1
Bab 1: Pendahuluan 1.1. Latar Belakang: Sejarah Pembentukan Kota Permukiman, pertahanan dan kegiatan ekonomi adalah faktor yang membuat geliat munculnya wilayah perkotaan menurut Leuwis Mumford (1961) wilayah ini memang memikat masyarakat untuk datang, karena daerah ini memiliki beberapa pusat kegiatan seperti pusat pemerintahan, pasar, pusat peribadatan, pusat kegiatan seni, benteng pertahanan, dsb. Wilayah ini dapat dianologikan seperti container yang harus menampung kegiatan masyarakat yang bermukim didalamnya dengan berbagai kegiatan yang dilakukannya, tidak hanya menampung penduduk di dalam tapi container ini juga menjadi magnet bagi penduduk dari luar untuk
berkegiatan,
sehingga tidak heran jika terjadi kepadatan pada saat-saat tertentu di suatu pusat kegiatan, seperti pasar atau pusat peribadatan di wilayah container. Kondisi demikian diungkapkan oleh Leuwis Mumford sebagai gejala implosi kota yang menjelaskan mengenai magnet yang dimiliki oleh wilayah kota sehingga penduduk yang bermukim di dalam dan di luar wilayah pusat kota mau tidak mau menjadi bergantung dengan keberadaan kota dan berbagai sarana dan prasarananya.1 Seperti dua sisi mata uang, proses yang dijelaskan di atas lambat laun akan menyebabkan kota menjadi sangat padat dan mengalami pemekaran wilayah fungsi, hal ini terjadi karena kota menjadi pilihan tunggal untuk bermukim dan bekerja. Gejala tersebut telah mendunia, sehingga tidak dapat ditawar lagi kebutuhan sistem pengelolaan kota yang menyatukan teritori meski bukan secara administrasi agar fungsi kota dapat tetap berlanjut dan bertahan. Megalopolis dalam arti penggabungan kota-kota yang keseluruhan penduduknya di atas sepuluh juta jiwa akan semakin banyak. Kini kota megalopolis telah ada 22 buah dan pada 2015 mendatang menurut proyeksi PBB megalopolis akan menjadi 33 buah yang sebagian besar terdapat di negara berkembang. Hal ini jelas akan berimplikasi pada daya dukung lingkungan kota.2
1 2
Leuwis Mumford, The City in History, New York, 1961 Gunawan Tjahjono, Megalopolis & Konsekuensi Kehadirannya, Jurnal Perkotaan, KPP UI, 2006
“Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
2
Megalopolis yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan fungsi wilayah-wilayah yang terkait diharapkan dapat menciptakan efisiensi dalam pengelolaan kota, sehingga berbagai sumberdaya yang dimanfaatkan saat ini dapat juga dirasakan manfaatnya oleh generasi mendatang. Untuk menuju hal tersebut, maka kesiapan tidak saja datang dari pengelola kota (pemerintah), tapi juga oleh semua warga kota. Megalopolis Megalopolis merupakan suatu pola/karakter yang terbentuk pada suatu keadaan kota dengan tingkat demografi tertentu, sehingga pada keadaan tersebut perlu dilakukan integrasi tata ruang wilayah kota dengan wilayah sekitarnya (metropolitan dan mikropolitan) guna menyesuaikan beban dengan daya dukung wilayah. Secara detil megalopolis dapat disebutkan seperti di bawah ini : (a) Megalopolis sebagai delineasi wilayah/region yang membentuk sistem perkotaan, (b) megalopolis sebagai konsep penanganan permasalahan bersama, (c) megalopolis sebagai konsep kesatuan wilayah perencanaan, (d) megalopolis sebagai perspektif region ekosistem. Dalam suatu perencanaan megalopolis dapat disusun sebagai rencana induk (komprehensif) bersama antar kota-kota yang bersinggungan, rencana ini disusun sebagai jawaban dari tuntutan warga atas pelayanan dan pengelolaan kota yang efektif dan efisien. Rencana induk ini kemudian diartikan dalam setiap kegiatan sektoral