ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular infeksi yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui nyamuk. Penyakit ini merupakan penyakit yang timbul di negara-negara tropis, termasuk di Indonesia (CDC, 2007). Menurut Ditjen P2PL Depkes RI (2011), DBD adalah penyakit infeksi oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan (shock) dan kematian. Sampai saat ini belum ada vaksin maupun pengobatan yang efektif untuk virus demam berdarah kalaupun ada mungkin penggunaanya masih 5-10 tahun lagi dan itupun harganya sangat mahal untuk rakyat miskin di negara berkembang. Untuk dapat dipergunakan dan menjangkau daerah-daerah mungkin memerlukan waktu yang lama sementara DBD masih menjadi masalah (Sutaryo, 2004). World Health Organization (WHO) mengestimasi 50 juta orang di dunia, terinfeksi DBD setiap tahunnya. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat Negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
1 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Di Indonesia DBD pertama kali ditemukan di Kota Surabaya pada Tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Case Fatality Rate/CFR 41,3%). Semenjak pertama kali ditemukan angka kesakitan DBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan daerah terjangkit semakin meluas hingga sampai pada Tahun 2012 mencapai 417 kabupaten/kota dari 474 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) setiap tahunnya di beberapa daerah endemis tinggi dan kejadiannya sulit diduga. kesakitan (Incident Rate/IR) DBD
pada tahun 2012
Angka
sebesar 65,70 per
100.000 penduduk dan angka ini lebih tinggi dari target nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan tahun 2012-2014 yang ditetapkan sebesar 53 per 100.000 penduduk untuk tahun 2012, (Kemenkes RI, 2013). Tingginya angka kesakitan DBD di Indonesia kelancaran
transportasi
dan
perpindahan
penduduk
kedaerah lainnya cukup tinggi (Depkes RI, 2005) serta
dikarenakan
dari satu daerah kondisi
alam
Indonesia yang berada pada daerah tropis yang sangat cocok untuk perkembangbiakan nyamuk vektor DBD (Suroso, 2005). Selain faktor risiko tersebut diatas, faktor lingkungan, faktor agen dan faktor penjamu juga sangat penting diperhatikan karena keseimbangan ketiga faktor tersebut dapat mempengaruhi penurunan maupun peningkatan kejadian kasus DBD (Murti, 2003). Kerentanan penjamu terhadap DBD juga dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin, seperti dikemukakan oleh Wibisono
2 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
(1997) bahwa kelompok umur yang banyak terinfeksi DBD adalah kelompok umur 15-19 tahun, dan jenis kelamin yang terbanyak menderita DBD adalah perempuan, bulan dengan penderita yang mencolok terkena DBD pada bulan Oktober dan bulan Mei, serta curah hujan yang paling tinggi pada bulan Januari sampai Februari dengan kasus yang sangat mencolok pada curah hujan <100 mm/bulan, jenis pekerjaan yang paling banyak terkena DBD adalah pelajar/mahasiswa diikuti oleh buruh. Sedangkan menurut Djelantik (1999) prevalensi DBD tertinggi pada kelompok umur 10-14 tahun, dan faktor jumlah anggota keluarga meningkatkan peluang untuk meningkatnya prevalensi DBD. Kebiasaan penjamu juga dapat mempengaruhi kejadian DBD seperti yang dikemukakan oleh Sitio (2008) bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah kebiasaan tidur siang, menggunakan anti nyamuk di siang hari (p=0,026; OR=4,343) dan kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai (p=0,018; OR=5,500). Di Nusa Tenggara Barat (NTB), kasus DBD pada tahun 2012 sebesar 827 kasus (IR 17,84), dengan kematian 3 orang (CFR 0,36). Kasus DBD pada sepuluh kabupaten/kota yang ada di NTB seperti yang terlihat pada gambar 1.1.
3 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sumber : Dinkes Propinsi NTB, 2013.
