BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Angka kematian merupakan barometer status kesehatan, terutama kematian ibu dan kematian bayi. Tingginya angka kematian tersebut menunjukkan rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. Kematian ibu masih merupakan masalah besar yang dihadapi berbagai negara di dunia terutama negara ASEAN seperti Indonesia, Thailand, Malaysia dan Fhilipina (Depkes, 2006). Berdasarkan data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia telah menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007 yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia. Akan tetapi bila dilihat dari target Millenium Development Goals (MDGs) yakni 110 per 100.000 kelahiran hidup, maka AKI saat ini masih perlu diturunkan lagi. Sumatera Utara menjadi propinsi nomor tiga tertinggi angka fertilitas setelah Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Angka Fertilitas Total (TFR) adalah jumlah dari angka kelahiran menurut kelompok umur atau rata-rata jumlah anak yang akan dilahirkan oleh seorang wanita pada akhir masa reproduksi jika mengikuti fertilitas yang berlaku. Secara nasional TFR adalah 2,6 dan untuk Propinsi Sumatera Utara sebesar (3,8%), maka secara rata-rata wanita di Propinsi Sumatera Utara akan mempunyai anak 3,8 selama hidupnya (Depkes, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu upaya penurunan AKI serta peningkatan derajat kesehatan ibu tetap merupakan salah satu prioritas utama dalam penanganan bidang kesehatan. Departemen Kesehatan pada tahun 2000 telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) jangka panjang upaya penurunan angka kematian ibu dan kematian bayi baru lahir. Dalam Renstra ini difokuskan pada kegiatan yang dibangun atas dasar sistem kesehatan yang mantap untuk menjamin pelaksanaan intervensi dengan biaya yang efektif berdasarkan bukti ilmiah yang dikenal dengan nama "Making Pregnancy Safer (MPS)". Strategi MPS ini mengacu pada 3 pesan kunci yaitu : 1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga bidan terlatih, 2) setiap komplikasi obstetrik neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, dan 3) setiap wanita usia subur dapat akses terhadap pencegahan kehamilan serta penanganan aborsi yang tidak aman, (Bappenas, 2004). Penyebab kematian ibu selain karena perdarahan, preeklamsia/eklamsia adalah tingginya paritas pada seorang ibu, yang diikuti rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Tingginya paritas seorang ibu, selain mempunyai dampak terhadap angka kesakitan dan kematian ibu juga meningkatkan jumlah penduduk yang tidak terkendali. Pada isu status reproduksi 4 Terlalu (4T) : yaitu keadaan ibu yang terlalu muda (untuk menikah, hamil dan punya anak), usia terlalu tua tetapi masih produktif, kehamilan terlalu sering dan jarak kehamilan terlalu dekat memberi peran penting terhadap penurunan AKI dan pencapaian program Keluarga Berencana (Andrews, 2009). Salah satu program untuk menurunkan angka kematian ibu dan menekan angka pertumbuhan penduduk yakni melalui program Keluarga Berencana (KB).
Universitas Sumatera Utara
Program KB memiliki peranan dalam menurunkan resiko kematian ibu melalui pencegahan kehamilan, penundaan usia kehamilan serta menjarangkan kehamilan dengan sasaran utama adalah Pasangan Usia Subur (PUS). Sesuai dengan tuntutan perkembangan program, maka program KB telah berkembang menjadi gerakan Keluarga Berencana Nasional yang mencakup gerakan masyarakat. Gerakan Keluarga Berencana Nasional disiapkan untuk membangun keluarga sejahtera dalam rangka membangun sumber daya manusia yang optimal, dengan ciri semakin meningkatnya peran serta
masyarakat
dalam
memenuhi kebutuhan untuk
