BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Jepang dikenal sebagai negara yang disiplin, berbudaya, juga maju dalam hal teknologi. Hal inilah yang menyebabkan Jepang menjadi negara yang sangat dikenal walaupun luas negara Jepang hanya seperlima luas negara Indonesia. Di Indonesia pun Jepang dianggap menarik, semakin banyak hal ke-Jepangan atau yang biasa disebut dengan istilah “budaya populer Jepang” yang berkembang, contohnya antara lain seperti manga (komik Jepang) yang banyak dijual di toko buku, anime (kartun Jepang) dan dorama (drama Jepang) yang ditayangkan di siaran televisi lokal. Acaraacara Jepang juga banyak diadakan seperti acara cosplay maupun matsuri, bahkan sudah beberapa tahun ini juga siaran televisi yang berhubungan dengan ke-Jepangan disiarkan di televisi lokal seperti acara televisi Kokoro no Tomo, Waku Waku Japan dan Channel Japan. Jauh sebelum adanya hiburan berupa dorama di Jepang noh, kabuki, bunraku, dan juga opera sabun menjadi media hiburan yang diminati oleh masyarakat saat itu. Kini setelah teknologi semakin berkembang, maka anime dan dorama menjadi hiburan masyarakat yang dapat dengan mudah dijangkau dan mudah untuk dinikmati sehari-hari. Dorama merupakan suatu sebutan untuk drama Jepang. Dorama dibuat berdasarkan cerita karangan ataupun dibuat berdasarkan adaptasi dari manga dengan judul yang sama karena banyak peminatnya ataupun karena cerita manga tersebut dianggap menarik. Bila membicarakan tentang pendidikan Jepang tentu hal-hal yang terbayang di pikiran kita sebagai masyarakat Indonesia pada umumnya tidak jauh-jauh dari disiplin dan hebatnya sistem pendidikan Jepang. Di Indonesia juga berbagai macam lembaga pendidikan berbasis sistem Jepang semakin berkembang. Sebagai contohnya adalah lembaga pelajaran matematika seperti Kumon, Shikenjuku, sistem Sakamoto yang berkembang di Indonesia dan lain sebagainya sangat banyak peminatnya.
1
2 Jepang sendiri saat ini menganut sistem pendidikan gimukyōiku (義務教育) atau yang biasa kita kenal dengan istilah sistem wajib belajar. Sistem pendidikan gimukyōiku ini mewajibkan setiap anak di Jepang untuk bersekolah selama sembilan tahun, yang terbagi menjadi enam tahun belajar pada tingkat shōgakkō (sekolah dasar atau SD) dan tiga tahun belajar pada tingkat chūgakkō (sekolah menengah atas atau SMP). Oleh karena itu Jepang merupakan salah satu negara dengan populasi pendidikan terbaik di dunia dengan persentase 100% mengikuti wajib belajar dan nihil untuk angka masyarakat yang buta huruf. Secara umum waktu belajar di sekolah Jepang adalah enam jam dalam sehari, bahkan setelah siswa pulang dari sekolah mereka memiliki banyak pekerjaan rumah yang diberikan dari sekolah untuk membuat mereka tetap sibuk bahkan ada pula siswa yang mengikuti semacam kursus pelajaran (juku). Sekolah di Jepang menerapkan sistem libur enam minggu untuk libur musim panas, dan libur sekitar dua minggu pada musim dingin dan musim semi. Tetapi tidak lepas dari waktu untuk berlibur, para siswa tetap mendapatkan pekerjaan rumah di sela-sela liburan mereka (Abe, 2015). Mungkin dikarenakan anak-anak selalu disibukkan dan selalu ditanamkan dalam pola pikir mereka tentang pentingnya pendidikan dan faktor persaingan dalam ujian demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik oleh para orang tua, sehingga menyebabkan para siswa menjadi kurang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya seperti kurangnya interaksi dengan teman sebaya maupun teman di lingkungan rumah mereka sebagai seorang anak. Dengan kurangnya interaksi dengan lingkungan sekelilingnya, anak-anak (maupun remaja) menjadi kurang mendapatkan perhatian, dan dari kurangnya perhatian tersebut mungkin saja jika seorang anak menjadi kurang memiliki pengertian dengan lingkungan sekelilingnya dikarenakan kurangnya komunikasi dan proses tukar-menukar pendapat maupun pemikiran dengan orang lain. Hal ini memungkinkan sebagai salah satu penyebab kenakalan remaja. Seorang anak yang berada dalam lingkungan kurang baik akan menyebabkan dirinya memiliki pola pikir yang kurang baik juga, dan sebaliknya seorang anak yang berada dalam lingkungan yang lebih baik akan memiliki pola pikir yang lebih baik. Dorama Great Teacher Onizuka merupakan adaptasi dari manga dengan judul yang sama, yaitu GTO (Great Teacher Onizuka) karangan 藤沢 とおる(Fujisawa Tōru) yang diproduksi oleh Kodansha dalam Shūkan Shōnen Magazine pada tahun
