BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesenian merupakan salah satu unsur budaya universal yang menjadi cerminan dari peradaban manusia pendukungnya. Macaryus (2008:105-106)
mengatakan
bahwa
dalam
komunitas
masyarakat
sederhana, seni cenderung dipandang sebagai ekspresi dan produk budaya yang berkaitan dengan sistem sosial masyarakat. Pendapat ini sesungguhnya terkait dengan seni yang menggandung nilai-nilai dan pengalaman estetika yang diwujudkan dalam perilaku atau aktivitas berkesenian yang dikembangkan oleh masyarakat, berikut beragam bentuk atau produk seni yang dapat dinikmati secara kasat mata. Wujud seni seperti tersebut di atas terefleksi pula dalam kesenian Tionghoa di Indonesia. Kesenian Tionghoa yang hadir dalam budaya Indonesia merupakan representasi dari pengalaman estetika, ide, nilai, dan cara pandang komunitas pendukungnya. Seni Tionghoa yang muncul dari rakyat atau disebut kesenian rakyat dapat dipahami sebagai dasar perilaku berpola dalam kelompok tertentu. Selanjutnya makna akan terwujud dalam sistem simbol budaya, yang secara umum dipandang sebagai kegiatan dan hasil karya seni (Wurianto, tanpa judul). Dari serangkaian tradisi atraksi budaya kesenian Tionghoa yang menggalami perubahan seiring perkembangan zaman dan yang “jatuh
1
bangun”. “Jatuh-bangun yang saya maksud berdasar pada saat terjadi pembelengguan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru terhadap budaya Tionghoa memberikan dampak negatif terhadap kesenian Tionghoa. Pada zaman tersebut para pemain wayang gantung tidak berani menampilkan kesenian ini secara terbuaka, mereka terpaksa mementaskan secara tersembunyi, contohnya mementaskan wayang gantung di atas pohon karet agar tidak terlihat. Namun pasca dicabutnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Inpres No 14/1967 mengatur jika tidak disebut sebagai melarang penyelenggaraan ibadat dalam agama/kepercayaan serta adat istiadat orang Tionghoa. Pasca pencabutan tersebut, kesenian orang Tionghoa
mulai
bangkit
kembali.
Kini
peristiwa
ataupun
yang
menghadirkan seni Tionghoa mulai marak. Beragam seni Tionghoa pun semakin familiar di kalangan masyarakat luas. Wayang gantung yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini yang hanya dapat ditemukan di Kota Singkawang. Berdasarkan infomasi yang diperoleh dari beberapa sumber bacaan diketahui bahwa wayang gantung dibawah dari daratan Cina (Tiongkok) sekitar tahun 1929. Wayang gantung terdiri atas boneka-boneka kayu beragam tokoh, yang dimainkan oleh dalang dengan cara menggerakkan benang yang diikat pada boneka-boneka tersebut. Dalam menceritakan lakon-lakonya di setiap pertunjukkanya, dalang menggunakan bahasa Tionghoa dialek Hakka. Lakon yang dipilih untuk dipentaskan cukup beragam,mulai dari
2
kisah-kisah klasik,
epos kepahlawanan, cerita roman dan jenaka.
Pertunjukkan wayang gantung konon didukung pula oleh penyanyi yang membawakan lagu-lagu berbahasa Mandarin dan iringan berbagai instrumen alat musik. (Haryodarmodo, http://www.qcritkarpol.com/wayanggantung-budaya-masyarakatsingkawang Wayang gantung pernah dipentaskan di Sejumlah kota di Indonesia, seperti Semarang, Surabaya, dan Jakarta, dalam perayaan imlek (tahun baru Cina) dan perayaancap go me(14hari setelah imlek). Pembelengguan seperti yang dijelaskan di atas membuat kesenian wayang gantung sekarang sudah tidak dipentaskan lagi di beberapa kota di Indonesia, karena beberapa faktor salah setunya yang telah dijelaskan (Haryodarmodo,http://www.qcritkarpol.com/wayang-gantung-budayamasyarakatsingkawang). Faktor tersebut menarik untuk dikaji sebab satu-satunya kota yang masih mementaskn seni wayang gantung hanya dapat ditemukan di Kota Singkawang. Hal ini menunjukkan eksistensi wayang gantung pada masyarakat Singkawang dan membuatnya menarik untuk diteliti sebagai bentuk dari ekspresi seni etnis Tionghoa. Bagaimana jalan cerita dan karakter dari tiap lakon, dan apakah benar perubahan lakon tersebut yang menyebabkan wayang gantung masih tetap eksis dikota Singkawang? Dengan beranjak dari pertanyaan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul. “Wayang Gantung; Potret Seni Etnis Tionghoa di Kota Singkawang”.
3
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka saya mencoba untuk mengkaji seni Wayang Gantung dengan rumusan pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk pertunjukkan Wayang Gantung (jalan cerita dan karakteristik lakonnya)? 2. Unsur-unsur apa yang bertahan dan berubah dari seni wayang gantung? 3. Apa fungsi kesenian wayang gantung bagi etnis Tionghoa di Kota Singkawang? 1.3.Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1) Tujuan Penelitian Mendeskripsikan bentuk, unsur-unsur penting dalam pertunjukkan wayang gantung serta menjelaskan fungsi-fungsi wayang gantung dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di Kota Singkawang. 2) Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna tidak hanya pada kajian antropologi, tetapi lebih dari itu kajian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dari penelitian lebih lanjut atau dengan topik serupa. Juga, penelitian ini dapat menjadi sumber acuan bagi pemerintah daerah, pengamat dan pelaku seni untuk menyusun strategi dan kebijakan dalam pelestarian dan pengembangan wayang gantung.
4
1.4 Kerangka Konseptual 1.4.1 Seni sebagai unsur kebudayaan Berbicara kesenian, tidak dapat dilepaskan dari konteks kebudayaan yang menjadi kesatuannya. Keterkaitan
ini disebabkan oleh karena
kesenian merupakan salah satu diantara unsur kebudayaan yang bersifat universal. Jadi sekecil atau sesederhana apapun kebudayaan suatu suku bangsa unsur kesenian ada di dalamnya. Menurut (Koentjaraningrat, 1990:203-204) setiap kebudayaan suku bangsa mencakup tujuh unsur umum (cultural universal), yaitu meliputi: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. Kesenian terdiri dari (a) seni patung, (2) seni relief, (c) seni lukis dan gambar, (d) seni rias, (e) seni vokal, (f) seni instrumental,(g) seni kesusastraan, (h) seni drama (Koentjaraningrat, 1985: 8). Semua benda atau peristiwa seni atau kesenian pada hakikatnya mengandung tiga aspek yang mendasar, yakni (1) wujud atau rupa (appearance),(2) bobot atau sisi (content, substance), dan (3) penampilan atau penyajian (presentation). Wujud menyangkut bentuk (form) dan susunan atau struktur. Bobot mempunyai tiga aspek yaitu suasana (mood), gagasan (idea) dan pesan (message), sedangkan penampilan menyangkut tiga unsur yaitu bakat (tallent), keterampilan (skill) dan sarana atau media (Djelantik, 1999: 17-18).
5
Dalam bukunya Koentjaraningrat (2002:380-381) menjelaskan bahwa kesenian terbagi dalam dua; seni rupa dan seni suara. Seni rupa adalah kesenian tentang menggambar, lukis, atau kesenian yang dinikmati menggunakan mata. Sedangkan seni suara jelas dinikmati melalui indra pendengaran. Lebih jauh Koentjaraningrat menjelaskan
bahwa, seni
wayang mencakup seni rupa dan seni suara, yang menurutnya bersifat tradisional yang pada akhirnya menjadi awal film yang bersifat modern. Dari itu, maka wayang gantung yang merupakan dari seni rupa dan seni suara, dalam pementasannya menggunakan kedua jenis kesenian tersebut. 1.4.2 Wayang Mastuti (2004:34) mengatakan bahwa jenis wayang Tionghoa,yaitu wayang potehi dan wayang kulit Cina-Jawa masuk ke dalam 28 jenis wayang yang diklasifikasikan oleh Guritno. Untuk melengkapi studi literatur, penulis mencoba memaparkan dua jenis wayang Tionghoa yaitu wayang pothei dan wayang kulit Cina-Jawa. Sedangkan penjelasan tentang wayang gantung tentunya akan ditemukan pada bab-bab berikut, mengingat wayang gantung menjadi tema penelitian ini. Wayang potehi berasal dari kata pou (kain), te (kantong), dan hi (wayang), adalah wayang boneka yang terbuat dari kain, atau berbentuk boneka kantong. Wayang ini dimainkan dengan cara memasukkan tangan dalang ke dalam kain atau kantong tersebut dan menggerakkanya sesuai lakon. (http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_Potehi). Wayang potehi dapat
6
di contohkan pada serial unyil. Beralih ke wayang kult Cina-jawa, Mastuti (2004) menjelaskan bahwa wayang kulit Cina-jawa dikenal pila dengan istilah wayang thithi. Kata thithi dari suara alat musik kepyak ( terbuat dari kayu berlubang) yang dimainkan dengan cara dipukul Dengan demikian, wayang diatas berbeda dengan jenis-jenis wayang di Indonesia. Berikut penjelasan singkat mengenai jenis wayang di Indonesia; 1) Wayang
kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang
terutama berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. 2) Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong bahasa
Jawa
adalah
wayang
yang
dimainkan
dengan
menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut.Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit
7
kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusiamanusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/ dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan. 3) Wayang Klitik (Kayu) (Jawa wayang klithik) adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang klitik berbentuk pipih seperti wayang kulit.Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit. Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata, repertoar cerita wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan. 4) Wayang suket merupakan bentuk tiruan dari berbagai figur wayang kulit yang terbuat dari rumput (bahasa Jawa: suket). Wayang suket biasanya dibuat sebagai alat permainan atau penyampaian cerita perwayangan pada anak-anak di desa-desa Jawa.Untuk membuatnya, beberapa helai daun rerumputan dijalin lalu dirangkai (dengan melipat) membentuk figur serupa wayang kulit. Karena bahannya, wayang suket biasanya tidak bertahan lama.
8
Sehingga penulis menarik kesimpulan bahwa yang membedakan wayang Tionghoa yaitu wayang potehi dan wayang kulit Cina-Jawa dengan jenis-jenis wayang yang ada di Indonesia dilihat dari segi alat musiknya dan pada saat wayang dipentasakan, pada saat wayang kulit Cina-jawa dipentaskan diiringi dengan alat musik tradisional Cina yang disebut kepyak (terbuat dari keyu berlubang) dimainkan dengan cara dipukul dan akan,sedangkan beberapa jenis wayang yang dikenal di Indonesia seperti wayang kulit, wayang orang, wayang klitik, dan wayang suket dipentaskan dan diiringi dengan berbagai alat musik khas jawa seperti gamelan, angklung, gong, dan kecapi serta dikukung oleh penyanyi (sinden). 1.4.3 Etnis Tionghoa Pius Caro dalam bukunya menjelaskan bahwa; “sejak abad ketiga para pelaut Cina dari dataran RRC sekarang, berlayar menyusuri pantai Asia bagian Timur ke Selatan, untuk berdagang”. Siswono Yudo Husodo selanjutnya menjelaskan; “pada saat-saat pertama datang ke pulau Jawa, banyak dari orang-orang Cina tersebut yang bertempat tinggal di Pantai Tuban, Surabaya dan Gresik”. Hal ini bisa dimengerti menggingat pelabuhan-pelabuhan besar dipulau Jawa yang baik untuk berdagang dengan Cina atau bertempat tinggalnya, semuanya terletak di sepanjang pantai Utara pulau Jawa, menghadap ke laut Cina Selatan. Akibatnya penduduk Cina terpusat di
9
sana dan bekas-bekas peninggalanya tersebut masih terlihat pada masamasa sekarang dengan adanya daerah-daerah pecinaan di pinggir pantai. Menurut beberapa literatur resmi di kalangan perguruan tinggi maupun yang diterbitkan dengan rekomendasi aparat pemerintah trtinggi di propinsi Kalimantan Barat, sejak abad ketiga para pelaut Cina dari daratan RRC sekarang berlayar menyusuri pantai Asia bagian Timur ke Selatan untuk berdagang. Dalam perjalanan pulang mereka menyusuri pantai Kalimantan Barat, serawak dan kepulauan Filipina (Pius Caro, halaman IV). Kedatangan orang-orang Cina di Kalimantan Barat pada abad ke XVIII melalui dua rute, yaitu: 1) menyusuri pantai Timur kontingen Asia (Indocina) terus ke Selatan ke pantai Timur Sumatera sampai pulau-pulau Bangka-Belitung terus ke pantai Kalimantan Barat terutama Sambas dan Mempawah. 2) Dari Utara melewati pantai Kalimantan bagian Utara (sekarang daerah Serawak, Brunei Darussalam dan Sabah) ke Paloh di pantai Kalimantan Barat terus ke pedalaman Sambas dan Mempawah Hulu (ibid). 1.4.4 Masyarakat Tionghoa Mely G . Tan 1981 dalam bukunya menjelaskan bahwa yang menjadi dasar dari perbedaan kultural golomgan-golongan sub etnis ini ialah linguistik; oleh bahasa (speech-group). Bahasa-bahasa dari ketiga golongan bahasa Hokkian, Hakka dan Katon. Pemakai bahsa satu tidak bisa mengerti bahasa lainnya, karena bahasa-bahasa itu saling berbeda
10
seperti bahasa itali dengan bahasa spanyol atau bahasa spanyol dengan bahasa porttugis. Orang Hokkian orang-orang Hokkian (hok ca), adalah orang Cina pertama kali yang bermukim di Indonesia dalam jumlah besar dan mereka golongan terbesar di antara imigran-imigran sampai abad ke 19 (ibid). disebelah selatan daerah asal orang Hokkian, terdapat golongan Cina berikutnya yaitu orang Teociu, mereka diam di pedalaman Swato dan sepanjang pantai Barat terutama di Pontianak dan distrik-distrik sekitarnya. Secara tradisional mata pencaharian dlam bidang pertanian sayur mayur. Namun pada perkembangan terakhir ini orang-orang Teociu menunjukkan kemajuan di segala bidang perdagangan. Orang Hakka orang hakka termasuk golongan bangsa Cina besar yang merantau keluar negri dan bukan merupakan bangsa maritim. Orang-orang hakka merupakan imigran yang paling melarat dari Tiongkok (ibid). sejak akhir abad ke 19 banyak orang hakka berdatangan di Jawa Barat, tertarik oleh cepatnya pertumbuhan kota jakarta dan dibukanya priangan untuk pedagang-pedagang Cina. Dari penjelasan diatas menyebutkan awal mula kedatangan orang Cina ke Indonesia, sedangkan mengenai orang- orang Tionghoa di kalimantan barat terdiri dari orang-orang khe (kek), Teociu (Tio Ciu), Hok Ca (hokkian dan Hainan). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa jika orang Tionghoa bermukim dalam jumlah yang cukup besar disuatu daerah sejak sebelum abad ini, maka masyarakat Tionghoa di stu terbagi dua
11
golongan yaitu golongan Tionghoa peranakan dan golongan Tionghoa totok. Mengenai istilah “peranakan” Siswono Yudo Husodo menjelaskan “Sebagian kecil dari pendatang asing ini menikah atau hidup bersama sebagai keluarga dengan orang-orang pribumi, sehinggah terbentuk golongan penduduk baru, golongan peranakan, turunan dari perkawinan campuran antara orang-orang pribumi dengan pendatang-pendatang asing. Bagian lain terdiri dari kaum imigran abad ke 20 dan keturunan langsung yang belum begitu beralkulturasi, dan orientasinya disebut sebagai golongan Tionghoa “Totok”. Mely G. Menjelaskan dalam bukunya disebut totok yaitu sebuah istilah bahasa Indonesia yang dalam arti sempit dipergunakan untuk menyebut tidak hanya kaum imigran yang dilahirkan di luar Indonesia, tetapi yang sering juga mempunyai arti lebih luas meliputi keturunan imigran, yang terutama sekali berorientasi ke negri asalnya,dalam hal ini Tiongkok. 1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Teknik Penentuan Lokasi Lokasi dalam penelitian yang akan saya lakukan adalah Kota Singkawang – Kalimantan Barat. Berdasar pemaparan diatas, di kota tersebut wayang gantung masih eksis dalam rangkaian acara Tahun Baru Tionghoa (Gong Xi Fat Cai), dan hal tersebut menjadikannya sebagai lokasi penelitian.
