BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1.
Latar Belakang Perilaku mengotori atau membuang sampah sembarangan (littering
behavior) merupakan masalah sosial dan lingkungan. Dampak membuang sampah sembarangan tidak hanya berkaitan dengan masalah keindahan dan kesehatan, selain itu ternyata masalah membuang sampah sembarangan juga membuat kerugian secara ekonomi. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki (yang saat ini menjadi Gubernur DKI Jakarta) menyatakan, selama ini biaya pengelolaan sampah di DKI Jakarta mencapai Rp. 800 milyar untuk 10-12 juta jiwa (Kompas, 2013). Sampah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi banyak kota di seluruh dunia termasuk kota Jakarta. Semakin bertambah jumlah penduduk dan aktivitasnya, maka volume sampah terus meningkat. Perubahan pola konsumsi masyarakat semakin beragam pula sampah yang dihasilkan. Akibatnya, untuk mengatasi sampah diperlukan biaya yang tidak sedikit dan lahan yang semakin luas. Di samping itu, tentu saja sampah membahayakan kesehatan dan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Pengelolaan sampah dimaksudkan agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia dan tidak mencemari lingkungan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memperoleh manfaat bagi kesejahteraan. Hal ini didasari oleh pandangan sebagian warga masyarakat bahwa sampah merupakan sumber daya yang masih bisa dimanfaatkan dan bahkan memiliki nilai ekonomi. Pandangan tersebut muncul seiring dengan semakin langkanya sumber daya alam dan semakin rusaknya lingkungan. Pengelolaan sampah mutlak dilakukan mengingat dampak buruk yang ditimbulkan bagi kesehatan dan lingkungan. Sampah tempat berkembang biak organisme penyebab dan pembawa penyakit. Sampah juga mencemari lingkungan dan mengganggu keseimbangan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah di berbagai belahan dunia berupaya menangani sampah walaupun dengan biaya yang tidak sedikit. Pengelolaan sampah di Provinsi DKI Jakarta belum dilaksanakan secara terpadu sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1988 tentang
1
2
Kebersihan Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sampah dari berbagai sumber baik dari rumah tangga, pasar, industri, dan lain-lain, langsung diangkut menuju Tempat Penampungan Sementara (TPS) tanpa melalui proses pemilahan dan penanganan terlebih dahulu. Dari TPS, sampah diangkut menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk kemudian ditimbun. Pengelolaan sampah tersebut menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, tidak berwawasan lingkungan karena menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan sampah bagi kesehatan dan lingkungan, maka sampah harus dikelola dengan baik melalui pengelolaan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, kesehatan masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat terhadap kebersihan lingkungan dalam rangka mewujudkan kota Jakarta yang bersih terhindar dari timbulan sampah. Untuk itu, Pemerintah Daerah bersama-sama masyarakat melakukan pemilahan dan penanganan sampah sehingga timbulan sampah berkurang sebelum dibuang ke TPST dan/atau TPA. Perubahan pengelolaan sampah tersebut membawa konsekuensi hukum kepada Pemerintah Daerah yang diberikan tugas dan wewenang oleh 55 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah untuk memenuhi hak masyarakat dan memfasilitasi kewajiban masyarakat dalam melaksanakan pengurangan dan penanganan sampah dengan cara 3R, yaitu reduce (mengurangi volume), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang). Di dalam pengelolaan sampah tidak saja diperlukan aspek peran serta aktif masyarakat, melainkan aspek peraturan sebagai dasar hukum, aspek teknis operasional, aspek organisasi dan manajemen, serta aspek pembiayaan. Kelima aspek tersebut dalam satu sistem pengelolaan sampah secara komprehensif dan terpadu, maka diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah Daerah, hak dan kewajiban masyarakat dan pelaku usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien. Untuk itu, diperlukan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah (Perda DKI Jakarta nomor 3, 2013).
