BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Laporan WHO/UNICEF menyatakan 60 % kematian balita berkaitan dengan keadaan kurang gizi, 2/3 dari kematian tersebut berkaitan dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, maka penting penerapan optimal feeding. Untuk mencapai tumbuh kembang optimal tersebut, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam satu jam pertama kelahiran, menyusui secara eksklusif selama 6 bulan, bayi mulai diberi MP-ASI setelah usia 6 bulan dan ASI terus diberikan sampai anak berumur 24 bulan (Khasanah, 2013). Protokol tentang asuhan bayi baru lahir satu jam pertama yang telah diperbaharui oleh WHO (World Health Organization) dan UNICEF yaitu salah satunya bayi harus mendapatkan kontak kulit dengan ibunya segera setelah lahir selama paling sedikit satu jam agar terlaksananya inisiasi menyusu dini yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penurunan angka kematian bayi baru lahir (JNPK-KR, 2008). Inisiasi Menyusu Dini (IMD) berperan dalam pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) yaitu membantu mengurangi kemiskinan dan kelaparan
1
dan membantu mengurangi angka kematian anak dengan target menurunkan angka kematian sebanyak 2/3 dari tahun 1990 sampai tahun 2015 (Maryunani, 2012). Kebijakan The World Alliance For Breastfeeding (WABA) tentang Inisiasi Menyusu Dini dalam satu jam setelah kelahiran, merupakan tahap penting untuk mengurangi kematian bayi dan mengurangi banyak kematian neonatal. Masa-masa belajar menyusu dalam satu jam pertama hidup bayi diluar kandungan disebut sebagai proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Inisiasi Menyusu dini telah menjadi tema peringatan pekan ASI Sedunia 2007 yaitu “Menyusu Satu Jam Pertama Kehidupan dilanjutkan dengan menyusu bayi eksklusif 6 bulan menyelamatkan lebih dari 1 juta bayi”.(Maryunani, 2009) Dengan Program IMD diharapkan bisa mengurangi angka kematian bayi, motivasi ini berupa himbauan kepada ibu hamil agar satu jam pertama setelah proses melahirkan bersedia melakukan IMD bagi bayi mereka, dan juga memberikan Air Susu Ibu (ASI ) secara langsung selama 6 bulan tanpa susu formula. Program IMD dengan ASI langsung dapat memberikan kesehatan yang lebih baik terhadap bayi dan kebaikan terhadap kesehatan Ibu (Roesli, 2008) IMD merupakan salah satu metode yang berbeda dengan sebelumnya. Metode yang sebelumnya adalah begitu bayi dilahirkan (setelah dipotong tali pusatnya) kemudian dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang dan dimandikan. IMD dilakukan dengan meletakkan bayi di dada ibunya setelah tubuh bayi dilap dengan kain bersih dan bagian punggung bayi ditutup dengan selimut, kemudian bayi dibiarkan mencari payudara ibunya dalam waktu satu jam setelah lahir (Roesli, 2008).