3 1997. Drama Great Teacher Onizuka sampai saat ini sudah diproduksi sebanyak tiga kali, produksi pertama dilakukan pada tahun 1998, produksi kedua yang merupakan remake dari produksi pertama dan disebut sebagai Great Teacher Onizuka Season 1 yang diproduksi pada tahun 2012 dan produksi ketiga pada tahun 2014 yang merupakan Great Teacher Onizuka Season 2. Tetapi drama Great Teacher Onizuka yang akan penulis gunakan sebagai korpus data penelitian adalah drama Great Teacher Onizuka Season 1 yang ditayangkan di Jepang pada bulan Juli 2012 sampai dengan bulan September 2012, tokoh utama drama ini bernama 鬼塚 英吉(Onizuka Eikichi) diperankan oleh AKIRA (merupakan salah satu penari/ dancer dari group Jpop EXILE). Drama Great Teacher Onizuka merupakan drama yang bercerita tentang kisah seputar kehidupan sekolah. Bermula dari Onizuka Eikichi seorang mantan ketua geng motor yang terkenal. Dikarenakan latar belakang Onizuka yang kurang baik, setelah dewasa Onizuka mulai bekerja paruh waktu sebagai tukang kebun. Suatu hari tiba-tiba Onizuka mendapatkan tawaran untuk mengajar di SMA Meishu tepatnya untuk menjadi wali kelas 2-4 (2 年 4 組). Drama ini bercerita tentang keadaan kelas 2-4 yang merupakan kelas terkenal dengan murid-muridnya yang bermasalah dan banyak guru yang menyerah menjadi wali kelas mereka. Onizuka kemudian mulai mengajar dengan metode mengajarnya yang unik bila dibandingkan dengan metode mengajar para guru pada umumnya, Onizuka berusaha mengubah murid-muridnya yang bermasalah dan berusaha menjadi teman bagi mereka. Cerita lebih rinci mengenai bagian dari drama Great Teacher Onizuka yang penulis gunakan sebagai sumber data, penulis ceritakan pada bagian lampiran. Sebuah sekolah terdiri dari berbagai macam unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga kegiatan di sekolah tersebut dapat berlangsung. Bila diterjemahkan secara langsung LeTrende dalam Akiba, Shimizu dan Zhuang (2010: 372) menuliskan bahwa, di Jepang seorang wali kelas memiliki peranan yang unik karena para wali kelas memberikan bimbingan terhadap psikologi murid dan perkembangan sosial murid demi perkembangan akademik para muridnya. Selain itu menurut Fukuzawa dan LeTrende dalam Akiba, Shimizu dan Zhuang (2010: 373374) menuliskan bahwa hubungan emosional yang kuat antara wali kelas dengan murid-muridnya merupakan elemen yang cukup penting dalam suksesnya proses pendidikan di sekolah-sekolah Jepang. Para murid yang dapat menaruh kepercayaan
4 kepada wali kelas mereka juga dapat dengan mudah menyelesaikan masalah yang para murid tersebut hadapi. Terkait dengan hubungan antara wali kelas dengan murid-muridnya di dalam kelas, terdapat hal lainnya yang terkait dengan tindak ijime dan menjadi suatu hal yang cukup mengecewakan. Hal tersebut seperti yang dituliskan oleh Naito dan Gielen (2005: 170), yaitu mereka menjelaskan bahwa ketika korban tindak ijime berada di lingkungan sekolah, banyak dari mereka yang kurang mendapatkan perhatian maupun perlindungan dari pihak sekolah. Sebagai contohnya seorang murid yang menerima tindak penindasan dari murid lainnya membutuhkan pertolongan dan perlindungan dari pihak guru, tetapi dari pihak guru kurang menaruh minat untuk menyelesaikan masalah penindasan antar murid tersebut. Hal ini dikarenakan para guru lebih memilih untuk melindungi diri mereka sendiri dan mereka juga lebih memilih untuk mempertahankan reputasi sekolah tempat mereka bekerja. Bullying merupakan suatu fenomena sosial yang tidak hanya terjadi di negara Barat saja, setiap negara kemungkinan besar memiliki fenomena sosial ini tidak terkecuali di Jepang yang dikenal dengan istilah “ijime”. Seperti yang ditulikan oleh Sugimoto (2003: 137) bahwa, tindak ijime sendiri diperkirakan sudah ada sejak pertengahan tahun 1980-an di sekolah-sekolah Jepang. Pada tahun 1985, sebanyak 155.000 kasus ijime resmi dilaporkan ke seluruh negeri, yang kemudian jumlahnya menurun pada tahun 1990 dan semakin menurun jumlahnya di tahun 2000 dengan jumlah 30.000 kasus. Kata ijimeru (苛める) dalam kamus 広辞苑 atau koujien (1991: 132) diartikan sebagai 「 弱 い も の を 苦 し め る 。 」 yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dimaksudkan menjadi “menindas orang-orang yang lemah”. Sehingga lebih lanjut dalam kamus 広辞苑 istilah ijime (苛め) dituliskan memiliki makna tindakan menindas yang pada umumnya dilakukan di lingkungan sekolah. Tindakan menindas ini dilakukan kepada murid-murid yang dianggap lebih lemah dari pelakunya baik secara fisik maupun secara mental. Tindak ijime menurut Taki dalam Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 8) dibedakan menjadi empat macam tindakan, yaitu: tindakan secara fisik, secara verbal, secara psikologis dan secara sosial. Kowalski dan Limber (2013: S13) menuliskan bahwa terdapat modus atau cara baru dalam perilaku ijime. Modus baru
5 ini disebut dengan cyberbullying. Cyberbullying atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah netto-ijime ( ネ ッ ト い じ め ) merupakan tindak intimidasi yang dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan media elektronik, sebagai contoh melalui media pesan singkat yang dilakukan dari ponsel, e-mail, ruang chatting, maupun melalui situs web, game online, dan media jejaring sosial yang semakin berkembang di jaman modern dan semakin canggih ini. Ijime sebagai salah satu fenoma sosial di Jepang memberikan dampak buruk bagi korbannya. Dampak buruk tersebut sangat beragam, seperti yang dituliskan oleh Aoyama (2013) dalam artikel penelitiannya bahwa sudah beberapa tahun terakhir ini korban netto-ijime maupun korban ijime tradisional menunjukkan dampak negatif dari sisi psikologis mereka. Sebagai contoh, adanya korban yang mengalami gejala seperti depresi, ada pula korban yang merasa lingkungan tempat tinggalnya semakin tidak aman, dan ada pula yang mengalami tingkat stress yang cukup tinggi. Dari dampak yang dirasakan korban tersebut tentunya membuat korban dari tindak nettoijime dan korban ijime tradisional kemudian juga merasa harga diri mereka maupun kemampuan diri mereka direndahkan oleh pelaku tindak ijime maupun orang-orang lain yang membantu pelaku melakukan tindak netto-ijime maupun tindak ijime yang tradisional. Dari dampak yang muncul pun kemungkinan besar menyebabkan fenomena sosial lainnya seperti fenomena murid yang melakukan tindak menolak untuk bersekolah atau bolos sekolah (futokō) dan mungkin saja karena tingkat stress korban yang tinggi maupun tindak ijime yang berkelanjutan terjadi dalam jangka waktu yang lama sehingga membuat korban lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya atau melakukan tindak bunuh diri (jisatsu) untuk mengakhiri rasa tertekan, rasa sakit, rasa malu maupun siksaan yang korban tindak ijime rasakan. Alasan penulis mengambil topik ini karena penulis merasa tertarik untuk membahas tentang fenomena ijime, dikarenakan di balik disiplinnya dan hebatnya sistem pendidikan di Jepang, ternyata masih terdapat fenomena gelap di dalamnya yaitu fenomena ijime. Penulis ingin nantinya pembahasan ijime ini menjadi pembelajaran agar pembaca juga dapat memahami penyebab dan akibat ijime di Jepang. Penulis tertarik dengan drama Great Teacher Onizuka ini untuk dijadikan korpus data adalah karena dibuat dari manga berjudul sama tentu sudah banyak dikenal oleh masyarakat, lalu cerita yang menarik dikemas menjadi mini drama yang ringan dan mudah dimengerti. Selain itu, rating drama yang cukup tinggi dan juga
6 drama ini diperankan oleh aktor dan aktris yang sudah banyak menjadi pemeran pada drama maupun film yang memiliki rating cukup tinggi pula.
1.2. Masalah Pokok Masalah pokok yang ingin penulis teliti adalah perilaku ijime di kalangan masyarakat Jepang melalui drama Jepang.
1.3. Formulasi Masalah Formulasi masalah dalam penelitian ini adalah penulis akan menjabarkan jenis tindak ijime, dampak dari tindak ijime, dan latar belakang pelaku ijime dalam drama Great Teacher Onizuka.
1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis jenis tindak ijime, dampak ijime, dan latar belakang tokoh pelaku tindak ijime yang terdapat dalam drama Jepang berjudul Great Teacher Onizuka produksi tahun 2012 episode 1, yaitu pada tokoh Uehara Anko.
1.5. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis tindak ijime, dampak dari tindak ijime pada korban, dan latar belakang tokoh pelaku ijime yang menyebabkan pelaku bersangkutan melakukan tindak ijime yang terdapat di dalam drama Jepang.
1.6. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka penelitian ini, penulis temukan melalui buku-buku dari perpusakan, e-book, artikel internet, skripsi dari peneliti sebelumnya dan jurnal penelitian. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti tentang perilaku ijime, dampak yang timbul dari ijime dan latar belakang yang dimiliki oleh tokoh yang pernah melakukan tindak ijime dalam drama Jepang berjudul Great Teacher Onizuka (yang kemudian ditiulis menjadi GTO) yang ditayangkan di Jepang pada tahun 2012 yang
7 juga dikenal sebagai GTO Season 1 atau GTO remake (dibuat ulang) dari drama GTO yang ditayangkan di Jepang pada tahun 1998. Penelitian yang berhubungan dengan ijime sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Mitsuru Taki, Phillip Slee, Shelley Hymel, Debra Pepler, Hee-og Sim, Susan Swearer (kemudian oleh penulis akan ditulis menjadi Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer) dalam International Journal of Violence and School (2008); penelitian yang dilakukan oleh Jerry Cusumano (yang kemudian ditulis menjadi Cusumano) yang ditampilkan dalam 1st Global Conference: Bullying and the Abuse of Power (2009) dan penelitian yang dilakukan oleh Tahara Shunji (yang kemudian ditulis menjadi Tahara) dalam The Japanese Journal of Human Relations (1998). Dalam jurnalnya yang berjudul “A New Definition And Scales For Indirect Aggression In Schools: Results From The Longitudinal Comparative Survey Among Five Countries”, Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer melakukan komparasi antara ijime yang terjadi di Jepang dengan bullying yang terjadi di Eropa. Dalam jurnal tersebut penelitian yang mereka lakukan memanfaatkan konsep "indirect aggression" (serangan tidak langsung), mereka juga lebih jauh membahas tentang “serangan tidak langsung” dan memberikan perspektif baru mengenai persoalan bullying dan juga melakukan survei dengan menggunakan perspektif baru yang telah mereka buat. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Cusumano yang berjudul “Bullying: Japanese Style” lebih mendalami tiga faktor fenomena bullying atau yang biasa disebut dengan ijime yang ada di Jepang. Tiga faktor tersebut antara lain: faktor budaya, faktor psikologis dan kebijakan pemerintah. Selain itu di dalam penelitiannya, Cusumano juga menjabarkan secara singkat sejarah ijime. Dan penelitian yang dilakukan oleh Tahara yang berjudul “Ijime Ga Shoujiru Youin Ni Tsuite No Ikkousatsu” bertujuan untuk mengklarifikasikan tentang faktor yang berhubungan dengan fenomena ijime. Tahara dalam penelitiannya menemukan bahwa yang memainkan peranan penting dalam tindak ijime bukan merupakan orang yang melakukan ijime atau orang yang menjadi korban ijime, melainkan orang-orang yang hanya melihat situasi tersebut tanpa melakukan apapun. Dalam penelitiannya, Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 5) mengungkapkan bahwa tindak ijime di Jepang berbentuk “serangan tidak langsung” yang berbeda dari tindak bullying di Eropa yang berbentuk “serangan langsung”. Tindak ijime di Jepang disebut sebagai “serangan tidak langsung”, hal ini diandaikan
