BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Endometriosis merupakan suatu kondisi yang dicerminkan dengan
keberadaan dan pertumbuhan jaringan endometrium di luar uterus. Jaringan endometrium itu bisa tumbuh di ovarium, tuba falopii, ligamen pembentuk uterus, atau bisa juga tumbuh di apendiks, colon, ureter dan pelvis.1 Endometriosis merupakan salah satu kelainan ginekologis yang sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Di negara-negara maju dan berkembang
telah
banyak
penelitian
yang
dilakukan
terhadap
endometriosis, namun patogenesis dari endometriosis masih belum diketahui secara pasti.2 Ada tiga dampak klinik endometriosis. Pertama , nyeri perut/pelvis, baik nyeri haid, nyeri sanggama maupun nyeri spontan. Kedua adanya benjolan, endometrioma yang mungkin memberikan dampak pendesakan kearah jaringan sehat ovarium, ataupun kearah jaringan sekitar, ureter, usus ataupun yang lain. Dampak klinik ketiga adalah infertilitas, merupakan dampak klinik yang paling sering dijumpai. Dari populasi wanita endometriosis didapatkan angka kejadian infertilitas sebesar 55 % di Australia dan 43 % di UK.3 Endometriosis dijumpai 10-14% pada wanita usia reproduksi dengan presentase gejala klinis dismenore 40-60% dan terjadi 20-30% pada wanita subfertil.4 Endometriosis terjadi ketika salah satu jaringan normal dari lapisan uterus, yaitu endometrium, tumbuh secara ektopik pada organ-organ tubuh selain uterus. Jaringan ektopik endometrium dapat tumbuh di hampir seluruh organ yang ada di tubuh manusia. Secara normal, endometrium merupakan lapisan terdalam pada uterus selain peritoneum dan miometrium. Lapisan endometrium berperan penting dalam proses menstruasi dan proses berkembangnya uterus menuju uterus yang matang dan siap menjadi tempat berkembangnya fetus pada masa kehamilan. Jika jaringan endometrium tumbuh di luar uterus jaringan ini akan menyebabkan iritasi dan inflamasi di organ dan rongga sekitar 1
tempat berkembangnya jaringan ektopik endometrium, pada akhirnya hal tersebut akan menimbulkan gejala klinis sesuai dengan organ yang menjadi tempat terjadinya endometriosis.5 Endometriosis memiliki gambaran bercak kecil, datar, gelembung atau flek-flek yang tumbuh di permukaan organ-organ. 6 Lokasi tersering dari endometriosis adalah daerah rongga pelvis, ovarium, ureter, septum rektovaginal, tuba dan dalam jumlah yang cukup kecil dapat ditemukan pada kandung kemih, perikardium, dan pleura. Pada beberapa kasus yang ditemukan, gejala klinis yang paling banyak terjadi adalah nyeri pelvis, dismenore, dispareuni, nyeri pelvis dan infertilitas. 7 Kista coklat endometriosis ini dapat menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi yang paling efektif belum didapatkan, karena sedikit sekali informasi mengenai etiologi kista coklat itu sendiri. Dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai pasien dengan endometriosis khusus kista coklat. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai gambaran lengkap tentang endometriosis, faktor resiko, cara penegakan diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dalam laporan kasus ini. Dengan harapan laporan kasus ini dapat menambah informasi dan wawasan mengenai kista coklat. 1.2 Tujuan Tujuan pembahasan laporan kasus ini adalah : 1 Untuk mengetahui gambaran lengkap tentang endometriosis 2 Untuk mengetahui faktor resiko yang diduga berperan dalam terjadinya kista coklat pada pasien dalam laporan kasus ini. 3 Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosis kista coklat pada pasien dalam laporan kasus ini. 4 Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan kista coklat. 5 Untuk mengetahui prognosis pada pasien dengan kista coklat 1.3 Manfaat Penulisan laporan
kasus
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman dokter muda mengenai kista coklat dalam
2
hal pelaksanaan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi serta monitoring pada pasien dengan kista coklat.
3
BAB 2 URAIAN KASUS 2.1 Identitas Identitas Pasien Register
: 1508060109
Nama
: Ny. M
Umur
: 34 th
Alamat
: Ds. Gandusari rt. 30/ rw. 10, Trenggalek
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Ibu rumah Tangga
Status
: Menikah 1x : 14 tahun
Agama
: Islam
Bangsa
: Indonesia
Identitas Pasangan Nama
: Tn. H
Umur
: 54 th
Alamat
: Ds. Gandusari rt. 30/ rw. 10, Trenggalek
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Buruh
Agama
: Islam
Bangsa
: Indonesia
2.2 Subyektif
Ny. M/ 34 tahun/ menikah 1x, 14 th / Anak terakhir usia 13 tahun/ P1001 Ab000 / HPHT: 30 Juli 2015 / tidak memakai KB
Keluhan utama: benjolan di perut kurang lebih 3 bulan dan terasa nyeri
Pasien rujukan dari RSUD dr. Soedomo Trenggalek dengan diagnosis kista ovarii curiga keganasan
Pasien mengeluh benjolan di perut sejak 3 bulan yang lalu, makin lama semakin membesar. Keluhan disertai nyeri.
4
5 Agustus 2015 pasien berobat ke RSUD Dr. Soedomo dan dicurigai kista ovarii. Kemudian pasien dirujuk ke RSSA.
BAB dan BAK saat ini dalam batas normal, penurunan berat badan disangkal, tidak didapatkan keluhan lain.
Menarche usia 12 tahun. Riwayat menstruasi 1 kali per bulan, lama haid per siklus 5-6 hari dengan perdarahan sedang (3-4 pembalut dalam sehari), nyeri haid (-), keputihan (-)
Riwayat kehamilan dan persalinan NO. 1.
At/P/I /Ab/E At
BBLf
Cara lhr
Penolong
L/P
Umur
H/M
3500gr
spontan
Bidan
L
14th
H
Riwayat penyakit dahulu : hipertensi (-), penyakit jantung (-), DM (-), penyakit ginjal (-)
Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
Riwayat penyakit keluarga : ibunya mengalami pendarahan pada usia 50 tahun. Sudah dirawat di rumah sakit tapi psien lupa diagnosis pada ibunya. Ibu pasien meninggal 5 tahun yang lalu karena penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan
Riwayat terapi : pasien belum pernah berobat sebelumnya.
2.3 Obyektif 2.3.1 Status Generalis KU
: baik, CM, GCS 456
Vital Sign
: Tensi 110/70 mmHg Nadi 80 kali/menit RR 18 kali/menit Tax 36.5o C
K/L
: anemis -/-, icterus -/-
Thoraks
: Cor: S1-S2 reguler, murmur (-) Pulmo: Rhonki -/-, Wheezing -/-
5
Abdomen
: teraba massa kistik ukuran + 10x10cm, permukaan rata, berbatas tegas, mobilitas terbatas, nyeri (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-) 2.3.2 Status Genitalis GE
: v/v fluor (-), flux (-)
Inspekulo
: v/v fluor (-), flux (-), OUE tertutup, licin, terdorong ke arah
kiri VT
: v/v flux (-) minimal, fluor (-) POMP tertutup, licin, terdorong ke arah kiri CUAF dalam batas normal Adnexa Parametrium D/S : massa kistic ukuran + 10x10 cm, permukaan rata, batas tegas, nyeri (-), mobilitas terbatas Cavum Douglas : tidak menonjol
2.4 Pemeriksaan Penunjang - Laboratorium (tanggal 6 Agustus 2015) Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai rujukan
Hematologi Hemoglobin
12,70
g/dL
11.4-15.1
Eritrosit
4,52
g/dL
4,0-5,0
Leukosit
8,83
µL
4.700 -11.300
Hematokrit
37,40
%
38-42
Trombosit
412
103/µL
142-424
Diff count
2,8/0,6/56,1/32,7/7,
%
MCV/MCH/MCHC
8 82,7/28,10/34,0 Faal hemostasis
PPT
10,70
Detik
11,5-11,8
APTT
31,20 Faal Hati
Detik
27,4-28,6
6
AST/SGOT
13
U/L
0-32
ALT/SGPT
11
U/L
0-33
4,62
g/dL
3,5 – 5,5
mg/dL
16.6-48.5/ <1.2
Albumin
Faal Ginjal Ureum/Creatinin Glukosa
22,50/0,74 Darah
Metabolisme Karbohidrat 100 mg/dL
<200
Sewaktu Elektrolit Serum Na/K/Cl
140/3,90/107
mmol/L
136-145/ 3,5-5/ 98-106
101,40
U/ml
<35
Penanda Tumor Ca 125 -
Hasil USG Abdomen (tanggal 11 Juni 2015)
Tampak VU terisi cairan, tampak uterus ante fleksi & linier, tampak massa dengan densitas ho,ogen, septa (-), kista (+), papil (-), asites (-)
-
Hasil USG Ginekologi (tanggal 8nSeptember 2015)
7
-
Tampak lesi kistik berdinding tegas permukaan reguler, dengan internal echo homogen didalamnya. Ukuran +11,9x10x6,9 cm pada proyeksi adnexa kiri, disertai septa didalamnya yang dengan teknik color doppler tampak vaskularisasi pada dinding septanya dengan RI 0,6. Tidak tampak struktur ovarium kiri normal
8
-
Ovarium kanan : ukuran membesar +5x4,7
cm dengan korpus
luteum diameter +2 cm dan lesi kistik ukuran + 4,3x2,3 cm, dinding reguler, disertai internal echo homogen tipis dengan teknik color doppler tampak vaskularisasi pada dinding dengan RI 0,77 -
Tidak tampak echo cairan bebas intraperitoneum
Kesimpulan : massa kistik adnexa bilateral dengan skor B mode = 2 dan color doppler = 1
benign; sesuai gambaran Chocolate
cyst dextra & sinistra (domain sinistra) 2.5 Assessment Cystoma ovarii suspect ganas 2.6 Planning Therapy
Konsultasi ke bagian kardiologi dan anastesi untuk persiapan cysteretomy
2.7 Planning KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)
Memberitahukan kepada pasien tentang penyakit yang diderita pasien saat ini.
Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang rencana diagnosis dan rencana terapi yang akan dilakukan pada pasien.
Menjelaskan tentang prognosa pasien.
9
BAB 3 PERMASALAHAN 3.1 Apa saja faktor resiko kista coklat pada pasien ini? 3.2 Bagaimana cara menegakkan kista cokelat pada pasien ini? 3.3 Bagaimana manajemen dan penatalaksanaan kista cokelat pada pasien ini? 3.4 Bagaimana prognosis kista coklat pada pasien ini?
10
BAB 4 TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN 4.1 Definisi Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma (Prawirohardjo, 2002). Kista endometriosis adalah suatu jenis kista yang berasal dari jaringan endometrium. Ukuran kista bisa bervariasi antara 0.4-4 inchi. Jika kista mengalami ruptur, isi dari kista akan mengisi ovarium dan rongga pelvis (Lee, 2009).
Gambar 1. Kista Endometriosis pada Ovarium (http://img.webmd.com/medscape/netbeacon.html) 4.2 Etiologi Teori tentang terjadinya endometriosis adalah sebagai berikut: 1. Teori retrograde menstruasi Teori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal sebagai teori implantasi jaringan endometrium yang viable (hidup) dari Sampson. Teori ini didasari atas 3 asumsi: 1. Terdapat darah haid berbalik melewati tuba falopii 2. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut hidup dalam rongga peritoneum
11
3. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut dapat menempel ke peritoneumdengan melakukan invasi, implantasi dan proliferasi. (Wellbery, 2015, Overton 2007) Teori di atas berdasarkan penemuan: 1.
Penelitian terkini dengan memakai laparoskopi saat pasien sedang haid, ditemukan darahhaid berbalik dalam cairan peritoneum pada 75-90% wanita dengan tuba falopii paten.
2.
Sel-sel endometrium dari darah haid berbalik tersebut diambil dari cairan peritoneum dandilakukan kultur sel ternyata
ditemukan hidup dan
dapat melekat serta
menembus permukaan mesotelial dari peritoneum. 3.
Endometriosis lebih sering timbul pada wanita dengan sumbatan kelainan mulerian daripada perempuan dengan malformasi yang tidak menyumbat saluran keluar dari darah haid.
4.
Insiden endometriosis meningkat pada wanita dengan permulaan
menars,
siklus
haid
yang
pendek
atau
menoragia (Wellbery, 2015, Overton 2007). 2. Teori metaplasia soelomik Teori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer. Teori ini menyatakan bahwa endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan dalam sel-sel mesotelial yang berasal dari epitel soelom (terletak dalam peritoneum dan pleura). Perubahan metaplasia inidirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksilainnya. Teori ini dapat menerangkan endometriosis yang ditemukan pada laki-laki, sebelum pubertas dan gadis remaja, pada wanita yang tidak pernah menstruasi, serta yang terdapat ditempat yang tidak biasanya seperti di pelvik, rongga toraks, saluran kencing dan saluran pencernaan, kanalis inguinalis, umbilikus, dimana faktor lain juga berperan seperti transpor vaskular dan limfatik dari sel endometrium. (Wellbery, 2015, Overton 2007)
12
3. Teori transplantasi langsung Transplantasi
langsung
jaringan
endometrium
pada
saat
tindakan yang kurang hati-hatiseperti saat seksio sesaria, operasi bedah
lain,
atau
perbaikan
episiotomi,
dapat
mengakibatkantimbulnya jaringan endometriosis pada bekas parut operasi dan pada perineum bekas perbaikan episiotomi tersebut (Lee, 2009). 4. Teori genetik dan imun Semua teori diatas tidak dapat menjawab kenapa tidak semua wanita yang mengalami haid menderita endometriosis, kenapa pada wanita tertentu penyakitnya berat, wanita lain tidak, dan juga tidak dapat menerangkan beberapa tampilan dari lesi. Penelitian tentang genetik danfungsi imun wanita dengan endometriosis dan lingkungannya dapat menjawab pertanyaan di atas (Wellbery, 2015, Overton 2007). Endometriosis 6-7 kali lebih sering ditemukan pada hubungan keluarga ibu dan anak dibandingkan populasi umum, karena endometriosis mempunyai suatu dasar genetik. Matriks Metalo Proteinase (MMP) merupakan enzim yang menghancurkan matriks ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium normal dan pertumbuhan endometrium baru yang dirangsang oleh estrogen. Tampilan MMP meningkat pada awal siklus haid dan biasanya ditekan oleh progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal dari MMP dikaitkan dengan penyakit- penyakit invasif dan destruktif. Pada wanita yang menderita endometriosis, MMP yang disekresi oleh endometri-um luar biasa resisten (kebal) terhadap penekanan progesteron. Tampilan MMP yang menetap di dalam sel-sel endometrium yang terkelupas dapat mengakibatkan suatu potensi invasif terhadap endometrium yang berbalik arah sehingga menyebabkan invasi dari permukaan peritoneum dan selanjutnya terjadi proliferasi sel (Wellbery, 2015, Overton 2007).
13
Pada penderita endometriosis terdapat gangguan respon imun yang menyebabkan pembuangan debris pada darah haid yang membalik tidak efektif. Makrofag merupakan bahan kunci untuk respon imun alami, bagian sistem imun yang tidak antigen-spesifik dan
tidak
mencakup
memori
imunologik.
Makrofag
mempertahankan tuan rumah melalui pengenalan, fagositosis, dan penghancuran mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak sebagai pemakan, membantu untuk membersihkan sel apoptosis dan sel-sel debris. Makrofag mensekresi berbagai macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim dan prostaglandin dan membantu fungsi-fungsi faktor di atas, di samping merangsang pertumbuhan dan proliferasi tipe sel yang lain. Makrofag terdapat dalam cairan peritoneum normal dan jumlah serta aktifitasnya meningkat pada wanita dengan endometriosis. Pada penderita endometriosis, makrofag yang terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar teraktivasi sehingga penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor pertumbuhandan
sitokin
yang
merangsang
proliferasi
dari
endometrium ektopik dan menghambat fungsi pemakannya. Natural killer juga merupakan komponen lain yang penting dalam proses terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun dan lebih jelas terlihat pada wanita dengan stadium endometriosis yang lanjut (Wellbery, 2015, Overton 2007). 5. Faktor endokrin Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis tergantung kepada estrogen (estrogen-dependent disorder). Penyimpangan sintesa dan metabolisme estrogen telah diimplikasikan daam patogenesa endometriosis. Aromatase, suatu enzim yang merubah androgen, androstenedion dantestosteron menjadi estron dan estradiol. Aromatase ini ditemukan dalam banyak sel manusia seperti sel granulosa ovarium, sinsisiotrofoblas di plasenta, sel
14
lemak dan fibroblas kulit (Wellbery, 2015, Overton 2007). Lihat gambar 2.
