bisa dipercaya, atau Pengadilan yang dijadikan sarana untuk menghambat pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase. 31 Sebagai salah satu contoh, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya tertanggal 27 Agustus 2002 telah membatalkan putusan arbitrase internasional antara Pertamina vs Karaha Bodas Company L.L.C (”Karaha Bodas”), 32 dimana dalam putusan arbitrase internasional di Genewa-Swiss tersebut Pertamina telah dikalahkan. Majelis Hakim PN Jakarta Pusat telah memenangkan gugatan Pertamina dengan membatalkan keputusan arbitrase internasional tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, PN Jakarta Pusat antara lain menyatakan : (1) Putusan tersebut juga dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, karena penundaan proyek Karaha Bodas didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali
30
Ibid, hal 397. Ibid, hal 399. 32 Ida Susanti & Bayu Seto, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 336-337. 31
Universitas Sumatera Utara
Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan Swasta Yang Berkaitan dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, tertanggal 20 September 1997, oleh sebab itu dianggap bahwa Pertamina tidak memiliki kekuatan hukum untuk menolak Keppres tersebut; dan (2) Disebutkan juga bahwa arbitrase internasional tersebut telah melampaui kewenangannya dalam menangani perkara ini karena tidak menerapkan hukum Indonesia. Kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian yang lebih jauh tentang kepastian hukum dalam setiap penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis intenasional dalam tesis yang berjudul ”Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Bisnis Internasional”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa yang dikembangkan di Indonesia sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis internasional ? 2. Bagaimana kaidah hukum Indonesia mengatur penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional ? 3. Bagaimana pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan pengadilan atau arbitrase asing dalam hukum Indonesia ?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui serta memahami bentuk penyelesaian sengketa yang dikembangkan di Indonesia sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis internasional. 2. Untuk mengetahui serta memahami kaidah hukum Indonesia mengatur penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional. 3. Untuk mengetahui serta memahami pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan pengadilan atau arbitrase asing dalam hukum Indonesia.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah aspek hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata hukum dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional.
Universitas Sumatera Utara
2. Secara Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat) serta Konsultan Hukum dan Badan Pengawas Sengketa Transaksi Bisnis Internasional, sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional agar mempunyai persepsi yang sama.
E. Keaslian Penelitiaan Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang analisis hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekataan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan terpencar-pencar di banyak wilayah negara di dunia ini ke satu kondisi tunggal yang tidak mengenal lagi batas-
Universitas Sumatera Utara
batas wilayah. 33 Globalisasi ini tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang melintasi batas-batas negara yang dikenal dengan istilah perdagangan internasional atau transaksi bisnis internasional. Berdasarkan kondisi tersebut Will. D. Verwey menyatakan bahwa terhadap teori perdagangan bebas/perdagangan internasional perlu dilakukan penyesuaian dengan pembatasan sebagai berikut : 34 1. Pembatasan terhadap prinsip kebebasan, melalui penggunaan prinsip perlindungan; 2. Perubahan parsial atas prinsip persamaan hak dan bidang hukum atas dasar perbedaan tingkat dan kekuatan ekonomi; 3. Prinsip timbal balik yang karena perbedaan di dalam kekuasaan ekonomi dilengkapi dengan prinsip nonreciprocity; Transaksi bisnis internasional pada dasarnya adalah transaksi yang berkaitan dengan kegiatan komersial yang melintas batas negara yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Adanya perbedaan sistem hukum tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan kewarganegaraan individu atau juga perbedaan kebangsaan perusahaan atau badan hukum yang melakukan transaksi tersebut. Transaksi bisnis internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang telah disepakati oleh para pihak. Dengan adanya kontrak yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan para pihak terhadap ekseptasi yang akan didapatkannya dari
33
Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction, dikutip dalam Ida Susanti, dkk (ed), Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 3. 34 Will D. Verwey, The Establishment of a New International Economic Order and Realization of The Right to Development and Welffare, (Geneva : A Legal Survey, 1980), hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan kontrak tersebut. Dan untuk harapan tersebut para pihak bersedia menggunakan sumber daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan tersebut. Dalam hukum kontrak dikenal tiga asas yang satu sama lainnya saling berkaitan, yakni asas konsensualisme (The Principle of Consensualism), asas kekuatan mengikatnya kontrak (The Principle of The Binding Force of Contract), dan asas kebebasan berkontrak (The principle of Freedom of Contract). 35 Defenisi yang telah diterima umum (di dunia) mengenai kontrak internasional adalah kontrak nasional yang ada unsur asing. Atau hukum yang mengatur kontrak nasional yang ada unsur asingnya. 36 Meski namanya kontrak internasional, rejim kontrak yang mengaturnya adalah hukum kontrak internasional. Ciri ini melekat dan terjadi pada hukum kontrak internasional karena adanya lembaga pilihan hukum (Choice of Law) dalam hukum kontrak internasional. Choice of Law atau Applicable Law atau Governing Law adalah lembaga yang membolehkan para pihak untuk memilih dan menetukan salah satu hukum kontrak suatu negara (dari para pihak atau hukum negara lain atau hukum tertentu yang mengatur objek kontrak) yang mengatur kontrak internasional yang berfungsi untuk memberi kepastian hukum, yaitu hukum apa yang mengatur kontrak tersebut. Termasuk pengertian di dalamnya adalah menentukan sah-tidaknya kontrak dan penafsiran terhadap kontrak serta hukum (negara mana) yang pengadilan akan terapkan untuk menyelesaikan sengketa kontrak. 35
Ridwan Chairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2003), hal. 27. 36 Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional,(Bandung : Alumni, 1976), hal.7.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal terjadinya konflik terhadap pelaksanaan suatu kontrak, sangat penting pula ditegaskan pengadilan ataupun forum penyelesaian mana yang akan mengadili jika terjadi konflik (dispute) dalam pelaksanaan dari kontrak tersebut. Pada umumnya pengadilan negara yang hukumnya telah dipilih sebagai governing law dari kontrak akan dipilih sebagai pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang timbul dari kontrak dagang internasional, walaupun para pihak dapat menyepakati pengadilan perkara yang timbul dari kontrak tersebut dapat dilakukan di negara lain. Untuk pilihan hukum (choice of law governing contract) dan pilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction) harus memerlukan perhitungan yang tepat, karena akan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dan pengadilan tersebut secara baik membela hak-hak dari pihak berkontrak. Pilihan yurisdiksi berperkara, juga secara strategis harus diperhitungkan terhadap wilayah hukum dari dimana proyek yang disepakati dalam kontrak tersebut dilaksanakan dan juga sangat penting dimana aset-aset mitra berkontrak tersebut berada. 37 Dalam hal misalnya, pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi dari suatu kontrak dagang internasional berbeda dengan domisili hukum keberadaan dari asset yang akan dieksekusi sehubungan dengan putusan tersebut, maka putusan tersebut akan bersifat foreign judgment terhadap negara dimana asset tersebut berada, sehingga tidak tidak dapat dengan begitu saja dieksekusi, kecuali bila di antara negara 37
Baca juga artikel berjudul Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional, oleh Ricardo Simanjuntak, diterbitkan dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 No. 4 tahun 2003.
Universitas Sumatera Utara
tempat pengadilan yang memutus tersebut terjalin kesepakatan internasional untuk saling melaksanakan putusan masing-masing pengadilannya di masing-masing wilayah negaranya (mutual recoqnition and reciprocal enforcement of foreign judgementbetween contracting countries). Dalam menyelesaikan sengketa bisnis internasional pada dasarnya terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu melalui proses : litigasi, arbitrase atau mediasi. Litigasi (litigation) adalah proses penyelesaian sengketa atau gugatan yang diajukan ke hadapan badan peradilan. Proses litigasi ini hanya dapat diajukan ke badan peradilan umum (pengadilan negeri) di Indonesia maupun badan peradilan di luar yuridiksi negara Indonesia, melainkan juga sengketa itu dapat diajukan ke hadapan peradilan lainnya seperti Pengadilan Niaga dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Penyelesaian sengketa melaui litigasi (pengadilan) ini membutuhkan waktu yang amat lama, oleh karena itu penyelesaian secara litigasi tidak diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya. 38 Hambatan lain yang terkait dengan hukum kontrak internasional kaitannya terhadap penyelesaian sengketa internasional adalah pengadilan nasional. Hambatan ini berhubungan dengan kepercayaan dunia bisnis (asing) terhadap penghormatan kontrak yang diselesaikan di hadapan pengadilan nasional.
38
Sujud Margono, Alternative Disputes Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hal.5.