3
Beberapa fakta yang diungkapkan oleh organisasi Keep America Beautiful (KAB) yang telah sejak lama melakukan studi mengenai dampak dari littering behavior antara lain: (1) Sampah akan mengundang sampah lainnya, ketika suatu lokasi sudah terdapat tumpukan sampah, maka orang-orang akan lebih cenderung membuang sampah ke lokasi tersebut. (2) Biaya penanggulangan sampah di Amerika Serikat mencapai hampir 11.5 milyar dollar pertahun, yang berasal dari berbagai organisasi bisnis, pemerintahan, sekolah, dan organisasi lainnya. (3) Kehadiran littering di dalam suatu komunitas berdampak pada kualitas hidup, nilai properti, dan harga perumahan. Penelitian KAB (2009) dalam National Visible Litter Survey and Litter Cost Study, menunjukkan bahwa sampah yang terdapat pada sebuah komunitas menurunkan nilai properti komunitas tersebut sebanyak 7 persen. (4) Littering jelas berdampak pada lingkungan. Sampah yang terdapat pada berbagai tempat akan terbawa oleh angin dan hujan ke sungai atau sekolan, yang kemudian dapat membuat lingkungan terkontaminasi (KAB, 2009). Studi terdahulu yang membahas tentang perilaku membuang sampah sembarangan (littering behavior) mendapati ternyata littering tidak sesederhana hanya melempar sampah dimana saja atau tidak pada tempatnya, terdapat bentuk lain seperti misalnya orang yang membawa sampah duduk berbincang dengan kerabatnya di suatu tempat, lalu beberapa menit kemudian meninggalkan begitu saja sampah yang tadi dibawa, adapun yang dengan sengaja menyembunyikan sampah di tempat yang sulit terlihat, misalnya di pot, atau di balik pohon, dll. (KAB, 2009). Adapun jenis-jenis sampah yang paling banyak di buang sembarangan menurut Beck (2007) adalah berbagai macam kertas, plastik, packaging produk, dan tempat minuman. Penelitian lain juga mengungkapkan jenis sampah yang paling sering ditemukan adalah packaging makanan, bungkus snack, kertas, plastik, puing-puing kendaraan, tempat minuman, tisu, berbagai macam besi dan kaca, dan sisa hasil konstruksi. (Department of Environment and Conservation, 2004). Penelitian di atas tidak memasukkan jenis sampah puntung rokok sebagai bentuk litter, studi lain menunjukkan bahwa puntung rokok merupakan benda yang paling sering dibuang secara sembarangan, dan terhitung peringkat jenis benda yang paling sering di buang sembarangan (Sibley & Liu, 2003).
4
Organisasi Keep America Beautiful (KAB) yang sudah cukup lama mendalami konsep perilaku mengotori atau membuang sampah sembarangan (littering behavior) mengemukakan bahwa variabel seperti usia dapat mempengaruhi perilaku buang sampah. Menurut penelitian KAB (1968), littering behavior lebih banyak dilakukan oleh anak muda daripada orang dewasa, kelompok dengan usia 19 tahun ke bawah lebih banyak melakukan littering daripada kelompok lainnya (Krauss, Freedman, & Whitcup, 1978; Beck, 2007). Dewasa usia 21-35 membuang sampah sembarangan tiga kali lebih banyak daripada orang-orang yang berusia di atas 50, dan hampir dua kali lebih banyak daripada orang-orang yang berusia di antara 35-49 (Geller, 1973). Studi yang dilakukan oleh Finnie (1973) melaporkan bahwa usia 18 atau kurang dari 18 memiliki rataan perilaku membuang sampah sembarangan lebih besar daripada yang berusia 18 tahun atau lebih. Namun pada penelitian lain McCool dan Merriam (1970), menemukan bahwa variabel usia tidak berhubungan dengan perilaku menaati regulasi mengenai littering, seperti yang ditunjukkan oleh pengguna kano, yang kebanyakan tidak mengindahkan peraturan untuk membawa sampah yang tidak dapat dibakar (non-burnable trash) keluar dari area camping. Motivasi yang membuat orang membuang sampah sembarangan menurut data dari Keep America Beautiful (KAB) dalam penelitian tentang Littering Behavior in America tahun 2009, menunjukkan bahwa, (1) orang membuang sampah sembarangan karena keputusan pribadi, yang berarti memilih atau memutuskan secara sadar atau tidak sadar untuk membuang sampah sembarangan. (2) Sampah melahirkan sampah, orang akan cenderung membuang sampah di tempat yang sudah terdapat sampah sebelumnya. (3) Motivasi lain yang membuat orang membuang sampah sembarangan adalah karena sebagian orang tidak punya rasa kepemilikan atas tempat parkir, trotoar, pantai, dan tempat umum lainnya. Mereka percaya akan ada orang lain yang membersihkan sampahnya yang dianggap bukan tanggung jawab mereka. Terkadang berbagai motivasi di atas merupakan masalah kemalasan. Jika seseorang tidak menemukan tempat sampah di dekatnya, kebanyakan akan melempar sampah tersebut ke area yang paling nyaman menurut mereka (seperti tempat parkir dan tempat umum lainnya) (KAB, 2009).
