BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kondisi Negara Indonesia beberapa tahun terakhir ini sangat memprihatinkan. Begitu banyak permasalahan yang menimpa sebagian besar masyarakat Indonesia. Bermula dari krisis moneter, anjlognya nilai tukar rupiah terhadap Amerika Serikat sehingga mencapai Rp 12.000/$ AS menyebabkan munculnya krisis ekonomi. Sektor-sektor perekonomian yang banyak tergantung pada bahan baku import menjadi collapse dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dimana-mana (Waysima, 2008). Sementara Bupati Semarang Hj Siti Ambar mengatakan pada tahun 2005 lalu terdapat 7.574 lowongan kerja dan hanya mampu menyerap 2.509. Hingga akhir tahun 2006 jumlah tenaga kerja di Kabupaten Semarang yang masih menganggur mencapai kurang lebih 46 ribu orang pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka berada di tingkat 12,6 juta jiwa. Hal tersebut ditengarai karena rendahnya tenaga kerja sehingga tidak dapat menyerap tenaga kerja (Fathonah, 2005). Semakin tinggi tingkat pengangguran semakin tinggi pula tingkat kemiskinan di Negara ini. BPS (Badan Pusat Statistik) melaporkan bahwa pada tahun 1996 jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan atau status ekonominya rendah diperkirakan 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2% dari
1
jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan pada tahun 2006 angka kemiskinan di Indonesia menjadi 10,8% dan Berdasarkan data survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) akhir tahun 2007 jumlah penduduk miskin adalah 39,05 juta jiwa (17,75%) (Latif, 2005). Semakin banyak jumlah penduduk miskin dengan keluarga yang mempunyai anak sekolah menyebabkan para orang tua tidak mampu lagi membiayai sekolah anak mereka. Banyaknya data pengguran dan kemiskinan pada paragraf di atas maka dapat disimpulkan peningkatan anak putus sekolah dikarenakan ekonomi rendah di Indonesia pada tahun 2006 jumlahnya sekitar 9,7 juta anak, namun pada setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20% menjadi 11,7 juta jiwa. Menurut Sekjen Komnas perlindungan anak bahwa kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP yaitu 48%. Adapun di tingkat SD tercatat 23%, sedangkan prosentase jumlah putus sekolah ditingkat SMA adalah 29%. Kalau dikelompokan usia pubertas yaitu anak SMP dan SMA mencapai 77%. (Manurung, 2008). Dunia pendidikan sangatlah penting ditempuh oleh setiap manusia sejak dini. Menurut Andjayani (2008), pendidikan merupakan hak asasi setiap anak yang wajib diupayakan pemenuhannya oleh orang tua. Ironisnya semakin kesini pendidikan tidak dibilang murah lagi. Sekolah negeri sekalipun tetap saja ada tuntutan sejumlah uang yang tidak sedikit bagi sebagian orang. Gambaran tentang pendidikan gratis sampai jenjang tertentu belum terealisasi sepenuhnya. Investasi jangka panjang ini semakin tertinggal dalam
2
banyak hal, sehingga semakin tipis peluangnya menaikkan kualitas dan taraf hidup. Anak putus sekolah biasanya dikarenakan keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah. Menurut Ormord (2006) Status sosial ekonomi adalah kedudukan sosial ekonomi secara umum dari seseorang dalam masyarakat (dilihat dari pendapat keluarga, pekerjaan dan tingkat pendidikan). Latar belakang keluarga biasanya berkaitan dengan status sosial ekonomi keluarga. Status sosial ekonomi ini biasanya mempergunakan indikator pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orang tua (John Simmons & Leigh Alexander, 1983). Masyarakat yang berstatus ekonomi rendah pada kelangsungan hidup keluarganya terkadang akan mengalami kecemasan. Kecemasan merupakan rasa tidak nyaman sebagai bentuk manifestasi rasa ketakutan akan kehilangan sesuatu yang