pembangunan dalam bentuk proses perencanaan advokasi, perencanaan strategis, dsb sehingga dari rangkaian proses tersebut kemudian disusun perencanaan spatial yang telah mengakomodasi berbagai kebutuhan dari setiap lapisan masyarakat. Megalopolis Tokyo merupakan salah satu contoh penerapan megalopolis yang efisien, Tokyo Metropolitan Area dan wilayah sekitarnya (Saitama, Chiba dan Kanagawa, Yokohama dan Kawasaki) memiliki tujuan membangun konsep pembangunan di masa depan untuk merenovasi Megalopolis Tokyo, kota-kota ini berkolaborasi menyusun rencana strategis untuk merancang struktur sirkulasi megalopolis yaitu dengan mengalokasikan fungsi-fungsi kota di wilayah/zona yang sesuai dengan daya dukungnya, sehingga akan tercipta dinamika yang mengarah pada kota yang nyaman untuk kehidupan. Hal tersebut diwujudkan dengan memperkuat jaringan transportasi dan informasi, membagi wilayah sesuai dengan zonasi fungsi dan bekerjasama dalam “Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
3
pengembangannya,
konsisten
pada
pembangunan
berkelanjutan,
membagi
pertumbuhan menjadi tersebar di wilayah mikropolitan (tidak hanya di kota inti saja) . Selain dengan jaringan transportasi sebagai tulang punggung utama, jaringan loop juga digunakan sebagai aplikasi teknologi informasi untuk memudahkan dan meningkatkan hubungan antar wilayah dengan cepat dan akurat. Megalopolis Tokyo juga telah melakukan penghitungan terhadap target yang ingin dicapai, yaitu: 1. Meningkatkan 10% kecepatan ke setiap wilayah kota (waktu yang dihemat sama dengan 1,7 miliard dollar) 2. Mengurangi 10% emissi Nox dan Co2 dari hasil buangan kendaraan bermotor 3. Mengurangi pergerakan 200.000 penglaju yang mengarah ke Tokyo 4. Meningkatkan pergerakan ke wilayah tetangga atau sekitar Tokyo dan mengurangi beban Tokyo 5. Mengurangi 30% kepadatan yang terjadi di Tokyo Selain Megalopolis Tokyo, di Asia Tenggara juga terdapat Mega Manila, namun keberadaan megalopolis ini disebutkan lebih awal dari kebutuhannya sehingga analisis kebutuhan akan suatu megalopolis Manila yang langsung diimplementasikan disebut sebagai
kegagalan
utama,
kemudian
respon
dan
intervensi dari pemerintah
pusat/negara akan hadirnya megalopolitan, baik dalam hal pengelolaan maupun masalah yang dihadapinya sangat lambat/lemah. Kedua hal tersebut yang akhirnya membawa megalopolis hanya membuat masalah perkotaan semakin buruk di Manila.3 Dua contoh penerapan megalopolis di dua belahan benua dengan karakter negara yang berbeda, hendaknya menjadi pelajaran bagi Jakarta dalam menangai masalah perkotaan dan memilih megalopolis sebagai solusinya. Jakarta & Perkembangannya Saat Ini Kota Jakarta sebagai metropolitan dalam perkembangannya saat ini telah dihuni oleh sekitar 9 juta penduduk di malam hari, dan sekitar 12 juta penduduk di siang hari, pergerakan masuknya para penglaju ini menambah masuknya 600.000 kendaraan bermotor setiap harinya ke Jakarta, aliran tersebut di belum termasuk aliran 11 juta
3
Padilla, From Metro to Mega Manila, National Conference on Urbanization, Nop 2004
“Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
4
