BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian tentang bahasa dan gender menekankan fokus kajiannya mengenai pengaruh gender terhadap penggunaan bahasa. Penelitian tentang keragaman bahasa laki-laki dan perempuan telah mengungkapkan adanya karakteristik perbedaan pengunaan bahasa antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya adalah perbedaan dalam kemampuan komunikatif yaitu fitur-fitur umum penggunaan bahasa. Dalam Sosiolinguistik, pembicaraan tentang perbedaan berbahasa antara laki-laki dan perempuan masih menarik untuk di perbincangkan walaupun berbagai karya yang memuat bermacam-macam teori tentang kondisi tersebut telah bermunculan. Istilah bahasa perempuan dan bahasa laki-laki banyak sekali ditemukan dalam bahasa dan gender. Grimm (2008:8) berpendapat, bahwa kedua istilah ini menyiratkan perempuan dan laki-laki memiliki kekhasan bahasa. Sebetulnya, baik perempuan ataupun laki-laki tidak sepenuhnya menggunakan kata-kata yang berbeda. Perbedaan itu hanyalah terletak pada penggunaan preferensi linguistik. Dalam kaitannya dengan bahasa dan gender yang biasa didengar saat ini, bahasa laki-laki atau bahasa perempuan digunakan sebagai bentuk generalisasi mengenai perilaku bahasa laki-laki dan bahasa perempuan (Grimm 2008:10). Penelitian tentang bahasa dan perempuan atau perempuan dan bahasanya mengacu pada pemaparan perbedaan (cara) berbahasa antara perempuan dan laki1
laki. Jespersen (1992) di dalam bukunya yang berjudul Language: Its Nature, Development, and Origin menyatakan bahwa perempuan agak malu-malu jika menyebut bagian anggota tubuhnya secara terang-terangan, tidak seperti laki-laki (muda) yang menyebutnya tanpa malu-malu. Jespersen juga mengungkapkan bahwa perempuan lebih sering menggunakan kata sifat apabila dibandingkan dengan laki-laki dalam berbahasa misalnya, perempuan kerap menggunakan adorable, charming, sweet, atau lovely dibandingkan dengan kata yang netral, seperti great, terrific, cool, atau neat. Lakoff merupakan linguis yang mempelopori penelitian yang menitikberatkan kajian pada hubungan antara bahasa dan gender. Ia mengemukakan di dalam bukunya: Language and Women’s Place (1975) tentang teori keberadaan bahasa perempuan. Lakoff menyatakan bahwa ada beberapa hal yang mendasari munculnya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berbahasa. Laki -laki digambarkan berbahasa lebih tegas, matang, dan suka berbicara terang-terangan dengan kosakata yang tepat. Lain halnya dengan bahasa perempuan yang tidak tegas, tidak secara terang-terangan (menggunakan kata-kata kiasan) dan berhatihati ketika mengungkapkan sesuatu, serta sering meggunakan kata yang lebih halus dan sopan atau melalui isyarat (metapesan). Dalam bidang morfologi, Lakoff menyatakan bahwa perempuan sering menggunakan kata-kata untuk warna, seperti mauve, beige, aquamarine, dan lavender yang jarang digunakan oleh laki-laki. Selain itu perempuan juga sering menggunakan kata sifat seperti adorable, charming, divine, lovely, dan sweet. Dilihat dari diksi, perempuan memiliki kosakata tertentu untuk menunjukkan efek tertentu terhadap mereka
2
misalnya kata dan ungkapan seperti so good, adorable, darling, dan fantastic. Berikutnya, menurut Lakoff, jika perempuan kurang yakin terhadap suatu masalah, ia akan mempersoalkan kepada dirinya dan tidak mempunyai keyakinan terhadap dirinya sendiri (Lakoff, 2004; Kuntjara, 2004:3-4). Oppermann dan Weber (1995) mengatakan di dalam buku mereka yang berjudul Frauensprache – Männersprache, bahwa laki-laki di mata perempuan pada saat berbicara, mereka lebih terkesan linear, sederhana, tidak komprehensif, tidak memperlihatkan emosi, biasanya dalam kalimat pendek, dan dalam bentuk pernyataan serta berorientasi hierarkis. Sebaliknya, perempuan di mata laki-laki biasanya mereka pada saat berbicara tidak terstruktur, konstruksi kalimat biasanya dalam bentuk pasif, banyak menggunakan kalimat
pengandaian untuk
memperlihatkan kesopanan, lebih bersifat pertanyaan, serta cenderung tidak fokus pada pembicaraan. Perempuan juga dikatakan sebagai pendengar yang baik dan lebih mudah saat berinteraksi. Lebih lanjut, Lakoff (via Hellinger, 1990) juga berpendapat bahwa melalui tuturannya perempuan secara tidak langsung cenderung menunjukkan pesan atau keinginan tersembunyi. Sebagai contoh penggunaan tag question oleh perempuan tidak hanya digunakan untuk bertanya, namun juga sebagai ungkapan harapan atas jawaban pertanyaan tersebut. Di samping itu perempuan juga sering menggunakan intonasi tinggi pada kalimat deklaratif untuk menunjukkan emosi atau empatinya terhadap sesuatu. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan singkat bahwa laki-laki berbicara lebih
3
langsung pada tujuan (to the point) dan jelas, sementara kebanyakan perempuan biasanya berbicara tidak langsung. Salah satu cara untuk mempelajari bahasa perempuan adalah dengan melihat fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakannya dalam berkomunikasi dan salah satu contoh riilnya melalui wawancara. Margaret Thatcher (untuk seterusnya disingkat MT) adalah salah satu figur politik paling berpengaruh dan terpandang di abad 20. Bukan hanya Perdana Menteri Inggris perempuan yang pertama dan satu-satunya, tetapi beliau juga Perdana Menteri di abad 20 yang paling lama menjabat di Inggris dan dijuluki sebagai Iron Lady (perempuan bertangan besi) dikarenakan kerasnya sikapnya terhadap apa yang dianggapnya kurang pantas seperti dalam menghadapi Serikat Buruh, juga sebagai oposisi terhadap Uni Sovyet (pada masa perang dingin). Wawancara Margaret Thatcher tersebut menarik untuk diteliti karena didalamnya terdapat fitur-fitur tuturan perempuan yang dikemukakan oleh Lakoff sehingga diketahui fitur-fitur mana saja yang dipakai oleh Margaret Thatcher. Di dalam beberapa dialog yang diucapkan, MT menggunakan fitur-fitur tuturan yang biasa dipakai oleh perempuan. Selain menjadi seorang Perdana Menteri yang harus memiliki sifat tegas dan berwibawa di setiap ucapannya, MT juga masih memiliki sifat feminim yang ditunjukkan dengan penggunaan fitur-fitur tuturan perempuan ketika dia menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh wartawan. Dalam wawancaranya dapat dilihat fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan berdasarkan teori Lakoff tentang fitur-fitur tuturan perempuan.