penting atau terjadinya peristiwa buruk dari kondisi yang ada sekarang. Bila kondisi ini berlangsung lama dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, antara lain lemas, pingsan, atau dapat memperburuk keadaan. Kecemasan yang berlarut-larut dan tidak terkendali dapat terjadinya respon defensive sehingga menghambat mekanisme koping yang adaptif (stuart & sunddeen, 1998). Kecemasan yang dialami keluarga biasanya lebih mengarah kepada kelangsungan pendidikan anaknya. Menurut hasil penelitian Astuti (2008) tentang sumber kecemasan orang tua masa kini di Jawa Tengah ada 28,2% responden yang memilih biaya pendidikan anak sebagai kebutuhan termahal yang harus dikeluarkan orang
3
tua, menyusul biaya kesehatan sebesar 13,3%. Sedangkan biaya lainnya seperti fasilitas, hiburan dan sejenisnya dianggap sebagai biaya termahal oleh 4,4% responden. Sebagian besar responden 75,5% mengatakan terkadang merasakan cemas kalau-kalau tidak bisa memenuhi kebutuhan anak terutama pendidikannya, sisanya 17,7% mengaku selalu merasa cemas dan hanya sebagian kecil 6,6% yang menjawab tidak pernah merasakan kecemasan sama sekali. Berdasarkan hasil wawancara pada Bapak Lurah di Kelurahan Rowosari Semarang diperkirakan bahwa anak yang mengalami putus sekolah terjadi di tingkat SMA kurang lebih 10%, adapun tingkat SMP kurang lebih 30%, sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SD mencapai 60%. Anak yang putus sekolah sebagian besar adalah orang tua yang tidak mampu lagi menyekolahkan anaknya dikarenakan biaya, sehingga anak mereka disarankan bekerja untuk membantu orang tua mencari nafkah, sedangkan hasil wawancara di kelurahan Rowosari dengan sebagian orang tua yang masih mempunyai anak yang masih sekolah maka didapatkan hasil bahwa ada orang tua yang mengalami tanda-tanda kecemasan dikarenakan pendidikan anak mereka yang disebabkan keadaan ekonomi kurang. Berdasarkan hasil penelitian di Kelurahan Rowosari Semarang tepatnya di RW 05 pada 65 orang tua yang mengalami tingkat kecemasan sebagian besar dalam kategori kecemasan sedang yaitu 37 orang (64,6%), dalam kategori kecemasan ringan yaitu 10 orang (15,4%), sedangkan dalam kategori tidak ada kecemasan yaitu 13 orang (20%).
4
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan hasil penelitian di atas tentang tingkat kecemasan orang tua yang masih mempunyai anak sekolah maka dapat disimpulkan bahwa “ada hubungan antara tingkat ekonomi dengan tingkat kecemasan orang tua yang mempunyai anak usia sekolah”
C. TUJUAN a. Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekonomi dengan tingkat kecemasan orang tua terhadap masa depan pendidikan anaknya. b. Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi status ekonomi masyarakat. 2. Mengidentifikasi tingkat kecemasan orang tua yang mempunyai anak usia sekolah. 3. Menganalisis hubungan antara status ekonomi dengan tingkat kecemasan orang tua yang mempunyai anak usia sekolah.
5
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Instansi Pendidikan : Sebagai masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan khususnya keperawatan jiwa komunitas tentang tingkat kecemasan. 2. Bagi Profesi Keperawatan : Sebagai bahan untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan di lapangan tentang tingkat kecemasan orang tua yang mempunyai anak usia sekolah. 3. Bagi Peneliti : Sebagai dasar penelitian lebih lanjut tentang mengetahui adanya tingkat kecemasan di masyarakat terutama pada orang tua. 4. Bagi Masyarakat : Dapat memberikan pemahaman masyarakat tentang adanya tanda dan gejala cemas pada orangtua terhadap keberlangsungan pendidikan anaknya.
E. BIDANG ILMU Penelitian ini dilakukan dalam bidang ilmu keperawatan jiwa komunitas.
6
7