mendapatkan pelayanan KB, (BKKBN,2005). Salah satu strategi dari pelaksanaan program KB sendiri seperti tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 adalah meningkatnya penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKPJ) seperti IUD (Intra Uterine Device), implant (susuk) dan sterilisasi. IUD merupakan salah satu jenis alat kontrasepsi non hormonal dan termasuk alat kontrasepsi jangka panjang yang ideal dalam upaya menjarangkan kehamilan. Keuntungan pemakaian IUD yakni memerlukan satu kali pemasangan untuk jangka waktu yang lama dengan biaya yang relatif murah, aman karena tidak mempunyai pengaruh sistemik yang beredar ke seluruh tubuh, tidak memengaruhi produksi ASI dan kesuburan cepat kembali setelah IUD dilepas (Arum, 2008). Pada Riskesdas 2010, PUS usia 15-49 tahun berstatus kawin dan memakai alat KB tahun 2009 sebanyak (75,7%). Propinsi dengan persentase peserta KB aktif tertinggi adalah Bengkulu (85,5%), Bali (85,1%), dan DKI Jakarta (82%). Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
persentase peserta KB aktif terendah adalah Papua (33,9%), Maluku Utara (59,5%), dan Kepulauan Riau (64,3%). Persentase peserta KB aktif menurut metode kontrasepsi yang sedang digunakan adalah KB suntik dan KB pil yang masih banyak diminati sebagai alat KB oleh pasangan usia subur yaitu masing-masing sebesar (50,2%) dan (28,3%). Sebaliknya Metode Operasi Pria (MOP) dan Metode Operasi Wanita (MOW) merupakan metode kontrasepsi yang terendah diminati oleh Akseptor KB. Berdasarkan metode kontrasepsi menurut propinsi, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR/IUD) banyak digunakan di Propinsi Bali (47,88%) dan DI Yogyakarta (25,44%) dengan persentase jauh di atas propinsi yang lain. Persentase terendah pemakaian IUD di Kalimantan Selatan (1,78%) dari persentase nasional (4,3%). Begitu pula untuk metode MOW kedua propinsi tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan propinsi lainnya yaitu Bali (3,79%) dan DI Yogyakarta (5,1%) (Bappenas, 2010). Target pelayanan KB Propinsi Sumatera Utara tahun 2009 sebanyak 2.077.195 PUS, peserta KB aktif sebanyak 1.393.191 (67,07%). Berdasarkan alat kontrasepsi yang digunakan Akseptor KB IUD sebanyak 142.287 (10,21%), KB MOW/MOP sebanyak 114.435 (8,21%), KB implant sebanyak 118.477 (8,50%), KB suntik sebanyak 463.674 (33,28%) dan KB pil sebanyak 477.258 (24,61%) dan penggunaan kondom sebanyak 77.060 (5,53%) (BKKBN, 2009). Pembangunan bidang pelayanan kesehatan merupakan salah satu prioritas pembangunan di Kabupaten Deli Serdang. Dari peningkatan derajat kesehatan bagi masyarakat akan memberi dampak kepada peningkatan usia harapan hidup,
Universitas Sumatera Utara
penurunan angka kematian ibu hamil, angka kematian bayi dan pelayanan keluarga berencana. Jumlah PUS di Kabupaten Deli Serdang sampai tahun 2010 sebanyak 300.133 jiwa, dengan capaian Akseptor KB baru sebanyak 44.975 (14,98%), peserta KB aktif sebanyak 219.267 (73.06%). Akseptor yang menggunakan MKJP seperti: KB IUD sebanyak 24.366 (11,11%), KB MOP/MOW sebanyak 12.606 (5,74%), KB implant sebanyak 17.626 (8,035%). Non MKJP yaitu memakai KB kondom sebanyak 18.050 (8,23%), KB suntik sebanyak 68.972 (31,45%) dan KB pil sebanyak 77.647 (35,41%) (Dinkes, 2011). Kecamatan Pantai Labu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Deli Serdang yang terletak di pesisir pantai timur pulau Sumatera. Potensi utama adalah pertanian pangan, perkebunan rakyat, perkebunan besar, perikanan laut, pertambakan, peternakan unggas, dan pariwisata. Di Kecamatan Pantai Labu terdapat satu unit Puskesmas induk dan 5 Puskesmas Pembantu yaitu Pustu Rantau Panjang, Pustu Denai Lama, Pustu Desa Durian, Pustu Desa Tengah dan Pustu Kubah Sentang. (BPS, 2008). Jumlah PUS sampai bulan Juni tahun 2011 di Kecamatan Pantai Labu sebanyak 7.472 jiwa, ada peningkatan dibandingkan tahun 2009 sebanyak 7.221. Partisipasi masyarakat sebagai Peserta KB Aktif tahun 2011 sebesar 5.453 yakni 72,98% dari jumlah total PUS, capaian KB baru 485 (47%) dari Permintaan Pemakaian Masyarakat (PPM) sebanyak 1.032. Dari jumlah tersebut distribusi peserta KB menurut alat adalah: KB IUD dengan PPM sebanyak 621 dan Peserta Aktif (PA) sebanyak 103 (1,89%), KB MOW/MOP PPM sebanyak 338 dan PA 168
Universitas Sumatera Utara