5
Tindakan preventif untuk mengurangi perilaku mengotori (littering behavior) telah dikembangkan melalui berbagai macam strategi yang sudah di implepentasikan secara praktis. Strategi tersebut terbagi menjadi strategi antecedent (strategi yang dapat mencegah kemunculan perilaku mengotori) dan strategi consequence (reward & punishment). Strategi antecedent yang telah diimplementasikan berhubungan dengan faktor penyebab yang relevan dalam literatur. Pertama, orang akan cenderung membuang sampah ditempat yang sudah terdapat sampah sebelumnya (Curnow, Strecker, & Williams, 1997). Kedua, strategi di arahkan pada tempat sampah itu sendiri. Upaya untuk mengurangi perilaku mengotori dengan mempertimbangkan kembali jumlah, desain, dan penempatan tempat sampah itu sendiri (Curnow, Strecker, & Williams, 1997). Beberapa penemuan lainnya mengemukakan bahwa littering behavior akan menurun ketika kenyamanan dalam menggunakan tempat sampah meningkat. Tempat sampah yang memiliki ciri khas khusus akan mengurangi littering behavior. Tempat sampah yang berwarna terang, bertema, dan didekorasi akan lebih banyak menarik orang untuk membuang sampah ke tempat sampah tersebut dibandingkan dengan tempat sampah biasa (Cope, Huffman, Alred, & Grossnickle, 1993; Geller, Brasted, & Mann, 1980; Winnet, & Everret, 1982). Ketiga, adalah strategi komunikasi. Pada umumnya, strategi ini merupakan yang paling luas di pelajari dalam literatur tentang perilaku membuang sampah sembarangan. Hansmann dan Schoolz (2003) memberikan ulasan penelitian mengenai desain yang efektif tentang pesan eksplisit anti-mengotori (anti-litter). Mereka menemukan bahwa frase himbauan yang berbentuk permohonan atau permintaan berfungsi lebih baik dibandingkan dengan frase himbauan yang berbentuk sebagai perintah. Selain itu, himbauan akan lebih efektif jika terdapat deskripsi yang lebih spesifik tentang perilaku yang diharapkan. Dalam eksperimen lapangan yang dilakukan oleh Reich dan Robertson (1979), yang dilakukan di kolam renang umum, pesan seperti “Tolong jaga kolam renang anda tetap bersih” atau “Kebersihan kolam renang tergantung pada anda” terbukti efektif untuk mengurangi littering, sedangkan himbauan yang lebih tegas seperti “Jangan membuang sampah sembarangan” dan “Jangan berani coba-coba untuk membuang sampah sembarangan” tidak efektif. Studi oleh Reich dan
6
Robertson menunjukkan bahwa norma yang bersifat perintah dan diikuti dengan tekanan eksternal membuat norma tersebut kontraproduktif karena hal itu dapat menyebabkan perlawanan secara psikologis (Brehm, 1966, 1972), sedangkan pesan atau norma yang bersifat memohon atau meminta tolong efektif untuk mengurangi littering. Selain strategi antecedent, ada strategi consequence yang merupakan usaha memberikan efek setelah perilaku littering atau non-littering muncul, baik reward atau punishment. Hukuman biasanya berbentuk denda. Walaupun kebanyakan negara memiliki hukum atau regulasi yang menentang perilaku membuang sampah sembarangan, namun hukum tersebut tidak secara aktif ditegakkan. Sistem denda dapat sangat efektif seperti yang ditunjukkan oleh Singapura yang mana undang-undang tentang membuang sampah sembarangan sangat ketat dan dendanya dapat mencapai 1000 US Dollar, hasilnya adalah jalanan yang sangat bersih. Namun sebagian besar menganggap pendekatan tersebut terlalu otoriter. Di samping punishment beberapa sistem reward juga dicoba, seperti lotere. Hal tersebut telah menunjukkan efek dari kemasan khusus yang berkaitan dengan reward, tapi tetap tidak terdapat efek jangka panjang (Stern & Oskamp, 1991). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Burgess, Clark, dan Hendee (1971), menunjukkan bahwa memberikan insentif merupakan cara efektif untuk mengurangi perilaku membuang sampah sembarangan, namun program insentif menghabiskan biaya yang besar dan perilaku yang diinginkan cenderung menghilang ketika insentif juga dihilangkan. Adapun Geller, Witmer, dan Tusso (1977) menyatakan bahwa prosedur paling ekonomis dalam menstimulasi perilaku untuk melestarikan lingkungan dalam skala besar adalah memberikan instruksi response-priming (memberikan stimulus yang paling umum untuk membuat suatu perilaku muncul, misalnya gambar perpustakaan akan membuat orang mengurangi kebisingan). Namun pada faktanya sangat sedikit studi yang dapat secara langsung dibandingkan sebagai strategi untuk mengontrol perilaku mengotori (Dwyer, Leeming, Cobern, Porter, & Jackson, 1993). Meski demikian, Dwyer et al. menyimpulkan bahwa pada umumnya, strategi antecedent (strategi yang dapat
7
mencegah kemunculan perilaku mengotori) lebih efektif dalam hal biaya (costeffective) daripada strategi consequence (reward or punishment). Pada penelitian yang terkini, pendekatan norma sosial dapat menjadi model untuk memahami perilaku manusia terkait dengan masalah pencegahan atau promosi kesehatan. Norma sosial menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana anggota kelompok lainnya berpikir dan bertindak. Sebagai contoh, seseorang mungkin menganggap sepele larangan menggunakan alkohol, narkoba, atau rokok karena sikap orang-orang di sekitarnya yang menghargai pengguna alkohol, narkoba, atau rokok. Asumsi tersebut telah dibuktikan oleh banyak penelitian tentang perilaku minum alhokol dan merokok pada remaja dan dewasa muda, dan dengan intervensi untuk mempromosikan safe drinking (minum alkohol secara aman) dan penghentian penggunaan tembakau di sekolah dan universitas (Berkowitz & Perkins, 1986). Adapun intervensi lain yang menggunakan pendekatan norma sosial adalah untuk mencegah kekerasan seksual, peningkatan akademis, mengurangi perilaku prasangka. Intervensi norma sosial difokuskan pada pengaruh peer, karena memiliki dampak lebih besar terhadap perilaku individu dibandingkan dengan faktor biologis, kepribadian, keluarga, agama, kebudayaan, dan pengaruh lainnya. Pengaruh peer tersebut lebih berdasarkan pada apa yang seseorang pikirkan tentang perilaku orang disekitarnya (perceived/descriptive norm), daripada apa yang sebenarnya diyakini oleh orang tersebut (actual/injunctive norm) (Perkins, 2002). Penelitian lainnya menunjukkan terdapat kaitan erat antara norma sosial dan perilaku membuang sampah sembarangan (littering behavior). Berbagai studi membuktikan bahwa littering behavior akan meningkat seiring dengan jumlah sampah yang meningkat di suatu area (Finnie, 1973; Krauss, Freedman, & Whitcup, 1978; Reiter & Samuel, 1980). Penjelasan untuk fenomena di atas adalah jumlah sampah yang terdapat pada suatu area mengaktifkan norma tentang littering behavior di area tersebut. Analisis lebih rinci tentang hubungan antara norma dan littering behavior dilakukan oleh Cialdini, Reno, & Kallgren (1990), dan Reno, Cialdini, Kallgren (1993). Dalam analisisnya mereka membedakan 2 jenis norma sosial, yaitu: (1)
8