12
1.5.2 Teknik Penentuan Informan Berdasar pada penjelasan diatas, maka infoman dalam penelitian yang akan saya lakukan adalah mereka yang melaksanakan dan/atau ikut serta dalam penyelenggaraan capgomeh, yang lebih khusus pada Wayang Gantung. Penulis juga berupaya mencari informan pangkal (key informant) yang dianggap
manpu memberikan petunjuk lebih lanjut
tentang keberadaan orang-orang lain yang bisa dipertimbangkan sebagai informan untuk diwawancarai, sesuai dengan kapasitas mereka masingmasing dan kebutuhan penggumpulan data. Informan yang dijadikan sebagai sumber informasi melalui wawancara adalah: 1) Para pelaku yang terlibat langsung dalam pertunjukkan wayang gantung, seperti dalang dan pendukung pertunjukkan lainnya. 2) Pemerhati dan mengetahui
tokoh-tokoh budaya
kehidupan
sosial-budaya
Tionghoa,
terutama
masyarakat
yang
Tionghoa
di
Singkawang, termasuk tentang perkembangan wayang gantung. 3) Para penggembang kebijakan, baik yang berasal dari instansi pemerintahan (Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kota singkawang) maupun lembaga-lembaga kebudayaan Tionghoa. 1.5.3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian tentang wayang gantung di Kota Singkawang ini bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif. Artinya penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan kondisi atau gejala tertentu dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di Singkawang,
13
khususnya berkaitan dengan wayang gantung sebagai salah satu bentukbentukkesenian Tionghoa yang masih tetap bertahan di Kota Singkawang. Untuk mendapatkan data tersebut, saya menggunakan metode observasi partisipasi dengan pengamatan (observation) dan wawancara (interview) sebagai senjata utama. Metode observasi partisipasi atau pengamatan terlibat merupakan metode
yang
menekankan
keberadaan
peneliti
di
lapangan.
Ini
disebabkan pengamatan dan wawancara, akan dilakukan di lapangan dan bersamaan dengan para informan (tatap muka). Lebih jauh tentang pengamatan dan wawancara sebagai berikut. Pengamatan (observation) Pengamatan menekankan penggunaan mata, telinga serta perasaan pada saat berada di lokasi penelitian. Penekanan tersebut tercermin dalam buku karya Moleong (2000:127128), yang menekankan empat jenis pengamatan; berperanserta secara lengkap,
pemeranserta
sebagai
pengamat,
pengamat
sebagai
pemeranserta, dan pengamat penuh. Berdasar empat jenis pengamatan tersebut maka saya memilih untuk menerapkan pemeranserta sebagai pengamat yang difahami; “dimana peneliti selain sebagai pemeranserta juga tetap sadar akan posisi selaku peneliti” (ibid). Wawancara (interview) “cara mengumpulkan data atau informasi dengan langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti” (Bungin, 2001:157158).
14
Berdasar kutipan diatas maka, maka tehnik wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan tanya jawab langsung kepada informan dengan melihat daftar pertanyaan yang telah disediakan, seluruh pertanyaan diajukan kepada informan berupa pertanyaan terbuka memberikan peluang kepada penulis untuk dapat melakukan penggalihan keterangan lebih lanjut khususnya terhadap beberapa pertanyaan yang dianggap penting. Pertanyaan terfokus yang peneliti makasud ialah membantu peneliti dalam menentukan arah penggalian data melalui wawancara, agar keterangan yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitianDalam penerapan kedua metode diatas dan untuk mendapatkan data yang valid, diperlukan kedekatan dengan informan. Kedekatan tersebut diistilahkan rapport; adalah istilah yang digunakanuntuk menggambarkan, dalam istilah umum, hubungandari duaatau lebihorangyang berada disinkron ataupada gelombang yang samakarena merekamerasasama dan/atauberhubungan baiksatu sama lain(http://en.wikipedia.org/wiki/Rapport).
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Wayang Secara Umum Sebagian besar literatur yang membahas tentang wayang di Indonesia cenderung berfokus pada jenis-jenis wayang yang berkembang dalam kebudayaan Jawa dan Sunda. Sejauh ini tampaknya “gaung” dan wujud wayang kulit purwa (Jawa) dan wayang golek (Sunda) terasa lebih familiar di telinga dan mata masyarakat jika dibandingkan dengan jenisjenis wayang yang berasal dari budaya suku atau kelompok masyarakat lainnya. Padahal selain Jawa dan Sunda, budaya Bali, Sasak, Betawi, Palembang dan Banjar pun mengenal seni wayang. Secara umum pengertian wayang yang terdapat di Kamus Bahasa Indonesia adalah; “boneka tiruan orang dan sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang
dapat
dimanfaatkan
dalam
untuk
memerankan
tokoh
pertunjukkan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dan sebagainya), biasanya dimainkan oleh dalang”. Pengertian diatas serupa dalam pengertian lain tentang wayang; bahwa pengertian wayang dalam bahasa Jawa dan Melayu dapat diartikan sebagai „bayangan‟, atau dalam bahasa lain disebut dengan istilah bayeng(Aceh), wayang, bayang, atau bayang-bayang (Bugis), dan baying (Jawa Kuno) (dalam ibid). Namun selain pendapat di atas, terdapat pemikiran berbeda seperti yang dikemukakan oleh Kusumajadi (dalam Sunarto, 1989: 15), bahwa;
16
kata „wayang‟ berasal dari akar kata „wa‟ (tra atau turunan) dan „yang‟ (hyang, eyang kakek). Sementara Sri Mulyono (dalam Sunarto, 1989: 15) mengatakan bahwa; kata wayang berasal dari kata „yang‟ dan mendapat tambahan „wa‟, yang mana akar kata „yang‟ bisa berpadanan dengan kata‟yung‟ dan „yong‟. Akar kata ini terdapat pula dalam kata layang (terbang), doyang (miring/tidak stabil), royang (bergerak dari suatu tempat ke tempat lain), dan poyang-paying (berjalan sempoyongan, tidak tenang). Berdasarkan beberapa pendapat diatas, sangat wajar apabila pengertian wayang tidak dapat diterjemahkan ke dalam satu makna tunggal. Makna wayang-yang ditelaah dari asal katanya-telah melahirkan penafsiran yang beragam.J.T. Josowidagdo (dalam Sunarto, 1989: 15) mengatakan; wayang yang berasal bahasa Jawa, yakni ayang-ayang (bayangan), sesungguhnya mencerminkan pertunjukkan wayang itu sendiri. Penonton menyaksikan bayangan yang tersembunyi di balik kelir (tabir kain putih sebagai gelanggang permainan wayang). Relasi makna antara wayang dan bayangan juga ditemukan dalam beberapa sumber bacaan seperti wayang berasal dari kata wayangan atau bayangan yang berarti sumber ilham atau ide dalam menggambarkan wujud seorang tokoh/karakter manusia. Mengacu pada arti akar katanya, lebih lanjut Kusumajadi menjelaskan bahwa wayang adalah gambaran nenek moyang yang ada di dalam angan-angan manusia (dalam ibid). Sedangkan Skober (tanpa tahun) memperluas interprestasi makna wayang sebagai, dialek yang tak
17
bisa berhenti, atau suatu kegelisahan kreatif dalam paradigma serba tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak, kian-kemari. Pengertian Skober ini sejalan dengan pendapat Sri Mulyono yang telah dikemukakan diatas. 2.2. Wayang dalam Budaya Tionghoa Keberadaan wayang dalam budaya masyarakat
Tionghoa tidak
dapat dilepaskan dari tradisi perwayangan yang berkembang di China. Sumber-sumber bacaan yang diunduh oleh penulis dari internet, mengungkapkan berbagai jenis wayang yang dikenal dalam tradisi pertunjukkan pewayangaan di China (Chinese pupperty/Puppet Show), seperti (dikutip dari http://www.chinavista.com/experience/muou/muou.htm dan http:// library. Thinkquest.org/ 20443/pupperty.html); 1) Wayang yang terbuat dari blok kayu (rod-top puppet)berasal dari Guandong. rod-top-puppet dikatakan sebagai wayang yang paling populer di China. Tinggi wayang kurang dari 1 meter, dengan berat sekitar 2-3 kilogram. Boneka dimainkan oleh seorang dalang dengan cara mengangkatnya dengan satu tangan hinggah di atas kepala, sementara tangan yang lain dipergunakan untuk menggerakkan boneka tersebut. 2) Marionet (marionette) merupakan salah satu tipe yang paling umum dari boneka yang digerakkan dengan benabg (sring puppet). Wayang yang digerakkan dengan benang berasal dari Quanzhou dan Heyang. Bonekanya memiliki struktur yang lebih
18
rumit dibandingkan dengan boneka rod-top-puppetI, karena anggota tubuh boneka dibuat bersendi-sendi dan dilengkapi dengan benang pengontrol gerak boneka yang terpisah-pisah. 3) Wayang yang menyerupai sarung tangan (glove puppet) berasal dari Zhangzou. Tingginya sekitar 20 sentimeter dan dibentuk seperti kantong kecil, sehinggah memungkinkannya untuk dimasukkan ke dalam jari-jari dalang yang sekaligus berfungsi sebagai pembentuk tubuh mereka. 4) Wayang yang menampilkan bayangan boneka sebagai tontonan (shadow puppet)l. Pementasan wayang ini mengandalkan tembusan cahaya melalui layar atau lembaran kain, sehinggah boneka wayang yang ditampilkan menghasilkan siluet yang bisa dilihat oleh para penonton. Boneka wayang berukuran 8-12 inci, dibuat secara tradisional dengan bahan dasar dari kulit, sama seperti alat-alat parega pentas lain misalnya furnitur, pagoda, aula, dan tanaman. Penjelasan tentang jenis-jenis wayang Cina juga ditemukan dalam tulisan Mastuti (2004: 94) yang memaparkan tiga jenis wayang, yaitu: 1) Boneka teater Cina (wayang golek). Ditemukan di Provinsi Hunan, dengan kepala dan tubuhterbuat dari kayu (setinggi 5070 cm) yang dibalut pakaian berwarna warni. 2) Wayang kulit terbuat dari kulit kerbau yang diukir membentuk tokoh-tokoh tertentu, dan diberi warna-warna jaman dinasti Ming
19
(1368-1644). Pertunjukkan wayang kulit ini dikenal sejak jaman dinasti Song (960-1278) dan mengalami puncak kejayaan pada jaman dinasti Ming (1368-1644) sampai dinasti Qing (16441911). 3) Marionet adalah teater boneka seperti halnya wayang golek. Wayang-wayang ini dimainkan oleh 3 hinggah 4 orang dalang, dengan cara menggerakkan benang yang diikatkan pada jari-jari sang dalang. Ukuran boneka marionet lebih kecil dari wayang golek. Wayang ini sangat erat kaitanya dengan kegiatan religius dan dipertunjukkan sebagai sarana memuja para dewa, khususnya di daerah fujian. Bagaimana halnya dengan jenis-jenis wayang tionghoa yang berkembang
di
Indonesia?
Tampaknya
masih
sulit
menemukan
dokumentasi yang secara spesifik dan memuat data tentang jenis-jenis wayang tionghoa di Indonesia. Mastuti (2004:87) mengatakan bahwa jenis wayang tionghoa, yaitu wayang potehi dan wayang kulit Cina-Jawa tidak masuk ke dalam 28 jenis wayang yang diklasifikasikan oleh guritan. Demikian pula halnya dengan wayang gantung, beberapa tulisan menyebutkan bahwa jenis wayang ini tidak terdapat dalam buku peta wayang di indonesia dan direktori seni pertunjukan tradisional yang di publikasikan oleh departemen kebudayaan dan pariwisata. Untuk melengkapi studi literatur, penulis mencoba untuk memaparkan dua jenis wayang tionghoa yaitu; wayang potehi dan wayang kulit Cina-Jawa, yang
20
merupakan wujud nyata dari asimilasi budaya tionghoa dengan jawa. Sedangkan penjelasan tentang wayang gantung tentunya akan ditemukan pada bab-bab berikut, mengingat wayang gantung menjadi tema penelitian ini. Beberapa artikel singkat yang diunduh dari internet menyajikan informasi yang nyaris sama mengenai wayang potehi.salah satunya adalah mengenai istilah „potehi‟ yang disebut berasal dari kata poo (kain), tay (kantung) dan
hie (wayang). Jadi ,potehi dapat diartikan sebagai
wayang yang terbuat dari kain, atau berbentuk boneka kantong. Wayang ini di mainkan oleh dalang dengan cara memasukkan tangan kedalam kantong tersebut dan menggerakan sesuai lakon. Wayang potehi pertama kali masuk ke wilayah Nusantara melalui para imigran Tiongkok sekitar abad 16 hingga 19. Anugrah (2009:11) mengatakan bahwa wayang potehi dibawa oleh warga Hokkien dari daratan China yang bermigrasi ke wilayah di sekitar Laut Selatan. Mulamula wayang ini berkembang di Batavia, sementara di Semarang pertama kali dimainkan tahun 1772. Mastuti (2004) memcatat periode kejayaan wayang potehi di sekitar tahun 1930-an sampai 1960-an. Dari segi bahasa pengantar dalam pertunjukkan, wayang potehi menggunakan bahasa Melayu dan kini bahasa Indonesia. Adaptasi kultur masyarakat jawa, khususnya dibidang kesenian terhadap wayang potehi dapat terlihat dari proses adopsi tokoh-tokoh yang dimainkan di dalam wayang potehi
21
ke dalam pertunjukkan seni
ketoprak. Awalnya sumber cerita yang mengispirasikan tokoh atau lakon wayang potehi berasal dari khasanah sastra Tiongkok, seperti mitos dan legenda, kisah kepahlawanan, atau roman sejarah. Namun dalam perkembangannya lakon-lakon wayang potehi tersebut ditemukan pula dalam lakon Ketoprak Jawa, seperti tokoh Lie Sie Bien menjadi Prabu Lisan Puro, Sie Jin Kwie menjadi Joko Sudiro, Kerajaan Thai Toy Tong menjdi Kerajaan Tanjunganom, dan lainnya. Dari segi bahasa pengantar dalam pertunjukkan, wayang potehi menggunakan bahasa Melayu dan kini bahasa Indonesia. Beralih ke wayang kulit Cina-Jawa, Mastuti (2004) menjelaskan bahwa wayang kulit Cina-Jawa dikenal pula dengan istilah wayang thithi. Kata thithi berasal dari suara alat musik kepyak (terbuat dari kayu berlubang) yang jika dipukul akan mengeluarkan suara thi…thi…thi… di telinga orang Jawa. Jenis wayang ini mulai dikenal di Yogyakarta pada tahun 1925 sampai dengan sekitar 1967. Jadi dapat disimpulkan bahwa wayang potehi muncul dan berkembang di Nusantara (Indonesia) lebih dulu dibandingkan wayang kulit Cina-Jawa. Tokoh kunci yang berjasa dalam penciptaan wayang kulit CinaJawa adalah Gan Thwang Sing. Selain menjalankan peran sebagai dalang, Gan Thwang Sing juga menulis sendiri lakon cerita wayangnya yang bersumber dari folklor Cina Kuno. Pada naskah-naskah lakon yang disusun oleh Gan Thwang Sing digunakan bahasa dan askara Jawa. Nama para tokoh dalam lakon, negara, kerajaan, kadipaten, khayangan,
22
dan lain-lain ditulisnya menurut nama asli ( dalam bahasa Cina dialek Hokkian), dengan istilah-istilah kepangkatan, jabatan, gelar, dan lain-lain, yang sebagian besar mempergunakan istilah-istilah Jawa. Sama seperti bentuk-bentuk kesenian Tionghoa di Indonesia lainnya, pentas pertunjukkan kedua jenis wayang ini meredup sejak diberlakukanya Inpres No. 14/1967 yang membatasi-atau bahkan melarang-perayaan hari-hari raya etnis Tionghoa, termasuk penggunaan bahasa Tionghoa, dan pelaksanaan adat istiadat Tionghoa di depan umum. Kondisi tersebut di atas setidaknya memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan kedua jenis wayang Tionghoa. Hanya wayang potehi yang hingga kini masih bertahan sementara wayang kulit Cina-Jawa sudah tak terdengar lagi seiring dengan wafatnya Gan Thwang Sing di tahun 1966. Akan halnya wayang potehi, dari tulisan yang dilansir kompas (11 Februari 2007) dalang wayang potehi diperkirakan tinggal dua puluhan orang. Pada umumnya dalang-dalang ini adalah orang Jawa asli, selain Thio Tiong Gie. Intensitas pertunjukan wayang potehi mungkin tidak setinggi jenis-jenis wayang lain yang berakar dari budaya Jawa dan Sunda. Namun wayang potehi secara rutin yang berakar dari budaya Jawa dan Sunda. Namun wayang potehi secara rutin masih dipentaskan saat imlek di beberapa klenteng yang tersebar di Jawa. Berdasar penjelasan diatas penulis mencoba mengguraikan unsurunsur penting Yang terdapat dalam pertunjukkan wayang gantung.