(3,08%), KB implant PPM sebanyak 416 dan PA 436 (7,99%), KB kondom PPM sebanyak 474 dan PA 561 (10,28%), KB suntik PPM sebanyak 2.016 dan PA 1.671 (30,64%), dan KB pil PPM sebanyak 2.400 dan PA 2.394 (43,90%) (BKKBN, 2011). Meskipun masyarakat telah mengalami perubahan bersamaan dengan proses modernisasi, aspek sosio-kultural masih melekat dalam kehidupan sehari-hari penduduk, sehingga memengaruhi penerimaan dan pelaksanaan program KB di Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan program KB dan kesehatan reproduksi dalam perkembangannya selalu mempertimbangkan aspek sosio-kultural bangsa Indonesia. Kebijakan ini sesuai dengan undang-undang nomor 52 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi agama, norma budaya, etika, serta segi kesehatan. Sejalan dengan kebijakan ICPD Kairo bahwa setiap program kesehatan reproduksi dan seksual harus sesuai dengan norma, budaya, agama, dan hak-hak azasi manusia yang bersifat universal serta prioritas pembangunan bagi msing-masing bangsa (BKKBN, 2005). Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti, rendahnya Akseptor KB IUD di Kabupaten Deli Serdang di pengaruhi beberapa faktor, seperti : 1) ketidaktahuan peserta tentang kelebihan KB IUD. Dimana pengetahuan terhadap alat kontrasepsi merupakan pertimbangan dalam menentukan metode kontrasepsi yang digunakan. 2) Kualitas pelayanan KB, dilihat dari segi ketersediaan alat kontrasepsi, ketersediaan tenaga yang terlatih dan kemampuan medis teknis petugas pelayanan kesehatan. 3) Biaya pelayanan IUD yang mahal. 4) Adanya hambatan dukungan dari
Universitas Sumatera Utara
suami dalam pemakaian alat kontrasepsi IUD. 5) Adanya niat yang timbul dari adanya sikap yang didasarkan pada kepercayaan, norma-norma di masyarakat dan norma pokok yang ada dalam lingkungan. Salah satu norma yang dianut masyarakat adalah pemasangan IUD yang dilakukan di aurat (vagina) sehingga menimbulkan perasaan malu/enggan untuk menggunakan IUD. 6) Kekerabatan juga menjadi faktor penghambat dalam sosialisasi KB IUD karena banyak sekali masyarakat menggunakan metode KB lain tanpa mempertimbangkan kecocokan pada individu tetapi karena ikut-ikutan dengan teman dan tetangga. Hasil penelitian Imbarwati (2009), tentang beberapa faktor yang berkaitan dengan penggunaan KB IUD pada peserta KB non IUD menyimpulkan terjadinya penurunan penggunaan KB IUD. Disebabkan peserta KB non IUD memiliki pengetahuan kurang baik tentang KB IUD sebesar (56,8%), memiliki persepsi terhadap biaya KB IUD mahal sebesar (53,4%), memiliki persepsi rasa kurang aman terhadap KB IUD sebesar (50,8%), dan memiliki persepsi informasi tentang KB IUD kurang cukup sebesar (59,3%). Wijayanti (2001), dalam penelitiannya tentang faktor sosial budaya dan pelayanan kontrasepsi yang berkaitan dengan kesertaan KB IUD menyimpulkan ibu malu menggunakan KB IUD/Spiral sebesar (21,3%) dan ibu menolak menggunakan KB IUD di pandang dari sudut agama sebesar (4,2%). Berdasarkan indikasi yang menunjukkan kecenderungan rendahnya partisipasi penggunaan atau pemakaian kontrasepsi IUD pada PUS di pengaruhi faktor budaya setempat. Dengan melihat fenomena-fenomena diatas faktor budaya PUS sangat
Universitas Sumatera Utara
memengaruhi dalam pengambilan keputusan untuk memakai kontrasepsi IUD. Oleh karena itu, melalui penelitian ini peneliti bermaksud untuk menganalisis faktor-faktor budaya (pengetahuan, kepercayaan, nilai dan kekerabatan) Akseptor KB yang menyebabkan masih rendahnya penggunaan kontrasepsi IUD di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.
1.2. Permasalahan Berdasarkan
uraian
pada
latar
belakang
diatas,
maka
dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut: apakah budaya Akseptor KB berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi IUD di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh budaya Akseptor KB (pengetahuan, kepercayaan, nilai dan kekerabatan) terhadap penggunaan kontrasepsi IUD di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh budaya Akseptor KB (pengetahuan, kepercayaan, nilai dan kekerabatan) terhadap penggunaan kontrasepsi IUD di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Manfaat penelitian 1.5.1. Bagi Puskesmas, Pemerintah daerah dan instansi, sebagai bahan masukan untuk merancang kegiatan promosi kesehatan tentang metode KB IUD. 1.5.2. Bagi pasangan usia subur (PUS) khususnya Akseptor KB mau menggunakan kontrasepsi IUD untuk kepentingan kesehatannya. 1.5.3. Secara teoritis, dapat menambah khasanah keilmuan khususnya kesehatan masyarakat terkait dengan penggunaan kontrasepsi IUD dan dapat sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara