20
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penurunan jumlah total hemoglobin atau sel darah merah yang disebut anemia masih merupakan masalah kesehatan bagi negara berkembang maupun negara maju yang berdampak terhadap pembangunan kesehatan sumber daya manusia, sosial dan ekonomi. Sekitar dua milyar atau sepertiga penduduk dunia menderita anemia dan 50% penyebab utama anemia adalah defisiensi besi, sehingga prevalensi anemia juga dianggap mewakili prevalensi anemia defisiensi besi (ADB). Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi berat. Menurut World Health Organization(WHO), secara global prevalensi defisiensi besi di negara berkembang dua sampai lima kali prevalensi anemia. Organisasi WHO menyatakan anemia mempengaruhi 1,62 juta orang di dunia (24,8%) (WHO, 2001; WHO, 2008; Johnson-Wimbley & Graham, 2011). Prevalensi defisiensi besi bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin dan kondisi fisiologis, patologis, lingkungan dan sosial ekonomi serta tahap kehidupan (WHO, 2001; Deegan et al., 2005). Salah satu kelompok yang rentan mengalami anemia adalah remaja putri dan hal ini terbukti dengan masih tingginya prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja putri. OrganisasiWHO (2008) melaporkan bahwa prevalensi anemia pada wanita tidak hamil yaitu 30,2% atau 468,4 juta orang. Prevalensi anemia pada wanita tidak hamil di kawasan Asia Tenggara (usia 15-49 tahun) adalah 45,7%, sedangkan pada anak usia sekolah (5-15 tahun) sebesar 13,6% (WHO, 2001). Tidak ada satupun wilayah di dunia bebas dari kejadian anemia, bahkan Amerika Serikat yang merupakan negara maju
mempunyai prevalensi defisiensi besi sekitar 9-11% wanita tidak hamil usia 16-49 tahun dan 2-5% diantaranya menderita anemia defisiensi besi (ADB) (Scholl et al., 2005).Indonesia memiliki prevalensi anemia pada wanita tidak hamil usia reproduktif mencapai 33,1%, lebih tinggi dari prevalensi anemia di dunia (WHO, 2008). Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa 63,4 juta dari jumlah penduduk Indonesia adalah remaja yang terdiri dari remaja putri sebanyak 31,2 juta jiwa (49,30%) (Wahyuni& Rahmadewi, 2011). Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004melaporkan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun sebesar 39,5%.Prevalensi anemia pada perempuan dewasa tidak hamil menurut provinsi dihitung berdasarkan kadar Hb yaitu Hb <11,28 g/dL (nilai rerata Riskesdas dikurangi 1 standart deviation (SD)dan kadar Hb <12 g/dL (berdasarkan nilai baku SK Menkes RI No.736a/1989). Terdapat perbedaan prevalensi anemia menurut kedua acuan baku tersebut, yaitu 11,3% menurut SK Menkes dan 19,7% menurut Riskesdas Tahun 2007. Berturut-turut mengacu pada batas kadar Hb normal SK Menkes dan Riskesdas Tahun 2007, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki prevalensi anemia pada perempuan > 14 tahun sebesar 20,9% dan 9,1%. Prevalensi anemia secara nasional setelah disesuaikan untuk kelompok perempuan, laki-laki dan anak-anak (adjusted for group) adalah sebesar 14,8% (menurut acuan SK Menkes) dan 11,9% (menurut acuan Riskesdas Tahun 2007). Terdapat 20 provinsi yang mempunyai prevalensi anemia lebih besar dari
12
13
prevalensi nasional,salah satunya termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta dengan angka prevalensi sebesar 15% (menurut acuan SK Menkes) dan 9,8% (menurut acuan Riskesdas)(Departemen Kesehatan RI, 2008). Hasil penelitian Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan Fakultas Kedokteran UGM tahun 2012 menunjukkan bahwa 34% dari 280 remaja putri/siswi SMA mengalami anemia. Hal ini disebabkan banyak terjadi kesalahpahaman mengenai diet di kalangan remaja (Pemerintah Kota Jogja, 2013). Data terbaru menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi anemia gizi besi secara nasional pada remaja usia 13-18 tahun sebesar 22,7%. Data-data tersebut mengindikasikan bahwa anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Kasus anemia di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kekurangan Fe sehingga disebut juga anemia gizi besi.Oleh karena itu, anemia gizi besi menjadi salah satu fokus dalam perbaikan gizi masyarakat selain defisiensi vitamin A dan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) (Kementerian Kesehatan RI, 2011).Departemen