Gambar 2. Biosintesa estrogen wanita usia reproduksi Kista endometriosis dan susukan endometriosis diluar ovarium menampilkan kadar aromatase yang tinggi sehingga dihasilkan estrogen yang tinggi pula. Dengan kata lain, wanita dengan endometriosis mempunyai kelainan genetik dan membantu perkembangan produksi estrogen endometrium lokal. Di samping itu, estrogen juga dapat merangsang aktifitas siklooksigenase tipe2 lokal (COX-2) yang membuat prostaglandin (PG)E2, suatu perangsang poten terhadap aromatase dalam sel stroma yang berasal
dari
endometriosis,
sehingga
produksi
estrogen
berlangsung terus secara local (Wellbery, 2015, Overton 2007). Lihat gambar 3.
15
Gambar 3. Sintesis estrogen pada susukan endometriosis Estron
dan
estradiol
saling
dirubah
oleh
kerja
17β-
hidroksisteroid dehydrogenase (17βHSD), yang terdiri dari 2 tipe: tipe1 merubah estron menjadi estradiol (bentuk estrogen yang lebih poten) dan tipe-2 merubah estradiol menjadi estron. Dalam endometrium eutopik normal, progesteron merangsang aktifitas tipe-2 dalam kelenjar epitelium, enzim tipe-2 inisangat banyak ditemukan pada kelenjar endometrium fase sekresi. Dalam jaringan endometriotik, tipe-1 ditemukan secara normal, tetapi tipe-2 secara bersamaan tidak ditemukan. Progesteron tidak merangsang aktiftas tipe-2 dalam susukan endometriotik karena tampilan reseptor progesteron juga abnormal. Reseptor progesteron terdiri dari 2 tipe: PR-A dan PR-B, keduanya ini ditemukan pada endometrium eutopik normal, sedangkan pada jaringan endometriotik hanya PR-A saja yang ditemukan (Wellbery, 2015, Overton 2007). 4.3 Klasifikasi Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan lokasi dan tipe lesi, yaitu (Sud, 2009): 1. Peritoneal endometriosis Pada awalnya lesi di peritoneum akan banyak tumbuh vaskularisasi sehinggamenimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan menyebabkan timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi sehingga tumbuh jaringan fibrosis dan sembuh.Lesi berwarna merah 16
dapat berubah menjadi lesi hitam tipikal dan setelah itu lesi akan berubahmenjadi lesi putih yang miskin vaskularisasi dan ditemukan debris glandular. 2. Ovarian Endometrial Cysts (Endometrioma) Ovarian endometrioma diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks ovarium setelah penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan endometriosis. Kista endometrium bisa besar (>3cm) dan multilokus, dan bisa tampak seperti kista coklat karena penimbunan darah dandebris ke dalam rongga kista. 3. Deep Nodular Endometriosis Pada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot polos dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang menginfiltrasi. Jaringan endometriosis akan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada perdarahan secara klinis yang berhubungan dengan endomeriosis nodular dalam. Ada
banyak
klasifikasi
stadium
yang
digunakan
untuk
mengelompokkan endometriosisdari ringan hingga berat, dan yang paling sering digunakan adalah sistem American FertilitySociety (AFS) yang telah direvisi (Tabel 1). Klasifikasi ini menjelaskan tentang lokasi dan kedalaman penyakit berikut jenis dan perluasan adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikutadalah skor yang digunakan untuk mengklasifikasikan stadium (Kandeel, 2008): - Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal) - Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang) - Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat) - Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)
17
Tabel 1. Derajat endometriosis berdasarkan skoring dari Revisi AFS (American Fertility Society, 2007)
Namun, secara garis besar endometriosis dibagi menjadi empat tingkatan berdasarkan beratnya penyakit. Klasifikasi ini tergantung pada lokasi,
penyebaran,
dalamnya
implantasi,
adanya
adhesi,
tingkat
keparahan adhesi, serta ada atau tidaknya maupun ukuran dari endometrioma ovarium (gambar 2). Sebagian besar wanita mengalami endometriosis stadium I dan II yang ditandai dengan implantasi yang masih superfisial dan adhesi ringan. Stadium III dan IV ditandai dengan adanya kista coklat serta adhesi yang lebih parah. Stadium dari endometriosis tidak berkorelasi dengan ada tidaknya maupun keparahan gejala klinis dari endometriosis. Pada stadium IV sangat sering terjadi infertilitas.
18
Gambar 4. Skema klasifikasi staging endometriosis (American Fertility Society, 2007)
19
Gambar 5. Adhesi akibat endometriosis 4.4 Histogenesis Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti dari terjadinya endometriosis, namun sudah ada beberapa teori yang berusaha menjelaskan proses histogenesis dari endometriosis. Ketiga teori tersebut antara lain: 1 Teori Sampson Teori histogenesis ini adalah salah satu teori yang paling banyak diyakini sebagai penyebab terjadinya endometriosis. Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena adanya proses regurgitasi darah haid melalui tuba kedalam rongga pelvis. Penelitian menunjukkan bahwa didalam darah haid terdapat selsel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup inilah yang kemudian mengalami implantasi pada rongga pelvis. Selain itu teori ini didukung juga dengan data bahwa pada wanita dengan polimenore dan pada wanita yang mengalami stenosis serviks
sehingga darah haidnya tidak dapat keluar, angka
kejadian endometriosis lebih tinggi. Namun teori ini tidak dapat menjelaskan bagaimana endometriosis dapat terjadi pada jaringan lain di luar pelvis seperti di paru, umbilikus, atau di tempat lain. 2 Teori Robert Meyer Teori dari Robert Meyer menyatakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom
20
yang dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasia dari sel-sel itu sehingga terbentuk jaringan endometrium. Teori metaplasia selom menunjukkan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan pluripoten yang dapat mengalami transformasi metaplasia menjadi jaringan yang mirip dengan endometrium normal sehingga secara histologis sulit dibedakan. Karena ovarium dan sel progenitor endometrium, saluran mullerian berasal dari epitel selom,
maka
teori
ini
dapat
menjelaskan
dengan
baik
perkembangan endometriosis ovarium. Selain itu, teori ini juga telah diperluas sampai mencakup peritoneum karena potensi proliferasi dan diferensiasi dari mesotelium peritoneal. Teori ini menarik pada kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi, seperti pada wanita premenarche dan menopause, dan pada laki-laki dengan karsinoma prostat diterapi dengan estrogen dan orchiektomi. Namun, tidak adanya endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel selom menentang teori ini. 3 Teori Dmowski Menurut teori ini faktor genetik dan imunologis sangat berperan
terhadap
timbulnya
endometriosis.
Ditemukan
penurunan imunitas selular pada wanita yang mengalami endometriosis. Pada cairan peritoneumnya ditemukan aktivitas makrofag yang meningkat, aktivitas NK cell yang menurun, dan penurunan aktivitas sel-sel limfosit. Makrofag disini akan mengaktifkan penurunan
jaringan imunitas
endometriosis tubuh
maka
dan akan
karena
terjadi
menyebabkan
pertumbuhan sel-sel endometriosis tanpa hambatan. Regurgitasi darah haid juga memegang peranan dalam proses ini. Makin banyak regurgitasi haid, makin banyak juga sistem kekebalan tubuh yang terpakai. Pada wanita dengan darah haid sedikit dan/atau pada wanita yang jarang haid, sangat jarang ditemukan endometriosis. 21
Selain beberapa teori diatas, terbuka juga pendapat bahwa endometriosis bisa terjadi akibat penyebaran secara hematogen maupun limfatik dan juga dengan implantasi langsung dari endometrium pada saat operasi.
4.5 Gambaran Patologi Gambaran mikroskopik dari endometrium sangat variabel. Lokasi yang sering terdapat adalah pada ovarium dan biasanya bilateral. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai besar berisi darah tua menyerupai coklat. Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak kedalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista dan menyebabkan akut abdomen. Tuba pada endometriosis biasanya normal (Prawirohardjo, 2010). Sedangkan pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas bagi endometriosis yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium dan perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin dan selsel makrofag berisi hemosiderin. Di sekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat sebagai reaksi dari jaringan normal di sekelilingnya. Jaringan endometriosis seperti juga jaringan endometrium di dalam uterus dapat dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron. Sebagai akibat dari pengaruh hormon-hormon tersebut, sebagian besar sarang endometriosis berdarah secara periodik yang menyebabkan reaksi jaringan sekelilingnya berupa radang dan perlekatan (Prawirohardjo, 2010). Pada
kehamilan
dapat
ditemukan
reaksi
desidual
jaringan
endometriosis. Apabila kehamilannya berakhir, reaksi desidual menghilang disertai dengan regresi sarang endometriosis. Pengaruh baik dari kehamilan kini menjadi dasar pengobatan endometriosis dengan hormone untuk
mengadakan
apa
yang
dinamakan
kehamilan
semu
(pseudopregnancy) (Prawirohardjo, 2010),
22
4.6 Gejala Klinis Biasanya keluhan yang dikeluhan oleh pasien berupa nyeri pelvis kronis, terutama sebelum dan sesudah periode menstruasi. Nyeri juga dirasakan saat melakukan hubungan seksual. Jika endrometriosis menyebar pada bagian pencernaan, maka nyeri akan terjadi saat usus bergerak. Jika endometriosis mengenai vesica urinaria maka nyeri akan dirasakan saat berkemih. Perdarahan yang berlebihan saat menstruasi juga bisa menjadi gejala dari endometriosis. Tetapi, banyak wanita dengan endometriosis tidak merasakan gejala apapun. 1 Nyeri Menstruasi Banyak wanita mengeluhkan adanya nyeri saat menstruasi, yang umumnya adalah normal. Ketika nyeri semakin diraskan semakin memberat maka akan disebu dismenorrhea dan mungkin bisa menjadi gejala endometriosis atau kelainan pelvis lainnya seperti fibrosis uterus atau adenomiosis. Nyeri yang hebar dapat menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dismenorrhea primer dapat terjadi pada beberapa tahun awal periode menstruasi, cenderung bertambah seiring bertambahnya usia atau pada usia reproduktif,
dan
biasannya
tidak
berhubungan
dengan
endometriosis. Dismenorrhea sekunder terjadi saat usia tua dan dapat meningkat seiring bertambahnya usia, meskipun beberapa wanita dengan endometriosis tidak mengeluh adanya nyeri sama sekali. 2 Nyeri Coitus Endometriosis dapat menyebabkan nyeri saat berhubungan seksual, yang dikenal sebagai dispareunia. Penetrasi penis yang dalam dapat memicu nyeri karena tergoyangnya ovarium oleh bekas luka jaringan (scar) yag berada pada bagian atas pada vagina. Nyeri mungkin dapat disebabkan oleh goncangan pada nodul dari endometriosis dibelakang uterus atau pada ligamen uterosakral, yang menghubungkan serviks dan sacrum. 23
3 Infertilitas Banyak penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara endometriosis dan infertilitas. Endometriosis dapat ditemukan pada 50% wanita yang infertil. Pasien infertil dengan endometriosis ringan yang tidak ditangani memiliki kesempatan untuk hamil sekitar 2% sampai 4.5% setiap bulan, dibandingkan pasangan normal sekita 15% sampai 20% perbulan. Pasien infertil dengan endometriosis sedang hingga berat mempunyai kesempatan hamil kurang dari 2% tiap bulan. Meskipun endometriosis sangat berhubungan dengan infertilitas, tetapi tidak semua wanita dengan endometriosis mengalami infertilitas. Sebagai contohnya, beberapa wanita yang menjalani prosedur steril tuba bisa juga mempunyai endometriosis. Diduga adanya hubungan penyebab dan efek antara endometriosis dan penurunan kesuburan tetapi hal ini masih belum bisa dibuktikan. Belum diketahui bagaimana endometriosis yang inimal dan ringan dapat mengurangi fertilitas ketika tidak terjadi perlekatan. Diduga endometriosis mengubah lingkungan pelvis dalam jumlah minimal tetapi pada jalur yang penting. Teori ini termasuk inflamasi, sistem imunitas, merubah hormon, fungsi abnormal dari tuba falopi, atau mengganggu fertilisasi dan implantasi. Lebih mudah mengerti bagaimana endometriosis sedang dan berat dapat mengganggu fertilitas, ketika perlekatan pada bagian mayor dari pelvis, ketika tampak perlekatan, maka akan mengganggu pelepasan ovum, menghalangi sperma untuk memasuki tuba falopi, dan mencegah kemampuan tuba falopi untuk menangkap telur saat ovulasi.
4.7 Diagnosis Diagnosis dari endometriosis dapat dievaluasi dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang lain. Endometriosis 24
dapat dipertimbangkan diawal sebagai diagnosis banding dari nyeri pelvis di wanita muda untuk dapat mecegah kemunduran perkembangan, yang sering terjadi pada 7-12 tahun, saat terjadi gejala dari diagnosis pasti.
Anamnesis Tanda dan gejala dari endometriosis sangat bervariasi dan mungkin berhubungan dengan kondisi dan proses patologi lain. Evaluasi penuh dan penilaian terhadap nyeri pada pasien dibutuhkan untuk diagnosis dan tatalaksana. Nyeri yang berkaitan dengan endometriosis adalah sebagai berikut: 1 Nyeri menstruasi (dysmenorrhea) 2 Nyeri coitus (dyspareunia) 3 Nyeri miksi (dysuria) 4 Nyeri defekasi (dyschezia) 5 Tidak nyaman pada bagian punggung belakang atau bagian perut 6 Nyeri pelvis yang kronis (nyeri abdomen dan nyeri abdomen selama paling tidak 6 bulan) Meskipun endometriosis dapatditunjukkan dengan gejala diatas, beberapa wanita dengan endometriosis datang dengan gejala yang asimtomatik, lesi mungkin secara tidak sengaja ditemukan saat operasi. Dan juga, gejala mungkin tidak muncul sesegera setelah menstruasi tetapi gejala berkembang nanti. Dengan semua pasien yang mengalami keluhan utama nyeri dan riwayat ginekologi seharusnya dilakukan penyingkiran semua penyebab lain nyeri. Pada anamnesis juga dapat memberikan pertanyaan kesehatan reproduksi lain (usia saat menstruasi pertama, siklus menstruasi dan keteraturan siklus, kehamilan sebelumnya, dan kontrasepsi oral atau kontrasepsi hormonal yang digunakan).
Kontribusi
riwayat
pengobatan
dan
riwayat 25
pembedahan, seperti juga riwayat keluarga dengan endometriosis atau kanker ginekologi, harus juga dilihat.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik penting untung memutuskan diagnosis dan tatalaksana. Pemeriksan fisik menentukan posisi, ukuran, dan mobilitas uterus. Nodul yang tidak bergerak, uterus yang ke arah belakang mungkin adalah penyakit yang ganas. Pemeriksaan retrovaginal mungkin diperlukan dan dapat meraba ligamen uterosakral serta septum retrovaginal, yang menunjukkan adanya nodul yang meradang untuk menunjukkan adanya infiltrasi endometriosis.
Pemeriksaan
yang
dilakukan
saat
periode
menstruasi dapat meningkatkan kesempatan untuk mendeteksi nodul yang berinfiltrasi dalam serta mengevaluasi nyeri.
Pemeriksaan Penunjang Lain Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang pertama untuk kasus yang dicurigai endometriosis. Juga bisa dipakai untuk mendeteksi kista ovarium dan kelainan pelvis yang lain seperti fibrosis uterus. Pemeriksaan darah dan pemeriksaan radiologi lain dapat sedikit mendukung diagnosis pada kasus ini. Meskipun leveel serum pada antigen kanker 125 (CA-125) mungkin dapat meningkat pada endometriosis sedang dan berat, determinasi ini tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin. Tetapi, beberapa massa pelvis yang tidak terdiagnosa, menurut panduan SOGC terdapat peningkatan, dimana level CA-125 merupakan komponen dari resiko indeks keganasan. Ketika endometriosis diperkirakan dapan menginvasi lebih jauh (contohnya, invasi
pada usus atau
kandung
kemih),
pemeriksaan lain seperti colonoscopy, cystoscopy, ultrasonografi rectal, dan MRI mungkin diperlukan.
26
Standar baku untuk diagnosis adalah dengan melihat langsung saat laparoskopi dan histologi. Keparahan penyakit sangat baik dideskripsikan dengan bentuk dan lokasi dari lesi endometriosis dan oran lain yang terlibat. American Society for Reproductive Medicine telah mengembangkan klasifikasi untuk menunjukkan
stadium
dari
endomettriosis
saat
laparoskopi.
Klasifikasi ini terbatas pada tatalaksana klinis sejak stadium penyakit tidak berhubungan dengan gejala pasien. Diagnosis laparoskopi tidak dibutuhkan sebelum tatalaksana pada semua pasien yang mengalami nyeri pelvis. Meskipun laparoskopi menggunakan prosedur invasif yang minimalis, tetapi masih
membawa
resiko
oprasi,
termasuk
perforasi
sistem
pencernaan dan kandung kemih, serta luka pada vaskuler. 4.8 Penatalaksanaan Endometriosis bisa diterapi dengan medikamentosa dan/ atau pembedahan. Pengobatan endometriosis juga bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan/ atau memperbaiki fertilitas (Wellbery, 2015, Kapoor, 2009, Stoppler, 2009).
Endometriosis dan subfertilitas Adhesi peritubal and periovarian dapat menginterferensi dengan transportasiovum secara mekanik dan berperan dalam menyebabkan subfertilitas. Endometriosis peritoneal telah
terbukti
berperan
dalam
menyebabkan
subfertilitas dengan cara berinterferensi dengan motilitas tuba, follikulogenesis, dan fungsikorpus luteum. Aromatase dipercaya dapat meningkatkan kadar prostaglandin Emelalui peningkatan ekspresi COX-2. Endometriosis juga dapat menyebabkan subfertilitas melalui peningkatan jumlah sperma yang terikat ke epitel ampulla sehingga mempengaruhi interaksi sperm-endosal pingeal.
27
Pemberian medikamentosa pada endometriosis minimal atau sedang
tidak
terbukti
meningkatkan
angka
kehamilan.
Endometriosis sedang sampai berat harus dioperasi. Pilihan lainnya untuk mendapatkan kehamilan ialah inseminasi intrauterin, superovulasi, dan fertilisasi invitro. Pada suatu penelitian case-contol , rata-rata kehamilan dengan injeksi sperma intrasitoplasmik tidak dipengaruih oleh kehadiran endometriosis. Lebih jauh, analisi lainnya menunjukkan peningkatan kejadian kehamilan akibat fertilisasi in vitro dengan preterapi endometriosis tingkat 3 dan 4 dengan agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH).
Terapi interval Beberapa peneliti mempercayai bahwa endometriosis dapat ditekan dengan pemberian profilaksis berupa kontrasepsi oral kombinasi
berkesinambungan,
analog
GnRH,
medroksiprogesteron, atau danazol sebagai upaya untuk meregresi penyakit yangasimtomastik dan mengatasi fertilitas subsekuen. Ablasi melalui pembedahan untuk endometriosis simptomatik juga dapat meningkatkan kesuburan dalam 3 tahun setelah follow-up.
Tidak ada hubungan antara endometriosis dengan abortus rekuren dan tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa terapi medikamentosa atau pembedahan dapat mengurangi angka kejadian abortus.
Terapi medis: pil kontrasepsi oral kombinasi, danazol, agen progestational, dan analog GnRH. Semua obat ini memiliki efek yang sama dalam mengurangi nyeri dan durasinya. Pil kontrasepsioral kombinasi berperan dalam supresi ovarium dan memperpanjang efek progestin. Semua agen progesteron berperan dalam desidualisasi dan atrofi endometrium. 28
Medroksiprogesteron asetat berperan dalam mengurangi nyeri
Megestrol asetat juga memiliki efek yang sama
Levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS) berguna dalam mengurangi nyeri akibat endometriosis.
Analog GnRH berguna untuk menurunkan gejala nyeri, namun tidak berefek dalam meningkatkan angka fertilitas. Terapi dengan GnRH menurunkan gejalanyeri pada 85-100% wanita dengan endometriosis. Danazol
berperan
untuk
menghambat
siklus
follicle-
stimulating hormone (FSH) and luteinizing hormone (LH) dan mencegah steroidogenesis di korpus luteum.
Terapi Bedah Terapi bedah bisa diklasifikasikan menjadi terapi bedah konservatif (jika fungsi reproduksi berusaha dipertahankan), semikonservatif (jika kemampuan reproduksi dikurangi tetapi fungsi ovarium masih ada), dan radikal (jika uterus dan ovarium diangkat secara keseluruhan). Usia, keinginan untuk memperoleh anak lagi, perubahan
kualitas
hidup,
adalah
hal-hal
yang
menjadi
pertimbangan ketika memutuskan suatu jenis tindakan operasi. (Wellbery, 2015, Kapoor, 2009, Stoppler, 2009) Pembedahan konservatif Tujuannya adalah merusak jaringan endometriosis dan melepaskan perlengketan perituba dan periovarian yang menjadi sebab timbulnya gejala nyeri dan mengganggu transportasi ovum. o Pendekatan laparoskopi adalah metode pilihan untuk mengobati endometriosis secara konservatif. Ablasi bisa dilakukan dengan laser atau elektrodiatermi. Secara keseluruhan, angka rekurensi adalah 19%. Pembedahan ablasi laparoskopi dengan diatermi bipolar atau laser efktif dalam menghilangkan gejala nyeri pada 87%. Kista 29
endometriosis dapat diterapi dengan drainase atau kistektomi. Kistektomi laparoskopi mengobati keluhan nyeri lebih baik daripada tindakan drainase. Terapi medis dengan agonis
GnRH mengurangi ukuran kista tetapi
tidak berhubungan dengan hilangnya gejala nyeri.
Gambar 6. Laparoskopi Organ Reproduksi Interna (American Fertility Society, 2007) o Flushing tuba
dengan
media
larut
minyak
dapat
meningkatkan angka kehamilan pada kasus infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis. o Untuk
dismenorhea
neurektomi transeksi
presakral. adalah
yang
hebat
Bundelsaraf
pada
vertebra
dapat
dilakukan
yang
dilakukan
sakral
III,
dan
bagiandistalnya diligasi o Laparoscopic Uterine Nerve Ablation (LUNA) berguna untuk mengurangi gejala dispareunia dan nyeri punggung bawah. o Untuk pasien dengan endometriosis sedang, pengobatan hormonal
adjuvant
postoperative
efektif
untuk
mengurangi nyeri tetapi tidak ada berefek pada fertilitas. Analog
GnRH,
danazol,
dan
medroksiprogesteron
berguna untuk hal ini. Pembedahan semikonservatif
30
o Indikasi pembedahan jenis ini adalah wanita yang telah melahirkan anak dengan lengkap, dan terlalu muda untuk menjalani pembedahan radikal, dan merasa terganggu oleh gejala-gejala endometriosis. Pembedahan yang dimaksud adalah histerektomi dan sitoreduksi dari jaringan endometriosis pelvis. Kista endometriosis bisa diangkat karena sepersepuluh dari jaringan ovarium yang berfungsi diperlukan untuk memproduksi hormon. Pasien yang
dilakukan
histerektomi
dengan
tetap
mempertahankan ovarium memiliki risiko enam kalilipat lebih besar untuk mengalami rekurensi dibandingkan dengan
wanita
yang
dilakukan
histerektomi
dan
ooforektomi. o Terapi medis pada wanita yang telah memiliki cukup anak yang juga memiliki efek dalam mereduksi gejala. Pembedahan radikal o Histerektomi total dengan ooforektomi bilateral dan sitoreduksi dari endometrium yang terlihat. Adhesiolisis ditujukan
untuk
memungkinkan
mobilitas
dan
menormalkan kembali hubungan antara organ-organ di dalam rongga pelvis. o Obstruksi ureter memerlukan tindakan bedah untuk mengeksisi begian yang mengalami kerusakan. Pada endometriosis dengan obstruksi usus dilakukan reseksi anastomosis jika obstruksi berada di rektosigmoid anterior.
31
Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Endometriosis 4.9 Diagnosis Banding Adenomiosis uteri, radang pelvik, dengan tumor adneksa dapat menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis jarang terdapat perubahan- perubahan berupa benjolan kecil di kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis dengan kista ovarium. Sedangkan endometriosis yang berasal
dari
rektosigmoid
perlu
dibedakan
dari
karsinoma
(Prawirohardjo, 2010). 4.10 Prognosis Endometriosis dapat mengalami rekurensi kecuali telah dilakukan dengan histerektomi dan ooforektomi bilateral. Angka kejadian rekurensi endometriosis setelah dilakukan terapi pembedahan adalah 20% dalam waktu 5 tahun. Ablasi komplit dari endometriosis efektif
32
dalam menurunkan gejala nyeri sebanyak 90% kasus. Beberapa ahli mengatakan
eksisi
lesi
adalah metode yang baik untuk menurunkan angka kejadian rekurensi dari gejala-gejala endometriosis. Pada kasus infertilitas, keberhasilan tindakan bedah berhubungan dengan tingkat berat atau ringannya penyakit. Pasien dengan endometriasis sedang memiliki peluang untuk hamil sebanyak 60%, sedangkan
pada
kasus-kasus
endometriosis
yang
berat
keberhasilannya hanya 35%. 4.10
PEMBAHASAN
A. Faktor Resiko Kista Coklat pada Kasus Endometriosis uteri adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat diluar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma yang peka terhadap hormon terutama esterogen. Bila jaringan endometrium tumbuh menembus membrana basalis dan terdapat di dalam miometrium, maka penyakit ini disebut adenomiosis.
Ketika
kelenjar
dan
stroma
endometrium
ditemukan di rongga pelvik, ovarium, kavum Douglasi, rektum maupun kandung kemih maka disebut endometriosis eksterna. Insiden
endometriosis
pada
ovarium
menempati
urutan
pertama kejadian endometriosis eksterna. Secara khusus penyakit ini disebut endometriosis ovarii atau endometrioma. Umumnya akan terbentuk kista berdinding tipis rata berisi cairan berwarna coklat, itu sebabnya endometrioma sering disebut kista coklat (Prawirohardjo, 2011). Insiden kista coklat sulit dikuantifikasi karena sering gejalanya asimtomatis dan pemeriksaan yang dilakukan untuk
menegakkan
Perempuan
dengan
diagnosis
sensitifitasnya
endometriosis
bisa
tanpa
rendah. gejala,
subfertil, atau menderita rasa sakit pada daerah pelvis 33
terutama
waktu
menstruasi
(dismenorea).
Kejadian
endometriosis 10-20% pada usia reproduksi perempuan. Jarang sekali terjadi pada perempuan pramenarke ataupun menopause. Faktor resiko terutama yang terjadi pada perempuan yang haidnya banyak dan lama, perempuan yang menarkenya pada usia dini, perempuan dengan kelainan saluran Mulleri, lebih sering dijumpai pada ras Asia daripada Kaukasia (D’hooghe, 1996). Berdasarkan
identitas
pasien,
diketahui
pasien
berusia 38 tahun, haid sejak usia 14 tahun, masih mengalami haid terakhir pada 7 Juni 2015, sehingga pasien belum memasuki masa menopause. Pasien telah menikah dan
memiliki
2
anak,
dengan
riwayat
penggunaan
kontrasepsi KB suntik 5 tahun terakhir. Riwayat menstruasi 1 kali per bulan, lama haid per siklus 4-5 hari dengan pendarahan sedang (3-4 pembalut sehari). Pasien juga mengeluhkan
nyeri
yang
sangat
saat
haid.
Pasien
menyatakan tidak ada riwayat penyakit keluarga dengan keganasan. Berdasarkan identitas dan hasil anamnesa pasien, maka tidak dijumpai kelainan pada usia menarche, maupun siklus menstruasi. Diperkirakan, terdapat faktor keturunan yang tidak diketahui. Pada penelitian Stefansson (2002), faktor resiko kista coklat tidak hanya meningkat pada faktor keturunan di saudara paling dekat (first-degree relatives) tapi juga signifikan pada saudara jauh, keponakan hingga 5-6 generasi sebelumnya. Pada faktor resiko keturunan ini, kemungkinan terdapat mutasi genetik yang diturunkan misalnya pada kromosom 10q26 (Treloar, 2005), kromosom 20p13, gen EMX2 untuk perkembangan saluran reproduksi (Daftary, 2004), atau PTEN, tumor suppressor gen (Bischoff, 2000). Riwayat penggunaan KB hormonal dapat menjadi 34
salah
satu
mengingat
faktor
resiko
kondisi
pembentukan
hyperesterogen
kista
dapat
coklat, memicu
transformasi keganasan (Zanetta, 2000).
B. Penegakan Diagnosis Kista Coklat pada Kasus Beberapa gejala klinik yang sering dijumpai pada pasien dengan endometriosis eksterna diantaranya dismenorea, nyeri pelvik, dyspareunia, diskezia dan subfertilitas (Prawirohardjo, 2011). Nyeri haid atau dysmenorea disebabkan oleh reaksi peradangan akibat sekresi sitokin dalam rongga peritoneum, akibat pendarahan local pada sarang endometriosis dan oleh adanya infiltrasi endometriosis ke dalam syaraf rongga panggul (Speroff,
2005).
Akibat
perlengketan,
lama-lama
dapat
mengakibatkan nyeri pelvik yang kronis. Rasa nyeri bisa menyebar jauh ke dalam panggul, punggung, dan paha bahkan menjalar sampai ke rectum dan diare. Duapertiga perempuan dengan endometriosis mengalami rasa nyeri intermenstrual (D’hooghe, 1996). Dispareunia paling sering timbul terutama bila endometriosis sudah tumbuh di sekitar Kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina dan terjadi perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi (Hadisaputra, 2006). Diskezia atau keluhan sakit buang air besar muncul jika endometriosis sudah tumbuh dalam dinding rekto sigmoid dan terjadi hematokezia pada saat siklus haid. Perlengketan pada ruang pelvis yang diakibatkan endometriosis dapat mengganggu pelepasan oosit dari ovarium atau menghambat perjalanan ovum untuk bertemu dengan sperma (Luthan, 2006). Dari hasil anamnesis, didapatkan keluhan benjolan di perut sejak 1 tahun yang lalu, makin lama makin membesar dengan nyeri perut kanan sejak 1 bulan yang lalu. Selama siklus menstruasi, pasien juga mengeluhan nyeri hebat.
35
Keluhan ini mengarah pada keberadaan massa di rongga pelvis dengan nyeri kronis dan nyeri siklik (nyeri yang muncul saat siklus menstruasi). Nyeri kronis pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh invasi implantasi jaringan endometriosis pada saraf sehingga membentuk jaringan saraf sensoris dan simpatetis
yang
bersifat
hyperexcitable.
Hipereksitabilitas
jaringan saraf ini menghasilkan nyeri persisten yang terkadang tetap ada walaupun telah dioperasi (Berkley, 2005). Nyeri siklik pada pasien ini muncul karena jaringan endometrioma saat siklus menstruasi menghasilkan sitokin proinflamasi dan prostaglandin ke cairan peritoneum (Giudice, 2004). Untuk mengkonfirmasi keluhan maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik diantaranya status generalis (termasuk palpasi abdomen), dan status genitalia (termasuk vaginal touche). Untuk mengarahkan
mengkonfirmasi penegakan
keluhan
diagnosis
pasien
kista
sekaligus
coklat,
maka
diharapkan pada pemeriksaan status generalis ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal dan apabila kista berukuran besar dapat teraba melalui palpasi abdomen. Pada pemeriksaan
status
genitalia,
melalui
VT
didapatkan
pembesaran massa di adnexa, bisa mobile atau melekat pada struktur di pelvis. Pemeriksaan bimanual dapat menghasilkan nyeri saat palpasi nodul pada 43 pasien dengan endometriosis yang telah menginfiltrasi dalam (Chapron, 2002). Namun pada penelitian lain, pemeriksaan bimanual tidak didapatkan kelainan padahal
setelah
pembedahan
dikonfirmasi
keberadaan
endometriosis (Nezhat, 1994). Dari hasil VT pada pasien ini tidak didapatkan fluksus maupun keputihan. Portio tertutup dengan permukaan yang licin. Pada adnexa parametrium kanan teraba masa kistik berukuran 7x7 cm dengan permukaan rata, berbatas tegas, mobile dan tidak nyeri. Pada adnexa kiri tidak dijumpai masa dan nyeri tekan. Hasil ini konsisten dengan
36
gejala endometrioma. Untuk penegakan diagnosis, diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakan
diagnosis
endometrioma
yakni
ultrasonografi
(USG), magnetic resonance imaging (MRI), pemeriksaan serum CA 125, bedah laparoskopi dan pemeriksaan patologi anatomi. USG
hanya
dapat
digunakan
untuk
mendiagnosis
endometrioma berukuran >1cm. Pada pemeriksaan, perlu ditentukan keberadaan septa, ketebalan dinding massa dan isi kista. Karakteristik yang membedakan kista coklat dengan kista ovarium lain yakni tampak gambaran internal eko di dalam kista, terkadang bersepta dengan dinding tebal (Dodson, 1991). Internal eko ini berasal dari deposisi hemosiderin akibat debris menstruasi
yang
terperangkap
dalam
kista.
MRI
tidak
menawarkan pemeriksaan yang lebih superior dibandingkan dengan USG. MRI dapat digunakan untuk melihat kista, massa ekstraperitoneal,
adanya
invasi
ke
usus
dan
septum
rektovagina. Pada pasien ini telah dilakukan dua kali pemeriksaan ultrasonografi. Pemeriksaan pertama dilakukan pada tanggal 3 Mei 2015. Didapatkan uterus bersepta dengan lesi kistik di para adnexa dekstra berukuran 9,01x6,96 cm berbatas tegas dan bersepta. Pemeriksaan kedua dilakukan pada hari pasien berkunjung ke Poli Ginekologi di RSSA dan dilakukan pencitraan ultrasonografi ginekologi. Didapatkan xxx. Hasil pemeriksaan ini mengkonfirmasi keberadaan kista, berbatas tegas regular, bersepta dengan internal echo berukuran 11,6 x 5,3x8,4 pada adneka dextra. Secara khusus hasil pencitraan ini mengarah ke kista coklat dengan adanya gambaran internal eko.
37
Serum CA 125 adalah penanda tumor yang sering digunakan untuk kanker ovarium. Pada endometriosis terjadi peningkatan kadar CA 125. Namun pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitivitas yang rendah. Kadar CA 125 dapat meningkat pada keadaan infeksi radang panggul, mioma, dan trimester awal kehamilan. CA 125 dapat digunakan sebagai monitor prognostik pascaoperatif endometriosis bila nilainya tinggi berarti prognostic kekambuhannya tinggi. Bila didapati CA 125 >65mIU/ml
praoperatif
menunjukkan
derajat
beratnya
endometriosis (Speroff L, 2005). Peningkatan CA 125 pada pasien
dengan
kista
endometrioma.
Hal
diekspresikan
oleh
semakin ini
mengarahkan
disebabkan
epitel
tuba
antigen
falopi,
diagnosis CA
125
endometrium,
endoserviks, pleura dan peritoneum. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan serum CA 125. Didapatkan hasil kadar serum CA 125 sebesar 134,70 U/ml dengan kadar normal <35 U/ml. Kadar serum yang tinggi ini menunjukkan ekspresi kanker antigen
yang
tinggi,
dan
ditengarai
disebabkan
oleh
keberadaan kista coklat pada ovarium kanan. Laparoskopi merupakan alat diagnostik baku emas untuk mendiagnosis endometriosis. Lesi aktif yang baru berwarna merah terang, sedangkan lesi aktif yang sudah lama berwarna merah kehitaman. Lesi nonaktif terlihat berwarna putih dengan jaringan parut. Pada endometriosis yang tumbuh diovarium, dapat terbentuk kista
yang
berwarna
coklat kehitaman
(Adamson, 1993). Warna coklat kehitaman ini muncul akibat deposisi
hemosiderin
akibat
debris
menstruasi
yang
anatomi
dibutuhkan
untuk
terperangkap dalam kista. Pemeriksaan
patologi
mengkonfirmasi endometrioma. Untuk pemeriksaan patologi anatomi akan diambil preparat dinding kista beserta cairan dalam kista untuk diperiksa secara mikroskopis. Gambaran 38
mikroskopis kista coklat menunjukkan jaringan endometrium. Apabila didapatkan gambaran sel atypical maka kemungkinan besar lesi mengarah pada keganasan (Fukunaga, 1998). Pada pasien ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang ultrasonografi dan laboratorium. Dapat disimpulkan pasien ini dengan diagnosis kistoma ovarii dengan diferensial diagnosis kista coklat. Penegakan diagnosis baru dapat dilakukan durante operasi. C. Manajemen dan Penatalaksanaan Kista Coklat pada Kasus Pendekatan
diagnosis
dan
penatalaksanaan
endometrioma bergantung pada gejala yang ditemukan pada pasien dan tujuan terapi. Apabila gejala utama pada pasien adalah infertilitas, maka dilakukan penatalaksanaan induksi fertilisasi tanpa mensupresi ovulasi. Disisi lain, jika pasien mengeluhkan nyeri berat yang tidak tertangani dengan medikasi dan tidak lagi menginginkan anak, maka diperlukan operasi definitif. Pada pasien yang asimptomatik atau mengeluhkan nyeri minimal, dapat dilakukan perawatan konservatif. Bila pasien mengeluhkan nyeri ringan, maka dapat diberikan
pengobatan
anti
nyeri.
Jaringan
endometriosis
diketahui mengekspresikan COX-2 lebih banyak dibanding jaringan endometrium normal (Ota, 2001). Itu sebabnya, diperlukan medikasi untuk menurunkan level prostaglandin sehingga dapat meringankan gejala nyeri terkait endometrioma. NSAID merupakan terapi lini pertama untuk wanita dengan dysmenorea primer atau nyeri pelvis akibat endometriosis yang telah dikonfirmasi dengan laparoskopi, juga pada wanita dengan nyeri ringan atau sedang akibat endometriosis (Efstathiou, 2005). Adanya resiko penyakit jantung akibat penggunaan jangka panjang COX-2 inhibitor, maka pengobatan diharapkan 39
dapat diberikan dengan dosis dan durasi paling minimal (Jones, 2005). NSAID yang dapat digunakan diantaranya ibuprofen, naproxen, asam mefenamat atau ketoprofen. Obat
lain
yang
dapat
mengatasi
nyeri
akibat
endometriosis yakni pemberian kontrasepsi oral kombinasi (Vercellini, 1993). Pil kombinasi ini diketahui dapat menghambat pelepasan gonadotropin, mengurangi volume menstruasi, dan menekan ovulasi. Awalnya perlu dilakukan terapi sesuai siklus menstruasi, jika nyeri tetap tidak berkurang, berikan terapi berkelanjutan (tanpa jeda menstruasi atau withdrawal bleeding) (Wiegratz, 2004). Terakhir, medikasi untuk terapi endometriosis ialah progestin. Progestin diketahui memiliki efek antagonis esterogen
pada
endometrium
dan
menyebabkan
atropi
endometrium. Berdasarkan penelitian Telimaa (1987), terdapat perbedaan
yang
signifikan
pada
pemberian
medroxyprogesterone acetate (MPA) 100mg per hari secara per oral selama 6 bulan terhadap resolusi implantasi endometrium di luar cavum uterus, penurunan nyeri pelvis dan nyeri saat defekasi. Endometrioma seringkali memerlukan pembedahan. Penentuan
teknik
pembedahan
yang
akan
dilakukan
berdasarkan ukuran lesi, usia pasien dan penemuan durante operasi. Misalnya, pada wanita premenopause, lesi kecil membutuhkan cystectomy dengan mempertahankan fungsi reproduksi. Pada lesi yang lebih besar dapat dilakukan oophorectomy karena akan sulit melakukan enukleasi kista tanpa ruptur dan resiko malignansi lebih besar pada kista yang besar (Okugawa, 2001). Diketahui cystectomy memberikan penurunan yang signifikan pada nyeri panggul dibanding metode drainase dan koagulasi (Beretta, 1998). Dan jumlah kehamilan pasca cystectomy juga lebih tinggi dalam 24 bulan. Endometrioma merupakan penyakit yang rekuren. Berdasarkan 40
penelitian Liu (2007), sekitar 15% kasus rekuren 2 tahun pasca operasi. Pasca operasi, apabila jaringan endometriosis masih dicurigai tersisa di rongga pelvis maka perlu diberikan medikasi berupa GnRH agonis, Danazol, kontrasepsi oral kombinasi, progestin atau aromatase inhibitor. GnRH agonis merupakan pilihan pertama medikasi yang dapat membantu menurunkan nyeri pada pasien dengan endometrioma yang telah tegak melalui pembedahan (Ling, 1999). Dalam tubuh, GnRH diproduksi secara pulsatile dari hipofisis anterior. Produksi pulsatile inilah yang akan merangsang produksi gonadotropin yang menyebabkan pembentukan hormone steroid pada ovarium dan proses ovulasi. Kadar GnRH yang kontinyu dan tidak pulsatile justru diketahui dapat mendesensitisasi hipofisis dan mengurangi pembentukan hormone pada ovarium (Rabin, 1980). Atas dasar ini, digunakanlah GnRH agonis untuk terapi endometriosis. Pada pasien ini masalah utama pasien berupa nyeri kronik dengan benjolan yang besar dan serum antigen yang meningkat.
Itu
sebabnya
disarankan
bagi
pasien
untuk
melakukan pembedahan SOVC (salphingo-ooforektomi vreeze coupe) yakni pengangkatan kista sekaligus ovarium dan tuba fallopi. Pengangkatan kista juga bermanfaat bagi pasien untuk mencegah
ruptur
kista
yang
dapat
menyebabkan
akut
abdomen. Jika durante op ditegakan diagnosis endometriosis, maka perlu dilakukan pengecekan apakah ada pertumbuhan endometriosis di tempat lain. Pasca operasi, apabila masih didapatkan jaringan (melalui pemeriksaan ultrasonografi), maka direncanakan pemberian GnRH agonis yakni injeksi endrolin 1 bulan sekali selama 6 bulan.
41
D. Prognosis Kista Coklat pada Kasus Pada dasarnya, endometriosis adalah penyakit yang progresif, dan tidak secara langsung menyebabkan kematian. Namun 50% wanita mengeluhkan gejala berulang dalam kurun waktu 5 tahun setelah terapi farmakologis. Keluhan nyeri pada pasien dapat diterapi dengan NSAID maupun pi kontrasepsi kombinasi. Melalui pengobatan ini 80-85% pasien dengan nyeri terkait endometriosis menyatakan keluhan berkurang. Terapi pembedahan definitive (total hysterectomy dengan bilateral salpingo-oophorectomy) dan peritoneal stripping menawarkan hasil
jangka
panjang
yang
paling
menjanjikan
dalam
mengangkat nyeri. Namun alternative ini hanya dilakukan pada pasien yang sudah tidak berencana tidak memiliki anak. Gejala endometriosis biasanya berkurang seiring menopause maupun kehamilan (Demco, 1998).
42
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien dalam
laporan kasus ini didiagnosis dengan cystoma ovarii dengan diferensial diagnosis
kista
coklat.
Pasien
ini
dicurigai
dengan
jenis
kista
endometriosis atau dikenal dengan kista cokelat dengan ditemukannya massa kistik pada adneksa kanan dengan gambaran internal echo pada pemeriksaan USG dan peningkatan CA 125 pada serum. Pasien ini dikonsultasikan pada bagian jantung dan anastesi untuk persiapan oprasi untuk pengangkatan lesi. Kemudian jaringan kista dilakukan pemeriksaan PA. Terapi pasca operasi disesuaikan dengan hasil temuan.. . 5.2 Saran 1. Diperlukan deteksi dini terhadap semua penyakit kandungan terutama kista cokelat karena dapat menyebabkan infertilitas, oleh karena itu tenaga kesehatan hendaknya mneingkatkan kemampuan dalam mendiagnosis penyakit kista coklat terutama bila dijumpai gangguan berupa nyeri pelvic kronis, dan nyeri haid. 2. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang faktor resiko, dan deteksi dini terjadinya kista cokelat pada wanita usia remaja sampai lanjut usia. 3. Pentingnya KIE pada pasien yang menderita kista cokelat untuk menjalani pengobatan yang tepat.
43
DAFTAR PUSTAKA Adamson GD, Hurd SJ, Pasta DJ, Rodriguez BD. Laparoscopic Endometriosis
Treatment: is it better? Fertil Steril 1993; 59: 659-66.
American Fertility Society.
2007. Booklet Endometriosis A Guide for
Patients. American Society for Reproductive Medicine. Alabama. (http://www.asrm.org/Patients/Booklet/Endometriosis. pdf (diaks es 1 September 2015). 16 hal American
Society
Endometriosis
a
guide
for
patient
http://www.asrm.org/Patients/patientbooklets/endometriosis.pdf [dia kses 1 September 2015] Beretta P, Franchi M, Ghezzi F, et al: Randomized clinical trial of two laparoscopic treatments of endometriomas: cystectomy versus drainage
and coagulation. Fertil Steril 70: 1176, 1998 [PMID:
9848316] Dodson MG. Transvaginal Ultrasound, New York, Churchill Livingstone; 1991: 70-2 D’hooghe MT, Hill Aj. Endometriosis in, Berek JS, Adashi EY, Hillard PA (ed), Novak’s Gynecology. 12th Edition. Pensylvania: Williams & Wilkins, 1996: 887-905. Endometriosis Research Foundation. (ERF) Diagnosis Endometriosis. http://www.endometriosis.org/ endometriosis.html [diakses 2 september 2015] Efstathioiu JA, Sampson DA, Levine Z, et al: Nonsteroidal antiinflammatory
drugs differentially suppress endometriosis in a
murine model. Fertil Steril 83: 171, 2005 [PMID: 15652904] Farid. Endometriosis di Sekitar Kita. http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews =201 [diakses 2 september 2015]
44
Hadisaputra, W. Tinjauan Perangai Imunopatobiologi sebagai Modalitas Baruuntuk Menegakkan Diagnosis Endometriosis tanpa Visualisasi Laparoskopi (Kajian Pustaka): Maj Obstet Ginekol Indones 2007; 31: 180-
4
Jones KD, Fan A, Sutton CJ: The ovarian endometrioma: why is it so poorly
managed? Indicators from an anonymous survey. Hum
Reprod 17:845,
2002 [PMID: 11925370]
Journal of Obsterics and Gynaecology Canada. 2010. Endometriosis: Diagnosis and Management. SOGC Clinical Practice Guidline. Volume 2 No. 7. Kandeel
M,
Endometriosis:
An
Update
http://www.gfmer.ch/GFMER_members/pdf/Endometriosis_Kandeel _2008.pdf [diakses 2 september 2015] Kapoor D, Davila. Endometriosis: Treatment & Medication. http//w ww.emedicine.com[diakses 2 september 2015] Lee
BM,
The
Endometriosis
cyst.http://ezinearticles.com/?Cyst-
Endometriosis---Cyst-in-the-Walls-of-the-Womb&id=1794678 [diakses 3 september 2015] Ling FW: Randomized controlled trial of depot leuprolide in patients with chronic
pelvic pain and clinically suspected endometriosis. Pelvic
Pain Study
Group Obstet Gynecol 93:51, 1999 [PMID: 9916956]
Liu X, Yuan L, Shen F, et al: Patterns of a risk factors for recurrence in women
with ovarian endometriomas. Obstet Gynecol 109(6):1411,
2007 [PMID: 17540815] Luthan D, Halim B, Adenin I. Endometriosis dan Tekhnologi Bantuan Reproduksi Dalam: Darmasetiawan MS, Anwar INC, Djuwantono T, Adenin I, Jamaan
T. (ed), Fertilisasi Invitro dalam Praktek Klinik.
Cetakan I. Jakarta: 2006: 107-14
45
Martin
DC.
Endometriosis
Staging,
http://www.memfert.com/endostage.htm[diakses
3
september
2015] NHS
Evidence,
Annual
Evidence
Epidemiology
Update
on
Endometriosis
and
–
Aetiology.
http://www.library.nhs.uk/womenshealth/ViewResource.aspx? resID=258981&tabID=290&catID=11472
[diakses
2
september
2015] Oepomo TD. Congenital of TNF- α in the peritoneal fluid and serum of endometrioticpatients. http://www.unsjournals.com/DD0703D070302.pdf [diakses 22 Juni 2015] Okugawa K, Hirakawa T, Fukushima K, et al: Relationship between age, histological type, and size of ovarian tumors. Int J Gynaecol Obstet 74:45,
20001 [PIMD: 11430940]
Ota H, Igarashi S, Sasaki M, et al: Distribution of cyclooxygenase-2 in eutopic
and
ectopic
endometrium
in
endometriosis
and
adenomyosis. Hum Reprod 16: 561, 2001 [PMID: 11228229] Overton C, Davis C, McMilliantL, Shaw R. An Atlas Of Endometriosis, 3 rd ed. London: Informa Healthcare, 2007, p.2-3,36 Prawirohardjo. Ilmu Kandungan. Jakarta YBP-SP, 2010, p.314-36 Rabin D, McNeil LW: Pituitary and gonadal desensitization after continuous
luteinizing hormone-releasing hormone infusion in normal
females. J Clin
Endocrinol Metab 51:873,1980 [PMID: 6774996]
Speroff L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endokrinology and Infertility. Seventh Edition. Philadelphia: 2005: 1125-1130 Stoppler MC, Endometriosis http://www.medicinenet.com/endometriosis/page3. htm#tocg [diakses 2 september 2015] Sud
S,
Tulandi
T,
Endometriosis
http://www.obgyn.net/medical.asp? page=/english/pubs/features/mc 46
gill-student-projects/endometriosis.
london.1999
[diakses
2
september 2015] Vercellini P, Trespidi L, Colombo A, et al: A gonadotropin-releasing hormone
agonist versus a low-dose oral contraceptive for pelvic pain
associated
with endometriosis. Fertil Steril 60: 75, 1993 [PMID:
8513962] Weiss G, Maseelall P, Schott LL. Adenomyosis a Variant, not a disease? Evidence from Hysterectomized Menopausal Women in the Study of
Women’s Health Across the Nation (SWAN). Fertil Steril 2009; 91:
201-6 Wellberry
C.
Diagnosis
and
Treatment
of
Endometriosis
(http://www.aafp.org/afp/991015ap/contentshtml
[diakses
2015, 2
september 2015] Wiegratz I, Kuhl H: Long-cycle treatment with oral contraceptives. Drugs 64:
2447, 2004 [PMID: 15482002]
47