Manfaat inisiasi menyusu dini pada bayi baru lahir adalah dapat meningkatkan refleks menyusui bayi secara optimal, perkembangan indra (sensory impuls), menurunkan kejadian hipotermi, menurunkan kejadian asfiksia, menurunkan kejadian hipoglikemi, meningkatkan kekebalan tubuh bayi, menigkatkan pengeluaran hormon oksitosin, memfasilitasi bonding attachment, dan yang paling utamanya adalah dapat meningkatkan keberhasilan ASI Esklusif dan menurunkan angka kematian bayi ( Aiyeyeh, 2012). Inisiasi Menyusu dini akan sangat membantu dalam keberlangsungan pemberian ASI eksklusif dan lama menyusui. Dengan demikian, bayi akan terpenuhi kebutuhannya hingga usia 2 tahun dan mencegah anak kurang gizi karena usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Khasanah, 2013) Pemerintah gencar mengkampanyekan program IMD Sejak tahun 2006, program ini diserukan karena tingkat kematian bayi maupun ibu saat melahirkan masih tinggi. Pemerintah Indonesia mendukung kebijakan WHO dan UNICEF yang merekomendasikan IMD sebagai tindakan “penyelamatan kehidupan” dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai kewajiban melaksanakan IMD
pada setiap pertolongan persalinan karena IMD dapat menyelamatkan 22 persen dari bayi yang meninggal sebelum usia satu bulan. Menyusu satu jam pertama kehidupan yang diawali dengan kontak kulit antara ibu dan bayi dinyatakan sebagai indikator global. Ini merupakan hal baru bagi Indonesia dan program pemerintah sehingga diharapkan semua tenaga kesehatan di semua tingkatan pelayanan kesehatan baik swasta maupun masyarakat dapat mensosialisasikan dan mendukung suksesnya program tersebut (Maryunani, 2012). Keberhasilan IMD telah dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan terhadap 10.947 bayi baru lahir di Ghana, ternyata bila bayi dapat menyusu 1 jam pertama dapat menyelamatkan 22 persen bayi dari kematian saat bayi baru lahir (Maryunani, 2009). Berdasarkan hasil penelitian Righard dalam Roesli (2008) diketahui bahwa bayi yang lahir secara normal yang diletakkan di perut ibunya dan tidak dipisahkan selama setidaknya satu jam, maka dalam 30 menit bayi akan mulai merangkak ke arah payudara ibunya dan dalam 50 menit akan menyusu. Sedangkan bayi yang dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang dan dimandikan, ternyata 50% tidak dapat menyusu sendiri. Jika bayi langsung diambil untuk ditimbang dan diberi pakaian, ia tidak akan menunjukkan ketertarikan untuk menyusu dan tidak tahu caranya mengisap. Sedangkan pada bayi yang dilakukan inisiasi menyusu dini, kemudian dipisahkan 10 jam setelah dilahirkan, ternyata ia tetap pandai menyusu. Penelitian Sose, dkk dalam Roesli tentang pengaruh kontak kulit ibu dan bayi segera setelah lahir terhadap lama menyusui menunjukkan bayi yang diberi
kesempatan menyusu dini dengan melakukan kontak kulit ke kulit ibu setidaknya satu jam, hasilnya dau kali lebih lama disusui. Sekitar 59 % bayi yang diberi kesempatan untuk menyusu dini masih menyusu setelah berumur 6 bulan dan 38 % masih menyusu setelah berumur satu tahun, sedangkan bayi yang tidak diberi kesempatan menyusu dini tinggal 29 % saja yang masih menyusu saat berumur 6 bulan dan 8 % saat berumur satu tahun. Penelitian mengenai hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan keberhasilan ASI Eksklusif yang dilakukan oleh Fika dan Syafiq (2003) menunjukkan, bayi yang diberi kesempatan menyusu dini delapan kali lebih berhasil ASI Eksklusif daripada yang tidak diberi kesempatan menyusu dini. Hasil penelitian Edmond, dkk dalam Roesli 2008 menyimpulkan bahwa menunda permulaan/inisiasi menyusu meningkatkan kematian bayi. Edmond menjelaskan bahwa dengan memberi kesempatan menyusu dalam satu jam pertama dengan dibiarkan kontak kulit ke kulit ibu (setidaknya selama satu jam) dapat menyelamaatkan 22 % bayi dibawah 28 hari. Dan jika menyusu pertama dilakukan setelah bayi berusia di atas 2 jam dan dibawah 24 jam pertama, hanya 16 % bayi di bawah 28 hari yang bisa diselamatkan. Berdasarkan penelitian WHO (2000) risiko kematian bayi antara usia 9-12 bulan meningkat 40 % jika bayi tersebut tidak disusui. Untuk bayi berusia dibawah 2 bulan, angka kematian ini meningkat menjadi 48 % dimana sekitar 40 % kematian balita tersebut terjadi pada usia satu bulan. IMD dapat mengurangi 22 % kematian bayi 28 hari, berarti IMD mengurangi kematian balita 8,8 % (Roesli, 2008). Dari
hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa selain menyukseskan pemberian ASI Eksklusif, inisiasi menyusu dini juga dapat menyelamatkan nyawa bayi. Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini di Amerika Serikat tahun 2009 mencapai 86,5 % dan di Belanda mencapai 78 % tahun 2010, di Indonesia periode 2011-2012, sekitar 95,9 % balita sudah mendapat ASI, tetapi hanya 38,7 % balita mendapat ASI pertama satu jam setelah lahir (SDKI 2012). Data Riskesdas tahun 2013 mencatat bahwa persentase pelaksanaan inisiasi menyusu dini di Indonesia sebesar 34,5 %, persentase tertinggi di propinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 52,9 % sedangkan terendah di propinsi Papua Barat sebesar 21,7 % , pelaksanaan inisiasi menyusu dini di Sumatera Utara sebesar 22 %. Terdapat 18 propinsi yang cakupan IMD nya berada dibawah angka nasional dan Sumatera Utara termasuk diantaranya. Pelaksanaan IMD dapat dilihat dari beberapa penelitian, penelitian Fitria (2010) yang dilakukan di klinik Mariani, Sumatera Utara mencatat bahwa dari 14 responden terdapat 7 responden (50%) yang melaksanakan inisiasi menyusu dini. Hasil penelitian yang dilakukan Arifah (2009) terhadap 24 pasien di RS Sultan Agung, Semarang menunjukkan bahwa sebesar 38,42% ibu yang melaksanakan IMD. Penelitian Rahmaningtyas, Ribut & Koekoeh (2009) di RSIA Swasta Kota Kediri menerangkan bahwa terdapat 34 ibu yang menjalankan persalinan normal dan terdapat 31 ibu atau sekitar 91,2% yang melaksanakan inisiasi menyusu dini. Selama ini, masih banyak ibu-ibu yang mengalami kesulitan untuk menyusui bayinya. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk mengisap ASI kurang sempurna
sehingga secara keseluruhan proses menyusui terganggu. Keadaan ini ternyata disebabkan terganggunya proses alami dari bayi untuk menyusu sejak dilahirkan, Selama ini penolong persalinan selalu memisahkan bayi dari ibunya segera setelah lahir, untuk dibersihkan, ditimbang, ditandai dan diberi pakaian. Ternyata, proses ini sangat menganggu proses alami bayi untuk menyusu. (Roesli, 2008). Keberhasilan persalinan dengan IMD juga ditentukan dengan adanya fasilitas sebagai pendukung. Kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari petugas, disebabkan masih banyaknya sikap para petugas persalinan dari berbagai tingkat yang tidak bergairah mengikuti perkembangan ilmu kesehatan seperti konsep baru tentang pemberian ASI dan hal-hal yang berhubungan dengan ibu hamil, ibu bersalin dan ibu menyusui dan bayi baru lahir. Bahkan ada juga sikap petugas kesehatan yang langsung memberikan susu botol pada bayi baru lahir ataupun tidak mau mengusahakan agar ibu mampu memberikan ASI kepada bayinya (Baskoro, 2008). Berhasil atau tidaknya penyusuan dini di tempat pelayanan ibu bersalin, rumah sakit sangat tergantung pada petugas kesehatan yaitu perawat, bidan atau dokter. Merekalah yang pertama-tama akan membantu ibu bersalin melakukan penyusuan dini. Petugas kesehatan di kamar bersalin harus memahami tatalaksana laktasi yang baik dan benar, petugas kesehatan tersebut diharapkan selalu mempunyai sikap yang positif terhadap penyusuan dini. Mereka diharapkan dapat memahami, menghayati dan mau melaksanakannya. Betapapun sempitnya waktu yang dipunyai oleh petugas kesehatan tersebut, diharapkan masih dapat meluangkan waktu untuk memotivasi dan