4
Wawancara yang dipilih menjadi sumber data ini adalah wawancara yang dilakukan oleh stasiun televisi (TV). Wawancara TV dipilih dibandingkan dengan radio dan surat kabar karena wawancara TV menuntut seseorang untuk berhatihati dalam menanggapi pertanyaan yang diutarakan oleh pewawancara mengingat wawancara tersebut akan disaksikan oleh semua orang tidak hanya di tempat tertentu melainkan di seluruh belahan dunia dan rekaman wawancara itu dapat diputar berkali-kali sehingga bahasa yang digunakan dalam media ini sangat bagus untuk diamati lebih lanjut yang tidak hanya pada pengaruhnya secara linguistik dan budaya tetapi juga pandangannya. Singkatnya, wawancara TV tentu memberi pengaruh terhadap emosi Margaret Thatcher sehingga akan berdampak pada fitur-fitur tuturan yang digunakannya saat menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh pewawancara kepadanya. Berhubungan dengan gambaran di atas, peneliti ingin menganalisis dan menyelidiki tuturan dalam wawancara tersebut, yaitu fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Margaret Thatcher. Teori Lakoff tentang fitur-fitur tuturan perempuan dipilih karena beberapa alasan. Alasan pertama, teori ini dapat mencakup fenomena fitur-fitur tuturan perempuan dalam hubungannya dengan cara perempuan berbicara di lingkungan mereka termasuk menggunakan hedging, tag question, rising intonation on declaratives, empty adjectives, specialized kvocabularies
(precise
color
terms),
intensifier,
hypercorrect
grammar,superpolite form, avoidance of strong swear words dan emphatic stress. Sementara itu, alasan kedua, Lakoff adalah linguis pertama yang telah mengemukakan sepuluh asumsi dasar tentang apa yang dirasakannya yaitu bahasa
5
khusus perempuan. Tulisan Lakoff telah menjadi landasan bagi banyak peneliti dalam subyek bahasa perempuan dan fondasi bagi ahli Sosiolinguistik lainnya untuk menyelidiki fenomena bahasa dan gender khususnya tentang fitur-fitur tuturan perempuan. Holmes (1995) juga telah mengusulkan teori yang berhubungan dengan fitur-fitur tuturan perempuan tetapi ia hanya fokus kepada beberapa aspek yang telah dipilihnya dari teori Lakoff yaitu tag question dan hedging. Ia cenderung menyelidiki bahasa perempuan dari sudut pandang kesopanan. Selanjutnya, Jespersen mendeskripsikan bahasa perempuan dalam pembagian yang luas termasuk eufemisme, ekspresi hiperbola, slang dan inovasi (Thorne dan Henleydikutip via Olsson 2000:21). Karenanya, gagasan Lakoff menjadi teori yang paling tepat karena itu menjelaskan dan menggambarkan tentang pembagian fitur-fitur tuturan perempuan secara lengkap dan menyeluruh. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merasa bahwa pemakaian fitur-fitur tuturan perempuan oleh Margaret Thatcher dalam wawancara jika diangkat sebagai bahan penelitian kebahasaan akan menjadi suatu hal yang sangat menarik. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan sebuah penelitian tentang fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Margaret Thatcher dalam wawancara. O’Barr dan Atskin menyatakan bahwa penggunaan bahasa perempuan adalah refleksi dari masyarakat Amerika, di mana perempuan sering memiliki posisi bawahan. Temuan dari penelitian ini akan menjadi pembanding mengingat bahwa Margaret Thatcher mempunyai status sosial yang sangat berbeda yaitu sebagai Perdana Menteri perempuan di Inggris. Khususnya, penelitian linguistik
6
tentang perbedaan bahasa dan tuturan antara laki-laki dan perempuan telah diteliti dengan beberapa intensitas beberapa dekade terakhir. Belum ada penelitian mengenai tokoh politik yang dilakukan bidang kajian penelitian ini, walaupun Aulya juga meneliti Margaret Thatcher sebagai objeknya namun yang membedakannya adalah penelitian ini menggunakan wawancara Tv sebagai sumber data sedangkan penelitian yang sebelumnya menggunakan naskah film. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk melakukan penelitian ini dalam konteks fitur tuturan perempuan yang menjabat sebagai Perdana Menteri. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: a. Apa saja fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Margaret Thatcher dalam wawancara? b. Apa saja fungsi fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Margaret Thatcher dalam wawancara? c. Apa saja fitur-fitur tuturan laki-laki yang digunakan oleh Margaret Thatcher yang dikenal sebagai the Iron Lady? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, ada tiga tujuan diadakannya penelitian ini sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: a. Mendeskripsikan fitur-fitur tuturan perempuan apa saja yang digunakan oleh Margaret Thatcher dalam wawancaranya
7
b. Menjelaskan fungsi fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Margaret Thatcher tersebut c. Mendeskripsikan fitur-fitur tuturan laki-laki yang digunakan oleh Margaret Thatcher yang dikenal sebagai the Iron Lady 1.4 Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai oleh penulis melalui penelitian ini baik pada tataran teoretis maupun pada tataran praktis, sebagaimana yang dipaparkan sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Perdana Menteri perempuan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pelengkap atas kekurangan penelitian-penelitian terdahulu dan memberi sumbangsih terhadap penelitian-penelitian lanjutan yang menggunakan bahasa perempuan sebagai obyek kajiannya. 1.4.2 Manfaat Praktis Pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang dapat dijadikan acuan bagi peminat kajian bahasa yang tertarik meneliti fitur-fitur tuturan perempuan, terutama ketika digunakan oleh Perdana Menteri perempuan melalui sebuah wawancara.
8
1.5 Tinjauan Pustaka Kajian tentang fitur-fitur tuturan perempuan telah dilakukan oleh beberapa peneliti tetapi dalam objek studi yang berbeda. Beberapa diantaranya adalah Dewi (2001) yang membahas tentang Sociolinguistics Study on Speech Features of Female Students of Petra Christian University while Gossiping in Campus. Dalam pembahasannya, Dewi menemukan bahwa memang ada karakterisik tertentu menyangkut fitur-fitur tuturan perempuan seperti yang terlihat melalui gosip. Berdasarkan topik gosip terutama yang berkaitan dengan house-talk ‘pembicaraan seputar rumah’ dan chatting ‘obrolan’, fitur tuturan perempuan yang paling dominan digunakan adalah lexical hedges dan intensifiers. Hal ini juga memperlihatkan bahwa topik gosip memiliki pengaruh yang besar pada fitur tuturan yang digunakan. Dengan kata lain, mahasiswa tersebut menggunakan fitur tuturan tertentu sesuai dengan topik gosip yang diperbincangkan. Cecilia Agustine (2004) telah melakukan penelitian yang berjudul Sociolinguistics Study on Women’s Speech Features used by the Female VJs of MTV Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa VJ Nirina dan VJ Denise menggunakan fitur-fitur tuturan perempuan. Fitur yang paling umum digunakan oleh VJ Nirina dan VJ Denise adalah lexical hedges or fillers. Kemudian, fiturfitur yang paling sedikit digunakan oleh VJ Denise adalah tag question, superpolite form dan avoidance of strong swear words. Berikutnya, fitur yang paling sedikit yang dipakai oleh VJ Nirina adalah empty adjectives. Hanny (2006) mengangkat permasalahan fitur tuturan yang digunakan oleh dosen laki-laki dan perempuan. Penelitian yang berjudul Analysis of Male and
9