Universitas Sumatera Utara
Hambatannya adalah kurang percayanya kalangan dunia usaha asing terhadap integritas dan kepastian hukum yang tercermin dari putusan-putusan pengadilan kita di dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis yang lahir dari kontrak. Masalahnya juga terkait secara tidak langsung dengan mutu lulusan sarjana hukum di tanah air yang kemudian mereka inilah menjabat jabatan judisial. Pemahaman penegak hukum terhadap hukum kontrak internasional karenanya perlu terus ditingkatkan. 39 Dikalangan dunia usaha, mereka umumnya lebih mendayagunakan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa usaha dan dagang yang terjadi di antara mereka, dari pada menyelesaikannya melalui lembaga pengadilan atau litigasi. Satusatunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya, karena keputusan tidak dipublikasikan. 2. Konsepsional Selanjutnya agar tidak menimbulkan kesalahpemahaman tentang konsepkonsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka dirumuskan definsi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan sebagai berikut : a. Sengketa hukum dalam studi ini ialah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada 40 ;
39
Lihat uraian tentang posisi pengadilan dalam tulisan kami : adolf Huala, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung : Refika, 2007), Hal. 157 dan 191. 40 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Bandung : Sinar Grafika, 2004), Hal.4.
Universitas Sumatera Utara
b. Penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang mempengaruhi kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih sistem hukum yang berbeda yang menyebabkan terjadinya pilihan hukum antara dua atau lebih sistem hukum yang berbeda tersebut yang terjadi karena adanya perbedaan kewarganegaraan dan kebangsaan individu atau perusahaan yang melakukan transaksi tersebut 41 ; c. Transaksi bisnis internasional adalah transaksi yang berkaitan dengan kegiatan komersial yang melintas batas negara yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Adanya perbedaan sistem hukum tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan kewarganegaraan individu atau juga perbedaan kebangsaan perusahaan atau badan hukum yang melakukan transaksi tersebut 42 ; d. Alternatif penyelesaian sengketa adalah Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli 43 ;
41
Ibid, Hal.95. Ibid, Hal.132. 43 Lihat, Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. 42
Universitas Sumatera Utara
e. Arbitrase/Arbitration adalah suatu proses yang dipilih para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana putusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat 44 ; f. Pilihan forum adalah suatu pilihan yang dilakukan oleh para pihak-pihak yang bertransaksi, yang bermakna bahwa para pihak di dalam kontrak sepakat untuk memilih forum atau lembaga mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di antara kedua belah pihak tersebut. Pilihan ini dapat mengacu kepada pengadilan di salah satu negara dari pihak yang mengadakan transaksi 45 ; dan g. Arbitrase asing adalah suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia.46 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Sesuai dengan karakteristik rumusan permasalahan yang ditujukan untuk menganalisis kaidah-kaidah hukum tentang penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional, maka jenis penelitian ini tergolong pada penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini, hukum dipandang sebagai kaidah atau norma yang
44
Huala Adolf, Op.Cit, Hal.40. Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung : Refika Aditama, 2006), Hal.163. 46 Gunawan Widjaja, Loc.Cit, hal. 143.. 45
Universitas Sumatera Utara
bersifat otonom dan bukan sebagai sebuah fenomena sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menjadikan kaidah hukum sebagai premis utama dan sebagai hasil penelitian. Sebagai doctrinal research penelitian ini ditujukan untuk hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written book) maupun hukum yang telah diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process). 47 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu, asas-asas atau suatu peraturan-peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan aspek hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional. 48 3. Sumber Data “Lazimnya sebuah penelitian hukum normatif, penelitian ini mempergunakan sumber-sumber data sekunder, baik dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier sebagai data utama/pokok penelitian”. 49 Bahan
47
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, makalah yang disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian hukum dan Penulisan hukum pada majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1. 48 Koentjaraningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Prenada Media, 1997), hal.42. 49 Bambang Sunggono, Penelitian Hukum : Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 194-195.
Universitas Sumatera Utara
hukum primer sebagai data pokok penelitian diperoleh dari perpustakaan, yang terdiri: a. Bahan hukum primer : 1. UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement On Establishing the World Trade Organization (WTO); 2. Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Penyelesaian Perselisihan antar Negara dengan Warga Asing; 4. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi New York 1958); dan 5. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. b. Bahan hukum sekunder : Jurnal-jurnal ilmiah, artikel-artikel ilmiah, majalah, surat kabar, buku-buku teks, dan lain-lain. c. Bahan hukum tertier : Bahan Hukum Tersier berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum. 50
50
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singka”, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hal 14-15.
Universitas Sumatera Utara
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan di perpustakaan pusat USU, baik melalui penelusuran catalog maupun surfing di internet. 5. Analisis Data Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundangundangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan : a.
Memilih peraturan perundang-undangan dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan masalah penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional;
b.
Membuat
sistematik
dari
bahan-bahan
hukum
tersebut
sehingga
menghasilkan klasifikasi tertentu yang selaras dengan penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional; c.
Hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif.
Universitas Sumatera Utara