BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada September 2007, Bank Indonesia (BI) melakukan sebuah Pilot Project Self Assessment
yang merupakan salah satu mekanisme yang
diterapkan untuk mengukur tingkat GCG pada 130 bank termasuk kantor cabang asing yang ada di Indonesia. Penilaian dilakukan pada 13 aspek dan dari 130 bank yang ditelaah, 12 bank memperoleh kategori yang sangat baik, 76 bank baik, 39 bank cukup baik dank 3 bank kurang baik. Lebih lanjut BI menyebutkan 53,5 persen bank di Indonesia belum memiliki Komisari Independen, 30,7 persen bank belum membentuk komite secara lengkap dan 18,8 persen bank belum memiliki jumlah komisaris yang lebih besar dari jumlah direksi. Dari penelitian Bank Indonesia tersebut menunjukkan bahwa GCG masih sebatas peraturan belum menjadi budaya organisasi, 69,3 persen bank yang beroperasi di Indonesia belum mematuhi ketentuan good corporate governance (GCG Ghufron dalam Sami‟ani 2008:18). Adanya kegagalan beberapa perusahaan dan timbulnya kasus malapraktik keuangan akibat krisis tersebut adalah bukti buruknya praktik Corporate Governance (CG). Menurut Pangestu dan Hariyanto (dalam Suprayitno dkk, 2004), karakteristik lemahnya praktik corporate
1
2
governance di Asia Tenggara adalah (1) adanya konsentrasi kepemilikan dan kekuatan insider shareholders (termasuk pemerintah dan pihak-pihak yang berhubungan dengan pusat kekuatan), (2) lemahnya governance sektor keuangan, dan (3) ketidakefektifan internal rules dan tidak adanya lindungan hukum bagi pemegang saham minoritas untuk berhadapan dengan pemegang saham mayoritas dan manajer. GCG juga menjadi isu penting di Indonesia yang merasakan dampak paling parah dari krisis tersebut dan masih berlanjut sampai saat ini. Disamping itu, banyaknya kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan emiten di pasar modal yang ditangani Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) menunjukkan rendahnya mutu praktik GCG di negara kita. Kasus ini melibatkan sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang menjadi auditor perusahaan tersebut ke pengadilan, meskipun KAP tersebut yang berinisiatif memberikan laporan adanya overstated (Tjager dkk., 2003). Dalam kasus ini terjadi pelanggaran terhadap prinsip pengungkapan yang akurat (accurate disclosure) dan transparansi (transparency) yang akibatnya sangat merugikan para investor, karena laba yang overstated ini telah dijadikan dasar transaksi oleh para investor untuk berbisnis. Penerapan good corporate governance juga menjadi permasalahan yang penting dalam dunia perbankan. Krisis keuangan yang melanda Indonesia tahun 1997 telah menghancurkan berbagai sendi perekonomian salah satunya perbankan yang mengakibatkan krisis perbankan terparah dalam sejarah perbankan.Tidak hanya berhenti sampai disitu, untuk
3
menunjukan keseriusannya terhadap isu corporate governance, pada tanggal 30 Januari 2006 Bank Indonesia (BI) mengeluarkan paket kebijakan perbankan yang lebih dikenal dengan istilah Pakjan 2006, yang isinya mengenai peraturan baru tentang pelaksanaan good corporate governance, bagi bank umum berupa Peraturan Perbankan Indonesia (PBI) Nomor 8/4/PBI/2006 yang kemudian diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 Corporate Governance
pada industri perbankan di negara
berkembang seperti halnya di Indonesia pada pasca krisis keuangan menjadi semakin penting mengingat beberapa hal. Pertama, bank menduduki posisi dominan dalam system ekonomi, khususnya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi ( King dan Levine dalam Sami‟ani 2008 :18). Kedua, di negara yang ditandai oleh pasar modal yang belum berkembang, bank berperan utama bagi sumber pembiayaan perusahaan. Ketiga, bank merupakan lembaga pokok dalam mobilisasi simpanan nasional.Keempat, liberalisasi sistem perbankan baik melalui privatisasi maupun deregulasi ekonomi menyebabkan manajer bank memilii keleluasaan yang lebih besar dalam menjalankan operasi bank ( Arun, Turner 2003 dalam Supriyatno 2006). Salah satu tujuan penting pendirian suatu perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pemiliknya atau pemegang saham, atau memaksimalkan kekayaan pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan. Peningkatan nilai perusahaan tersebut dapat dicapai jika
4