Female Common English Expressions used in the Classroom: a Case Study of English Department Lecturers at Bina Nusantara University ditujukan untuk membuktikan eksistensi perbedaan bahasa perempuan dan laki-laki serta menimbulkan penjelasan timbulnya perbedaan-perbedaan tersebut. Setelah dilakukan pengamatan, ditemukan bahwa terbukti keberadaan teori penggunaan bahasa perempuan dan laki-laki melalui pemilihan kosakata serta penggunaan kalimat lengkap oleh dosen laki-laki maupun perempuan. Sebagai contoh dosen laki-laki memilih kata guys sementara dosen perempuan memilih kosakata gentlemen dimana kedua kosakata ini memiliki arti yang serupa yakni mengacu kepada mahasiswa. Tambahan pula, dosen laki-laki memiliki kecenderungan untuk menggunakan kalimat yang tak lengkap contohnya want you to open page 56, look at the context, open page 81, dan make it very quickly. Hal yang berbeda ditemukan pada dosen perempuan yang memiliki kecenderungan untuk menggunakan kosakata baku dan kalimat lengkap contohnya now, please look at number 16 part 2, so, please change the verb into noun, dan you are supposed to change it into adjectives. Dari sepuluh karakteristik yang direkomendasikan oleh Lakoff, hanya delapan karakteristik yang muncul dalam pengamatan yang dilakukan oleh penulis yaitu intensifiers, rising intonation on declaratives, tag question, hedges, emphtic stress, superpolite forms, hypercorrect grammar, dan empty adjectives. Permatasari (2010) melakukan penelitian tentang Women's Speech Features used by the Characters of Sex and
the City Movie. Temuan penelitian ini
menunjukkan bahwa karakter di dalam film Sex and the City menggunakan fitur-
10
fitur tuturan perempuan yang digunakan untuk mencerminkan ketidakpastian dan kurangnya keyakinan. Mereka menggunakan fitur tuutran perempuan karena memiliki kesulitan dalam memulai percakapan dan penghindaran terhadap sesuatu yang pasti terkait dengan pernyataan mereka. Hanya ada delapan jenis fitur tuturan perempuan yang digunakan dalam dialog seperti lexical hedges, tag question, rising intonation on declarative, empty adjective, intensifiers, superpolite forms, avoidance of strong swear words, dan emphatic stress. Sementara itu, penelitian yang menggunakan novel sebagai objek kajiannya pernah dilakukan oleh Murdianti (2013) yang membahas tentang Women’s Language as the Main Character in Jane Austen’s Novel : Pride and Prejudice. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan jenis fitur-fitur linguistik perempuan dalam karakter utama novel Jane Austen: Pride and Prejudice. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada sembilan fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh karakter utama perempuan dalam novel ini yaitu hedges, tag question, rising intonation on declarative, empty adjective, precise color terms, intensifier, hypercorrect grammar, super polite form, avoidance of swear words, emphatic stress. Intensifier ditemukan sebagai yang paling dominan dalam data yang memiliki fungsi untuk memperkuat opini dan pernyataan, mengajak lawan bicara mempercayai tuturannya, juga untuk meningkatkan dan menurunkan kekuatan tuturan. Penelitian fitur tuturan perempuan dalam film juga pernah dilakukan oleh Marvina (2013) yang membahas tentang bahasa perempuan dalam film Wild Child. Fokus utama dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi fitur bahasa
11
yang digunakan oleh perempuan dan juga menemukan fungsi dari masing-masing fitur bahasa yang digunakan oleh perempuan tersebut.
Hasil analisis data
menunjukkan ada enam fitur yang ditemukan dalam film yakni hedges yang berfungsi untuk menunjukkan ketidakpastian dalam bicaranya, tag questions yang berfungsi untuk meminta pendapat dalam cara yang sopan dan tidak memaksa lawan bicara setuju dengan pendapat pembicara, empty adjective yang berfungsi untuk menunjukkan kekaguman terhadap sesuatu, intensifier yang berfungsi untuk menegaskan
perasaannya,
hypercorrect
grammar
yang berfungsi
untuk
menunjukkan bahasa Inggris baku, dan emphatic stress yang berfungsi untuk menunjukkan penilaian terhadap sesuatu. Santi (2013) meninjau perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan dalam film sebagai objek penelitian yaitu Comparison of Sexist Language used in the Twilight Saga Eclipse Movie. Berkenaan dengan fitur bahasa perempuan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lakoff (1975) ditemukan tokoh perempuan menggunakan semua fitur kecuali istilah warna atau precise color term di dalam percakapannya. Di sisi lain, fitur bahasa laki-laki yang diusulkan oleh teori Holmes (1992) ditemukan tokoh laki-laki menggunakan bahasa yang tidak baku dan menyumpah atau kata umpatan. Sementara itu, pada analisis perbedaan fitur linguistik antara perempuan dan laki-laki berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Coates (1986) ditemukan bahwa perempuan dan laki-laki menggunakan verbosity, tag question, questions, command and directive, swear word or taboo language. Akhirnya didalam analisis ditemukan bahwa perempuan lebih sopan daripada laki-laki. Fitur bahasa laki-laki yang digunakan oleh
12
perempuan adalah bahasa yang tidak baku, sementara fitur bahasa perempuan yang digunakan oleh laki-laki adalah lexical hedges, intensifier, superpolite forms, dan hypercorrect grammar. Penelitian yang dilakukan oleh Aulya (2014) yang berjudul Woman Linguistic Features reflected by Margaret Thatcher in the Film Iron Lady. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fitur tuturan perempuan yang ditemukan dalam film Iron Lady dan fitur yang paling dominan digunakan oleh Margaret Thatcher dalam film tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada 114 tuturan yang diucapkan oleh Margaret Thatcher yang dapat diklasifikasikan ke dalam delapan fitur tuturan perempuan. Ada dua puluh hedges, dua tag question, delapan rising intonation on declarative, tiga puluh empty adjective, tiga puluh tiga intensifiers, empat belas superpolite form, tiga avoidance of strong swear words, dan empat emphatic stress yang diucapkan oleh karakter utama dalam film the Iron Lady. Dari penjabaran tersebut dapat diketahui bahwa fitur yang paling dominan digunakan adalah hedges. Selanjutnya, penelitian tentang bahasa laki-laki dan perempuan pernah dilakukan oleh Wiprayanti (2014) yang membahas tentang The Analysis of Male and Female Main Characters’ Language in Movie ‘ Music and Lyric’ based on Women’s Language Theories. Berdasarkan analisis, ditemukan bahwa ada sembilan bentuk bahasa perempuan yang digunakan oleh tokoh utama laki-laki yaitu lexical hedges, tag questions, rising intonation on declarative, empty adjectives, intensifiers, hypercorrect grammar, superpolite forms, avoidance os strong swear words, dan emphatic stress dan kebanyakan dari fitur bahasa
13
perempuan yang ditemukan dalam data diucapkan bukan oleh tokoh utama perempuan melainkan tokoh utama laki-laki. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor pendukung yaitu social status, subordinate groups, prestige and stigma, social network, dan the aquisition of sex differential language. Dari keseluruhan penelitian yang menganalisis fitur-fitur tuturan perempuan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, tampak bahwa penelitian dengan analisis fitur-fitur tuturan perempuan dalam wawancara perlu dilakukan selain belum ada yang mengambil objek wawancara yang mana penelitian sebelumnya banyak mengambil objek novel, film, mahasiswa, dosen, dan pembawa acara musik atau video jockey (VJ), juga belum ada yang menganalisis fitur-fitur tuturan perempuan pada sosok perempuan yang mengemban posisi sebagai Perdana Menteri layaknya Margaret Thatcher. 1.6 Landasan Teori 1.6.1 Bahasa dan Gender Eckert (2003:10) dalam bukunya yang berjudul Language and Gender, menggambarkan definisi gender. Menurutnya gender adalah perbedaan fungsi dan peran sosial serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diatur oleh masyarakat. Gender berkenaan dengan proses ketentuan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketetapan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Ini bukanlah sesuatu hal yang dimiliki setiap manusia sejak lahir tetapi ini menyangkut apa yang ditampakkannya.
