BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Kesejahteraan dan kemandirian bangsa Indonesia merupakan tujuan yang tertulis dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut diperlukanlah sumber dana pendapatan negara. Sumber pendapatan negara sangat menentukan dalam proses pencapaian tersebut, karena untuk mewujudkan kesejahteraan diperlukan pembangunan yang berkelanjutan tanpa adanya ketergantungan dari pihak lain. Sumber pendapatan negara Indonesia ini yang utama adalah pajak. Pajak merupakan sumber pendapatan yang kurang lebih 70% digunakan dalam APBN. Namun penerimaan pajak sampai saat ini belumlah optimal. Dari potensi penerimaan pajak 2005-2009, hanya 50% saja yang dapat terealisasi. Di tahun 2014 lalu total penerimaan pajak mencapai Rp891 triliun, penerimaan di tahun 2014 ini kurang lebih 70% dari potensi pajak Indonesia. Salah satu hal yang menyebabkan masih belum dapatnya potensi pajak di optimalkan adalah tingkat kepatuhan yang masih rendah. Banyak hal yang diperkirakan mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak seperti diantaranya adalah pelayanan fiskus yang masih rendah, belum transparannya dan akuntable penggunanan dana pajak, kemudian penegakan hukum yang masih lemah, dan kurangnya jumlah pegawai pajak untuk melakukan pengawasan terhadap wajib pajak. Hal inilah yang kemudian diperkirakan membuat wajib pajak tidak patuh dalam pembayaran pajak. Sehingga pajak di Indoensia masih belum dapat optimal. Jadi besar kecilnya penerimaan pajak suatu negara bergantung dari seberapa patuh para wajib pajak membayar yang seharusnya dibayarkan.
Kepatuhan wajib pajak dalam melakukan pembayaran pajak merupakan suatu masalah klasik yang selalu timbul di hampir semua negara. Telah banyak penelitian yang mencoba membahas dan mencari solusi untuk tingkat kepatuhan wajib pajak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hutagaol (2012) tentang kepatuhan wajib pajak ada beberapa temuan yang paling menentukan tingkat kepatuhan wajib pajak. Diantaranya seperti keuangan publik, penegakan hukum, tenaga kerja, penghasilan, tarif pajak dan etika. Keuangan publik merupakan sebuah faktor yang cukup berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak, dimana para wajib pajak akan taat membayar pajak ketika mereka percaya pada pengelolahanya. Walaupun manfaat dari pembayaran pajak tidak dirasakan secara langsung, namun ketika wajib pajak percaya bahwa pengelolahan penerimaan pajak itu ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat maka para wajib pajak juga tidak enggan untuk membayar pajak tepat waktu dan dengan nominal yang seharusnya. Namun ketika pengelolaan dana pajak itu tidak transparan dan tidak akuntable maka hal ini akan membuat para wajib pajak enggan untuk berkontribusi dalam pembayaran pajak. Keuangan publik di Indonesia sendiri masih sangat jauh dari kata transparan dan akuntable. Masih banyaknya praktek-praktek pengelolaan dana pajak yang diselewengkan. Praktek praktek penyelewengan dana pajak itu sendiri bukanlah hal baru di Indonesia. Sudah lama sekali para oknum pajak melakukan berbagai modus untuk memperkaya diri sendiri. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh inspeksi pajak dan inspeksi bea cukai yang bertugas untuk mengawasi Direktorat Jenderal Pajak. Apabila para aparatur negara ini benar benar bekerja sesuai dengan sumpah jabatan mereka, maka praktek-praktek penyelewangan ini harusnya tidak ada lagi. Penegakan hukum dilakukan sebagai pencegahan dan pemberian efek jera bagi wajib pajak yang akan melakukan penyelewangan atau melakukan suatu hal yang bertentangan