8 bahwa bila seorang pelaku ijime melakukan tindak ijime pada korbannya di hadapan umum. Maka belum tentu pelaku tindak ijime tersebut akan mendapatkan hukuman oleh pihak berwajib, karena bentuk tindakan dan pengaruh pengrusakkannya yang dihasilkan tidak terlihat secara langsung atau secara fisik tidak langsung dapat terlihat, sehingga tindak ijime yang dilakukan oleh pelaku terhadap korbannya sulit untuk disadari oleh orang ketiga. Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 5) juga mengungkapkan bahwa penggambaran ijime berupa tindak pengrusakkan terhadap mental seseorang (korban) dengan melakukan tindak pengabaian, mengancam, menyebarkan gosip melalui e-mail dan lain sebagainya. Selain itu di dalam jurnalnya Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 8) juga memberikan definisi baru untuk ijime bullying, yaitu perilaku negatif yang dilakukan untuk mempermalukan atau menghina orang lain yang berada pada posisi lebih rendah dan dengan tujuan utamanya adalah untuk menimbulkan penderitaan mental pada orang lain (korban). Bentuk ijime bisa berupa tindakan secara fisik, verbal, psikologis maupun secara sosial. Di balik suatu sikap maupun tindakan seseorang, tentu orang tersebut memiliki alasan atau latar belakang faktor penyebab yang mendorongnya untuk melakukan tindakan tersebut. Dalam penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dikutipan dari Tokutake dalam Tahara (1998) dituliskan bahwa “latar belakang ijime terkait dengan bermacam-macam faktor utama yang kompleks seperti faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat”. Dari faktor sekolah, penulis menemukan dari jurnal lainnya yang dituliskan oleh Kawanishi dalam Cusumano (2009: 4) bahwa sistem pendidikan Jepang dikritik oleh banyak psikolog Jepang sendiri karena terlalu merata dan kaku, juga dengan adanya tekanan yang ekstrim menuntut kesesuaian dan terlalu memfokuskan pada keberhasilan akademis para murid. Lalu sehubungan dengan kutipan tadi, penulis juga menemukan kutipan yang ditulis oleh Kameguchi & Murphy-Shigematsu dalam Cusumano (2009: 4) menuliskan bahwa “seorang anak hanya dinilai jika mereka berhasil secara akademis”. Penulis juga menemukan kutipan lain yang menurut penulis memiliki kaitan dengan kutipan yang diambil dari tulisan jurnal Cusumano yang juga bagi penulis merupakan penggambaran faktor kompleks dari keluarga secara singkat, yaitu kutipan yang penulis ambil dari Divisi Pendidikan Prefektur Saitama dalam Tahara (1998: 2) yang tertulis bahwa “ekspektasi yang berlebihan dan standarisasi pendidikan yang tinggi dari orang tua, sehingga menyebabkan seorang anak tidak mempunyai kebabasan dan toleransi.
9 Kemudian akumulasi dari ketegangan dan rasa frustasi anak yang berlebihan menyebabkan ketika berada di sekolah anak-anak menjadi kurang mampu bersosialisasi dan kurang dapat menjalin persahabatan dengan anak-anak lainnya”. Dari jurnal-jurnal tadi, penulis akan mengembangkan penelitian dengan menghubungkan antara jenis-jenis perilaku ijime yang dilakukan oleh pelaku tindak ijime dengan dampak yang kemudian timbul pada korban tindak ijime dan faktor latar belakang pelaku tindak ijime.
10