14
Istilah Gender dalam bahasa menurut Grimm (2008: 19) adalah salah satu yang menjadikan perbedaan biologis atau jenis kelamin, terutama menentukan pada perilaku gender secara spesifik yang belum tentu tersangkut paut dengan fungsi biologis. Oleh karena itu, harus dipahami dari berbagai dimensi seperti: psikologis, budaya dan sosial. Dalam kehidupan sosial gender sangat berhubungan erat dengan maskulinitas dan feminitas. Coates (2004: 4) mencoba membedakan kedua istilah itu sebagai berikut: istilah seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis. Sementara itu, istilah gender digunakan untuk menggambarkan kategori sosial berdasarkan jenis kelamin tersebut. Sedangkan menurut Oakley (1972) merupakan sebuah bentuk diferensiasi antara laki-laki dan perempuan yang lebih bersifat perilaku (behavioral differences) yang dikonstruksi secara sosial dan kultural yang panjang. Lain halnya dengan seks yang merujuk pada perbedaan jenis kelamin secara kodrati. Hubungan antara bahasa dan gender merupakan hubungan antara bahasa dan gagasan terhadap laki-laki dan perempuan (Goddard and Patterson, 2000:21). Beberapa ahli bahasa telah melakukan penelitian tentang perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan yang antara lain dilakukan oleh Lakoff (1975) dan Wardhaugh (1988). Karakteristik perbedaan bahasa yang dimaksud bukan berarti dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah, namun sejatinya memiliki ciriciri yang berbeda. Bahasa dan Gender merupakan sebuah disiplin ilmu yang relatif masih baru dalam linguistik modern. Namun, para ahli antropologi telah meneliti keragaman bahasa laki-laki dan perempuan ini sejak abad ke-17. Pada penelitian-penelitian
15
tersebut, ditunjukkan adanya karakteristik perbedaan penggunaan bahasa antara perempuan dan laki-laki (Grimm, 2008: 19). Pada awal abad ke-20 diskusi mengenai
gender
serta
gaya
bahasa
yang
digunakannya
telah banyak
bermunculan. Seorang ahli sosiolinguistik bernama Otto Jespersen telah melakukan penelitian di bidang ini sejak tahun 1960. Kemudian pada dekade berikutnya yaitu dalam kurun waktu 1970-an, tiga buku yang mengambil tema ‘Bahasa dan Gender’ ini diterbitkan. Ketiga buku tersebut masing-masing berjudul Language and the Woman`s Place yang dikarang oleh Robin Lakoff (1975), Male/Female Language dari Mary Ritchie Key (1975), dan satu karya lainnya yang ditulis oleh Barrie Thorne und Nancy Henley (1975) berjudul Language and Sex: Difference and Dominance (Grimm, 2008: 19). 1.6.2 Bahasa Perempuan Bahasa perempuan bersifat intuitif, penuh pertimbangan dan membangun gaya dalam berkomunikasi yang lebih sopan yang terlihat dari penggunaan kosakatanya. Perempuan identik dengan kata-kata atau tutur yang harus sopan, lembut penuh kepasrahan. Perempuan secara konsisten menggunakan bentukbentuk baku yaitu lebih setia terhadap gramatikal yang benar. Perempuan lebih mencerminkan sentimentalitas dan tidak mengunakan kata makian khusus yang carut marut, kata-kata kotor, kata yang tidak senonoh melainkan menggunakan kata-kata pujian seperti good, excellent, dan wonderful. Perempuan lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata kotor. Kata-kata tersebut dipantangkan oleh perempuan dan seakan-akan menjadi monopoli kaum laki-laki. Hal itu karena perempuan diharapkan lebih sopan dalam bertutur. Tidak
16
dapat dibayangkan seorang perempuan menggunakan kata umpatan seperti damn atau shit, melainkan hanya akan mengatakan oh dear! Perempuan yang menggunakan bentuk yang kurang sopan dianggap kasar, sementara laki-laki yang terlalu sopan dianggap kewanita-wanitaan. Bagian perbedaan antara tuturan lakilaki dan perempuan mungkin karena banyak masyarakat yang mengharapkan perempuan untuk lebih taat terhadap norma sosial daripada laki-laki (Trudgill :2000). Penanda leksikal juga dapat diasosiasikan dengan jenis kelamin penutur maupun mitra tutur. Perempuan menggunakan istilah yang berbeda dalam mengekspresikan yang menyangkut perasaannya yang diungkapkan melalui kata sifat. Beberapa kata bahasa Inggris, seperti cute, adorable dan lovely, lebih dihubungkan dengan penutur perempuan. Perempuan lebih banyak menanyakan pertanyaan karena mereka mengira kalau pertanyaan merupakan kontribusi terbaik mereka saat berkomunikasi, mendorong pertukaran ide, membangun kesepakatan, menunjukkan kepedulian terhadap orang lain, dan membantu sampai pada hasil kemungkinan terbaik. Singkatnya, perempuan adalah komunikator yang empatik. 1.6.3 Fitur-Fitur Tuturan Perempuan Robin Tolmach Lakoff adalah seorang Professor Linguistik di Universitas California, Berkeley, dia menjadi linguis pertama yang memulai penelitian mengenai
fitur-fitur
tuturan
perempuan.
Lakoff
menyebutkan
bahwa
terdapat banyak hal yang menjadi dasar munculnya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berbahasa. Digambarkan bahwa bahasa laki-laki lebih tegas,
17
matang, dan laki-laki suka berbicara terang-terangan dengan kosakata yang tepat. Sebaliknya, bahasa yang digunakan oleh perempuan tidak tegas, tidak secara terang-terangan (menggunakan kata-kata kiasan), dan berhati-hati ketika mengemukakan sesuatu, serta kerap menggunakan kata yang lebih halus dan sopan atau melalui isyarat (metapesan). Di samping itu, menurut Lakoff, seorang perempuan jika merasa kurang yakin terhadap suatu hal, ia akan mempersalahkan dirinya yang menunjukkan bahwa ia tidak mempunyai keyakinan terhadap dirinya sendiri (Lakoff, 2004). Lakoff berusaha menggambarkan kebiasaan berbahasa perempuan yang disebutnya sebagai Middle America, ia tidak menyatakan bahwa itu adlah gambaran semua perempuan dimana saja. Fitur-fiturnya sebagai berikut: 1.6.3.1 Lexical Hedges Lakoff mengatakan bahwa hedging adalah salah satu karakteristik bahasa perempuan. Ini memperlihatkan kurang yakin dan merefleksikan perasaan tidak aman perempuan. Poynton (1989:71) berkata bahwa hedging adalah variasi dari sebuah fitur yang dengannya seseorang dapat mengatakan sesuatu sedikit singkat untuk menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak sepenuhnya begitu. Dengan hedges, perempuan merujuk pada frekuensi penggunaan frase-frase seperti sorta/sort of, like, you know, well, kind a, kind of, I guess, dan it seems like. Ketika seseorang menggunakan hedges secara linguitik, mereka menghindari mengatakan sesuatu secara pasti dan menjaga pilihan mereka terbuka (Coates, 1996: 152). Dasar hedges adalah untuk memberi isyarat bahwa pembicara tidak bertanggungjawab atas apa yang dikatakannya. Dengan kata lain, ketika seseorang memagari
18
tuturannya, dia sedang mengatakan bahwa ia kurang yakin dalam bagian kebenaran yang diekspresikan di dalam tuturannya. Lexical Hedges adalah fitur linguistik yang umumnya berfungsi mengurangi kekuatan sebuah tuturan dan melemahkan efek dari sebuah pernyataan. Nama lain untuk hedges, seperti yang disebutkan oleh Holmes (1995:93) adalah downgraders oleh House dan Kasper (1981), compromisers oleh James (1983), downtoners oleh Quirk et al (1985), weakeners oleh Brown dan Levinson (1987), dan softeners oleh Crystal dan Davy (1975). Hedges kadang-kadang bisa diartikan sebagai sebuah fitur untuk kesopanan, baik positif maupun negatif karena “kesopanan meliputi mempertimbangkan perasaan orang lain“ (Holmes, 1975: 74). Penggunaan hedges sebagai fitur kesopanan juga telah diperhitungkan oleh Brown dan Levinson (1987) dan Coates (1987). Tetapi untuk menamai fitur linguistik ini semata-mata sebagai fitur kesopanan tidak akan cukup dan tepat, hedges juga dapat digunakan untuk memudahkan penerima atau fokus kepada ketepatan dari informasi yang disajikan dalam sebuah pernyataan. Menurut Talbot bahwa hedges digunakan untuk menghindari menyatakan sesuatu secara pasti, untuk mencegah perkiraan yang terlalu dogmatis dan keyakinan seseorang (2010:85). Tetapi hedges adalah multifungsional, dan konteks harus digunakan sebagai pertimbangan. Ketika menganalisis hedges seperti sort of dan I think, di dalam sebuah konteks, Holmes menemukan bahwa fitur linguistik ini memiliki fungsi yang kompleks. Menurut Holmes hedges digunakan secara berbeda dengan fungsi
yang
berbeda.
Hedges
berarti
hal
yang
berbeda
berdasarkan
pengucapannya, posisinya dalam sebuah tuturan, jenis tindak tutur yang
19
diubahnya dan siapa yang menggunakannya kepada siapa di dalam konteks apa (2008:303). Sebagai tambahan, ada banyak cara yang berbeda dalam mengurangi tekanan ilokusi tuturan, dan hedges dilakukan dengan menggunakan sejumlah fitur linguistik. Hedges sebagai salah satu contoh dari karakteristik bahasa perempuan termasuk modal verb seperti could, might, may, would, should, leksikal seperti perhaps, dan pragmatik partikel seperti sorta/sort of, I think, you know, well, kinda/ kind of, like dan i guess. Itu mengacu kepada berulangnya frase-frase tersebut dalam sebuah tuturan. Selain itu, fitur prosodi seperti dalam intonasi naik turun, dan signal paralinguistik seperti berhenti dan keraguan, dapat juga digunakan untuk melemahkan kekuatan sebuah tuturan. 1.6.3.2 Tag Question Tag question agak lebih rumit, karena memiliki kemampuan untuk meningkatkan (boost) atau melemahkan (hedge) tuturan, tergantung konteks, karena tidak ada hubungan antara bentuk dan fungsinya. Konstruksi tag baik berfungsi sebagai hedges maupun booster merupakan unsur modal, sebagaimana yang dinyatakan oleh Talboet karena unsur yang mengubah kekuatan sebuah pernyataan, entah melemahkan atau memperkuatnya (2010:85). Selain itu, karena fitur linguistik ini multifungsional dalam bentuknya, dapat dianggap sebagai tanda kepedulian sosial. Tag kanonikal adalah tag yang umumnya terjadi di akhir sebuah tuturan dan diucapkan dengan intonasi yang naik atau turun antara lain are they?, isn’t he?, can’t you?. Selanjutnya tag question menurut Holmes (1995) dapat dibagi
20
menjadi empat kelompok softening tags, epistemic modal tags, challenging tags, facilitative tags. Epistemic modal tags seperti the seminar is at nine, isn’t it? mempunyai fungsi untuk menyatakan ketidakpastian penutur terhadap pernyataan yang dibuat dan lebih referensial daripada afektif karena fokus pada ketepatan pernyataan yang diujarkan dan bukan pada perasaan pendengar. Challenging tag seperti you see that, don’t you?, menurut Holmes merupakan strategi konfrontasi. Itu mungkin menekankan keraguan pendengar untuk membalas atau dengan agresif meningkatkan tekanan tindak tutur negatif untuk memperlihatkan pertentangan (1995:80). Facilitative tag seperti they have a new album, haven’t they? memiliki fungsi yang berbeda, biasanya melemahkan pernyataan dan digunakan sebagai alat kesopanan positif karena memancing pendengar untuk berpartisipasi di dalam percakapan. Softening tag seperti it was disgusting, wasn’t it? disisi lain digunakan untuk melunakkan kekuatan tuturan seperti direktif dan kritikan. Penggunaan tag question adalah kecenderungan untuk menyatakan kesopanan: yang dapat digunakan sebagai strategi kesopanan dalam percakapan. Holmes berpendapat bahwa menjadi sopan berarti mengekspresikan rasa hormat terhadap lawan tutur dan menghindari menyerang mereka, dan selanjutnya kesopanan dapat mengacu kepada sikap yang secara aktif mengekspresikan kepedulian positif kepada orang lain, dan juga menjauhi sikap yang mengesankan. Disamping itu, kegunaan dari fitur linguistik ini sangat terhubung dengan face work karena ditujukan langsung kepada muka seseorang, citra diri publik yang orang dewasa coba tampilkan ke luar. Holmes menyatakan bahwa masing-masing individu
21
memiliki kebutuhan wajah atau keinginan dasar kesopanan meliputi menunjukkan kepedulian untuk dua jenis kebutuhan muka yang berbeda: pertama kebutuhan wajah negatif atau kebutuhan untuk tidak menjatuhkan, dan yang kedua, kebutuhan wajah positif, kebutuhan untuk disukai dan dikagumi (1995:5). Setidaknya ada satu aturan bahwa seorang perempuan akan lebih menggunakan
situasi
percakapan
daripada
laki-laki.
Ini
adalah
aturan
pembentukan tag question. Lakoff (via Cameron, 1990: 229) menuturkan bahwa tag question, dalam kegunaannya dan bentuk sintaksisnya, dalam bahasa Inggris, adalah antara pernyataan yang pasti dan pertanyaan iya atau tidak. Lakoff berpendapat bahwa menanyakan sebuah pertanyaan merupakan contoh terbaik dari perasaan tidak aman dan keraguan perempuan. Perempuan menggunakan pertanyaan kepada satu sama lain saat mereka sedang berbicara. Menurut Chaika (1994: 216) perempuan cenderung menanyakan tiga kali lebih sering daripada laki-laki. Itu bisa digunakan dalam berbagai cara. Pertanyaan bisa digunakan untuk mencari informasi, untuk mengenal topik baru, untuk mendorong mitra tutur agar terlibat dalam percakapan, untuk mengundang seseorang untuk menceritakan sebuah cerita, dan masih banyak yang lainnya. (Coates, 1996:176). Seseorang perempuan membuat sebuah pernyataan ketika ia percaya dengan pengetahuannya dan yakin bahwa pernyataannya akan dipercayai. Seseorang akan menanyakan sebuah pertanyaan saat ia kekurangan pengetahuan dalam beberapa hal dan mempunyai alasan mempercayai bahwa kerenggangannya dapat dan akan diperbaiki oleh jawaban lawan bicaranya.
22
Tag question merupakan pertengahan diantara yang berikut ini: Is Louisa here? Jika seseorang mengatakan kalimat tersebut, ia mungkin tidak akan terperanjat jika jawabannya no ‘tidak’ tetapi jika ia berkata: Louisa is here, isn’t she? maka akan berbeda responnya. Adapun salah satu kemungkinannya adalah bahwa ia telah dipengaruhi jawaban positif dan hanya ingin konfirmasi dari mitra tutur, sebagaimana ia melakukannya dengan pertanyaan ya-tidak tetapi ia mempunyai cukup pengetahuan untuk memprediksi tanggapan mitra tutur umumnya dalam bentuk pernyataan deklaratif.