23
2.3. Unsur Pokok dalam Pertunjukkan Wayang Sebagai salah satu bentuk dari seni pertunjukkan, wayang dapat disebut sebagai teater total; seni drama, musik (vokal-instrumen), rupa, gerak (tari), dan sastra bisa diramu menjadi satu kesatuan dalam suatu pertunjukan wayang (Darmoko,2004:126). Lebih lanjut digambarkan pula bahwa kandungan penting lain dalam pertunjukkan wayang yaitu: (1) Efek-efek yang terdengar dan terlihat (audio-visual effect); (2) Artis pendukung atau pendukung pertunjukkan (dramatis persona); dan (3) Perlengkapan (equipment). Unsur yang dianggap paling berperan dalam suatu pergelaran wayang adalah dalang. Menurut Skober, kata dalang dalang dapat dianggap sebagai bentuk pengulangan dengan disimilasi bentuk akar kata lang. dalam bahasa Melayu, sesuai pula dengan bahasa Jawa, lalang berarti “berkeliling, memutari, mengelilingi.” Beranjak dari pengertian ini, dalang
dapat
diartikan
sebagai
seseorang
yang
berkeliling
mempertunjukkan wayang di sana-sini, sekaligus sebagai penggerak kehidupan yang diwakili melalui boneka dan lakon dalam wayang (http://blogs.unpad.ac.id/tantiskober).
Dalang
adalah
sutradara
yang
sekaligus berperan sebagai penutur kisah/cerita, pembaca lagu, dan pemandu bagi para pendukung pertunjukan. Von Groenendel (dalam Mulyana, 2008:67) mengatkan bahwa dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya. Mulyana menambahkan di zaman dahulu seorang dalang seringkali diposisikan sebagai media
24
penghubung antara manusia dengan jagat besar (makro-kosmos), atau antara komunitas dengan dunia spiritual. Hal ini dapat dipahami, karena cenderung sulit untuk memisahkan pertunjukkan wayang dengan aspek ritual yang berkaitan dengan religi/kepercayaan masyarakatpendukungnya. Meskipun di era yang lebih modern wayang mengalami pengayaan dalam fungsinya, perubahan ini tidak serta merta memudarkan peran dalang dalam pertunjukkan wayang. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalang diharapkan dapat memainkan beragam peran, baik sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang maupun kritikus sosial. Selain dalang sebagai tokoh sentral dalam pergelaran wayang lakon juga menjadi unsur penting lain. Lakon yang dikisahkan dalam wayang dipandang sarat dengan filosofi dan nilai-nilai mendasar, baik mengagambarkan warna kehidupan manusia maupun sifat/karakter manusia yang menghuni jagad raya. Tokoh-tokoh yang menjadi bagian dari lakon dalam pertunjukkan wayang mengandung perlambangan atau merefleksikan situasi atau kondisi tertentu dalam kehidupan manusia. Sejak awal perkembangannya, lakon-lakon yang dibawahkan dalam pergelaran wayang Jawa mengadaptasikan dua epik besar, yaitu Mahabarata dan Ramayana, dengan cabang-cabang ceritanya. Namun tentu saja, lakon ynag dikisaahkan dalam wayang Tionghoa berbeda dengan wayang Jawa. Dari beberapa sumber bacaan dijelaskan bahwa wayang potehi memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik
25
daratan China, seperti kisah legenda dinasti-dinasti atau mitos/legenda masyarakat Tiongkok. Sebut saja, legenda atau cerita tentang Sam Kok, San Pek Eng Tai, Li Si Bin, Sin Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Cauw Kok, Poei Sie Giok, Loo Thon Sauw Pak. Pertunjukan wayang mengenal adanya pembabakan. Pembagian babak ini dapat dimaknai secara filosofi sebagai evolusi spiritual (dikutip dari http://warta.pepadi.com). Wayang Jawa mengenal adanya tiga babak besar, yaitu: (1) Pathet Nem merupakan prolog atas kejadian yang akan terjadi sebagai lambang dari kelahiran. (2) Pathet Sanga merupakan babak di saat seseorang tokoh berusaha menyelesaikan masalah dan munculnya para punakawan dengan kata-kata penuh canda yang sarkastis. Babak ini adalah lambang dari dari masa orang dewasa memandang masalah, memilih dan menetapkan nilai bagi dirinya. (3) Pathet Manyura (Burung Merak) metupakan fase akhir yang memaparkan kesimpulan akhir dari panggal perjalanan hidup. Demikian pula halnya dengan wayang kulit China-Jawa, memiliki pembabakan yang serupa dengan tiga babak dalam wayang Jawa (wayang kulit purna). Sedangkan pembabakan dalam wayang potehi mungkin bisa disebut sebagai penyampaian cerita secara serial. Terhadap kisah-kisah tertentu yang baru disampaikan setelah tiga bulan lamanya. Jika pembabakan dalam pertunjukkan wayang potehi mengacu pada waktu pergelaran, wayang potehi juga mengenal pembabakan dengan membedakan lakon yang dimainkan di waktu siang dan malam hari (Mastuti, 2004:156-157).
26
2.4. Fungsi Wayang Wayang dapat berfungsi sebagai identitas yang menunjukkan jati diri dan kepribadian masyarakat pendukungnya. Makna-makna simbolis yang terkandumg di dalam wujud wayang, peralatan pergelaran, ataupun lakon yang dikisahkan merupakan karya atau ciptaan manusia. Seperti yang dikatakan Mulyana (2008:165), wayang-wayang yang berakar dari budaya jawa merupakan sebuah lambang yang berbicara dalam filsafat Jawa. Dengan demikian, unsur-unsur yang ada dalam pertunjukkan wayang mengandung nilai-nilai filosofi maupun mistis yang tinggi serta kaya
dengan
interprestasi,
sesuai
dengan
budaya
masyarakat
pendukungnya. Wayang sarat pula dengan fungsi ritual. Mastuti (2004:143) menggambarkan tentang fungsi wayang potehi dan wayang kulit CinaJawa
sebagai
sarana
ritual
bagi
masyarakat
Tionghoa
dalam
menyampaikan segala hal yang berhubungan dengan Sang Pencipta, seperti pengaduan gagal usaha, ungkapan rasa syukur, penderitaan dan kegembiraan hidup melalui pertunjukkan wayang. Bahkan, wayang potehi yang digelar di Klenteng kadang-kadang hanya ditunjukkan untuk memuja para dewa dan roh para leluhur, sehinggah keberadaan para penonton tidaklah
begitu
Sa‟Tjiptorahardjo berkesempatan
penting.
Dalam
konteks
(2007) mengatakan untuk
mengingat
yang
bahwa
kembali
serupa
pertunjukkan wayang
arwah
melakukan hubungan dengan penguasa kehidupan.
27
hampir
leluhurnya
dan
Wayang dianggap efektif sebagai sarana komunikasi dalam menyampaikan kritik sosial ataupun pesan-pesan pembangunan Wayang adalah slah satu bentuk kesenian tradisional yang telah berakar kuat dalam kebudayaan masyarakat, sehinggah relatif memiliki kedekatankedekatan nilai, kepercayaan, dan tradisi masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu wayang berpotensi untuk menyampaikan pemikiran opini, konsep, ide, atau ekspresi pemikiran kritis lain yang bertujuan untuk melakukan perbaikan dalam kehidupan sosial(Mulyana, 2008:168). Bagi masyarakat berada dalam susunan stratifikasi sosial yang cukup tajam, secara sosial wayang memiliki posisi istimewa karena ia dianggap sebagai salah satu bentuk kesenian yang mampu menjembatani sekat-sekat yang ada (dikutip dari http:warta.pepadi.com). Fungsi wayang yang tak kalah pentingnya adalah fungsinya sebagai sarana edukasi. Menurut Mulyana (2008:172), pesan-pesan yang disampaikan dalam pertunjukkan wayang sarat dengan nilai kemanusiaan dan berbagai pemikiran filosofi yang disampaikan para tokohnya. Dengan menonton waynag, kita diajak aktif berfikir untuk memilah-milah, di manakah posisi kita saat ini. Sindiran, teguran, atau kritik yang disampaikan melalui lakon yang kebetulan mirip dengan kisah kehidupan seseorang, seringkali membuka kesadaran akan kesalahan yang telah dilakukan. Wayang telah berkontribusi dalam proses pendewasaan masyarakat dengan jalan membekalinya mereka dengan konsepsikonsepsi yang mudah dihayati dan diresapkan dalam mengatasi berbagai
28
persoalan hidup. Dengan merenungkan simbol-simbol yang terkandung dalam pertunjukkan wayang, manusia dapat belajar untuk menemukan hakikat hidup, memperbaiki hubungannya dengan Yang Maha Kuasa, serta meneladani kisah atau sifat-sifat baik yang tergambar dari lakon yang dibawakan.
29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Asal Usul Wayang Gantung di Singkawang Tidak mudah untuk menemukan informasi yang akurat mengenai kapan sesungguhnya kesenian wayang gantung mulai dikenal dan berkembang di Singkawang. Beberapa artikel dan informan nyaris memberikan keterangan yang sama, bahwa orang yang pertama kali membawa kesenian wayang gantung dari daratan China (Tiongkok) adalah Ajo atau A Jong, tepatnya pada 1929. Sejauh ini tampaknya keterangan tersebut cenderung dijadikan sebagai penjelasan yang paling sering ditemukan. Namun dari penelusuran yang dilakukan oleh penulis, diperoleh informasi berbeda berkaitan dengan awal mula berkembangnya kesenian wayang gantung di Singkawang. Selain tahun 1929 seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat sebuah artikel di media elektronik yang menyebutkan bahwa wayang gantung pertama kali dipentaskan di Singkawang sekitar tahun 1914, dengan menggunakan bahasa Tionghoa (Kedaulatan Rakyat Online, 19 Mei 2008). Salah seorang informan yang ditemui penulis bahkan meyakini, di tahun 1911 wayang gantung sudah dipentaskan di depan umum. Informasi lain yang berhasil dihimpun oleh penulis, baik dari artikel maupun pernyataan informan, ada yang tidak menyebutkan angka tahun secara pasti. Namun diperkirakan usia kesenian wayang gantung di antaranya mengacu pada usia boneka yang dipergunakan dalam
30
pementasan berkisar antara 70 hingga 100 tahun. Berdasarkan sejumlah keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa setidaknya wayang gantung telah dikenal dan berkembang di Singkawang sejak paruh pertama abad ke-20. Berkenaan dengan nama tokoh yang memperkenalkan wayang gantung pertama kali, selain Ajo atau A Jong, muncul pula nama Li Tung Jin yang disebut sebagai seniman wayang gantung pertama di Singkawang. Namun informasi ini lagi-lagi belum bisa dijadikan sebagai satu-satunya penjelasan yang tepat tentang awal kemunculan wayang gantung di Singkawang. Tai Siuk Jan, seorang informan yang masih aktif menjadi pelaku seni wayang gantung, nyatanya lebih mengenal Ajo sebagai pemain musik kecapi. Sementara Li Tung Jin disebut sebagai seseorang yang ahli di bidang sandiwara atau opera (seperti wayang orang), sekaligus memiliki kemampuan menjadi dalang wayang gantung. Masih menurutnya, Li Tung Jin pun memiliki seperangkat boneka wayang gantung yang dibawanya dari Tiongkok. Selain mengajar sandiwara atau opera, konon Li Tung Jin lah yang mengajarkan teknik-teknik memainkan wayang gantung kepada beberapa orang lain Singkawang. Beberapa di antara murid-murid Li Tung Jin ini memiliki keturunan, yang selanjutnya merintis
berdirinya
perkumpulan-perkumpulan
wayang
gantung
di
Singkawang. Versi berbeda diperoleh dari informan lain yang menjelaskan bahwa Li Tung Jin adalah tokoh yang memperkenalkan aliran baru dalam kesenian wayang China, sebutlah ia sebagai seorang pembaharu.
31
Namanya lalu diabadikan oleh Ajo sebagai nama sebuah perkumpulan kesenian tradisional, yang aktivitasi mencakup permainan musik kecapi, sandiwara atau opera (nyew hi), seni akrobatik (hew hi) dan wayang gantung (chiao thew hi). Sayangnya, penulis belum mampu mendapatkan penjelasan yang lebih memuaskan tentang siapa sesungguhnya orang yang pertama kali memperkenalkan wayang gantung di Singkawang. Dari hasil wawancara dengan seorang informan diperoleh keterangan bahwa kreator waya gantung adalah perantau bersub-etnis Hakka yang datang dari daerah selatan Tiongkok, dan selanjutnya menetap di Singkawang. Perantau tersebut dipastikan telah memiliki keterampilan/keahlian memainkan wayang sejak sebelum tiba di Singkawang, bahkan bisa jadi ia memang berprofesi sebagai dalang di negara asalnya. Setelah tiba di Singkawang, orang tersebut mengembangkan dan menyebarluaskan keahliannya dalam mendalang masyarakat di sekitarnya. Sejak saat itulah permainan wayang dengan cara menggerakkan boneka yang digantung dengan talitali benang mulai memasyarakat. Mata budaya ini dikenal dengan istilah wayang gantung atau dalam istilah setempat disebut dengan chiao thew hi. Di daratan China sendiri, tradisi pewayangan yang menggunakan boneka yang digerakkan dengan tali benang (string puppet) berkembang di Provinsi Fujian (Fujien). Adakah korelasi antara Provinsi Fujian yang merupakan daerah asal string puppet dengan wilayah penyebarannya di
32
Singkawang? Meskipun masih memerlukan kajian lebih lanjut, tetapi hal ini dimungkinkan mengingat sebagai dari para migran yang datang ke Borneo Barat berasal dari Provi Fujian di sebelah selatan Tiongkok. Terlebih di Provinsi Fujian bagian pedalaman (Tiongzhou) juga terdapat orang Hakka-sama seperti mayoritas orang Tionghoa yang ada di Singkawang-meskipun hai sedikit dari mereka yang bermigrasi ke Borneo Barat
(Heidhue
2008:17).