Gambar 1.1. Grafik Jumlah Kasus dan Kematian DBD di Provinsi NTB Tahun 2012. Pada Gambar 1.1 diatas, terlihat bahwa Kota Mataram mempunyai kasus DBD tertinggi di NTB. Hal ini disebabkan karena Kota Mataram merupakan ibukota provinsi NTB yang mempunyai kepadatan penduduk yang sangat tinggi, menjadikan penularan DBD menjadi lebih cepat, dipengaruhi juga oleh faktor geografis Kota Mataram yang menunjang perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti. Di Kota Mataram pada Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2010, selama tiga tahun trend kasus DBD menningkat dan tiap tahunnya terjadi KLB. Pada Tahun 2008 terjadi 527 kasus (IR 184,82/100.000 penduduk) dengan 2 orang meninggal (CFR 0,38%.), Tahun 2009 terjadi 660 kasus (IR 208/100.000 penduduk) dengan 3 orang meninggal (CFR 0,45%) dan Tahun 2010 terjadi 1.014 kasus (IR 251/100.000 penduduk) dengan 3 orang meninggal (CFR 0,30%). Sedangkan pada Tahun 2011 kasus DBD menurun, dimana terjadi 170 kasus (IR 42,1/100.000 penduduk) dengan tidak ada
4 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
kematian (CFR 0), namun meningkat kembali pada Tahun 2012 dimana terjadi 464 kasus (IR 115,18/100.000 penduduk) dengan 1 orang penderita meninggal (CFR 0,22%) dan kembali terjadi KLB (Dinkes Kota Mataram, 2013). Berikut grafik kejadian DBD di Kota Mataram Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 seperti pada Gambar 1.2.
Sumber : Seksi P2B Dinkes Kota Mataram, 2013.
Gambar 1.2. Grafik Jumlah Kasus dan Kematian DBD Tahun 2008 s/d tahun 2012 di Kota Mataram. Berdasarkan kenyataan diatas maka timbul pertanyaan, faktor apakah yang berkaitan dan mendukung kejadian DBD di Kota Mataram. Faktor risiko merupakan faktor yang dapat mendorong atau memperparah terjadinya penularan DBD yang dapat berasal dari manusia sebagai host, virus sebagai agent dan faktor lingkungan (Kandun I N., 2006). Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang menentukan dalam penularan DBD. Penelitian yang dilakukan oleh Fathi, dkk (2005), tentang peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian DBD di Kota Mataram menyatakan bahwa, terdapat hubungan yang bermakna antara keberadaan kontainer dengan KLB
5 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
penyakit DBD di Kota Mataram (Chi-square, p<0,05) RR=2,96, semakin masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap penularan penyakit DBD akan semakin bertambah risiko terjadinya penularan penyakit DBD (Chi-square, p<0,05) dengan RR=2,24. Tindakan 3M berperan positif terhadap pencegahan terjadinya KLB penyakit DBD di Kota Mataram (Chisquare, p<0,05) dengan RR=2,65. Demikian pula tindakan abatisasi berperan mengurangi risiko penularan DBD (Chi-square, p<0,05) dengan RR=2,51. Penelitian lain yang dilakukan oleh I.G. Budiharta (2011) menyatakan bahwa faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian kasus DBD di Kota Mataram adalah kebiasaan tidur siang jam 9-10 (OR 9,00 ; 95% CI 2,0838,99, p=0,003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azizah dkk (2010) serta Musyarifatun (2011) menyatakan bahwa mobilitas penduduk yang tinggi menjadi salah satu faktor yang berperan dalam status endemisitas suatu wilayah. Faktor kepadatan penduduk juga dinyatakan sebagai salah satu faktor yang berperan dalam endemisitas DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setianingsih (2009), Rahayani (2010), dan Munsyir (2010). Faktor lain yang dianggap berperan dalam endemisitas DBD adalah lingkungan biologi berupa densitas larva Ae. aegypti. Penelitian Ishak dkk (2009) serta Sudibyo dkk (2012) menyatakan bahwa densitas larva mempunyai hubungan yang signifikan dengan tinggi rendahnya endemisitas DBD. Berbagai upaya telah dilakukan dalam pengendalian penyakit DBD di Kota Mataram, namun kasus DBD masih tetap saja ada dan sering