kendaraan bermotor warga Jakarta yang melaju setiap harinya dan senantiasa bertambah 7% pertahunnya. Delapan fungsi yang dimiliki Jakarta menjadikan kota ini memiliki banyak magnet untuk menjadi daerah tujuan kedatangan bagi banyak orang, sehingga tidak heran jika urbanisasi yang terjadi setiap tahunnya mengalirkan 200.000-250.000 jiwa dari berbagai wilayah ke Jakarta, belum lagi ditambah aliran penglaju harian yang mencapai 4.094.359 jiwa (Sitramp, 2000). Kondisi ini menyebabkan kepadatan populasi di Jakarta yang berimbas pada berbagai permasalahan yang harus dihadapi, seperti polusi, persampahan, transportasi, kriminalitas, kelangkaan tanah untuk perumahan, dsb. Transportasi sebagai sektor yang menjadi tulang punggung pergerakan dan berjalannya berbagai sektor pembangunan kota, untuk itu jika transportasi bermasalah maka terdapat berbagai turunan masalah yang dirasakan secara langsung oleh pembangunan yang
sedang
dilakukan
di
berbagai
sektor,
seperti
inefisiensi
waktu
tempuh/berproduksi, inefisiensi bahan bakar, polusi udara & kebisingan, dampak fisik lingkungan, dsb. Masalah transportasi di Jakarta merupakan buah dari implementasi perencanaan inkremental dan politis dalam penataan ruang yang tidak sepenuhnya mengikuti koridor yang ditetapkan dalam perencanaan komprehensif (induk), padahal transportasi merupakan kunci menyelesaikan masalah perkotaan di Jakarta. Untuk itu pengelolaan jaringan transportasi yang link and match antar moda dan pembangunan sarana transportasi harus memiliki pola yang regional based tidak corridor based sehingga penduduk akan dapat berinteraksi dengan mudah dan nyaman, hal ini nantinya akan berbuah pada produktivitas yang tinggi dari sebuah kota. Bagian dari tujuan Rencana Induk Jakarta (1965-1985) adalah mendorong pembukaan wilayah untuk menjadi pusat pertumbuhan, baik di tengah kota Jakarta maupun di koridor penghubung antara Jakarta dan wilayah sekitarnya. Namun pembukaan wilayah terbangun tersebut tidak segera diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana kota yang memadai dan tepat waktu, sementara pembangunan di sekitar perbatasan Jakarta dengan Bodetabek terus terjadi sehingga hal yang dikhawatirkan adalah terjadinya konurbasi yang hanya akan memperluas cakupan wilayah yang harus dikelola Jakarta dengan potensi diri yang relatif tetap, kondisi ini jelas akan membuat “Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
5
pengelolaan yang dilakukan Pemerintah Daerah Jakarta tidak optimal. Pada kenyataannya saat ini wilayah terbangun yang direncanakan Jakarta dengan berbagai fungsinya telah melewati batas administrasi kota Jakarta sendiri (overbounded) hal ini menjadikan beberapa wilayah fungsi yang terkait dengan fungsi jakarta meluas ke wilayah sekitarnya, namun kondisi ini dapat berjalan dengan baik jika pengelolaan Jakarta dan wilayah sekitarnya yang senantiasa berkoordinasi, saling mendukung dan memperkuat keberadaan fungsi masing-masing kota/wilayah dan tentunya didukung oleh ketersediaan jaringan transportasi yang memadai sehingga pengelolaan kota dapat dirasakan efektif dan efisien. Dari berbagai sumber diketahui bahwa inefisiensi yang terjadi akibat pembukaan wilayah terbangun seperti yang disebutkan di atas diantaranya adalah sulitnya pengendalian
persebaran
penduduk
yang
merata
secara
geografis,
sulitnya
pengendalian pertumbuhan pusat-pusat kegiatan ekonomi di ibukota saja, jaringan jalan dan angkutan umum belum berpola sementara itu
jumlah kommuter terus
meningkat, belum terpadunya rencana tata ruang, rencana pembangunan wilayah jangka panjang dan rencana pembangunan wilayah jangka menengah, belum adanya kelembagaan
antar kota yang mampu mengkordinasikan
pemerintah-pemerintah
kabupaten/kota di dalam wilayah Jabodetabek di bidang perencanaan tata ruang, perencanaan sektor, promosi investasi sarana dan prasarana kota, monitoring dan evaluasi pembangunan. Selain inefisiensi di atas yang harus dihadapi Jakarta. kemacetan, tingginya polusi udara, banjir, kemiskinan, kelangkaan tanah, dsb merupakan beberapa dampak yang yang juga harus dihadapi Jakarta karena pengelolaan wilayah (Jabodetabek) yang berjalan sendiri-sendiri tanpa mempertimbangkan kesatuan wilayah sebagai suatu homogenitas
potensi,
padahal
efek
pembangunan
dari
wilayah-wilayah
yang
berdampingan tidak hanya dirasakan oleh wilayah itu sendiri namun juga oleh wilayah sekitarnya. Seperti kejadian banjir tahunan yang kerap melanda Jakarta, selain karena karakter fisik wilayah Jakarta yang landai, banjir juga merupakan bagian dari dampak penggunaan tanah di hulu sungai Ciliwung (Bogor) yang tersegregasi dengan pengelolaan di hilir yang memang memiliki batasan wilayah administratif yang berbeda, padahal sepanjang Sepanjang Sungai Ciliwung merupakan wilayah homogen “Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
6
DAS yang memerlukan perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi (one river one plan & management) Contoh lain, masuknya aliran manusia dengan kendaraan bermotornya setiap hari dari berbagai wilayah di sekitar Jakarta ke Jakarta untuk bekerja, sekolah maupun berbelanja menyebabkan situasi transportasi Jakarta padat dan berbagai polusi mewarnai Jakarta. Penempatan TPA Jakarta di wilayah administrasi Bekasi juga memberi dampak langsung baik sosial maupun ekonomi bagi penduduk di wilayah Bekasi khususnya wilayah Bantar Gebang sebagai TPA, baik dampak sosial maupun ekonomi. Belum lagi sumber air Jakarta yang telah tidak mungkin memenhi kebutuhan penduduk Jakarta sehingga mengharuskan Jakarta untuk memperolehnya dari Bogor dan Tangerang, hal ini jelas berimbas pada berkurangnya stok air untuk penduduk di wilayah Bogor dan Tangerang sendiri, dan contoh-contoh lain tentang kerjasama sektoral yang terjadi antar wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan Jakarta dan wilayah sekitarnya saling tergantung dan seharusnya saling memperkuat. Namun untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan ketersediaan jaringan yang dapat menghubungkan masyarakat di antar wilayah dengan mudah, yang didukung oleh kebijakan untuk koordinasi antara wilayah. Kondisi di atas perlu segera dibenahi secara bersama dengan wilayah sekitarnya yang dalam perkembangannya dipengaruhi dan mempengaruhi Jakarta. Salah satu solusi pembenahan pengelolaan kota yang ditengarai sebagai cara untuk menghindarkan Jakarta dari kondisi overcapacity adalah Megalopolis. Solusi ini juga ditengarai untuk menghindarkan dampak sosial pembangunan, masalah kelangkaan air tanah, masalah sampah, krisis sumber air baku, kriminalitas tinggi, dan kota menjadi sangat semrawut. Beberapa bulan terakhir, Gubernur Jakarta Sutiyoso kerap mendengungkan konsep megalopolis sebagai alternatif dari permasalahan kota (khususnya Jakarta dan beberapa wilayah tetangganya yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur). Tak pelak isu ini menjadi hangat dibicarakan oleh berbagai pihak terkait, baik pengelola
kota,
private
sector,
LSM,
akademisi
dan
masyarakat.
Bagi megalopolis Jabodetabekjur keberadaan jaringan (network) yang menghubungkan wilayah-wilayah terkait adalah merupakan kunci untuk secara bertahap menyelesaikan “Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
7
masalah sektoral lainnya. Secara rinci fungsi jaringan transportasi pada megalopolis Jabodetabekjur adalah untuk: 1.
Melancarkan pergerakan barang/orang/jasa antar wilayah
2.
Mengoptimalkan fungsi masing-masing kota
3.
Mengintegrasikan kota-kota di wilayah megalopolis
4.
Meningkatkan produktivitas dan pelayanan kota
Sementara itu, beberapa kebijakan terkait yang dapat mendukung perwujudan megalopolis
Jabodetabekjur
adalah
Instruksi
Presiden
No.76/
1973
tentang
Pengembangan Wilayah Jabotabek, terbentuknya Badan Kerja Sama Daerah (BKSD), Pasal 9 sampai dengan pasal 13 Undang-undang nomor 23 tahun 1997 ttg Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 20, 21 dan 22 Undang-undang nomor 24tahun 1992 tentang Penataan Ruang,
Pasal 196 ayat 2 Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, PP no 47 tahun 1997 tentang RTRW Nasional yang menggolongkan Jabodetabek sebagai Kawasan Tertentu yang memerlukan penanganan khusus, Pasal 20 dan 21 Undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 3 dan 4 Undang-undang nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta dalam kaitan kewenangan lain yang dilimpahkan kemudian untuk mendukung Jakarta sebagai pusat pemerintahan Negara. Berbagai implikasi dari konsep megalopolis Jabodetabekjur saat ini masih mengundang berbagai pertanyaan dari masyarakat luas, sehingga untuk memperjelas konsep tersebut perlu kita lihat penerapan megalopolis dalam suatu region yang memiliki karakteristik fisik dan sosial yang hampir mirip dengan Jabodetabekjur dengan implementasi yang cukup baik. Greater Bangkok disebut sebagai Kota Megapolitan dengan pola transportasi makro yang cukup baik dengan dukungan sarana transportasi berupa skytrain, riverboat, subway, selain juga bis dan kereta sehingga masyarakat memiliki beragam pilihan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan daya jangkau. Bangkok Metropolitan Area Bangkok memiliki 10 juta penduduk, jumlah ini cukup besar mengingat secara keseluruhan penduduk Thailand adalah 60 juta jiwa, dengan komposisi penduduk terbesar berada pada kisaran usia 15-59 tahun yaitu 75% dan dengan jenis pekerjaan “Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
8
tertinggi yaitu pegawai yaitu sebesar 70%, sementara itu migrasi yang terjadi sekitar sejak tahun 1995-2000 mencapai 8.6% dari total jumlah populasi di Bangkok. Secara geografis bangkok dengan luas 1.569 km2 terletak di tengah Negara Thailand dilalui oleh Sungai Chao Phraya, kanal dan beberapa DAS, Bangkok juga berada dekat dengan Teluk Thailand. Di bagian Utara Bangkok secara langsung berbatasan dengan Pathum Thani, di bagian Barat laut berbatasan dengan Nonthaburi, di Timur berbatasan dengan Chachoengsao, di bagian Barat Daya berbatasan dengan Samut Sakhon dan dibagian Timur Laut berbatasan dengan Samut Prakan. Sementara itu dalam pengwilayahan administrasi Bangkok Metropolitan Area (BMA) memiliki 50 distrik. Bangkok merupakan salah satu negara di benua Asia Tenggara memiliki rumpun budaya melayu/ketimuran dengan budaya daerah yang sangat kental. Sedangkan secara fisik wilayah Bangkok merupakan kota pelabuhan yang tidak memiliki pegunungan dan berada pada wilayah pesisir dari Teluk Thailand. Berbagai masalah yang dihadapi Bangkok sebagai Ibukota dari negara yang sedang berkembang sama halnya dengan Indonesia, yaitu mengatasi masalah krusial di ibukota yaitu kemacetan dan polusi yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan berbagai sektor pembangunan. Satu dekade yang lalu Bangkok merupakan kota yang paling padat lalu lintasnya di dunia dengan tingkat polusi ketiga tertinggi. Namun lima tahun terakhir ini beragam penyediaan dan pengelolaan infrastruktur transportasi yang dilakukan oleh Bangkok telah menjadikan masalah krusial di kota ini berangsur pulih. Berbagai karakter potensi, masalah, kendala dan upaya yang dilakukan Bangkok dalam membenahi diri meningkatkan kompetensi untuk bersaing dalam pergaulan dunia, merupakan benang merah yang sama dengan Indonesia, khususnya dalam membenahi pengelolaan kota Jakarta. Namun perubahan yang telah terjadi di Bangkok sebagai buah dari implementasi perencanaan transportasinya telah dirasakan cukup berhasil dibandingkan kota jakarta Untuk itu, bagian dari perencanaan dan pengimplementasian transportasi makro BMA yang
berhasil
mengurangi
masalah
krusial
perkotaan
perlu
untuk
dijadikan
perbandingan dari cerita sukses yang telah dilakukan oleh kota lain. Salah satu cerita “Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
9
sukses Bangkok dalam pengelolaan transportasi antar wilayah yaitu seperti data yang diungkapkan oleh OTP Bangkok bahwa waktu berkendara antara Bangkok dengan Pathum Tani sebelum tersedia jaringan moda transportasi antar wilayah (BTS) harus ditempuh dalam kurun waktu 2 jam, namun saat ini dapat ditempuh hanya dengan 45 menit menggunakan BTS. Hal-hal yang mendorong pengelolaan kota yang efisien perlu diidentifikasi dan menjadi perhatian dalam pengelolaan kota kita di masa yang akan datang. Bangkok merupakan kota pertama di Asia Tenggara atau kota ketiga di Asia (setelah Jepang dan Hongkong) yang memiliki sistem perencanaan transportasi untuk mengurangi kepadatan lalu lintasnya. Dua dekade lalu, Bank Dunia meminta bantuan pakar dari Jerman untuk mengevaluasi permasalahan transportasi di Bangkok yang dalam kesehariannya pada waktu jam sibuk hanya memiliki kecepatan berlalu lintas sekitar 8-9 km/jam dan pertambahan kendaraan bermotor 524 perhari (1990). Hasil dari evaluasi Bank Dunia mengungkapkan bahwa dibutuhkan sistem transportasi masal dan penambahan jalan raya hanya menyebabkan kepadatan bertambah parah karena mendorong manusia untuk menggunakan kendaraan pribadi, sehingga sistem yang diajukan untuk mengurangi kepadatan di kota Bangkok adalah menyediakan sarana transportasi berupa subway, skytrain, dan angkutan air. Pengelolaan transportasi ini juga yang menjadikan kunci jaringan di BMA dan wilayah sekitarnya menjadi link and match. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka perlu secara lansung mengetahui konsep megalopolis yang diterapkan di wilayah tersebut dan bagaimana perkembangannya saat ini. Sehingga sebagai elemen warga kota Jakarta yang memiliki masalah kota yang hampir sama dengan Bangkok kami mahasiswa Kajian Pengembangan Perkotaan mendapatkan ilmu sekaligus pengalaman pengelolaan kota yang kelak akan dapat menjadi secercah masukan positif dalam penerapan megalopolis Jabodetabekjur.
1.2. Tujuan Praktikum Lapangan 1. Melihat secara langsung dan memahami megalopolis yang telah berjalan, 2. Melihat dan memahami peranan jaringan transportasi yang link and match dalam mendukung penerapan megalopolis dalam suatu region. “Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
10
1.3. Ruang Lingkup Kegiatan -
Tahap persiapan, 1. Mendapat penerangan dari pihak terkait mengenai sistem transportasi di DKI Jakarta (Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Departemen Perhubungan ) 2. Menentukan lokasi yang dianggap representatif dalam membahas topik kajian 3. Melakukan koordinasi untuk melakukan pertemuan dengan Pemerintah Daerah dan Bangkok dan Universitas setempat untuk mendapatkan penjelasan mengenai Sistem Transportasi di Bangkok Metropolitan Area
-
Tahap Pelaksanaan 1. Melakukan observasi ke beberapa titik lokasi sarana dan prasarana transportasi di Bangkok (seperti : Parking Lot Chatucak, Interchange Mo Chit, Stasiun pemantau skytrain, mencoba moda transportasi skytrain dan subway di Bangkok) 2. Melakukan pertemuan dengan Dinas Transportasi Bangkok 3. Melakukan pertemuan dengan Asian Institute of Technology, Jurusan Urban Environmental Management
-
Tahap Pelaporan Menyusun laporan, dengan ruang lingkup kajian 1. Mengkaji terbentuknya Megalopolis Bangkok 2. Mengkaji masalah krusial yang dihadapi Kota Bangkok 3. Mengkaji perencanaan & inovasi yang disusun dalam rangka mengatasi masalah krusialnya 4. Mengkaji peran kunci jaringan transportasi dalam pergerakan antar wilayah
1.4. Metode Kajian: pengumpulan data, pengolahan data, pembahasan dan kesimpulan -
Pengumpulan Data, baik primer maupun sekunder Data sekunder didapat dari berbagai literatur mengenai Bangkok, masalah dan perkembangannya. Data primer didapat berupa data tabuler, peta dari berbagai instansi terkait di Bangkok. Selain itu penjelasan langsung dari narasumber terkait dilakukan melalui proses wawancara.
“Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah
11
-
Pengolahan Data Proses ini dilakukan dengan melakukan perbandingan data tabuler antara Jakarta dan Bangkok pada dua dekade yang lalu, dan perkembangannya saat ini. Fakta yang diperbandingkan merujuk kepada data, peta dan informasi langsung dari pihak-pihak terkait.
-
Pembahasan Proses ini dilakukan dengan melakukan analisis deskriptif mengenai peran jaringan dalam suatu wilayah megalopolis.
-
Kesimpulan Mengungkapkan beberapa point yang dianggap paling penting/inti dari temuan dalam pembahasan mengenai jaringan transportasinya hubungannya pengelolaan kota.
“Megalopolis”
Kuliah Lapang MK. Perencanaan Kota & Wilayah