Salah
seorang
informan
menguatkan
kemungkinan ini. Dikatakannya, meskipun sebagian besar kelompok imigran yang data dari Tiongkok ke Singkawang berasal dari sub-etnis Hakka ya berasal dari Provinsi Guangdong, tetapi secara geografis letak Provinsi
Guangdong
dan
Fujian
saling
berdekatan.
Lebih
lanjut
dijelaskannya bahwa konon sebagian dari kelompok sub-etnis Hakka yang tinggal
di
daerah-daerah
pegunungan
atau
pedalaman
Provinsi
Guangdong merupakan migran dari Provinsi Fujian. Dari berbagai sumber di media elektronik diperoleh informasi bahwa string puppet yang berkembang di Provinsi Fujian tersebut biasanya disebut juga dengan Quanzhou String Puppet penamaa Quanzhou merujuk pada nama daerah tempat di mana Provinsi Fujian berada atau marionet (marionette), atau kuileixi.
Dipentaskan pertama
kali di Provinsi Fujian pada zaman Dinasti Han, lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Di masa itu pementasan marionet terkait era dengan sistem kepercayaan masyarakat, karena peran-peran yang dibawakan ditujukan untuk berkomunikasi dengan para dewa. Marionet berkembang sebagai
33
sebuah seni pertunjukan di masa Dinasti Tang (http://english. cri.cn/4026/ 2008/12/03/1261s429274.htm). Sementara itu, selama masa Dinasti Song marionet mencapai kejayaan dan meraih popularitasnya,diantarakaum ningrat dan rakyat jelata(http://China.Chinaa2z.com/China/html/historyandculture/2008). Sesuaidenganpenyebutannya,boneka kayu yang dipergunakan dalam pertunjukan string puppet dikendalikan melalui gerakan-gerakan tali benang yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari boneka tersebut. Dalang dapat menggerakkan boneka berukuran 2,5 kaki ini dengan cara menarik tali benang atau memindahkan jemarinya dari satu tali benang ke tali benang yang lain. Tali benang tersebut dicantelkan ke sebuah papan pengontrol gerak yang dipegang oleh dalang dengan salah satu tangannya. Selama pertunjukan, dalang akan mengontrol gerak wayang dari belakang layar. Sekilas Quanzhou String Puppet memiliki kemiripan dengan wayang gantung Singkawang, terutama dari segi tampilan fisik, cara memainkannya dan lakon-lakon yang dibawakan. Namun apakah ini berarti bahwa wayang gantung merupakan salah satu varian dari string puppet yang terdapat di Provinsi Fujian? Informasi yang dimiliki penulis belum memadai untuk memastikan korelasi di antara kedua jenis wayang ini.Beralih ke masa awal perkembangan wayang gantung di Singkawang, diketahui
bahwa
masa
kejayaan
wayang
gantung
terjadi
sejak
dipentaskan pertama kali hingga sekitar tahun 1960-an. Periode ini ditandai dengan tingginya animo masyarakat dan maraknya pementasan
34
wayang gantung di Singkawang. Beberapa informan menggambarkan bagaimana suasana pementasan wayang gantung di masa itu. Hampir di setiap perayaan-perayaan penting, baik yang berkaitan dengan perayaan keagamaan
maupun
daur
hidup
seseorang,
dimeriahkan
dengan
pementasan wayang gantung. Panitia perayaan; ataupun keluarga yang mampu mendanai pementasan wayang gantung akan menggelar pementasan tersebut secara terbuka. Siapapun boleh datang dan menyaksikan tanpa dipungut bayaran, sehingga dapat dipastikan di setiap pementasan wayang gantung jumlah penontonnya selalu membludak. Pihak pengundang umumnya hanya menyediakan panggung dan beberapa kursi yang diperuntukkan bagi tuan rumah dan tamu-tamu atau undangan khusus. Sementara penonton lainnya ada yang membawa kursi sendiri, ataupun menyaksikan pertunjukan dengan cara duduk di atas papan-papan yang dipasang mengitari panggung, malah terkadang rela duduk beralas tanah. Oleh karena itu sangat wajar jika di masa kejayaan wayang gantung ditandai dengan kemunculan beberapa perkumpulan yang dengan setia memenuhi undangan-undangan pementasan di daerah ; Singkawang dan sekitarnya. Keterangan yang diperoleh dari informan tentang riwayat berkembangnya perkumpulan wayang gantung di Singkawang cukup bervariasi. Ada informan yang menyebutkan bahwa pada awalnya hanya ada satu perkumpulan wayang gantung di Singkawang, yaitu perkumpulan yang dipimpin oleh Li Tung Jin. Namun
35
dalam perkembangannya, perkumpulan tersebut pecah menjadi beberapa perkumpulan lain. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya permintaan untuk pementasan yang tidak mungkin dipenuhi oleh satu perkumpulan saja. Selain itu, adanya keinginan dari anggota perkumpulan untuk mengembangkan karakter wayang gantungnya sendiri, juga ditengarai menjadi pemicu perpecahan tersebut. Keterangan berbeda menyebutkan bahwa murid-murid Li Tung Jin tidak pernah membuat perkumpulan baru, mereka tetap setia menyelenggarakan pertunjukan wayang gantung dalam satu pentas yang sama dengan Li Tung Jin. Di kemudian hari para murid Li Tung Jin mewariskan keahlian mereka pada keturunan berikutnya. Dari keturunan murid Li Tung Jin inilah lahir perkumpulanperkumpulan baru di Singkawang. Di samping itu, adapula dalang-dalang pendiri perkumpulan yang secara langsung mempelajari wayang gantung dari guru-guru mereka yang berasal dari Tiongkok, sehingga sama sekali tidak memiliki hubungan guru-murid dengan Li Tung Jin. Berdasarkan keterangan dari Chin Nen Sin dan istrinya, penulis memperoleh informasi tentang empat perkumpulan wayang gantung di Singkawang, yang saat itu mengiringi periode keemasan wayang gantung. Keempat perkumpulan tersebut adalah: (1) Perkumpulan Jung Thian Cai dipimpin Li Tung Jin; (2) Perkumpulan Jun Sien Cai dipimpin Bun Tet Min; (3) Perkumpulan Jun Sien Cai dipimpin oleh Chong Ci Song; dan (4) Perkumpulan Shin Thian Cai dipimpin oleh Chin Jat Cin. Menurut keterangan salah seorang informan, Bun Tet Min
36
dan Chin Jat Cin tidak pernah belajar mendalang secara langsung dengan Li Tung Jin. Kedua perkumpulan inipun berlokasi di pinggiran kota Singkawang, yaitu di Sungai Ruk (perkumpulan Jun Sien Cai) dan Lirang (perkumpulan Shin Thian Cai). Berbeda dengan perkumpulan wayang gantung pimpinan Li Tung Jin dan Chong Ci Song yang berada di "pusat kota" Singkawang. Kini hanya tinggal perkumpulan Shin Thian Cai yang masih bertahan, dengan Chin Nen Sin (anak dari Chin Jat Cin) sebagai pimpinannya. 4.2. Unsur-unsur Yang Bertahan dan Berubah Pada Seni Wayang Gantung. Banyak hal menarik di balik pementasan wayang gantung yang dapat diungkapkan, di antaranya berkaitan dengan boneka-boneka yang dipergunakan dalam pementasan wayang gantung serta dalang yang menghidupkan
boneka
tersebut
ke
dalam
sebuah
pertunjukan.
Pementasan wayang gantung yang mengagumkan merupakan hasil dari pertimbangan yang matang dalam memilih peran dan detil cerita yang akan ditampilkan, seraya tak melepaskan perhatian pada unsur-unsur pendukung pementasan. Fleksibilitas dalam memilih lakon dan mengisi bagian akhir pertunjukan serta keluwesan gerak boneka, berpadu dengan nilai-nilai sakral yang diwujudkan melalui serangkaian ritual dan "kegaiban" yang terjadi di luar panggung pertunjukan. 1) Boneka Wayang: Dari Wujud Fisik Hingga Kekuatan Adikodrati Secara kasat mata, pertunjukan wayang gantung nampak seperti teaterboneka pada umumnya. Dimana terdapat pembagian peran dan
37
mengkisahkan kehidupan. Boneka-boneka yang ditampilkan di pentas berukuran sekitar 70-80 cm,atau kira-kira setinggi paha orang dewasa. Menurut keterangan beberapainforman, boneka yang berkualitas baikdibuatdarikayuChongsu.Tidakjelas apa nama ilmiah atau sebutan lokal lain bagi kayu ini, tetapimenurutparainforman kayu Chongsu adalah sejenis kayu keras, tahanterhadap airdan serangan binatang (serangga) pemakan kayu. Namun karena kayutersebut semakin sulit didapat, adapula yang pernah membuat boneka darikayu Jelutung (Dyera spp.).
Gambar1: Beberapa bentuk boneka wayang gantung (Dok. Pribadi) Tidak semua boneka yang dipergunakan dalam pementasan wayang gantung Singkawang dibawa dari Tiongkok. Konon hanya Li Tung Jin saja yang membawa seluruh bonekanya dari Tiongkok. Chin Nen Sin dan istrinya mengatakan mereka mewarisi boneka yang dibuat sendiri oleh ayah dan abang kandung Chin Nen Sin. Boneka buatan ayah dan abang kandung Nen Sin merupakan hasil peniruan (imitasi) terhadap boneka yang dimiliki Li Tung Jin. Boneka-boneka inilah yang hingga
38
sekarang dipergunakan saat pementasan. Pembuatan boneka baru ini dimaksudkan untuk mengganti boneka-boneka lama yang sudah lapuk atau rusak, serta untuk menambah banyaknya koleksi dan keragaman peran yang dapat dimainkan. Pembuatan boneka baru praktis tidak pernah lagi dilakukan, setidaknya dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perawatan terhadap boneka dilakukan sebatas membersihkan dan mengecat kembali boneka-boneka lama yang telah kusam atau pudar warnanya. Baju-baju boneka yang sudah rusak parah sedapat mungkin diganti, atau dijahit kembali jika koyak dan terlepas jahitannya. Seperti layaknya sebuah boneka yang menyerupai sosok manusia, setiap kepala boneka memiliki wajah yang dirias dengan beragam warna dan rambut tiruan, sehingga masing-masing wajah menampilkan karakter yang berbeda-beda. Selain wajah dan rambut, setiap boneka dilengkapi pula dengan pakaian dan aksesori tambahan lain yang memperkuat karakter dan menjadikan tampilannya semakin mirip dengan gambaran dewa, manusia, atau makhluk-makluk lain yang diwakilinya. Keunikan
boneka
wayang
gantung
terdapat
pada
bagian
kepala yang bisa dilepaskan dari bagian tubuhnya. Oleh karena itu, dalang dapat dengan mudah menukar bagian kepala boneka dengan bagian kepala boneka yang lain, jika menginginkan adanya pergantian demikian
tokoh
dalam
memungkinkan
pementasan.
Struktur
boneka
seperti
seseorang (dalang) tidak perlu memiliki
koleksi bagian tubuh boneka sebanyak bagian kepalanya. Chin Nen
39
Sin, contohnya, menyebutkan bahwa koleksi bonekanya terdiri atas 20-an bagian tubuh dan 50-an bagian kepala. Bagian kepala boneka inilah yang biasanya mengalami penambahan (dibuat baru) sesuai dengan kebutuhan atau pengembangan ide cerita. Gerakan boneka dikontrol oleh keberadaan tali benang yang terdapat pada anggota tubuh tertentu dari boneka kayu tersebut. Jumlah tali benang di setiap boneka bisa lebih dari 15 helai. Seluruh tali benang yang terdapat pada boneka tersebut tersambung dengan sejenis panel pengontrol yang terbuat dari potongan bambu besar berbentuk khas.
Di
kedua
sisi
panel
terdapat
lubang-lubang
kecil
untuk
menyangkutkan tali benang. Panel pengontrol dilengkapi dengan dua pegangan yang terbuat darisebilah bambu yang diletakkan pada bagian atas dan salah satusisinya.
Gambar2: cara memainkan wayang gantung Saat menggerakkan wayang, salah satu tangan dalang akan memegang panel pengontrol. Sementara satu tangan yang lain berperan mengatur gerak wayang dengan cara menarik dan mengulur tali benang dengan teknik-teknik tertentu yang harus dikuasai dengan baik. Kombinasi 40
gerakan tarik-ulur pada tali benang yang secara apik dioperasikan oleh dalang menyebabkan anggota tubuh boneka bergerak pula dalam sebuah keteraturan. Gerakan-gerakan tersebut umumnya dapat terlihat dengan jelas pada bagian kaki, lutut kaki, lengan tangan, telapak tangan, pundak, punggung, kepala dan mulut boneka. Selain bentuk fisik dan gerakan boneka wayang gantung yang mengundang perhatian banyak orang, terdapat cerita-cerita supernatural di baliknya yang cenderung tidak dapat dipisahkan dari keberadaan boneka-boneka tersebut. Hampir seluruh informan yang mengetahui tentang wayang gantung mengenal adanya sebuah boneka yang dianggap sebagai pemimpin atau ketua bagi boneka-boneka lainnya. Boneka yang dijuluki Tai Tu Si (Thian Nyian Shai) itu bertubuh besar, berperut gendut dan berambut cepak. la menggunakan baju biru yang tidak dikancing, bercelana putih dan memakai ikat pinggang warna merah. Pemimpin atau ketua boneka ini selalu ditempatkan pada posisi yang lebih istimewa dibandingkan boneka lainnya. Bahkan menurut keterangan seorang informan, tidak mudah mendirikan sebuah perkumpulan wayang gantung baru apabila roh leluhur belum turun kepada pemimpin boneka ini. Dengan kata lain, sebuah perkumpulan harus memiliki sosok pemimpin atau ketua boneka yang telah dirasuki oleh roh dari alam gaib. Saat disimpan di dalam peti/kotak penyimpanan, pemimpin atau ketua boneka ini harus diletakkan pada posisi teratas. Biasanya diletakkan berdampingan dengan sebuah boneka
41
yang menggambarkan sosok perempuan, yang dijuluki Shiau Kiau Moi. Kesalahan dalam meletakkan boneka di peti penyimpanan diyakini akan mendatangkan kemarahan Tai Tu Si, sehingga tali-tali benang yang terdapat pada boneka menjadi kusut dan menghambat jalannya pementasan.
Gambar3: (10 benang pada boneka berfungsi menggerakan kepala, tangan, dan kaki ). Kekuatan adikodrati yang tersimpan pada boneka juga terkuak dari cerita terselamatkannya seluruh koleksi boneka wayang yang dimiliki oleh Chin Nen Sin saat terjadinya peristiwa kebakaran yang menghanguskan seisi rumahnya3. Percaya atau tidak, cerita yang santer berkembang di masyarakat adalah tentang upaya penyelamatan diri yang dilakukan oleh boneka dengan cara keluar dari peti penyimpanan. Bahkan, ada warga di sekitar lokasi rumah yang terbakar mengaku mendengarkan teriakan minta tolong yang diyakini berasal dari boneka-boneka itu. Bonekaboneka itu pun luput dari kebakaran, karena berhasil diselamatkan oleh warga. Cerita lain yang dituturkan oleh para informan mengungkapkan 42
peristiwa-peristiwa gaib di balik panggung yang terjadi di tengah-tengah pementasan. Misalnya tentang boneka dan dalang yang tiba-tiba kerasukan roh yang tidak dikehendaki, ataupun tali benang boneka yang mengalami kekusutan karena sebelum pementasan tidak melakukan ritual dengan semestinya. Penghormatan terhadap boneka wayang gantung ditunjukkan melalui persembahan yang secara khusus disajikan saat membuka peti penyimpanan boneka4 dan ritual sembahyang yang dilakukan saat menutup
peti penyimpanan.
Aktivitas-aktivitas ini pada
umumnya
dilakukan di altar tertentu (berlokasi di tempat tertentu), yang dipercaya sebagai tempat turunnya roh kepada pemimpin atau ketua boneka. Ritual persembahan dan sembahyang kepada dewa juga dilakukan sebelum pementasan wayang gantung dimulai. Pada dasarnya, ritual-ritual yang selalu ditandai dengan pembakaran hio ini ditujukan untuk menghormati tiga dewa (Sam Nen Sai), yaitu Thien Nen Sai, Kok Nen Sai dan Thiau Nen Sai, serta roh-roh leluhur yang ditampilkan dalam sosok boneka kayu. 2) Dalang, Tokoh Sentral di Balik Pementasan Dalam istilah bahasa Tionghoa dialek Hakka, dalang disebut dengan chiao thew ciu nyin, yang secara umum dapat diterjemahkan sebagai orang yang menarik-narik atau menggerakkan boneka wayang gantung. Untuk menjadi dalang yang mumpuni
selain membutuhkan
bakat atau talentadiperlukan proses belajar dan berlatih yang dilakukan secara kontinu.
43
Gambar4: Dalang dan Tokoh Sentral (Chin Nen Shin 67 tahun) ketua perkumpulan Shin Thian Cai dan Pat Jim Pan) Seseorang dapat menguasai teknik dasar dalam memainkan boneka wayang gantung setelah mempelajarinya selama lebih kurang 6 bulan. Namun mengingat kemampuan memainkan wayang gantung mengutamakan keterampilan gerak tangan, maka semakin sering berlatih dan
tinggi
jam
terbang
seseorang,
akan
semakin
tinggi
pula
kemampuannya dalam mengendalikan gerak boneka. Setelah sekian lama berlatih dan menekuni profesinya, tidak jarang seorang dalang dapat menemukan gerakan-gerakan baru yang kelak akan menjadi ciri khas dalam setiap penampilannya. Jika mengamati pementasan wayang gantung yang memesonakan, rasanya tak mudah percaya bahwa gerak boneka-boneka tersebut semata-mata bertumpu pada keterampilan dalang dalam mengontrol tali-tali benang yang ada pada tubuh boneka. Kemampuan dalang memilih tali benang yang tepat, serta kelincahan dalam memindah-mindahkan tangan serta jemarinya dari
44
satu tali ke tali benang lain, membuat gerakan boneka terlihat sangat hidup. Apalagi terdapat gerakan-gerakan tertentu yang tidak mungkin hanya dimainkan oleh satu orang dalang. Tentu dituntut koordinasi antara dalang yang satu dengan dalang yang lain, sehingga kedinamisan dan keharmonisan gerak boneka selalu terjaga. Seorang informan yang berprofesi sebagai dalang menjelaskan bahwa terdapat teknik-teknik dasar untuk menggerakkan boneka yang wajib dikuasai oleh seorang dalang. Misalnya saat boneka diposisikan berdiri di atas panggung, tubuh boneka itu harus benar-benar tegak. Bagian lututnya tidak boleh tertekuk dan ujung kakinya tidak boleh terjuntai. Contoh lain adalah saat mengatur gerakan langkah boneka. Dalang harus mampu membuat gerakan boneka laki-laki terkesan gagah saat berjalan, dengan langkah-langkah kaki yang lebar dan menghentak. Sedangkan boneka perempuan langkah kakinya dibuat lebih pendekpendek, disertai dengan gerakan yang lembut. Berdasarkan dokumentasi pertunjukan wayang gantung yang disaksikan penulis, terlihat beberapa gerakan yang mungkin tergolong sederhana. Beberapa gerakan tersebut antara lain, seperti; membengkokkan lengan tangan, menggerakkan telapan tangan, menggerakkan mulut, menggoyangkan kepala, memutar arah boneka, mengatur gerakan kaki boneka sehingga boneka dapat bergerak/ berjalan, serta membuat boneka menunduk, membungkuk dan melompat. Gerakan-gerakan
45
tersebut tampaknya merupakan gerakan dasar, sehingga hampir dapat dipastikan akan muncul di setiap pementasan. Dalam lakon-lakon tertentu, atraksi boneka tidak jarang dijadikan sebagai daya tarik utama bagi penonton. Misalnya, adegan di kala dua buah boneka duduk di atas kursi sambil minum menggunakan gelas, ataupun adegan peperangan/perkelahian yang menuntut kemampuan dalang memainkan senjata berbentuk tongkat kayu. Sebuah atraksi yang hingga kini mampu menyedot kekaguman para penonton adalah adegan permainan barongsai yang tampil bersama dengan sesosok boneka manusia. Gerakan tiruan barongsai dan boneka pendampingnya itu berlangsung dalam tempo yang cepat, aksi gaya boneka berubah-ubah dan sangat variatif. Pada setiap pementasan, dalang yang berperan menghidupkan peran dan kisah yang dibawakan, jumlahnya lebih dari satu orang. Mereka berdiri di balik layar, hanya tangan mereka yang tampak menyembul keluar. Sulit untuk menyebutkan kisaran jumlah yang pasti, karena banyaknya dalang berkorelasi erat dengan banyaknya peran yang dimainkan dalam sebuah adegan. Contohnya, untuk menggerakkan barongsai yang berukuran sekitar satu meter, dibutuhkan setidaknya dua orang dalang untuk mengendalikan gerakan barongsai dan satu orang dalang lain untuk memainkan tokoh Sabo yang menyertai kemunculan barongsai itu. Dalam salah satu adegan yang menceritakan kisah penyelamatan oleh para ksatria, jumlah boneka yang tampil bersamaan di
46
atas panggung bisa mencapai enam buah boneka. Oleh karena itu, diperlukan enam orang dalang untuk mengendalikan gerak setiap boneka tersebut. Meskipun tidak ditemukan adanya skenario tertulis yang secara detil menuntun penampilan dalang di dalam setiap adegan, tetapi masingmasing dalang wajib menguasai peran dan lakon yang dimainkan. Terlebih dalam sebuah pementasan, seorang dalang bisa memainkan lebih dari satu peran secara bergantian. Di antara sekian banyak dalang yang tampil bersama-sama dalam sebuah pertunjukan wayang gantung, terdapat satu orang dalang yang bertanggung jawab sebagai sutradara. Pada umumnya dalang yang ditunjuk sebagai sutradara ini merupakan dalang yang paling disegani, karena keterampilan mendalang dan penguasaannya terhadap lakon yang ditampilkan dianggap lebih tinggi. Sutradara berfungsi untuk mengatur pembagian tugas antar-dalang dan mengoordinasi jalannya pertunjukan. Kemampuan yang wajib dimiliki dalang tidak hanya sebatas keterampilannya mengendalikan gerak boneka. Seorang dalang yang baik juga harus mampu berkomunikasi secara lisan dengan penonton. Dalang akan berbicara sesuai dengan peran yang dibawakan oleh boneka yang sedang
dimainkannya.
Pembicaraan
itu
dapat
dibangun
melalui
percakapan antara seorang dalang dengan dalang yang lain, ataupun antara dalang dengan para penonton. Warna suara dan intonasi saat dalang berbicara sangat tergantung dengan peran yang dibawakan dan konteks cerita. Seperti layaknya manusia, warna suara antara boneka
47
yang memainkan peran perempuan, laki-laki, orang tua, anak muda, dewa, raja, dan tokoh lainnya, dibuat berbeda-beda. Intonasi pun berubah-ubah sesuai dengan suasana hati dan ekspresi yang hendak dimunculkan dari setiap peran yang dimainkan. Misalnya, suara dalang berubah menjadi lirih ketika memainkan peran yang sedih, atau menjadi lebih keras ketika marah atau sedang bersemangat. Pembicaraan dan percakapan tersebut terkadang diselingi pula dengan kalimat-kalimat yang disampaikan melalui nyanyian-nyanyian singkat. Membicarakan tokoh dalang dalam kesenian wayang gantung tidak bisa dilepaskan dari sosok Chin Nen Sin. la adalah dalang senior sekaligus ketua perkumpulan Shin Thian Cai, satu-satunya perkumpulan wayang gantung yang hingga kini masih tetap eksis di Kota Singkawang. Chin Nen Sin dilahirkan di Singkawang, tanggal 6 Juli 1942. Sejak usia 10 tahun mulai mengenal wayang gantung dan belajar memainkan wayang gantung di bawah bimbingan ayahnya. Usianya yang masih anak-anak belum memungkinkannya berpentas bersama ayahnya yang menjadi pemimpin perkumpulan wayang gantung saat itu. Bakat yang dimiliki Nen Sin terus menerus dipupuk. Di usianya yang ke-15, ayahnya khusus mengundang dua orang guru wayang gantung dari Tiongkok. Nama kedua guru (sifu) Nen Sin ini adalah Chai Piang Shu dan Ho Lim Fu.5 Selama lebih kurang satu tahun lamanya Nen Sin mengasah keterampilan memainkan wayang gantung. Saat berusia sekitar 17 tahun, Nen Sin
48
sudah diikutsertakan ayahnya untuk tampil bersama dalam pementasanpementasan, sebagai seorang dalang pemula. Tampaknya Chin Nen Sin dibesarkan dalam keluarga seniman. Banyak kalangan menyebutnya sebagai generasi keempat dari generasigenerasi sebelumnya, yang mencoba mengembangkan wayang gantung di Singkawang. Kakeknya yang konon belajar wayang gantung dari Li Tung Jin mewariskan kemampuan tersebut kepada Chin Jat Cin, ayah Nen Sin. Tidak hanya Nen Sin yang mahir mendalang, abang kandungnya yang telah meninggal, kabarnya juga memiliki kemahiran yang sama. Banyak pula orang-orang yang berguru kepada abangnya ini. Sejak dahulu mereka tinggal dan menghidupkan wayang gantung dari sebuah desa kecil bernama Lirang, yang berlokasi di sebelah selatan Kota Singkawang (kini berada di Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan). Setelah rumah yang ditinggali Nen Sin dan keluarganya di Lirang terbakar pada tahun 2008, mereka pindah ke Jalan Bun Fui, Singkawang. Hingga kini koleksi boneka dan perangkat pementasan lainnya tetap disimpan di sebuah rumah tua yang ditempati oleh salah satu abangnya. Letak rumah itu di sekitar lokasi rumah Nen Sin yang sudah terbakar. Nen Sin adalah anak bungsu yang dilahirkan dari rahim seorang perempuan bernama Bong Muk Kiau. Di usianya yang ke-28 ia menikah dengan Tai Siuk Jan, yang berusia tujuh tahun lebih muda darinya. Perkawinantersebut membuahkan sembilan orang anak. Sebelum belajar
49
mendalangj dari Nen Sin, istrinya adalah seorang pemain sandiwara atau opera. Sayangnya, tidak ada satupun anak kandung Nen Sin yang tertarik mengikuti jejak ayahnya, menjadi dalang wayang gantung. Salah seorang anak perempuannya terkadang ikut tampil bersama perkumpulan Shin Thian Cai, tetapi mengambil peran sebagai penyanyi pendukung pementasan. Perkumpulan Shin Thian Cai yang dipimpin Nen Sin memiliki sekitar 12 orang yang bisa mendalang. Jika ditilik dari usianya, rata-rata mereka tak lagi terbilang muda, yaitu di antara 50-60 tahun. Kemampuan para dalang ini pada umumnya berasal dari didikan Nen Sin. Dalangdalang yang menjadi anggota perkumpulan Shin Thian Cai berdomisili dalam sebaran lokasi yang relatif jauh, seperti di daerah Lirang, Sungai Raya, Kopisan, Semparuk dan Mak Jantu. Dalai keseharian, para anggota perkumpulan ini larut dalam aktivitas masing-masing, sehingga belum pernah membuat agenda pertemuan secara tetapi misalnya sekedar untuk berlatih atau berdiskusi tentang profesi mereka. Mereka hanya berkumpul saat menjelang pementasan untuk melakukan persiapan yang diperlukan. Jika tidak sedang melakukan pementasan, Nen Sin memenuhi undangan untuk bermain kecapi bersama dengan perkumpulan musiknya yang bernama Pat Jim Pan (delapan suara). Di sela-sela waktu luangnya ia juga membuat barang-barang perlengkapan upacara dan perayaan keagamaan, misalnya boneka-boneka kecil yang dipergunakan sebagai
50
simbol orang yang telah meninggal dan dipersembahkan pada saat ritual sembahyang kubur. 3) Ritual Menjelang Pementasan Menurut penuturan para informan, upacara-upacara yang biasanya dilakukan sebelum pementasan wayang gantung sesungguhnya cukup beragam dan relatif rumit pelaksanaannya. Secara umum upacara tersebut meliputi persembahan kepada dewa, serta pembersihan wayang dan lingkungan di sekitar area pementasan (cuci panggung). Namun dalam perkembangannya kini, pelaksanaan upacara tersebut cenderung disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Pada dasarnya, seluruh upacara yang dilaksanakan sebelum pementasan wayang gantung bertujuan untuk meminta-izin kepada dewa dan leluhur, serta untuk menghindari hambatan-hambatan yang mungkin terjadi di saat pementasan. Kebiasaan melakukan ritual menjelang pementasan ini merupakan tradisi turun temurun yang masih diyakini dan dijalankan hingga saat ini. Sebelum pementasan dimulai, idealnya terlebih dahulu harus dipersembahkan sesajian lengkap. Saat itu wayang yang sudah dikeluarkan dari peti penyimpanan digantung di suatu tempat yang telah dipersiapkan. Tidak ada satu orang pun yang boleh memainkan wayang tersebut. Pada ritual pembersihan boneka wayang gantung digunakan jengger dan darah ayam yang diusapkan ke bagian mulut boneka.
Sedangkan
ritual
cuci
51
panggung
dilakukan
dengan
mempersembahkan sesajian dan pembacaan mantera, seperti halnya pada upacara persembahan kepada dewa dan leluhur. Sesajian terdiri dari ayam jantan yang masih hidup, daging babi yang sudah dimasak dan tiga butir telur. Upacara untuk memanggil arwah dewa dan para leluhur ditandai dengan pembakaran hio dan kertas berwarna kuning yang khusus untuk kegiatan ritual (sin thin), serta pembacaan mantera-mantera. Sesajian tersebut diletakkan/disimpan di altar khusus (sin than), yang dibuat di dekat tempat pementasan (di belakang panggung) dan diyakini akan menjadi tempat bersemayamnya dewa. Selain sesajian, di altar itu ditempatkan pula hio. Seperti
yang
telah
dikatakan
sebelumnya,
meskipun
ritual
menjelang pementasan ini masih dilakukan, tetapi dalam batas tertentu terjadi penyesuaian-penyesuaian, terutama dengan tempat di mana pementasan dilakukan. Jika pementasan dilakukan di tempat yang jauh dan di situ tidak memungkinkan untuk meletakkan altar, maka tidak perlu melakukan upacara persembahan dengan sesajian yang lengkap. Demikian pula halnya dengan ritual pembersihan boneka wayang dan cuci panggung. Pemimpin pertunjukan cukup bersembahyang sekitar 10-15 menit, untuk memohon izin kepada para dewa dan leluhur demi kelancaran pementasan. Upacara persembahan baru dilakukan setelah pertunjukan wayang gantung selesai, setibanya di rumah tempat penyimpanan boneka dan peralatan pentas.