6 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
menimbulkan KLB. Menurut Lapau (2011), dalam program kesehatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah kesehatan khususnya pemberantasan penyakit, maka ada lima katagori intervensi yang perlu di pertimbangkan, yaitu surveilans, penemuan, pengobatan, pencegahan dan promosi dalam rangka mengatasi masalah kesehatan atau penyakit yang bersangkutan. Surveilans merupakan prioritas intervensi utama, karena surveilans berguna untuk menjamin supaya dihasilkan informasi yang terus-menerus dan berkualitas sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam mengambil tindakan pengendalian atau penaggulangan yang efektif dan efisien. Surveilans DBD adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program, instansi dan pihak terkait secara sistematis dan terus-menerus tentang situasi DBD dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan pengendalian secara efektif dan efisien. Surveilans DBD merupakan surveilans rutin yang dilaksanakan di seluruh unit pelayanan kesehatan di Indonesia dan merupakan salah satu kegiatan pokok kegiatan program pengendalian DBD, yang meliputi surveilans kasus secara aktif maupun pasif, surveilans vektor, surveilans laboratorium dan surveilans faktor risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban, serta surveilans akibat adanya perubahan iklim (climate change) (Kemenkes RI, 2011). Dinas Kesehatan Kota (DKK) Mataram merupakan organisasi di
7 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
lingkungan Pemerintahan Kota Mataram sebagai unsur pelaksana teknis pemerintah daerah yang mempunyai tugas membantu Wali Kota dalam melaksanakan kewenangan otonomi daerah di bidang kesehatan. Kegiatan surveilans epidemologi termasuk surveilans epidemiologi DBD adalah salah satu tupoksi dari DKK Mataram yang dilaksanakan oleh Seksi Pemberantasan Penyakit dan Bencana (P2B) pada Bidang Pengamatan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit serta Penyehatan Lingkungan (P3PPL). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang sudah dilakukan di DKK Mataram, kegiatan surveilans epidemiologi DBD di DKK Mataram dilakukan ketika ada laporan pemberitahuan adanya kasus DBD yang di rawat pada sarana pelayanan kesehatan yaitu Rumah Sakit (RS) pemerintah/swasta, Puskesmas rawat inap/non rawat inap yang dilaporkan melalui telpon/SMS, kemudian data tersebut dicatat/dientry pada komputer dengan menggunakan program aplikasi komputer microsoft excell pada form data dasar perorangan penderita suspek DBD, DD, DBD dan SSD (lampiran 1). Berdasarkan laporan tersebut selanjutnya dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) oleh puskesmas untuk mencari tersangka DBD atau penderita baru dan melakukan pemeriksaan jentik di sekitar tempat tinggal kasus dengan menggunakan form PE (lampiran 1). Berdasarkan hasil kegiatan PE kemudian dilakukan upaya intervensi untuk mencegah penyebaran kasus dalam bentuk kegiatan penyuluhan, penggerakan masyarakat untuk PSN, larvasida maupun pengasapan (fogging) sesuai kriteria hasil PE. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan membuat tabel, grafik
8 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dan peta. Pembuatan tabel dilakukan untuk menyajikan data kasus berdasarkan lokasi dan minggu kejadian DBD, data kasus DBD berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin dan data jumlah penderita DBD per bulan. Pembuatan grafik digunakan untuk melihat trend berdasarkan minggu, bulan dan
tahun
kejadian
menggambarkan
DBD.
disitribusi
Sedangkan jumlah
kasus
mapping DBD
disajikan
untuk
berdasarkan
lokasi
desa/kelurahan. Berdasarkan penjelasan tersebut kegiatan surveilans DBD di DKK Mataram
terdapat
beberapa
permasalahan
pada
manajemen
sistem
pengelolaan data. Pada tahap pengumpulan data, laporan kasus DBD sering kali kurang lengkap seperti alamat kasus yang kurang jelas, beberapa RS melaporkan kasus DBD lebih dari 24 jam (tidak tepat waktu) karena alasan birokrasi RS. Data yang didapatkan dari kegiatan PE (form PE) yang meliputi pemeriksaan jentik terbatas hanya di sekitar kasus sehingga belum dapat menggambarkan angka bebas jentik (ABJ) yang sesungguhnya, pengolahan data dilakukan secara terpisah (tidak terintegrasi) sehingga menyulitkan dalam melakukan analisis. Keadaan ini menimbulkan permasalahan berupa adanya redudansi dan inkonsistensi serta memerlukan waktu lebih lama dalam pengolahan data. Hasil analisis belum dapat memberikan informasi yang maksimal sesuai kebutuhan program, informasi saat terjadinya musim penularan DBD belum dapat dihasilkan sehingga tidak dapat menentukan waktu yang tepat untuk melakukan upaya intervensi yang berupa tindakan pencegahan yang efektif dan efisien. Upaya intervensi yang dilakukan hanya
9 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
berdasarkan hasil PE seperti kegiatan fogging yang dilakukan hanya terbatas pada daerah sekitar kejadian DBD dan dilakukan agar kejadian DBD tidak meluas dan belum mampu mendeteksi seberapa besar kemungkinan suatu daerah akan terjadi kasus DBD, sehingga dibutuhkan informasi faktor risiko lain yang diperkirakan dapat mendukung kejadian DBD di Kota Mataram. Pengelolaan data menggunakan sistem basis data tertentu sudah banyak dilakukan dibidang kesehatan. Basis data (data base) adalah sekumpulan data yang saling berhubungan secara logis beserta deskripsinya, yang digunakan secara bersama-sama dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi di suatu tempat (Said M.P., 2013). Survailans epidemiologi DBD tidak hanya terbatas pada kegiatan surveilans kasus saja yang mengeloh dan menganalisis data kasus, namun meliputi surveilans terhadap faktor risiko kejadian DBD. Pengelolaan data faktor risiko kejadian DBD dapat menggunakan aplikasi basis data tertentu untuk mengolah, menganalisis, menginterpretasi dan menyimpan data sehingga informasi yang dihasilkan juga lebih berkulaitas, mudah diakses dan aman. Penggunaan manajemen basis data dengan menggunakan aplikasi basis data tertentu dalam mengolah dan menganalis data faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram belum pernah dilakukan. Berdasarkan
kenyataan dan
permasalahan pada pengelolaan data surveilans DBD di DKK Mataram, maka perlu dilakukan suatu penelitian pengembangan basis data yang dapat mengolah dan menganalisis data faktor risiko kejadian DBD. Basis data yang
10 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dikembangkan, dapat menghasilkan informasi kejadian DBD berdasarkan faktor risiko yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik maupun peta. Informasi yang dihasilkan dapat djadikan sebagai dasar atau bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk melaksanakan tindakan pengendalian DBD, sehingga dengan demikian upaya yang dilakukan lebih efektif dan efisien. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan gambaran dan masalah-masalah yang terdapat pada sistem surveilans DBD di DKK Mataram yang sedang berjalan saat ini, maka dapat disusun rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah model pengembangan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram, yang dapat menghasilkan informasi kejadian DBD berdasarkan faktor risiko keretanan manusia (kelompok umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan), tingkat kepadatan penduduk, tingkat ABJ dan kondisi iklim (suhu udara, kelembaban, curah hujan). 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengembangkan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD pada kegiatan surveilans epidemiologi DBD Program Pengendalian DBD di DKK Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). 1.3.2 Tujuan Khusus 1) Mengidentifikasi basis data surveilans epidemiologi DBD yang sedang berjalan di DKK Mataram saat ini.
11 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2) Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram. 3) Merancang pengembangan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram. 4) Melakukan uji coba basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram yang telah dikembangkan. 5) Mengevaluasi basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram. 1.4 Manfaat Penelitian ini di harapkan untuk dapat dimanfaatkan bagi : 1) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Mataram a. Dapat memilki dan memanfaatkan aplikasi basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD dengan menggunakan sofware Epi Info for windos version 3.5.1 yang dapat menghasilkan informasi kejadian DBD berdasarkan faktor risiko. b. Memudahkan
dalam
pengelolaan
(memasukkan/entry,
analisis,
penyimpanan, pengambilan kembali, dan penyajian ) data dan informasi c. Dapat menjamin kualitas data dan informasi yang dihasilkan oleh sistem surveilans DBD dengan menggunakan aplikasi basis data yang telah dikembangkan. 2) Akademik Dapat dijadikan sebagai tambahan referensi tentang pengembangan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD.
12 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3) Peneliti Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan dan merupakan bekal pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan apabila mendapatkan permasalahan tentang basis data.
13 TESIS
PENGEMBANGAN BASIS DATA .....
SINAWAN