membantu ibu habis bersalin untuk penyusuan dini. Pada seorang primipara, ASI sering keluar pada hari ke 3 dan jumlah ASI selama 3 hari pertama hanya 50 ml (kirakira 3 sendok makan), bila hal ini tidak diketahui baik oleh ibu maupun oleh petugas kesehatan, maka akan banyak ibu yang merasa ASI nya kurang, hal ini akan mendorong ibu tersebut untuk memberikan susu formula yang mengakibatkan produk ASI berkurang. Pengisapan ASI 30 menit pertama setelah lahir dengan adanya refleks mengisap akan mempercepat keluarnya ASI, juga merupakan stimulan dini terhadap tumbuh kembang anak, tidak dianjurkan memberikan prelacteal feeding yaitu minum, makan sebelum ASI keluar karena akan menimbulkan masalah, lebih-lebih kalau prelacteal feeding tersebut diberikan dengan menggunakan botol dot, hal ini akan menyebabkan bayi bingung (nipple confuse) yang disebabkan perbedaan mekanisme menyusui pada payudara ibu (Nuchsan, 2000). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 33 tahun 2012 menyatakan bahwa tenaga kesehatan termasuk bidan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Inisiasi dini dilakukan dengan cara meletakkan bayi secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada kulit ibu. Inisiasi menyusu dini dilakukan dalam keadaan ibu dan bayi stabil dan tidak membutuhkan tindakan medis selama palimg singkat satu jam. Bidan sebagai petugas kesehatan yang langsung berinteraksi dengan ibu bersalin berperan sangat penting dalam menyukseskan pelaksanaan IMD apalagi Inisiasi Menyusu dini saat ini telah dijadikan salah satu rangkaian langkah dalam
Asuhan Persalinan Normal (APN) yang diterbitkan oleh Depkes tahun 2008. Bidan sangat berperan dalam memberikan dukungan pada ibu bersalin untuk melaksanakan IMD dan seharusnya dapat menerapkan IMD pada setiap pertolongan persalinan, karena pengetahuan ibu dan masyarakat mengenai IMD sendiri masih rendah, hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan Dian di Klinik Sally Medan tahun 2013 mengenai pengetahuan ibu tentang IMD bahwa dari 40 responden 30 % memiliki pengetahuan yang kurang. Penelitian Fita di Klinik Bersalin Hj. Nani Rantauprapat tahun 2013 menunujukkan dari wawancara yang dilakukan pada 10 ibu hamil hanya 4 orang ibu hamil yang mengetahui mengenai IMD. Selain itu peran rumah sakit bersalin, rumah sakit umum dan puskesmas sangat menentukan pelaksanaan penyusuan dini. Pemerintah mendukung pelaksanaan penyusuan dini dengan membuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 33 tahun tentang ASI Eksklusif antara lain yaitu melarang setiap tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan menerima dan/atau mempromosikan susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI. Melaksanakan rawat gabung di tempat persalinan baik unit persalinan milik pemerintah maupun swasta. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam hal pemberian ASI sehingga petugas tersebut terampil dalam memberikan informasi dan edukasi tentang pemberian ASI kepada masyarakat dan memberikan sanksi administratif terhadap setiap penyelenggara fasilitas kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut. Namun, masih ditemui tenaga kesehatan khususnya bidan yang belum melaksanakan IMD pada
persalinan. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Hamidah, Ayun, Lucia (2014) mengenai evaluasi program Inisiasi Menyusu dini oleh bidan di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang menunjukkan bahwa pelaksanaan IMD belum cukup baik, disebabkan oleh bidan tidak melaksanakan IMD sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dan bidan tidak melaksanakan IMD sesuai dengan protap. Faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan inisiasi menyusu dini di rumah sakit dapat dikaji dari beberapa penelitian yang diperoleh dari jurnal internasional. Penelitian Escamilla et al. (1996) yang dilakukan di Meksiko menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara metode persalinan dengan IMD, di mana seksio sesarea merupakan faktor risiko untuk tidak IMD dan untuk menyusu kurang dari 1 bulan. Seksio sesarea elektif biasanya menggunakan anastesi regional, hal tersebut tidak memungkinkan ibu untuk tetap terjaga saat operasi dan sesudah operasi, sehingga tidak memungkinkan untuk terjadinya kontak awal antara ibu dan bayi segera setelah kelahiran. Jika kontak awal antara ibu dan bayi bisa dilakukan maka IMD akan dapat terlaksana dengan baik (Afolabi et al., 2006). Penelitian Merten et al. (2005) di Switzerland menemukan bahwa bayi yang lahir di rumah sakit dengan dukungan tenaga kesehatan yang tinggi akan lebih besar kemungkinannya untuk IMD dibandingkan dengan yang lahir di rumah sakit dengan dukungan tenaga kesehatan yang rendah. Begitu pula dengan penelitian Braun et al, (2003) yang dilakukan di Brazil menyimpulkan didukung tenaga kesehatan yang tinggi yang dimiliki oleh rumah sakit yang menerapkan program Baby Friendly Hospital Initiative (BFHI) menunjukkan peningkatan angka IMD. Peneliti dari