perusahaan mampu beroperasi dengan mencapai laba yang ditargetkan. Melalui laba yang diperoleh tersebut perusahaan akan mampu memberikan dividen kepada pemegang saham, meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hambatan-hambatan yang dihadapi perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan tersebut pada umumnya berkisar pada hal-hal yang sifatnya fundamental yaitu : (1) Perlunya kemampuan perusahaan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya secara efektif dan efisien, yang mencakup seluruh bidang aktivitas (sumber daya manusia, akuntansi, manajemen, pemasaran dan produksi), (2) Konsistensi terhadap sistem pemisahan antara manajemen dan pemegang saham, sehingga secara praktis perusahaan mampu meminimalkan konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara manajemen dan pemegang saham dan (3) Perlunya kemampuan perusahaan untuk menciptakan kepercayaan pada penyandang dana ekstern, bahwa dana ekstern tersebut digunakan secara tepat dan seefisien mungkin serta memastikan bahwa manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan. Untuk mengatasi hambatanhambatan tersebut, maka perusahaan perlu memiliki suatu sistem pengelolaan
perusahaan
yang
baik,
yang
mampu
memberikan
perlindungan efektif kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka dapat meyakinkan dirinya akan memperoleh keuntungan atas investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi, selain itu juga harus
5
dapat menjamin terpenuhinya kepentingan karyawan serta perusahaan itu sendiri. Kondisi yang dihadapi perusahaan-perusahaan publik di Indonesia masih lemah dalam mengelola perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh masih lemahnya standar-standar akuntansi dan regulasi, pertanggungjawaban terhadap para pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengurusan perusahaan. Kenyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan masih lemahnya perusahaanperusahaan publik di Indonesia dalam menjalankan manajemen yang baik dalam memuaskan stakeholders perusahaan. Dalam upaya mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, maka para pelaku bisnis di Indonesia menyepakati penerapan Good Corporate Governance (GCG) Corporate governance merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efesiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris, para pemegang saham dan stakeholder lainnya. Corporate governance juga memberikan suatu struktur yang memfasilitas penentuan sasaran-sasaran dari suatu perusahaan, dan sebagai sarana untuk menentukan teknik monitoring kinerja (Darmawati, 2004:3). Penerapan untuk tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dapat diartikan sebagai suatu proses yang digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan kualitas laba dengan memperhatikan kepentingan stakeholder yang berlandaskan peraturan undang-undang dan
6
norma yang berlaku. Laba merupakan suatu indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja operasional perusahaan. Baik kreditur atau pun investor menggunakan laba untuk mengevaluasi kinerja manajemen, memperkirakan earning power, dan untuk memprediksi laba dimasa yang akan datang. Good Corporate Governance atau tata kelola perusahaan yang baik membantu terciptanya hubungan yang kondusif dan dapat dipertanggung jawabkan diantara elemen dalam perusahaan (Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan para pemegang saham) dalam rangka meningkatkan kinerja keuangan. Dalam paradigma ini, Dewan Komisaris berada pada posisi untuk memastikan bahwa manajemen telah benar-benar bekerja demi kepentingan perusahaan sesuai strategi yang telah ditetapkan serta menjaga kepentingan para pemegang saham untuk meningkatkan nilai ekonomis perusahaan. Demikian juga komite audit mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam hal ini memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan seperti halnya menjaga terciptanya system pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya Good Corporate Governance. Mengingat bahwa akhir-akhir ini Corporate Govenance merupakan salah satu topik permasalahan sehubungan dengan semakin gencarnya publikasi tentang kecurangan (fraud) maupun keterpurukan bisnis yang terjadi akibat kesalahan yang dilakukan oleh para eksekutif manajemen, maka hal ini menimbulkan suatu tanda tanya tentang kecukupan Corporate Governance.