Kesehatan
(2003)
mencanangkan
target
pengurangan
prevalensi anemia di bawah 20% bagi remaja.Upaya penanggulangan anemia di Indonesia memiliki tiga strategi, yaitu suplementasi besi, pendidikan gizi dan fortifikasi pangan (Depkes RI, 2003).Program suplementasi yang dilakukan pemerintah adalah Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) dengan target kelompok anak sekolah menengah (Depkes RI, 2005). Program bagi remaja putritelah dilakukan melalui promosi dan kampanye melalui sekolah dan pesantren secara mandiri dengan cara suplementasi zat besi dosis 1 tablet
14
seminggu sekali minimal selama 16 minggu, dan dianjurkan minum 1 tablet setiap hari selama masa haid.Strategi fortifikasi makanan mampu menurunkan prevalensi defisiensi besi secara global, meskipun begitu defisiensi besi masih merupakan masalah kesehatan yang cukup tinggi di masyarakat (Deegan et al., 2005).Tingginya angka kejadian anemia pada remaja putri menunjukkan bahwa program pemerintah belum berhasil menurunkan prevalensi anemia. Remaja putri di Pondok Pesantren juga mempunyai risiko terkena anemia,sedangkan di satu sisi mereka masih dalam proses belajar, tumbuh dan berkembang serta proses pematangan seksual yang sangat membutuhkan gizi yang berkualitas. Penelitian Wahyuni dan Basuki (2002)menemukan angka kejadian anemia pada remaja putri di pondok pesantren di Surabaya yaitu 65,5%. Penelitian lain di pesantren Tarbiyah Islamiyah Pasir Kecamatan IV Angkat Candung Sumatera Barat menemukan prevalensi anemia sebesar 39,6% (Isniati, 2007). Hasil survei Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri di Pondok Pesantren Darussalam, Desa Sumbersari Kecamatan Kepung menunjukkan dari 300 santri yang diperiksa darahnya, 82% menderita anemia (NUOnline, 2013). Asupan zat gizi santriwati di pesantren yang pernah diteliti masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan.Penyediaan makanan di pesantren pada umumnya sangat sederhana sehingga besar kemungkinan santriwati penghuni pesantren tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi mereka (Permaesih et al., 1988). Pengelola makanan di pondok pesantren biasanya bukan berasal dari latar belakang gizi sehingga menyebabkan perencanaaan menu belum memperhatikan kebutuhan gizi santri. Siklus menu makanan di pondok pesantren
15
juga tidak bervariasi terutama menu lauk pauk dan sayuran (Khasanah, 2010; Tika, 2012). Kondisi defisiensi besi merupakan suatu keadaan penurunan konsentrasi besi dalam tubuh, baik pada penyimpanan, sirkulasi, maupun dalam bentuk ikatan dengan heme sehingga dapat menyebabkan penurunan konsentrasi sel darah merah (Knutsonet al., 2010). Terdapat berbagai protein yang diperlukan untuk regulasi homeostasis besi dalam tubuh. Salah satu protein penting untuk homeostasis, distribusi dan konsentrasi besi di jaringan dan merupakan satusatunya eksporter besi seluler pada mamalia yang telah teridentifikasi adalah feroportin (FPN) (De Domenico et al., 2007).Feroportin merupakan suatu protein transporter yang banyak diekspresikan pada enterosit absorptif duodenal (basolateral subcellular localization), plasenta, jaringan makrofag hati (sel Kupffer), limpa dan sumsum tulang (Abboud, 2000; Yang, 2002; CanonneHergaux, 2005; Donovan, 2000). Transkripsi feroportin dapat diregulasi oleh hipoksia akibat defisiensi besi, transition metals, heme dan sitokin inflamasi (Donovan et al., 2000; Pietrangelo, 2004).Ekspresi feroportin menyebabkan penurunan besi sitosolik dan kadar feritin, sedangkan pelepasan besi yang diperantarai oleh eksporter feroportin akan meningkatkan kadar besi plasma (Nemeth et al., 2004; Cui et al., 2009). Ekspresi feroportin juga dipengaruhi oleh regio promoter gen FPN1. Pada 5
untranslate region (UTR) dari mRNA FPN1 terdapat iron responsive
element(IRE) fungsional (Mckie et al., 2000). Regio ini dikenali dan diikat oleh iron regulated protein (IRP) serta afinitasnya ditentukan oleh kadar besi sel.