dengan hukum. Dengan penegakan hukum diharapkan para wajib pajak akan patuh dan tidak melakukan penghindaran pajak. Namun Penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam sektor pajak dapat dibilang masih lemah. Kasus pajak yang muncul setiap tahunya mencapai ribuan kasus, namun penyelsaianya rata-rata hanya berkisar 40-50 kasus setiap tahun. Yang pada akhirnya banyak kasus yang tidak terselsaikan dan penegakan hukum belumlah optimal. Kemudian juga selain lambatnya penanganan kasus hukum ini, hukuman yang harusnya dapat memberi efek jera justru hampir tidak ada lagi. Dalam penanganan perkara hukum yang terpenting adalah unsur keadilan, dimana seharusnya bagi setiap wajib pajak yang melakukan kecurangan dan melanggar peraturan perundang-undangan maka siapapun itu termasuk petugas pajak harusnya dikenai sanksi sesuai ketentuan. Dengan lamanya penangan sebuah kasus pajak dan dengan lemahnya hukuman yang diberikan kepada terdakwa kasus pajak membuat para wajib pajak semakin tidak patuh dalam melakukan pembayaran pajak di Indonesia. Sebenarnya masalah penegakan hukum itu sendiri terjadi karena mungkin kurangnya pegawai pajak di Indonesia, sehingga membuat banyak wajib pajak leluasa melakukan pelanggaran tanpa dikenai sanksi hukum. Banyak penelitian menemukan bahwa semakin tinggi tingkat penghasilan maka tingkat kepatuhanya juga akan semakin tinggi, hal ini dikarenakan orang yang memiliki penghasilan tinggi cenderung lebih konservatis dalam pelaporan kewajiban perpajakanya. Namun pada saat pengawasaan yang dilakukan oleh otoritas pajak negara tersebut tidak optimal, hal ini dapat mendorong para wajib pajak tersebut tidak patuh (Hutagaol, 2012). Arti dari konservatis sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah sikap untuk mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradsi yang berlaku. Jadi wajib pajak yang memiliki penghasilan tinggi cenderung lebih memiliki sikap dalam mempertahankan apa yang diyakininya, termasuk dalam pelaporan kewajiban perpajakanya.
Objek dalam penelitian ini adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan wajib pajak orang pribadi pekerjaan bebas yang terdaftar di KPP Pratama Kebumen. Tingkat kepatuhan pajak untuk PPh pasal 25 ini di kabupaten Kebumen masih sangatlah rendah, yaitu hanya sekitar 30% saja dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, hal tersebut sangat menarik perhatian untuk dilakukan sebuah penelitian terhadap wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan orang pribadi pekerjaan bebas yang terdaftar di KPP Pratama Kebumen. Berikut disajikan tabel yang menjelaskan tentang tingkat kepatuhan pajak di kabupaten Kebumen dari tahun 2012 hingga 2014. Tabel 1.1 Tingkat Kepatuhan Pajak Orang Pribadi di Wilayah Kabupaten Kebumen Realisasi Wajib Penyampaian Subjek Pajak
Tahun
Pajak
Ratio SPT
PPh Pasal 21
PPh Pasal 25 OP
Wajib SPT
Total
2012
58.145
39.671
68,2%
2013
60.262
46.206
76,6%
2014
69.295
49.982
72,1%
2012
4.404
1.604
36,4%
2013
5.371
1.646
30,6%
2014
6.637
2.343
35,3%
Sumber: KPP Pratama Kebumen Tabel 1.2 Realisasi Penyampaian SPT Orang Pribadi di Kabupaten Kebumen Realisasi Penyampaian SPT Subjek Pajak
Tahun KB
LB
Nihil
Total
PPh Pasal 21
PPh Pasal 25 OP
2012
32
1
39.638
39.671
2013
36
1
46.169
46.206
2014
100
56
49.826
49.982
2012
843
1
760
1.604
2013
842
2
802
1.646
2014
854
0
1.489
2.343
Sumber: KPP Pratama Kebumen Tabel 1.3 Realisasi Penerimaan Pajak untuk PPh Pasal 21 dan PPh pasal 25 Orang Pribadi di Kabupaten Kebumen
PPh Pasal 21
PPh Pasal 25 OP
Tahun
Total
2012
59.941.504.561
2013
68.995.452.263
2014
84.575.497.419
2012
3.160.084.309
2013
3.230.254.353
2014
3.476.860.311
Tingkat kepatuhan pajak yang masih rendah untuk orang pribadi yang memiliki usaha dan pekerjaan tertentu ini masih sangat memprihatinkan, ditambah lagi dengan masih rendahnya tingkat pelaporan SPT. Kondisi ini kemudian memberikan motivasi untuk dilakukanya penelitian mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak dalam bentuk skripsi dengan judul “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEPATUHAN PAJAK”