7
Good Corporate Governance itu sendiri memiliki beberapa aspek penting yang harus diperhitungkan oleh kalangan bisnis. Dan aspek-aspek ini diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan yang menjadi momok dalam perusahaan. Cash flow return on assets (CFROA) merupakan salah satu pengukuran kinerja perusahaan yang menunjukan kemampuan aktiva perusahaan untuk menghasilkan laba operasi. CFROA lebih memfokuskan pada pengukuran kinerja perusahaan saat ini dan CFROA tidak terikat dengan harga saham (Cornett dkk 2006:21). Laporan keuangan sebagai produk informasi yang dihasilkan perusahaan, tidak terlepas dari proses penyusunannya. Kebijakan dan keputusan yang diambil dalam rangka proses penyusunan laporan keuangan akan mempengaruhi penilaian kinerja keuangan. Menurut Theresia (2005:4) manajemen laba merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kinerja keuangan. Manajemen akan memilih metode tertentu untuk mendapatkan laba yang sesuai dengan motivasinya. Hal ini akan memperngaruhi kualitas kinerja yang dilaporkan oleh manajemen (Boediono, 2005:6) Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan maka penulis mengetahui bagaimana penerapan Good Corporate Governance dan kinerja keuangan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan judul “Pengaruh Good Corporate Governance
Terhadap
Kinerja
Keuangan
(Pada
Perusahaan
Perbankan Yang Terdaftar Pada Bursa Efek Indonesia Tahun 2013)”.
8
B. Perumusan Masalah
1. Adakah pengaruh Kepemilikan Institusi terhadap kinerja keuangan perusahaan perbankan? 2. Adakah pengaruh Proposi Dewan Komisaris Independen terhadap kinerja keuangan perusahaan perbankan? 3. Adakah pengaruh komite audit terhadap kinerja keuangan perusahaan perbankan ?
C. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini
GCG (Good Governnce
Governance ) diambil dalam tiga aspek yaitu Kepemilikan Institusi, Proporsi Dewan Komisaris Independen dan Komite Audit terhadap Kinerja keuangan yang diproksikan menggunakan cash flow return on asset (CFROA).
9
D. Tujuan Penelitian 1. Untuk menguji pengaruh Kepemilikan Institusi terhadap kinerja keuangan perusahaan perbankan? 2. Untuk membuktikan secara empiris pengaruh Komisaris Independen
Proposi Dewan
terhadap kinerja keuangan perusahaan
perbankan? 3. Untuk menguji pengaruh komite audit terhadap kinerja
keuangan
perusahaan perbankan?
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ganda, yaitu manfaat teoritis/akademis maupun praktis: 1. Manfaat teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran yang dapat menambah pembendaharaan pengetahuan mengenai pengaruh
Good Corporate Governance
terhadap kinerja keuangan perusahaan. 2. Manfaat praktis a. Bagi peniliti hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai saran untuk melatih berfikir secara ilmiah dengan berdasarkan pada disiplin ilmu yang telah diperoleh khususnya lingkup manajemen keuangan.
10
b. Memberikan gambaran mengenai Good Corporate Governance pada perusahaan perbankan dan faktor-faktor yang mendukung serta menghambat Good Corporate Governance, serta dapat menjadi masukan bagi perusahaan perbankan untuk melaksanakan Good Corporate Governance. c. Diharapkan dapat menambah khasanah perpustakaan dengan tambahan refrensi bagi penelitian selanjutnya mengenai Good Corporate Governance pada perusahaan perbankan.