Middlesex Hospital, Middletown, Connecticut Amerika Serikat, yang mengatakan bahwa kunci utama dari kesuksesan program IMD dan ASI eksklusif adalah dukungan tenaga kesehatan (Sinusas dan Gagliardi, 2001). Demikian pula halnya dengan penelitian yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2003 menyimpulkan bahwa keberhasilan IMD terletak pada penolong persalinan, karena pada 30 menit pertama setelah lahir peran penolong persalinan sangat dominan. Bila ibu difasilitasi oleh penolong persalinan untuk memeluk bayinya, maka interaksi antara ibu dan bayi segera terjadi sehingga IMD dapat terlaksana dengan baik (Fikawati dan Syafiq, 2003). Menurut hasil survey pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret 2015, jumlah persalinan normal tahun 2014 di RSUD Rantauprapat sebanyak 495 orang dan hanya 38 % yang melakukan IMD. Jumlah bayi lahir di ruang VK RSUD Rantauprapat rata-rata 3 orang setiap harinya yang ditolong oleh bidan. Berdasarkan hasil pengamatan dan laporan buku kegiatan mahasiswa yang praktek di ruang VK menunjukan bahwa terlaksana atau tidaknya pelaksanaan IMD sangat dipengaruhi oleh kemampuan bidan dalam melaksanakan IMD. Selain itu, dukungan rumah sakit memiliki peranan penting terhadap kinerja bidan, karena kurangnya pengawasan dari manajemen RSUD Rantauprapat dan belum ada kebijakan peningkatan pemberian ASI
(PP-ASI)
tertulis
diasumsikan
memengaruhi
pekerjaan
bidan
dalam
melaksanakan IMD pada persalinan sehingga rendahnya persentase pelaksanaan IMD di RSUD Rantauprapat.
Berdasarkan fenomena yang ditemukan pada RSUD Rantauprapat tentang pelaksanaan IMD menunjukkan banyak faktor yang terkait dengan rendahnya jumlah ibu bersalin yang melakukan IMD kepada bayinya. Faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan pekerjaan sebagaimana fenomena pada pelaksanaan IMD di RSUD Rantauprapat diasumsikan adalah faktor kinerja meliputi faktor individu bidan dan organisasi. Teori Gibson et al. (1987) menyatakan bahwa kinerja seseorang dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis dalam hal ini variabel individu yaitu bidan sebagai penolong persalinan yang berperan secara langsung dalam pertolongan persalinan dan berhasil atau tidaknya pelaksanaan IMD. Variabel psikologis juga dapat memengaruhi kinerja bidan itu sendiri dalam setiap pekerjaannya, dan variabel organisasi dalam hal ini rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tempat terlaksananya pertolongan persalinan dan tempat bidan bekerja yang juga memiliki pengaruh penting dalam setiap pelaksanaan IMD. Telaah secara teoritis berdasarkan teori Gibson et al. (1987), maka permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan IMD di RSUD Rantauprapat terkait dengan : 1) faktor individu bidan, dimana kurangnya kemampuan bidan dalam melaksanakan kegiatan IMD, 2) dukungan organisasi yang masih lemah karena kurangnya pengawasan, belum ada kebijakan peningkatan pemberian ASI (PP-ASI).
Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti melakukan penelitian tentang pengaruh individu bidan dan organisasi terhadap pelaksanaan IMD di RSUD Rantauprapat.
1.2. Permasalahan Adapun permasalahan dari penelitian ini yaitu rendahnya persentase pelaksanaan IMD di RSUD Rantauprapat yang diduga terkait dengan faktor individu bidan dan faktor organisasi.
1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh faktor individu bidan dan organisasi terhadap pelaksanaan IMD di RSUD Rantauprapat.
1.4. Hipotesis Faktor individu bidan dan organisasi berpengaruh terhadap pelaksanaan IMD di RSUD Rantauprapat.
1.5. Manfaat Penelitian Sebagai bahan masukan bagi RSUD Rantauprapat dalam penyusunan perencanaan kegiatan maupun penyusunan kebijakan tentang upaya peningkatan pelaksanaan IMD dimasa yang akan datang.