52
Tidak semua orang dapat melakukan upacara ini. Di perkumpulan Shin Thian Cai, misalnya, hanya Chin Nen Sin yang sanggup merapal mantera dan memahami setiap detil pelaksanaan ritual menjelang pementasan. Dahulu ritual-ritual seperti ini tidak boleh disaksikan oleh orang lain untuk menghindari adanya orang-orang yang kerasukan roh jahat. Sampai saat ini pun tidak ada kewajiban bagi para anggota perkumpulan untuk ikut serta menghadiri setiap ritual yang dilaksanakan menjelang pementasan wayang gantung. Kealpaan dalam pelaksanaan ritual dikhawatirkan akan berakibat pada kusutnya tali benang pengendali gerak boneka, adanya dalang atau pendukung pertunjukan yang kerasukan, serta peristiwa gaib lain yang bisa mengganggu pementasan. Kejadian seperti ini pernah dialami oleh perkumpulan Shin Thian Cai, misalnya peristiwa kusutnya tali benang boneka saat mereka tampil di Semarang. 4) Panggung Pendukung Pementasan Kesuksesan pementasan wayang gantung tidak cukup hanya dengan menampilkan atraksi boneka yang dimainkan oleh dalang-dalang yang memiliki keterampilan tinggi. Di setiap pementasan, setidaknya diperlukan kerja sama antara 12 hingga 14 orang. Mereka terdiri atas sejumlah dalang dan personel pendukung pementasan lainnya. Selain itu, masih terdapat unsur-unsur lain yang dapat digolongkan sebagai pendukung pementasan, seperti: panggung, layar dan alat musik (instrumen).
53
Panggung yang dipergunakan untuk pementasan wayang gantung merupakan bidang datar dengan ukuran yang cukup variatif. Panggung tersebut bisa dibuat secara khusus untuk tujuan pementasan wayang gantung saja. Tetapi yang lebih sering dijadikan pilihan adalah memanfaatkan panggung-panggung yang sudah tersedia di tempat pertunjukan atau
disiapkan oleh panitia
penyelenggara.
Dekorasi
panggung terdiri atas beberapa buah layar yang dipasang secara artistik. Layar-layar tersebut dipasang sedemikian rupa, sehingga menghalangi penonton untuk melihat situasi yang terjadi di belakang layar.
Gambar5 : panggung unsur pendukung pementasan wayang gantung Sebagai gambaran, penulis mengambil contoh panggung dan layar yang dipergunakan oleh perkumpulan Shin Thian Cai, saat melakukan pementasan di berbagai tempat.6 Karena memanfaatkan panggungpanggung yang telah disediakan oleh pihak yang mengundang (panitia penyelenggara pertunjukan), tampilan lantai panggung memperlihatkan adanya perbedaan yang mencolok. Sebaliknya, layar-layar yang menjadi
54
dekorasi panggung tidak pernah mengalami pergantian, selalu sama dari satu pementasan ke pementasan yang lain. Bentangan layar yang dipasang tegak lurus di atas permukaan lantai panggung dengan bantuan beberapa tiang penyangga, terdiri atas lima bagian yang terpisah. Bentangan layar tersebut memiliki panjang sekitar 4-5 meter dan tingginya sekitar 1 meter. Bagian/potongan layar yang diletakkan di tengah-tengah, ukurannya lebih besar dibandingkan dengan ke-4 bagian/potongan layar yang lain. Di bagian atasnya tertulis nama perkumpulan "Shin Thian Cai", yang ditulis dengan huruf kanji. Di bawah tulisan nama perkumpulan itu terdapat lukisan yang menggambarkan satu jalur jalan yang terletak di dalam sebuah bangunan. Jalur jalan yang diapit oleh beberapa buah pilar/tiang tersebut, bentuknya lurus mengarah ke sebuah ruang yang letaknya lebih tinggi. Sedangkan gambar yang dilukis pada ke-4 bagian/potongan layar yang lain adalah gambar pemandangan. Di situ terdapat
gambar
pepohonan,
hewan,
serta
danau/sungai.
Selain
potongan-potongan layar yang berdiri tegak di atas permukaan lantai, di bagian atas panggung dihiasi pula dengan bentangan layar yang menampilkan lukisan delapan dewa. Saat pementasan berlangsung, seluruh dalang dan para personel pendukung lainnya berada di belakang layar. Bentangan
layar
yang
dibuat
dalam
beberapa
bagian,
memudahkan dalang untuk mengendalikan gerak boneka melalui celah
55
atau sela-sela yang ada. Celah yang terdapat di antara bagian/ potongan layar yang dipasang di atas lantai panggung dipergunakan sebagai jalan masuk dan keluar bagi boneka-boneka yang dipentaskan. Sedangkan sela-sela yang terdapat di antara layar yang diletakkan di atas permukaan lantai dengan layar yang dipasang di atasnya, dimanfaatkan oleh dalang untuk menempatkan kedua tangannya, sehingga dapat memainkan boneka secara bebas. Dari kejauhan terlihat tangan-tangan dalang tersebut menyembul dari balik layar. Pementasan
wayang
gantung
membutuhkan
beberapa
alat
pendukung yang mengeluarkan bunyi-bunyian yang khas. Instrumen pendukung ini dimainkan oleh orang-orang yang ditugaskan secara khusus, meskipun ada kalanya pemain musik dirangkap oleh dalang yang sedang tidak memainkan boneka. Alat-alat tersebut adalah chem, loku, tok, sio lo dan tew hian. Chem adalah alat musik yang terdiri atas dua lempeng tembaga berbentuk bundar. Instrumen ini dibunyikan dengan cara membenturkan kedua lempeng tersebut secara berulang-ulang, sehingga menghasilkan bunyi ceng..ceng..ceng. Loku merupakan alat musik semacam tambur atau drum yang dimainkan dengan cara dipukul. Tok adalah alat musik yang terbuat dari kayu. Dimainkan dengan cara dipukul dengan batang kayu berukuran kecil, sehingga menghasilkan bunyi tok..tok..tok. Sio lo berbentuk seperti gong kecil. Terbuat dari tembaga yang dimainkan dengan cara dipukul. Sedangkan tew hian merupakan alat musik
56
bersenar, yang dimainkan dengan cara digesek. Chem, loku, tok dan se lo yang dibunyikan bersamaan, dipergunakan untuk mengiringi masuk dan keluarnya boneka. Sementara tew hian adalah instrumen untuk mengiringi nyanyian. Selain pemusik dan penyanyi, terdapat personel pendukung lain yang turut berpartisipasi menyukseskan sebuah pertunjukan wayang gantung. Mereka adalah personel yang ditugasi untuk membawa pengeras suara (mikrofon), serta personel yang mengurusi pergantian kepala dan kostum boneka. Mikrofon digunakan untuk memperjelas vokal dalang ketika berbicara atau menyanyi. Setiap seorang pemegang mikrofon bertugas memegang dua buah mikrofon, satu di tangan kiri dan satu lagi di tangan kanannya. Bagi personel yang bertugas mengganti bagian kepala dan kostum boneka harus mampu bergerak cepat dan memahami peran-peran yang dipentaskan. 5) Penokohan dan Lakon dalam Pementasan Dalam
sebuah
dongeng,
kisah
ataupun
cerita
tentu
akan
menghadirkan tokoh-tokoh yang memainkan beragam peran. Demikian pula halnya dengan wayang gantung, lakon-lakon yang dipentaskan di setiap pertunjukannya didukung oleh penokohan yang kuat, sehingga kedua hal tersebut baik lakon maupun penokohanmenjadi sebuah bangunan yang utuh. Ada boneka yang memerankan tokoh perempuan, adapula yang memerankan tokoh laki-laki. Ada boneka yang menampilkan sosok dewa, raja, ksatria, rakyat jelata, bahkan singa.
57
Meskipun tidak berlaku umum, salah satu keunikan dari wayang gantung terlihat pada boneka yang berwujud sama, tetapi bisa memainkan peran yang berbeda. Oleh karena itu, lakon yang membingkai setiap tokoh dan peran tersebut menjadi penting untuk dipahami, agar penonton tidak mengalami kebingungan. Sebagai contoh adalah boneka yang dijuluki Tai Tu Si. Dia bisa hadir dalam sebuah lakon komedi, tetapi di saat yang lain iahadir pula memerankan sosok ksatria, tentunya dengan nama dan karakteryang berbeda. Namun hal tersebut tidak akan pernah terjadi pada bonekayang berwujud Dewa Naga Hijau. Selamanya dewa ini tidak akan pernahmengalami pergantian peran dan penamaan. Struktur boneka yangmemungkinkan kepala boneka bisa dipasang dan dilepas dari bagiantubuhnya, menjadi cikal bakal kemunculan beragam tokoh. Wajah (bagiankepala) boneka yang sama apabila dipasang pada anggota tubuh yangmenggunakan kostum berbeda, akan menjadi tokoh lain dan memainkan peran yang berbeda pula. Bagi masyarakat yang sering menikmati pertunjukan wayang gantung, tentunya akan dengan mudah mengidentifikasi tokoh-tokoh wayang yang tampil di atas pentas. Penokohan tersebut cenderung selalu dibarengi dengan pembentukan karakterisasi ataupun kemasan fisik yang mudah ditangkap secara kasat mata. Tokoh Sabo, misalnya, sosok manusia sangat perkasa yang digambarkan berkulit tembaga dan bertulang besi. Sabo pasti mudah dikenali, karena merupakan satusatunya boneka yang selalu "mendampingi" kehadiran barongsai di atas
58
pentas. Identifikasi terhadap Sabo juga dapat dilakukan melalui adegan pergantian wajah. la memiliki dua wajah yang berbeda, wajah aslinya akan berganti begitu ia mulai melakukan atraksi bersama barongsai. Pada umumnya bahasa pengantar yang dipergunakan dalam pementasan wayang gantung adalah bahasa Tionghoa dengan dialek Hakka. Penggunaan bahasa juga tergantung pada lakon yang dimainkan. Terkadang dalam sebuah adegan yang menampilkan perbincangan di dalam istana kerajaan dipergunakan dialek Hakka dengan aksen khusus (sehingga terdengar bukan seperti dialek Hakka), tetapi ketika adegan perbincangan tersebut terjadi di kalangan rakyat jelata bahasanya beralih ke dialek Hakka seperti yang dipergunakan dalam perbincangan seharihari. Lagu-lagu tradisional yang dinyanyikan saling bersahutan layaknya seperti pantun (tong son ko)1, dipenuhi dengan kalimat-kalimat kiasan. Oleh karena itu, tong san ko yang menjadi bagian dari pementasasn wayang gantung ini menjadi tidak mudah dipahami. Bahasa Indonesia dan Mandarin sangat jarang digunakan di dalam pementasan. Hampir seluruh lakon yang dipentaskan dalam pertunjukan wayang gantung bersumber dari karya sastra atau dongeng-dongeng klasik Tiongkok. Chin Nen Sin menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai lakon-lakon tersebut dipelajarinya dari buku dan tuturan lisan kedua gurunya. Dongeng-dongeng klasik yang dipentaskan, pada umumnya menceritakan seputar kisah kepahlawanan, perjalanan suci atau mulia yang dilakukan oleh para ksatria, dan drama kehidupan, termasuk kisah-
59
kisah percintaan. Dalam perkembangannya terjadi inovasi pada cerita, sehingga terdapat lakon-lakon diwarnai dengan bumbu komedi ataupun menampilkan kisah keseharian yang terjadi di masyarakat masa kini. Kisah yang ditampilkan dalam satu pementasan, umumnya merupakan penggalan dari sebuah dongeng panjang, sehingga cukup waktu
untuk menceritakan
kisah
tersebut
sampai
tuntas.
Selain
mempertimbangkan durasi pementasan, pemilihan lakon juga disesuaikan dengan peristiwa dan keinginan dari si pengundang. Misalnya, jika pementasan diselenggarakan dalam rangka peringatan ulang tahun dewa atau klenteng, maka yang ditampilkan adalah cerita-cerita klasik yang menggambarkan tokoh dewa, ksatria atau pahlawan. Dalam perayaan ulang tahun ataupun perkawinan, dihadirkan cerita kehidupan keseharian yang memuat pesan-pesan kebajikan dan kesetiaan, diselingi dengan humor-humor yang menghibur. Beberapa contoh lakon klasik yang biasa ditampilkan dalam pementasan wayang gantung, antara lain: 1) Fan Ni Fa Poh Kim Kong Chin, sebuah cerita klasik tentang ksatria perempuan yang masih lajang. la terlibat dalam pertempuran dalam operasinya wilayah barat, bersama dengan suaminya Shiat Tien Chan. Dalam kisah ini terdapat pula tokoh Shiat Jin Kui yang merupakan mertua dari Fan Ni Fa. Shiat Jin Kui adalah orang yang memimpin operasi ke wilayah timur (hingga sampai ke Korea) untuk menolong Kaisar Li Che Ming.
60
2) San Ci Pen San (Fa Ci Cin Sang Lim Kim Si). Salah satu adegannya menampilkan atraksi barongsai masuk ke kota. Kisahnya dilatarbelakangi oleh penyelamatan seorang raja yang tertangkap
dan
ditahan
oleh
musuh
melalui
sebuah
pertempuran. Raja lain yang bernama Ko Sim Sion lalu memerintah anak buahnya untuk menyelamatkan raja yang menjadi sekutunya itu. Pintu penjara ternyata dikawal oleh banyak penjaga, sehingga anak buah Ko Sim Sion mengalihkan perhatian para penjaga itu dengan mengajak mereka bernyanyi, sambil memberi mereka minuman arak. Konon kehadiran barongsai juga berhasil menarik perhatian penjaga penjara untuk menonton, sehingga pintu penjara tidak ada yang menjaga lagi. Kesempatan itu dipergunakan oleh anak buah Ko Sim Sion untuk membebaskan raja. 3) Chang Fo Ha Si long adalah kisah perjalanan Ceng Ho (Chang Fo) ke wilayah-wilayah yang berada di samudera sebelah barat, pada masa Dinasti Ming. Dalam perjalanan tersebut Chang Fo tanpa sengaja tiba ke wilayah di samudera sebelah selatan (nan yang), termasuk Indonesia. 4) Liong San Pak Cuk Jin Tai adalah drama percintaan yang jalan ceritanya serupa dengan kisah Sam Pek Eng Tay. Liong San Pak adalah nama tokoh laki-lakinya, sedangkan Cuk Jin Tai adalah nama tokoh perempuan. Dikisahkan Cuk Jin Tai yang
61
menyamar sebagai laki-laki berteman akrab dengan salah satu rekan di sekolahnya, yaitu Liong San Pak.Lama kelamaan rahasia penyamaran Cuk Jin Tai terbongkar oleh Liong San Pak dan mereka pun saling jatuh cinta. Tidak beberapa kemudian Cuk Jin Tai diperintahkan oleh kedua orang tuanya untuk kembali
ke
rumah,karena
ia
akan
segera
dinikahkan.
Mengetahui peristiwa tersebut Liong San Pak berusaha melamar Cuk Jin Tai. Tetapi sungguh malang, lamarannya ditolak oleh orangtua Cuk Jin Tai, karena mereka tidak mau memiliki menantu yang miskin. Derita yang ditanggung Liong San Pak membuatnya sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Suatu saat Cuk Jin Tai mendatangi pusara Liong San Pak di tengah perjalanannya menuju kediaman pengantin pria. Ketika Cuk Jin Tai sedang memanjatkan doanya, makam Liong San Pak terbuka. Cuk Jin Tai memutuskan untuk mengekalkan cintanya dengan Liong San Pak. Ia pun masuk ke dalam kuburan tersebut. 5) Kisah penyelamatan Lu Zun Yi oleh Ksatria Liang Shan (Pendekar 108). Adegan dimulai dengan kemunculan beberapa ksatria dari Liang Shan, yaitu Yan Qing, Li Kui, Sun Er Liang, Gu Da Sau dan Shi Qian. Para ksatria ini mendapatkan perintah dari Wu Yonguntukmenyelamatkan Lu Zun Yi yang ditahan di Da Ming Fu. Kisah ini pada intinya menceritakan tentang upaya
62
penyelamatan yang dilakukan oleh sekelompok ksatria yang bermarkas di gunung Lian Shan, terhadap seorang perampok yang baik budinya. Perampok tersebut mengambil harta para penguasa yang lalim dan korup, lalu membagikan hasil rampokannya itu kepada rakyat jelata yang hidup dalam kemiskinan. 6) Rangkaian Pementasan Pada dasarnya rangkaian pementasan wayang gantung bisa berlangsung dalam beberapa hari berturut-turut. Di zaman dahulu ketika peminat wayang gantung masih banyak, sebuah perkumpulan wayang gantung bisa memeriahkan atau mengisi acara di satu tempat selama satu hingga dua bulan penuh. Apalagi jika pementasan itu dilakukan di tempattempat yang jauh dari Singkawang, seperti di Kartiasa, Sekura, atau daerah-daerah lain di Kabupaten Sambas. Namun durasi waktu untuk sekali pentas, paling lama memakan waktu sekitar tiga jam. Misalnya, pentas pertama dilakukan pukul 08.00-11.00 pagi. Pementasan berikutnya adalah pukul 14.00-16.00 sore.