16
Pengikatan IRP terhadap IRE terjadi saat jumlah besi rendah sehingga translasi protein feroportin menurun (McKenzie, 2010). Adanya variasi pada tempat pengikatan faktor transkripsi dapat mengganggu proses transkripsi sehingga terjadi disregulasi gen. Gangguan transport besi ini diduga dapat juga terjadi pada kasus-kasus lain yang melibatkan metabolisme zat besi, seperti anemia. Hallendorff (2008) secara in-silico pernah meneliti perubahan nukleotida G menjadi C pada promoter gen FPN1pada posisi -1355 dengan hasil adanya pengaktifan faktor transkripsi baru FOXC1 yang terikat pada 5’-IRE sehingga tetap terjadi translasi feroportin. Analisis promoter FPN1 pada posisi -1355G/C dihubungkan dengan metabolisme besi pada pasien Porphyria Cutanea Tarda (PCT) yang menyebabkan gangguan ekspor besi dan melibatkan protein feroportin pada individu dengan alel polimorfik.Alel polimorfik ini diprediksi berkaitan dengan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan atau melindungi dari penyakit (Panton, 2008). Di
Indonesia,
penelitian
terkait
polimorfisme
promoter
gen
feroportinFPN1-1355G/C pernah dilakukan pada wanita hamil di Surakarta. Frekuensi genotip GC+CC mencapai 100% pada wanita hamil dengan ADB dan 95,2%pada wanita hamil anemia tanpa defisiensi besi. Alel C merupakan faktor risiko ADB ibu hamil pada penelitian ini (Istiqomahet al., 2013).Menurut Data HapMap, frekuensi alel polimorfik 5’-UTRFPN1 -1355G/C (rs 3811621) pada populasi Asia sebesar 10,4-16,2%. Asupan makanan pararemaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhannya sehingga status zat besi dan kadar Hb pada
17
kelompok remaja putri dapat menjadi faktor predisiposisi anemia maternal (Hyderet al., 2001). Dengan mengetahui penyebab anemia defisiensi besi pada remaja diharapkan dapat mencegah dan mengurangi angka kejadiannya karena masa remaja merupakan masa terbaik untuk melakukan intervensi anemia defisiensi besi. Remaja putri merupakan calon ibu bagi penerus bangsa sehingga kesehatannya penting untuk diperhatikan termasuk mengenai anemia defisiensi besi.Pencegahan anemia dan defisiensi besi pada masa remaja tidak hanya mempunyai keuntungan bagi kesehatan dan kemampuan kognitif remaja tetapi juga bermanfaat bagi generasi di masa yang akan datang. Pentingnya peran gen feroportindalam regulasi status besi dalam tubuh dan efek gangguan perannya terhadap kejadian anemia defisiensi besi menjadikannya sebagai kandidat gen yang berpengaruh terhadap kejadian anemia defisiensi besi. Penelitian mengenai genetik penyebab anemia pada remaja putri terutama di Pondok Pesantren belum banyak dilakukan sehingga data yang tersedia sangat kurang. Oleh karena itu, penelitianuntuk mengetahui polimorfisme promoter gen FPN1 -1355G/C dan parameter status besi serta asupan zat besi pada remaja putri di Pondok Pesantren di Yogyakarta penting untuk dilakukan.
18
I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, permasalahan penelitian yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana frekuensi genotip dan alel polimorfisme promoter gen FPN11355G/C pada remaja putri Pondok Pesantren di Yogyakarta? 2. Apakah terdapat perbedaan rerata kadar Hb dan indeks eritrosit antara subyek genotip wild type (GG/alel G) dengan subyek genotip/alel polimorfisme (CC/alel C dan GC)? 3. Apakah terdapat perbedaan rerata kadar besi serum antara subyek genotip wild type(GG/alel G) dengan subyek genotip/alel polimorfisme (CC/alel C dan GC)? 4. Apakah terdapat perbedaan rerata kadar feritin serum antara subyek genotip wild type(GG/alel G) dengan subyek genotip/alel polimorfisme (CC/alel C dan GC)? 5. Apakah terdapat hubungan antara asupan zat besi terhadap kadar besi serum pada remaja putri Pondok Pesantren di Yogyakarta? 6. Apakah terdapat hubungan antara asupan zat besi terhadap kadarferitin serum pada remaja putri Pondok Pesantren di Yogyakarta? I.3. Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan mengkaji frekuensi polimorfisme promoter gen FPN1-1355G/C dan menilai asupan zat besi pada remaja putri.