Selanjutnya, tag question
mungkin dipikir sebagai sebuah pernyataan deklaratif tanpa dugaan kalau pernyataan itu untuk dipercayai oleh mitra tutur dengan sebuah pertanyaan. Tag question memberikan mitra tutur kebebasan, tidak mendesaknya untuk sependapat dengan pandangan penutur (Lakoff via Cameron, 1990: 229) . Kadang-kadang, tag question digunakan dalam hal ketika penutur dan mitra tutur mengetahui apa jawaban yang semestinya, dan tidak membutuhkan konfirmasi. Situasi seperti itu saat penutur sedang memulai perbincangan kecil, ia juga sedang mencoba untuk memulai percakapan dengan mitra tutur, seperti kalimat berikut ini: a. Sure, it’s cold here, isn’t it? Salah satu penafsiran yang mungkin dari kalimat di bawah ini adalah bahwa penutur mempunyai jawaban tertentu ya-tidak tetapi sangat ragu untuk menyatakannya. b. The way prices are raising is horrendus, isn’t it? 23
Menurut Lakoff (via Cameron , 1990: 230), jenis tag question ini lebih tepat digunakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki karena jenis kalimat ini menyediakan sarana sehingga seorang penutur dapat menghindari melibatkan dirinya dan menghindari perselisihan dengan mitra tutur. Permasalahannya adalah penutur mungkin juga memberikan kesan bahwa dirinya tidak begitu yakin, mencari konfirmasi dari mitra tutur dan tidak mempunyai pandangannya sendiri. Kemudian, tag question adalah jenis pernyataan yang sopan yang tidak menuntut persetujuan atau kepercayaan dari mitra tutur. 1.6.3.3 Rising Intonation on Declaratives Sebagaimana yang Lakoff temukan di dalam bahasa Inggris, ada pola intonasi kalimat khas diantara perempuan. Ini tidak hanya mempunyai bentuk jawaban deklaratif terhadap sebuah pertanyaan tetapi juga mempunyai nada suara yang naik khas dari pertanyaan ya-tidak dan kelihatannya terutama keraguan (via Cameron, 1990: 230). Efeknya adalah penutur sedang mencari konfirmasi di saat yang bersamaan mungkin dia satu-satunya yang mempunyai informasi yang dibutuhkan. a. When will dinner be ready? b. Oh... around six o’clock? Dari kalimat di atas dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksudkan oleh kalimat b adalah jika six o’clock ‘jam enam tepat’ ok dengan penutur a atau jika penutur a setuju. Penutur a berada dalam posisi menyediakan informasi, dan penutur b terdengar tidak yakin. Disini terlihat ketidakinginan menegaskan sebuah
24
pendapat yang sangat besar. Akibatnya adalah pola tuturan seperti ini digunakan untuk merefleksikan sesuatu yang nyata tentang karakter dan memainkan bagian menganggap
perempuan
secara
serius
atau
mempercayainya
dengan
tanggungjawab yang sesungguhnya, karena ia tidak dapat memutuskan dan tidak yakin akan dirinya sendiri. Fitur-fitur tersebut mungkin bagian dari fakta umum bahwa tuturan perempuan terdengar lebih sopan daripada laki-laki. Satu aspek dari kesopanan adalah meninggalkan keputusan terbuka, tidak membebankan pikiran, pandangan atau tuntutan pada orang lain. Perempuan juga sering memakai intonasi tinggi pada kalimat deklaratif untuk menunjukkan emosi atau empatinya terhadap sesuatu. Selain itu, menurut Lakoff, salah satu karakter tuturan perempuan lainnya yang kerap muncul adalah intonasi ‘bertanya’ sebagai jawaban saat perempuan tersebut diberi sebuah pertanyaan. Hal tersebut menunjukkan kecenderungan perempuan yang sering merasa tidak yakin akan pertanyaan yang disampaikan kepadanya, atau ia ingin menonjolkan kesopanan dengan cara balik bertanya kepada lawan tuturnya. 1.6.3.4 Empty Adjectives Ada kelompok kata sifat, dalam istilah kosa kata, yang mempunyai makna spesifik dan literal dan juga menunjukkan persetujuan atau kekaguman penutur terhadap sesuatu. Kata sifat seperti ini disebut empty adjectives ‘adjektiva kosong’ yang berarti bahwa kata itu hanya menyangkut reaksi emosional daripada informasi khusus. Beberapa kata sifat ini adalah netral, apapun jenis kelamin penuturnya, laki-laki maupun perempuan boleh menggunakannya. Tetapi ada kata sifat yang kelihatan memberi kesan terbatas untuk digunakan oleh perempuan
25
saja. Beberapa kata sifat yaitu netral (great, neat) dan hanya untuk perempuan saja (adorable, charming, sweet, lovely, divine, gorgeous, cute). Menurut Lakoff, jika seorang laki-laki menggunakan kata sifat perempuan, itu akan merusak reputasinya (via Cameron, 1990: 226-227). Di sisi lain, seorang perempuan boleh menggunakan kata sifat netral sebebas mungkin. Namun, seorang perempuan menggunakan kata sifat perempuan tidak beresiko. Perempuan bebas untuk memilih antara kata-kata yang netral dan kata-kata perempuan, yang tidak dimiliki oleh laki-laki, ia mungkin menyatakan hal yang sangat berbeda tentang kepribadiannya dan pandangannya tentang materi bahan percakapan dengan pilihan kata-kata netralnya atau kata-kata perempuannya. Lakoff memberikan contoh untuk istilah ini, lihatlah dua kalimat berikut ini: a. What a terrific idea! b. What a divine idea! Dari contoh di tas, kalimat a mungkin digunakan dibawah kondisi yang tepat oleh penutur perempuan, kemudian penutur b lebih khusus dan mungkin digunakan dengan tepat hanya ketika penutur merasa bahwa pada dasarnya gagasan yang disebutkan tidak penting atau hanya sebuah kesenangan bagi penutur saja. Dengan kata lain, penggunaan kata netral lebih tepat untuk situasi formal, sementara penggunaan kata-kata perempuan hanya digunakan di dalam situasi non formal saja. Namun, pilihan kata untuk laki-laki tidak benar-benar bebas. Kata-kata yang terbatas untuk bahasa perempuan menyatakan bahwa konsep yang laki-laki gunakan tidak relevan dengan dunia nyata pengaruh dan kekuasaan laki-laki.
26
Lakoff mengatakan bahwa pada dasarnya kata-kata yang terbatas untuk perempuan bukanlah feminim, tetapi mengindikasikan ketidakterlibatan atau tidak berkuasa. Namun, kelompok apapun di masyarakat (khususnya untuk laki-laki), yang menggunakan kata-kata terbatas perempuan ini, sering dianggap feminim dan tidak maskulin, karena perempuan adalah yang tidak terlibat dan tidak berkuasa. Namun, penutur yang menggunakan kata-kata ini juga dianggap sebagai feminim dan maskulin (via Cameron, 1990: 228). 1.6.3.5 Precise Color Terms Perempuan memberi rincian warna jauh lebih tepat dalam penamaan warnawarna daripada yang dilakukan laki-laki. Laki-laki menganggap pembicaraan tentang istilah warna-warna yang tepat itu menggelikan karena menganggap seperti pertanyaan yang sepele dan tidak relevan dengan dunia nyata (via Cameron, 1990: 223). Kata-kata seperti beige ‘abu-abu kekuningan’, lavender ‘ungu kebiruan’, maroon ‘coklat tua kemerahan’ adalah contoh kata-kata yang biasa saja di dalam kosa kata aktif perempuan, tetapi itu absen bagi kebanyakan laki-laki. Diskriminasi warna relevan bagi perempuan, tetapi tidak untuk laki-laki. Perempuan menangani hal yang tidak begitu penting sebagai sebuah hal yang lazim. Penentuan apakah untuk menamai sebuah warna lavender atau mauve biasa atau hal yang lazim bagi perempuan (via Cameron, 1990:224). Dalam perbedaan leksikal perempuan lebih suka untuk menggunakan kata-kata yang tepat dalam menamai warna-warna (mauve ‘ungu muda’, plum ‘merah tua’) dan mempunyai
27
kosa kata yang lebih kaya dalam area yang secara tradisional merupakan spesialisasi perempuan. Perempuan memiliki kemampuan yang bisa membedakan warna dengan sangat jeli. Perempuan mampu mengenali beberapa warna merah dengan baik, sedangkan menurut laki-laki semua warna merah itu sama. Ini bisa terjadi karena perempuan memiliki dua kromosom X, sedangkan laki-laki hanya satu kromosom X. Kemampuan melihat warna ditentukan oleh kemampuan kita untuk melihat warna merah, biru dan hijau. Karena laki-laki cuma punya satu kromosom X untuk melihat warna merah, membuatnya kurang baik dalam melihat spektrum warna. Sedangkan perempuan dapat melihat banyak variasi warna dengan baik. Perempuan melihat lebih banyak warna dibanding laki-laki. Pada umumnya manusia memiliki 3 tipe reseptor mata untuk membedakan warna, sementara perempuan memiliki 4 sampai 5 tipe reseptor. 1.6.3.6 Intensifiers Intensifiers seperti so, just, very, dan quite lebih mengindikasikan karakteristik bahasa perempuan daripada laki-laki. So dinyatakan mempunyai sesuatu feminim secara kekal tentangnya (Jespersen, 1922: 250). Perempuan lebih sering berhenti tanpa menyelesaikan kalimatnya dibandingkan laki-laki, karena ia mulai berbicara tanpa memiliki rencana terhadap apa yang akan dikatakannya. Lihatlah kalimat berikut ini: a. I feel so unhappy b. That movie made me so sick!
28
Laki-laki terlihat memiliki kesulitan untuk menggunakan kalimat seperti ini ketika kalimat kondisi tidak emosional atau non-subjektif tanpa menyebutkan diri penutur sendiri. Bandingkan kalimat a dan b dengan kalimat c dan d. c. That flower is so beautiful d. Fredi is so dumb Lakoff berkata bahwa mengganti intensifiers seperti so untuk superlatif mutlak (seperti very, really, utterly) terlihat menjadi sebuah cara terbaik untuk melibatkan dirinya dengan kuat terhadap sebuah pendapat, daripada tag question (via Cameron, 1990: 223). Seseorang mungkin menghindari cara ini dengan membuat penilai estetik sempurna dan tepat, sebagaimana dalam c, atau penilaian intelektual, seperti dalam d. Tetapi ini juga aneh untuk mengelak dalam menggambarkan kondisi emosional atau mental seseorang. Untuk mengelak dalam situasi ini adalah untuk mencari dan menghindari membuat pernyataan yang kuat sebagai karakteristik dari tuturan perempuan. 1.6.3.7 Hypercorrect Grammar Hypercorrect grammar adalah penggunaan yang sesuai dengan bentuk standar kata kerja. Ini meliputi pengelakan bahasa kasar, lebih sering meminta maaf, dan penggunaan bentuk paling sopan sebagai fitur-fitur tambahan. Dengan kata lain, perempuan berbicara sebisa mungkin mendekati bentuk baku Inggris. Lakoff menghubungkan fitur-fitur ini dengan satu sama lain karena semuanya mengerucut kepada fakta bahwa perempuan tidak diharapkan untuk berbicara kasar atau kurang sopan daripada laki-laki. (Norman, 2006:8).
29
1.6.3.8 Superpolite Forms Lakoff (via Cameron, 1990: 231) mengemukakan bahwa dalam rasa yang sama sebuah permintaan mungkin merupakan sebuah perintah yang sangat sopan, yang tidak memerlukan kepatuhan secara terang-terangan tetapi menyarankan sesuatu untuk dilakukan sebagai suatu pertolongan atau simpati kepada penutur. Perintah yang terang-terangan (dalam bentuk imperatif) mengekspresikan dugaan posisi superior penutur terhadap mitra tutur, bersamanya mengandung haknya untuk memberlakukan kepatuhan. Implikasinya bukanlah mitra tutur berada di dalam bahaya jika ia tidak melakukannya, hanya ia akan senang jika dilakukan. Keputusan ada di tangan mitra tutur. Namun, saran itu lebih sopan daripada sebuah perintah. Seorang perempuan lebih sering menggunakan bahasa yang lebih santun daripada seorang laki-laki. Dan alasan mengapa seorang perempuan lebih sering menggunakan bahasa yang santun adalah : “They are more closely involved with child rearing, and the transmission of culture, and are therefore more aware of the importance, for their children, of the acquisition of (prestige) norms” (Fasold, 1996:187) Holmes (1992:234), mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Fasold, alasan seorang perempuan menggunakan bahasa yang lebih santun dari seorang laki-laki dalam percakapan adalah karena seorang perempuan lebih sadar statusnya daripada seorang laki-laki. Perempuan lebih mengetahui faktanya, dimana atau dengan siapa ia berbicara. Dan hal tersebut juga mencerminkan status sosial atau latar belakang di dalam masyarakat dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi cara seseorang berbicara.
30
1.6.3.9 Avoidance of Strong Swear Words Kata makian adalah jenis interjeksi atau kata seru yang dapat mengekspresikan kemarahan dengan sangat ekstrem dan telah dianggap sebagai ekspresi yang sangat kuat (Eckert, 2003: 181). Ini dilihat sebagai bahasa yang ampuh dan kadang sungguh dapat mencapai efek yang berkesan. Ini juga dianggap tidak cocok digunakan oleh perempuan dan anak-anak. Penggunaan kata makian sering dikaitkan dengan laki-laki daripada perempuan karena laki-laki lebih sering menggunakan dalam tuturannya. Dengan kata lain, menyumpah atau memaki adalah kebiasaan murni laki-laki sehingga penggunaan kata makian identik dengan tipikal bahasa laki-laki. Lihatlah kalimat berikut ini: a. Oh, dear! you broke my glasses again b. Shit! you broke my glasses again Dua jenis kalimat di atas sama dalam bentuk sintaksis dan dalam istilah referensi leksikal. Perbedaan hanya pada pilihan meaningless particle ‘ partikel yang tak bermakna’. Kalimat pertama akan dikelompokkan sebagai bahasa perempuan dan kalimat kedua sebagai bahasa laki-laki. Laki-laki dan perempuan mempunyai preferensi penggunaan kata makian yang berbeda. Laki-laki sering menggunakan kata makian yang kasar dan terlarang seperti damn, bloody hell and shit sering ditemukan dalam bahasa lakilaki. Sementara laki-laki menggunakan kata-kata kasar yang kuat, perempuan menggunakan versi yang lebih sopan seperti oh dear, my dear, my goodness, Goodness dan Good heavens.
31
Saat menggunakan kata makian, perempuan lebih berhati-hati dan menghindari penggunaan kata-kata kasar. Perempuan memberi kesan lebih halus dalam kata makian tersebut, jauh dari kesan kasar, kotor dan menyakitkan. Hal tersebut disesuaikan dengan peran perempuan sebagai penjaga nilai-nilai masyarakat. Di dalam masyarakat, perempuan tidak diperkenankan berbicara kasar. Masyarakat cenderung mengharapkan perilaku lebih baik dari perempuan dibandingkan laki-laki. Perempuan juga dilihat sebagai model dalam perilaku dalam komunitas. Oleh karena itu, harus tercermin dalam penggunaan bentuk bahasa baik dan sopan. 1.6.3.10 Emphatic Stress Perempuan cenderung menggunakan kata-kata yang memberi penekanan terhadap tuturan untuk memperkuat makna dari sebuah tuturan. Sebagai contoh it was a brilliant performance, kata brilliant ‘gemilang’ adalah salah satu contoh emphatic stress. Ini digunakan untuk menekankan makna dari penampilan. 1.6.4 Fungsi Fitur-fitur Tuturan Perempuan 1.6.4.1 Fungsi melemahkan (Hedges Devices) Hedges devices dapat digunakan untuk melemahkan kekuatan sebuah tuturan. Hedges devices dengan eksplisit menandakan kurang percaya diri. Dengan kata lain, fitur-fitur tersebut digunakan untuk mengekspresikan ketidakyakinan.
32
1.6.4.2 Fungsi Menguatkan (Booster Devices) Boosting devices dapat digunakan untuk memperkuat kekuatan sebuah tuturan. Boosting devices menggambarkan antisipasi penutur bagi mitra tutur yang mungkin masih tidak yakin dan oleh karena itu disediakan informasi tambahan. Singkatnya, fitur-fitur tersebut digunakan untuk meyakinkan mitra tutur terhadap tuturannya. 1.6.5 Karakteristik Tuturan Laki-laki Studi mengenai bahasa dan gender menyebabkan banyak perdebatan dan memicu penelitian-penelitian untuk menguji teori yang dikemukan oleh Lakoff. Ada perbedaan dalam cara penggunaan bahasa antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh cara laki-laki dan perempuan dibesarkan secara linguistik. Perbedaan bahasa antara laki-laki dan perempuan telah banyak dibahas, sebagian besar literatur pada subjek berkonsentrasi pada dua teori utama. Yang pertama adalah pendekatan dominasi (didukung oleh Lakoff 1975; Fishman 1983), yang menyatakan bahwa perbedaan bahasa antara laki-laki dan perempuan merupakan konsekuensi dari dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan. Dalam pandangan ini, perempuan adalah kelompok minoritas yang ditekan. Para pendukung pendekatan perbedaan (Coates 1986; Tannen 1990) di sisi lain, percaya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki subkultur yang berbeda dan bahwa perbedaan linguistik dapat dikaitkan dengan perbedaan budaya. Holmes (1992) yang membahas tentang karakteristik bahasa laki-laki seperti ungrammatical form, multiple negations, pronounced –in form, delete –ed at the end of form in pronunciation, dan impolite forms. Dan teori yang membahas 33
tentang perbedaan bahasa perempuan dan bahasa laki-laki secara linguistik menggunakan teori yang ditulis oleh Coates (1986). Coates menyebutkan beberapa perbedaan tersebut seperti verbosity, tag questions, question, command and directives dan swearing and taboo language. Tuturan laki-laki dianggap sebagai bahasa normatif. Tuturan laki-laki adalah referensial dan kompetitif. Kata makian dan pengunaan kata tabu diterima. Penggunaan imperatif yang murni tanpa menambahkan kata-kata apapun seperti get the ball, bring the book, memotong pembicaraan orang lain adalah biasa. Pertanyaan lebih sering diajukan. Pujian dan permintan maaf diminimalkan. Bahasa digunakan sebagai alat kekuasaan. Bentuk tidak baku lebih disukai dari bentuk yang baku. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dikarenakan tujuan akhirnya adalah untuk menjelaskan dan menjabarkan semua fakta secara objektif terkait dengan fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Margaret Thatcher dalam wawancara. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena data penelitiannya berupa satuan lingual seperti kata, frase dan kalimat bukan dalam bentuk angka-angka. 1.7.1 Sumber Data Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah wawancara Margaret Thatcher yang dilakukan oleh stasiun televisi (TV). Wawancara ini terdiri atas 105 (seratus lima) wawancara TV. Teks wawancara
34
merupakan
hasil
transkripsi
yang
diperoleh
dari
laman
www.margaretthatcher.org. 1.7.2 Metode Pengumpulan Data Dalam
mengumpulkan
data,
peneliti
menggunakan
dua
pertimbangan dalam memilih wawancara yang akan dijadikan sumber data. Pertama adalah wawancara yang dilaksanakan selama Margaret Thatcher menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris (1979-1990). Kedua, adalah kekayaan data. Wawancara ini memiliki kekayaan data secara linguistik sehingga diasumsikan mampu menjawab semua pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah secara komprehensif. Data ini kemudian diobservasi oleh peneliti dengan mencatat penggunaan bahasanya yang relevan. Data yang telah diamati dan dicatat ini selanjutnya diidentifikasi sesuai dengan rumusan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya. Sebagai proses akhir, data setelah itu diklasifikasi berdasarkan sepuluh tipe fitur-fitur perempuan yang telah dikemukakan oleh Lakoff yaitu hedging, tag question, rising intonation on declaratives, empty adjectives, specialized vocabularies (precise color terms), intensifier, hypercorrect grammar,superpolite form, avoidance of strong swear words dan emphatic stress. 1.7.3 Metode Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan pada teori Lakoff (1975) mengenai fitur-fitur tuturan perempuan. Berdasarkan teori ini, maka peneliti akan menganalisis data dengan langkah-langkah
35
sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi tipe fitur-fitur tuturan perempuan mana saja yang digunakan oleh Margaret Thatcher di dalam wawancara tersebut. Kedua, menganalisis fungsi fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Margaret Thatcher. Selanjutnya, menganalisis fitur-fitur tuturan laki-laki yang digunakan oleh Margaret Thatcher sebagaimana ia dikenal sebagai the Iron Lady. 1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data kemudian disajikan secara deskriptif, atau informal sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sudaryanto (1993:144), sesuai dengan rumusan masalah dan kerangka analisis yang telah dibuat sebelumnya. Penyajian data secara informal ini dilakukan dengan katakata yang disertai dengan contoh-contoh yang relevan untuk memperoleh jawaban yang komprehensif atas rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Di samping itu, analisis juga disajikan dalam bentuk formal dengan menggunakan tabel yang mengklasifikasikan data hingga terperinci sedemikian rupa, sehingga memudahkan pembacaan dan pemahaman terhadap hasil analisis data yang dipaparkan. 1.8 Sistematika Penyajian Penulisan penelitian ini dipaparkan dengan sistematika sebagai berikut. BAB I berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. BAB II berupa hasil analisis data yang mendeskripsikan penggunaan fitur-fitur
36
tuturan perempuan yang digunakan oleh Margaret Thatcher di dalam wawancara TV. BAB III berupa hasil analisis data yang mendeskripsikan fungsi fitur-fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Margaret Thatcher di dalam wawancara tersebut. BAB IV berupa hasil analisis data yang mendeskripsikan penggunaan fitur-fitur tuturan laki-laki yang digunakan oleh Margaret Thatcher sebagaimana ia dikenal sebagai the Iron Lady. BAB V berupa penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran dari apa yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya.
37