63
Gambar 6: saat pementasan wayang gantung Lakon yang dihadirkan dalam sebuah rangkaian pementasan wayang gantung tidak harus merupakan cerita bersambung, kecuali jika di pementasan sebelumnya cerita itu belum selesai. Bisa dikatakan setiap pementasan mengusung satu judul cerita (per episode), yang merupakan nukilan dari sebuah dongeng atau kisah yang panjang. Namun dalam kesempatan tertentu, kadang-kadang dihadirkan pula cerita-cerita serial, sehingga bangunan sebuah cerita/kisah dapat ditampilkan secara utuh. Di sepanjang tiga jam pementasan, pertunjukan dilakukan terus menerus. Jika pun ada jeda, tidak akan berlangsung lama. Setelah melakukan ritual wajib sebelum pentas, pertunjukan dibuka dengan pembacaan sinopsis. Biasanya sinopsis disampaikan melalui nyanyian yang
diiringi
dengan
musik.
Pertunjukan
bisa
diakhiri
dengan
menghadirkan komedi atau cerita-cerita lucu yang menyegarkan suasana, melantunkan lagu-lagu tradisional (tong son ko) secara bersahut-sahutan, ataupun menyanyikan beberapa lagu dalam bahasa Mandarin.
64
Dewasa ini, pementasan wayang gantung telah mengalami berbagai perubahan. Dalam batas tertentu, perubahan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, serta jawaban atas kendala-kendala yang selama ini berpotensi menjadi hambatan. Beragam permasalahan yang dihadapi oleh wayang gantung Singkawang berikut upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut akan dibahas pada bab selanjutnya. 4.2.1 Mengurai Jalinan Masalah Keprihatinan tentang kondisi wayang gantung Singkawang saat ini, dengan mudah akan kita temukan pada pemberitaan-pemberitaan di berbagai media, ataupun terungkap dalam perbincangan secara langsung dengan para pelaku seni wayang gantung. Cerita tentang pertunjukan wayang gantung yang gempita di masa kejayaannya, kini nyaris hilang tertelan kepungan berbagai masalah yang datang silih berganti. Hanya tinggal satu perkumpulan wayang gantung yang tersisa, yaitu perkumpulan Shin Thian Cai yang dipimpin oleh Chin Nen Sin. Sedangkan perkumpulan lain telah lama berpasrah diri pada perubahan zaman yang tidak mampu mereka taklukkan. Di akhir tahun 1970-an, satu persatu dari perkumpulan tersebut membubarkan diri. Boneka-boneka wayang yang tadinya dimiliki, akhirnya berpindah tangan kepada para peminat di Singapura melalui transaksi jual beli. Menghadapi kenyataan yang menyedihkan ini, ayah Chin Nen Sin memilih untuk tetap pada keputusan mempertahankan wayang gantung yang dimilikinya. Tai Siuk
65
Jan dan Chin Khui Jan, isteri dan anak Chin Nen Sin, memberikan "keterangan yang nyaris sama mengapa mertua dan kakek mereka bergeming pada pilihannya, katanya: "... banyak orang yang mau beli wayang gantung, tapi mertua saya tidak membolehkannya untuk dijual. Mertua saya tidak mau menjual karena kalau dijual tidak kelihatan hasilnya. Kalau duit dipakai bisa habis, tapi kalau wayang gantung bisa diturunkan sampai ke anak dan cucu." (Tai Siuk Jan) "Kakek pernah ditawari orang untuk menjual wayang gantung tapi kakek tidak mau, karena mau diturunkan ke anak cucunya." (Chin Khui Jan)
Hingga saat ini, terbukti Chin Nen Sin dan keluarganya mampu mengemban amanat itu. Warisan berharga tersebut tetap dapat mereka pelihara dengan baik. Nen Sin dan istrinya berteguh hati menekuni profesi mereka sebagai pelaku seni wayang gantung, walaupun tidak demikian dengan anak-anaknya. Sungguh tidak mudah bagi keluarga pewaris ini untuk bisa mengembalikan wayang gantung bersinar seperti sediakala. Menelusuri awal kejatuhan wayang gantung, mustahil dilepaskan dari kebijakan politik masa lalu. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina secara jelas menyebutkan: "PERTAMA: Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek
affinitas
culturil
yang
berpusat
pada
negeri
leluhurnya,
pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.
66
KEDUA: Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga." (Petikan instruksi pada Inpres No. 14/1967). Instruksi yang ditetapkan pada 6 Desember 1967 itu, dalam pertimbangannya mengatakan bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, dikhawatirkan dapat memberikan pengaruh yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia, sehingga bisa menghambat proses asimilasi. Sejak dikeluarkannya Inpres No. 14/1967, pergelaran wayang gantung yang berkaitan erat dengan perayaan-perayaan penting di kalangan masyarakat Tionghoa Singkawang mulai kehilangan peluang untuk tampil leluasa di depan khalayak umum. Terlebih pementasan wayang gantung menggunakan bahasa Tionghoa, dengan pilihan cerita yang berkiblat kepada kisah-kisah klasik daratan China. Tidak kuasa pada risiko yang mengancam, beberapa perkumpulan pada akhirnya memilih untuk menyimpan boneka dan peralatan pentasnya di dalam peti. Namun, ada beberapa perkumpulan yang masih memberanikan diri tampil dalam lingkup terbatas setelah memperhitungkan segala sesuatunya secara cermat. Dampak negatif dari kebijakan politik pemerintah Orde Baru bukan satu-satunya penyebab kemunduran wayang gantung. Berkembangnya media hiburan, seperti radio dan televisi, berhasil meminggirkan posisi wayang gantung dari alternatif media hiburan yang paling diminati. Tidak
67
berhenti di situ saja, kini panggung-panggung hiburan lebih memberikan tempat
kepada
berbagai
bentuk
kesenian
yang
dianggap
lebih
mencerminkan gaya hidup modern. Wayang gantung tidak mampu berkompetisi dengan riuh rendahnya band-band yang menawarkan berbagai aliran musik, yang cenderung mampu memenuhi selera semua kalangan. Penikmat wayang gantung menurun drastis. Order untuk pementasan semakin sepi. Dewasa ini, di perayaan-perayaan yang berkaitan dengan keagamaan sekalipun, pementasan band ternyata lebih diminati ketimbang wayang gantung. Menjadi seniman wayang gantung bukan merupakan pilihan yang tepat bagi mereka yang ingin hidup dalam kondisi ekonomi yang serba berkecukupan. Berkurangnya minat masyarakat untuk mengundang perkumpulan-perkumpulan wayang gantung menggelar pentas, tentu saja berkorelasi dengan semakin minimnya pendapatan yang bisa diperoleh dari aktivitas berkesenian ini. Sampai saat ini besarnya pembayaran yang diperoleh untuk satu pementasan, tergantung pada jarak dan lamanya tampil. Sebagai gambaran, untuk satu kali pementasan di wilayah Singkawang, perkumpulan Shin Thian Chai mendapatkan ganjaran antara 2,5 hingga 3 juta rupiah. Hasil yang diperoleh ini harus dibagi-bagikan kepada seluruh anggota perkumpulan yang mengikuti pementasan. Menurut salah seorang informan, meskipun honor pementasan tersebut relatif mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, tetapi nyatanya wayang gantung belum mampu dijadikan sebagai tumpuan utama bagi
68
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Inilah yang menjadi alasan mengapa tidak satupun anak-anak Nen Sin berminat mengikuti jejak ayah dan ibunya menjadi pelaku seni wayang gantung. Bisa dibayangkan, permintaan untuk mementaskan wayang gantung yang datang ke perkumpulan Shin Thian Chai mungkin hanya datang dua kali dalam setahun. Oleh karena itu, tentunya masing-masing anggota perkumpulan harus memiliki aktivitas lain yang mampu menopang kehidupan mereka. Kondisi-kondisi yang mengancam eksistensi wayang gantung seperti yang telah dipaparkan di atas, diperparah dengan kenyataan bahwa
proses
regenerasi
mengalami
kegagalan.
Para
informan
menjelaskan sulitnya mempersiapkan generasi penerus wayang gantung Singkawang. Menurut mereka banyak hal yang membuat generasi muda enggan untuk mempelajari wayang gantung, apalagi menekuni profesi sebagai seniman wayang gantung. Beberapa di antaranya telah disinggung oleh penulis, misalnya gempuran budaya pop yang lebih menarik minat dan selera kaum muda, serta pandangan bahwa wayang gantung tidak mempunyai prospek yang cukup menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Selain itu terungkap pula beberapa alasan lain. Kisah atau dongeng klasik yang ditampilkan dalam pementasan wayang gantung, terutama yang berlatar belakang sejarah, pada umumnya dianggap membosankan dan tidak dipahami dengan baik oleh generasi muda Tionghoa masa kini. Pengetahuan yang terbatas tentang wayang gantung dan lakon-lakon yang ditampilkan, cenderung
69
berakibat pada munculnya sikap apatis dan terciptanya rentang jarak yang semakin jauh antara generasi muda dengan seni wayang gantung itu sendiri. Menurut seorang informan, kesakralan yang terlanjur melekat pada wayang gantung, dalam batas tertentu bisa menjadi penghalang bagi proses transfer budaya atau penerusan tradisi wayang gantung kepada generasi selanjutnya. Hal ini disebabkan karena generasi muda cenderung hidup dalam alam pikir yang lebih rasional dan menabukan segala sesuatu yang dianggapnya berbau mistis. Beragam prosesi ritual dan pantangan yang wajib dilakukan, dikhawatirkan berpotensi menjadi penghalang bagi generasi muda untuk mengenal dan mempelajari wayang gantung lebih jauh. Kompleksitas permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, masih ditambah dengan terjadinya peristiwa kebakaran yang melanda rumah Chin Nen Sin di Lirang. Meskipun seluruh bonekanya bisa diselamatkan, tetapi beberapa koleksi penting yang terkait dengan penerusan tradisi wayang gantung telah turut musnah bersama musibah tersebut.
Misalnya,
buku
kumpulan
cerita-cerita
klasik
Tiongkok,
dokumentasi-dokumentasi pertunjukan wayang gantung, serta beberapa keping VCD yang berisi lagu-lagu tradisional China. Peristiwa ini juga menyebabkan tertundanya rencana pemerintah dan DPRD setempat yang ingin menjadikan rumah Chin Nen Sin di Lirang sebagai sentra dari semua aktivitas yang berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan wayang gantung.
70
Di sisi lain, dukungan dan bantuan yang datang dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan yang menyatakan diri memiliki kepedulian akan pelestarian budaya Tionghoadirasakan
belum
memperlihatkan
hasil
yang
signifikan,
khususnya jika dikaitkan dengan upaya pelestarian seni wayang gantung. Diakui oleh seniman wayang gantung, akhir-akhir ini kesempatan untuk berpentas hingga ke kota atau provinsi lain sesekali menghampiri mereka. Tidak ada yang memungkiri peluang-peluang tersebut tercipta berkat publikasi dan fasilitasi yang telah dilakukan berbagai pihak. Namun tetap diharapkan adanya dukungan yang konsisten dan berkelanjutan, sehingga bisa mendatangkan efek yang berjangka panjang. Selama ini upaya untuk membuat dokumentasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan wayang gantung dirasakan masih sangat minim. Pelaku wayang gantung justru mengeluhkan kasus diperjualbelikannya dokumentasi pertunjukan wayang gantung yang berbentuk rekaman audio-visual secara ilegal oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab demi meraih keuntungan pribadi. Beberapa informan yang ditemui penulis menginginkan adanya kajian-kajian yang lebih serius tentang wayang gantung, sehingga produk kajian tersebut diharapkan dapat
dijadikan
sebagai
bahan
publikasi
dan
referensi
dalam
memperkenalkan seni wayang gantung kepada masyarakat yang lebih luas.
71
4.2.2 Upaya Melawan Kepunahan Tak terbilang bagaimana beratnya perjuangan para pelaku seni dan pihak-pihak yang peduli terhadap wayang gantung untuk membawanya keluar dari ancaman kepunahan. Melalui wawancara dengan beberapa informan, terungkap berbagai upaya yang selama ini telah dilakukan dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi, baik yang berkaitan dengan konstelasi politik di Indonesia maupun menurunnya selera penikmat wayang gantung (generasi muda). Seluruh upaya ini bertujuan untuk mempertahankan eksistensi dan menaikkan popularitas wayang gantung Singkawang, di tengah kemunculan beragam seni pertunjukan Tionghoa lainnya, yang akhir-akhir mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Setelah keluarnya Inpres No. 14/1967 yang membatasi segala bentuk ekspresi budaya masyarakat Tionghoa yang dianggap berafiliasi dengan budaya leluhur, pertunjukan wayang gantung yang mengusung dongeng-dongeng klasik Tiongkok praktis hanya bisa diselenggarakan di dalam lingkup komunitas kecil tertentu. Misalnya, di tengah keluarga besar atau perkumpulan (yayasan) dengan keanggotaan terbatas. Dalam lingkup sekecil ini, penonton yang dapat dihadirkan dalam pementasan wayang gantung mungkin tak lebih dari 50-an orang. Strategi untuk menampilkan kembali wayang gantung dalam pentas yang
lebih
besar
pernah
dilakukan
dengan
mengubah
konsep
pertunjukan. Langkah tersebut umumnya dimulai dari perubahan fungsi
72
wayang gantung, yang disusul dengan perubahan pada tema atau lakon yang diusung dalam setiap pementasan. Inisiatif yang dimulai sekitar tahun 1980-an ini, ditandai dengan difungsikannya wayang gantung sebagai media untuk menyampaikan pesan pembangunan. Salah satunya adalah dalam rangka sosialisasi program Keluarga Berencana. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan beberapa orang pemuda
Tionghoa
mempertahankan
memotori
kemunculan
perubahan wayang
ini.
gantung
Selain di
depan
mampu umum,
pemanfaatan media tradisional ini dipandang cukup sukses dalam menjembatani
komunikasi
antara
pemerintah
dengan
masyarakat
Tionghoa yang dahulu dinilai memiliki resistensi terhadap program keluarga berencana. Menurut para informan yang pernah terlibat langsung dalam pemanfaatan wayang gantung sebagai media sosialisasi keluarga berencana, saat itu dilakukan modifikasi terhadap peran-peran yang biasanya dimainkan dalam pertunjukan wayang gantung. Pementasan wayang
gantung
tetap
memanfaatkan
boneka-boneka
yang
ada.