19
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menganalisis polimorfisme promoter gen sebagai faktor risiko anemia defisiensi besi pada remaja putri di Yogyakarta. I.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui frekuensi genotip dan alel polimorfisme promoter gen FPN11355 G/C pada remaja putri Pondok Pesantren di Yogyakarta. 2. Menganalisis perbedaan rerata kadar Hb dan nilai indeks eritrosit dan red blood cell distribution witdh (RDW) antara subyek genotip wild type (GG) dengan subyek genotip/alel polimorfisme(CC dan GC/alel C). 3. Menganalisis perbedaan rerata kadar besi serum antara subyek genotip wild type(GG) dengan subyek genotip/alel polimorfisme(CC dan GC/alel C). 4. Menganalisis perbedaan rerata kadar feritin serum antara subyek genotip wild type(GG/alel G) dengan subyek genotip/alel polimorfisme(CC dan GC/alel C). 5. Menganalisis hubungan antara asupan zat besi terhadap kadar besi serum pada remaja putri Pondok Pesantren di Yogyakarta. 6. Menganalisis hubungan antara asupan zat besi terhadap kadar feritin serum pada remaja putri Pondok Pesantren di Yogyakarta. I.4. Keaslian Penelitian 1. Penelitian kohort yang dilakukan oleh Panton (2008) terhadap 74 orang penderita porphyria cutanea tarda (PCT) pada populasi Afrika Selatan menunjukkan bahwa regio promoter gen FPN1 -1355G/Cmempengaruhi metabolisme besi. Kelebihan zat besi merupakan faktor eksaserbasi utama
20
yang ditemukan pada 80% penderita PCT. Regio promoter diperiksa dengan teknik amplifikasi polymerase chain reaction (PCR), heteroduplex singlestranded conformational polymorphism (HEX-SCCP) analysis, restriction fragment lenght polymorphism (RFLP) analysis dan bi-directional semiautomated DNA sequencing. Frekuensi genotip polimorfisme -1355G/C populasi kulit hitam adalah 64% heterozigot (CG), 36% homozigot (CC), dan homozigot GG 0% sedangkan frekuensi varian alel Csebesar 31%. Pada populasi Kaukasia sebanyak 59% heterozigot (CG), 36% homozigot (CC) dan 5% mutan homozigot, sedangkan frekuensi varian alel G sebesar 34%. Kedua populasi menunjukkan perbedaan signifikan antara kelompok pasien dan kontrol. Penelitian tersebut tidak memeriksa nilai parameter status besi. 2. Penelitian terkait polimorfisme regio promoter gen FPN1 -1355G/C pernah dilakukan oleh Istiqomahet al.(2013) terhadap 74 orang wanita hamil di Surakarta. Genotip GC+CC mencapai 100% pada wanita hamil dengan ADB dan 95,2%pada wanita hamil dengan anemia bukan ADB serta tidak ditemukan subyek dengan genotip GG. Alel C merupakan faktor risiko ADB ibu hamil pada penelitian ini, meskipun frekuensinya lebih tinggi daripada alel G. Rerata kadar Hb dan indeks eritrosit subyek yang membawa alel C lebih rendah daripada alel G, meskipun kadar Hb tidak berbeda bermakna secara statistik. Pada subyek dengan genotip polimorfik, rerata kadar Hb dan indeks eritrosit lebih rendah dibandingkan wild type, sedangkan kadar sTfR lebih tinggi. Kadar hepcidin subyek yang membawa alel C lebih tinggi daripada alel G, meskipun begitu kadar hepcidin tidak bermakna secara statistik. Penelitian
21
ini menyimpulkan bahwa polimorfisme promoter gen FPN1 -1355G/C merupakan faktor risiko anemia defisiensi besi pada wanita hamil. Penelitian genetik tentang polimorfisme promoter gen FPN1 -1355G/C serta menilai hubungannya dengan parameter status besi pada remaja putri belum banyak dilakukan di Indonesia. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah subyek remaja putri usia 14-19 tahun, dilakukan pemeriksaan kadar besi serum, kadar feritin serum dan menganalisis hubungan asupan zat besi dengan kadar besi serum dan feritin serum. I.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai anemia defisiensi besi dan penyebabnya terutama pada remaja putri. 2. Manfaat klinis Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan dapat dipakai sebagai pedoman pemerintah untuk mencegah dan mengurangi kejadian anemia pada remaja putri serta dapat ditindaklanjuti dengan penanganan anemia yang efektif. 3. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan berkontribusi terhadap penambahan data spesifik mengenai variasi gen yang berperan terhadap anemia dan dapat menjadi dasar untuk kelengkapan pola genetik anemia pada remaja putri di Indonesia. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan individual therapy berdasarkan pendekatan nutrigenomik.