descriptive norms, menggambarkan hal-hal yang secara umum dilakukan di suatu tempat tertentu, dan (2) injunctive norms, yang menentukan hal apa saja yang secara sosial dapat diterima di suatu tempat. Mereka mengembangkan Focus Theory of Normative Conduct (Cialdini et. al., 1990), yang menyatakan bahwa fokus kognitif dari seseorang dapat menjadi penghubung sebuah norma terhadap suatu perilaku, fokus tersebut tergantung pada ciri khas dari berbagai jenis norma. Kemudian mereka mengaplikasikan teori tersebut ke sebuah penelitian eksperimen, hasil observasi menunjukkan bahwa orang yang melakukan littering di lingkungan yang bersih tidak meningkatkan perilaku littering dari orang lain. Beberapa studi lain juga menunjukkan bahwa norma sosial memiliki peran yang kuat terhadap keputusan seseorang untuk membuang sampah (Grasmick, Bursik, & Kinsey, 1991; Cialdini, 2003; Cialdini et. al., 2005). Data hasil survey menunjukkan bahwa norma seseorang tentang membuang sampah mengalami peningkatan selama 50 tahun terakhir, dari tingkat kepedulian yang rata-rata di tahun 1950an, menjadi tingkat kepedulian cukup tinggi di tahun 2000an mengenai kewajiban pribadi untuk tidak membuang sampah sembarangan (littering) (Grasmick, Bursik, & Kinsey, 1991). Dengan meningkatkan sanksi sosial terhadap littering, penelitian menunjukkan bahwa mengaktifkan norma tentang littering dapat secara signifikan mengurangi atau meningkatkan keputusan seseorang untuk littering. Sebagai contoh, hal-hal seperti melihat orang lain membuang sampah sembarangan, melihat tumpukan sampah yang telah disapu, atau melihat sekelompok orang memungut sampah, dapat mempengaruhi norma dan perilaku seseorang mengenai membuang sampah. Situasi seperti itu mengaktifkan keyakinan norma seseorang, kemudian menghasilkan perasaan malu (shame) karena melanggar norma sosial, dan perasaan bersalah (guilt) karena melanggar norma pribadi. (Cialdini, 2003; Cialdini et al., 2005). Serupa dengan penelitian ini yaitu mengenai perilaku membuang sampah sembarangan, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan norma sosial injunctive dan descriptive dengan littering behavvior. Melalui metode eksperimen yang akan difokuskan untuk melihat hubungan kedua jenis norma sosial (injunctive & descriptive) dengan littering behavior, yaitu dengan mempertimbangkan bentuk himbauan untuk tidak membuang sampah
9
sembarangan sebagai injunctive norm dan sejumlah orang yang menjadi model perilaku sebagai descriptive norm.
1. 2.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka akan diangkat beberapa
permasalahan antara lain: a. Apakah ada hubungan injunctive norm dengan littering behavior? b. Apakah ada hubungan descriptive norm dengan littering behavior?
1. 3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara social injunctive
norm dan social descriptive norm dengan perilaku membuang sampah sembarangan (littering behavior) pada mahasiswa di Jakarta Barat. Tujuan lainnya adalah untuk mengembangkan analisis dan strategi untuk mengatasi perilaku membuang sampah sembarangan.
1. 4.
Manfaat Penelitian Manfaat praktis dari penulisan ini diharapkan dapat membantu berbagai
pihak dalam menciptakan tindakan preventif atau program intervensi untuk mengurangi perilaku membuang sampah sembarangan, khususnya di Jakarta. Selain itu, penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis sehingga dapat menjadi bahan kajian bagi pihak lain yang sedang mendalami konsep littering behavior, dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
10