Penyampaiannya pun tetap menggunakan bahasa Tionghoa dialek Hakka, karena sasaran utama dari penyampaian pesan ini sesungguhnya ditujukan kepada masyarakat Tionghoa. Simak penjelasan Bong Ci Nen 44 tahun, seseorang yang berperan dalam upaya memanfaatkan wayang gantung untuk sosialisasi perogram KB, berikut ini:
73
"Untuk menyampaikan pesan-pesan tentang KB sangat susah. Banyak (yang menganggapnya sebagai sesuatu) yang jorok, apalagi jika menyangkut (penjelasan-penjelasan yang terkait dengan) hubungan suami-istri. Waktu itu (boneka) wayang yang sudah ada tetap dipergunakan, tapi perannya diganti, (misalnya) menjadi ayah, ibu dan dua orang anak. Naskah (untuk pementasan dibuat) baru, saya dan seorang teman yang sekarang tinggal di Jakarta yang membuatnya. (Pada dasarnya selalu diupayakan) bagaimana bisa menerobos ke orang Tionghoa. (yang paling memungkinkan) Hanya melalui media seni saja, (yaitu dengan memanfaatkan) wayang gantung dan opera."
Tema-tema yang ditampilkan sebenarnya cukup bervariasi. Tetapi umumnya terfokus pada masalah keluarga berencana, pembinaan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, serta seputar pengetahuan repoduksi sehat untuk kalangan remaja. Selain untuk menyosialisasikan dan menyukseskan program KB, wayang gantung pernah pula dipergunakan untuk menyebarluaskan ideologi Pancasila ke kalangan masyarakat Tionghoa. Maklum saja, pandangan
politik
di
masa
pemerintahan
Orde
Baru
cenderung
menempatkan orang Tionghoa sebagai keturunan warga negara asing yang diragukan nasionalismenya, bahkan seringkali dikaitkan dengan organisasi-organisasi berideologi komunis. Pada dasarnya, di kala itu wayang gantung hanya bisa dipentaskan di depan umum apabila mengusung pesan-pesan pemerintah dan mendukung program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Fungsi tersebut tampaknya tetap bertahan hingga kini. Perkumpulan wayang gantung Shin Thian Cai masih sering tampil dengan misi menyampaikan pesan pembangunan.
74
Dalam perkembangannya, perkumpulan inipun kerap diundang untuk menyemarakkan perayaan hari kemerdekaan Indonesia ataupun tampil pada acara-acara khusus di tempat-tempat yang jauh dari Singkawang. Hal ini menuntut anggota perkumpulan Shin Thian Chai melakukan penyesuaian dan pengembangan terhadap peran-peran dan lakon-lakon yang akan ditampilkan. Meskipun alur cerita tidak pernah dibuat dalam bentuk tertulis (naskah tertulis), tetapi sebelum pementasan selalu didiskusikan tentang pembagian tugas antar-anggota perkumpulan serta peran-peran yang harus dimainkan oleh setiap dalang. Tokoh-tokoh yang ditampilkan tidak harus selalu memiliki identitas yang baru. Namun tentu saja setiap lakon baru memerlukan peran-peran yang baru pula. Beberapa lakon yang merupakan kreasi baru dari perkumpulan Shin Thian Cai pada umumnya memperbanyak unsur komedi (adegan-adegan yang mengundang tawa), kisah-kisah yang menceritakan kehidupan rumah tangga, serta cerita-cerita yang menggunakan latar belakang lingkungan sekitar (terdekat). Pengembangan atau perubahan dilakukan juga terhadap unsurunsur lain yang mendukung pementasan. Misalnya, di akhir pementasan ditampilkan lagu-lagu berbahasa Mandarin ataupun puisi-puisi sesuai dengan konteks acara dan permintaan pihak pengundang. Penampilan para biduanita yang menyanyikan lagu Mandarin ini didukung oleh instrumen pengiring yang lebih lengkap. Tidak hanya sebatas tew hian
75
saja, tetapi ditambah dengan seruling dan beberapa jenis instrumen lain yang dimainkan dengan cara dipetik dan digesek. Strategi lain
yang ditempuh
untuk menghindari kebosanan
penonton adalah dengan memperpendek durasi pementasan dan memilih lakon-lakon yang dianggap paling menarik untuk dipentaskan. Kini, pementasan yang dilakukan di berbagai tempat hanya berkisar antara 1530 menit saja. Dalam rentang waktu pementasan yang tergolong sangat singkat ini dahulu pementasan wayang gantung berlangsung selama 3 jam ditampilkan lakon yang paling digemari penonton, seperti atraksi barongsai atau cerita-cerita komedi.3 Dengan demikian, dapat dikatakan pementasan yang berlangsung singkat lebih ditujukan untuk menyajikan hiburan bagi para penontonnya. Di satu sisi, perubahan-perubahan seperti yang telah dikemukakan di atas, dinilai cukup berhasil untuk membawa wayang gantung keluar dari berbagai permasalahan yang mengancam eksistensinya, serta meraih kembali bahkan mungkin memperluas simpati penonton yang mulai berpaling ke jenis-jenis hiburan lain. Namun di sisi lain muncul pula kekhawatiran akan semakin berkurangnya fungsi penting dari wayang gantung, serta tereduksinya pesan-pesan kebajikan atau ajaran-ajaran moral bernilai religius yang selama berusaha untuk disampaikan. Pilihan antara kepentingan mempertahankan orisinalitas wayang gantung dengan keharusan untuk melakukan perubahan mengikuti selera pasar, menjadi sebuah dilema yang menyulitkan bagi pelaku seni wayang gantung. Petikan wawancara dengan pelaku dan
76
penikmat seni wayang gantung berikut ini mungkin dapat memberikan sedikit gambaran tentang masalah yang dihadapi para pemain kesenian wayang gantung tersebut.
"Cerita-cerita klasik yang mengisahkan usaha penyelamatan manusia oleh dewa, masih kental (nilai dan makna) religiusnya. Tapi sudah tidak menarik lagi di zaman sekarang. Dahulu filosofi hidup dan pesan moral mampu disampaikan, tapi sekarang sudah membuat orang (penonton) merasa bosan dan tidak tertarik lagi. Sekarang (pementasan wayang gantung) murni bersifat hiburan, tapi pemainnya belum (sepenuhnya) siap dengan perubahan selera penonton. Cerita klasik dan (kisah-kisah yang mengajarkan) nilai kebaikan dalam hidup nyatanya tidak ada peminatnya lagi, anakanak muda sudah tidak paham."
"Untuk melestarikan keaslian budaya Tionghoa (wayang gantung) memang penting Tetapi itu tidak bisa dikomersilkan. (Wayang gantung) menghadapi masalah susah dipasarkan. Tidak mudah mengklopkan ide antara generasi muda dan generasi tua (pelaku seni wayang gantung) yang sulit menerima improvisasi." Kenyataan seperi ini tampaknya tidak bisa lagi terelakkan, karena setiap zaman memiliki generasinya sendiri. Berbagai strategi yang telah ditempuh untuk bertahan di tengah ancaman kepunahan, tidak selamanya direspons secara positif oleh lingkungan dan membuahkan cerita keberhasilan. Namun bukan berarti kenyataan ini membuat para pelaku seni wayang gantung menjadi pesimis dan berhenti untuk membuat berbagai inovasi baru di dalam setiap pementasannya. Setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No. 14 tahun 19674, peluang bagi masyarakat Tionghoa untuk menggali dan membangkitkan kembali kebudayaan mereka terbuka lebar. Penerapan Keppres No 6 Tahun 2000 tersebut, memberikan gairah baru pula bagi
77
pementasan-pementasan wayang gantung, baik Kota Singkawang (dan sekitarnya) maupun di berbagai daerah lain di luar Kota Singkawang. Kesempatan besar pertama yang menghampiri perkumpulan Shin Thian Chai adalah undangan untuk melakukan pertunjukan di Semarang tahun 2005. Pementasan yang bertepatan dengan peringatan Ceng Ho tersebut difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Singkawang. Di tahun 2007, perkumpulan Shin Thian Cai mendapat kesempatan untuk mementaskan wayang gantung di Gedung Olahraga Pangsuma dan salah satu mal di Kota Pontianak. Pertunjukkan berikutnya diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) yang berlangsung selama dua hari, tepatnya tanggal 1 dan 2 Agustus 2008. Penampilannya kala itu dalam rangka mengisi acara pada Festival Bercerita ASEAN dan Program untuk Anak yang diselenggarakan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA). Di akhir Januari 2010, wayang gantung telah memiliki agenda untuk kembali berpentas di Jakarta, setelah mendapatkan undangan dari panitia Festival Cap Go Meh Singkawang. 4.3.Fungsi Wayang Gantung dalam Kehidupan Masyarakat Wayang Gantung memiliki keunikan tersendiri yang tidak dapat ditemukan pada wayang-wayang lain yang berkembang di Indonesia, Wayang gantung merupakan salah satu bentuk wayang Tionghoa selain wayang Cina-Jawa dan wayang potehi yang setakat ini hanya dapat ditemukan di Singkawang. Sebagai mata budaya yang berakar dari kebudayaan China, wayang gantung telah mengalami proses adaptasi
78
dengan lingkungan di mana wayang gantung tersebut tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, meskipun di China atau mungkin di daerah lain ditemukan tradisi pewayangan yang sepintas memiliki kesamaan dengan wayang gantung Singkawang, tetapi tentu saja wayang gantung Singkawang memiliki karakteristik yang berbeda dengan wayang-wayang sejenis di belahan dunia manapun. Sejak awal kemunculan hingga perkembangannya kini, wayang gantung telah memainkan berbagai macam fungsi yang penting, khususnya bagi masyarakat pendukungnya. Secara umum, wayang gantung merupakan bagian dari mata budaya yang di dalamnya terintegrasi dan terorganisasi sejumlah unsur dan jalinan antar-unsur, seperti sistem teknologi, sosial dan ideologi. Wayang gantung sebagai salah satu bentuk dari ekspresi budaya masyarakat Tionghoa, cenderung menjadi bagian dari sistem ideologi masyarakat, karena mencerminkan ide atau gagasan yang ada di alam pikiran manusia (berwujud abstrak). Ide atau gagasan tersebut dimanifestasikan ke dalam simbol-simbol tertentu, dan menjadi bagian dari kepercayaan, pengetahuan, serta identitas bagi masyarakat tersebut. Secara lebih khusus, wayang dapat dikategorisasi sebagai folklor. Menurut Danandjaja(1988: 149-150), folklor adalah bagian kebudayaan yang disebarkan secara turun temurun di dalam lingkup suatu masyarakat atau komunitas (kolektif), baik dalam bentuk lisan maupun contoh-contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Folklor
79
tersebut dapat berupa bahasa, ungkapan tradisonal, cerita prosa (seperti mite, legenda, dan dongeng), nyanyian, permainan, kepercayaan, arsitektur, seni rupa, seni lukis, dan lain-lain. Berkaitan dengan folklor ini, Bascom (dalam Aryandini S., 2002: 9) menyebutkan beberapa fungsi folklor, yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi keinginan (projective system); (2) sebagai pengesahan kebudayaan (validating culture)', (3) sebagai alat pendidikan (educative); dan (4) sebagai sarana sosial kontrol (as a mean of applying social pressure and exercising social control). Sedangkan menurut Alan Dundes, fungsi folklor adalah memberikan tuntunan dalam mendidik anak/generasi muda, mendorong munculnya solidaritas sosial di dalam suatu kelompok, memberi kewenangan kepada seseorang untuk bertindak lebih superior daripada yang lain dengan tujuan untuk melakukan kontrol sosial dengan cara-cara yang pantas, sarana untuk memrotes ketidakadilan, menawarkan kenikmatan melalui pelarian diri dari kenyataan, serta mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi sebuah permainan yang menyenangkan (dalam Aryandini S., 2002: 9). Wayang gantung sebagai identitas budaya, masyarakat Tionghoa Singkawang, pada hakikatnya merefleksikan kekhasan cara berpikir dan bertingkah laku masyarakat tersebut. Di antara kompleks sistem budaya dan sistem sosial itu, terdapat seperangkat simbol yang memberikan makna atau mempunyai arti bagi mereka yang memahami dan secara aktif menggunakan simbol-simbol tersebut. Menurut Arifninetrirosa (2005), sistem budaya yang berwujud abstrak (intangible), biasanya merupakan
80
sebuah bangunan rumit yang terdiri atas empat perangkat simbol, yaitu: simbol konstitutif (berkaitan dengan sistem kepercayan), simbol kognitif (berkaitan dengan ilmu pengetahuan), simbol penilaian moral (berkaitan dengan nilai-nilai dan aturan), serta simbol ekspresif atau pengungkapan rasa. Sistem budaya dengan seperangkat simbol ini diekspresikan ke dalam berbagai aktivitas konkrit manusia, baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif, serta melalui tindakan-tindakan didasarkan pada hubungan atau relasi antar-individu. Apabila dikaitkan dengan wayang gantung, simbol-simbol tersebut jelas tampak pada ritual dan pantangan yang dilakukan. Prosesi menjelang dan sesudah pementasan, persembahan sesajian, serta perlakuan
khusus
terhadap
boneka
wayang
tertentu,
seluruhnya
mencerminkan sistem kepercayaan orang Tionghoa dalam hal ini Taoisme sebagai
kepercayaan
asli
orang
Tionghoa
yang
berpusat
pada
penghormatan kepada dewa dan para leluhur. Demikian pula halnya dengan perlambangan yang dimunculkan melalui peran-peran tertentu, seperti Sabo tokoh yang sangat perkasa yang bisa berganti wajah, Sun Go Kong yang wajahnya menyerupai kera, barongsai yang berbentuk singa, dewa naga hijau yang berwajah menyeramkan dengan sebilah pedang dan stempel di kedua tangannya, serta tokoh-tokoh ksatria lainnya, memberikan gambaran tentang pengetahuan orang Tionghoa terhadap berbagai karakteristik sifat manusia, makhluk hidup lain, serta benda-benda yang ada di muka bumi ini.
81
Kandungan filosofis yang terdapat di dalam dongeng-dongeng klasik Tiongkok yang menjadi sumber dari lakon-lakon yang dipentaskan, misalnya tentang ajaran moral dan kepahlawanan, dapat menunjukkan nilai-nilai dasar yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang-orang Tionghoa di manapun mereka berada. Singkatnya, pemahaman wayang gantung secara holistik akan membawa kita menuju kepada pemahaman akan jati diri orang Tionghoa. Di sinilah menariknya kesenian rakyat seperti wayang gantung ini, melaluinya dapat tergambar sebuah potret besar mengenai masyarakat Tionghoa di Singkawang. Wayang gantung sebagai media komunikasi, Penggunaan bahasa Tionghoa dialek Hakka sebagai bahasa pengantar utama dalam pementasan wayang gantung, memberikan penegasan bahwa wayang gantung menjalankan fungsinya sebagai media penghubung antara penutur pesan dengan orang-orang yang diharapkan dapat menerima pesan tersebut. Efektivitas dalam penyampaian pesan perlu ditunjang dengan penggunaan bahasa yang bersesuaian dengan penerima pesan. Oleh karena itu, bahasa Tionghoa dialek Hakka adalah bahasa yang sangat tepat digunakan untuk berkomunikasi dengan penikmat wayang gantung, yang mayoritas terdiri dari orang-orang bersub-etnis Hakka. Meskipun kalimat-kalimat lisan yang diucapkan oleh dalang merupakan sarana komunikasi yang paling mudah dicerna oleh penonton, tetapi kalimat-kalimat lisan tersebut bukanlah sarana satu-satunya untuk berkomunikasi. Terkadang bahasa-bahasa simbolis yang muncul dalam
82
pementasan wayang gantung justru lebih sarat akan makna dan kandungan pesan. Sejak awal kehadirannya di depan publik hingga saat ini, wayang gantung tetap dapat mempertahankan fungsinya sebagai media komunikasi. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pemerintah kerap
menggunakan
wayang
gantung
sebagai
media
untuk
menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Wayang gantung dianggap sebagai pilihan yang tepat, karena terbukti mampu menjembatani sekatsekat yang selama ini menjadi penghalang antara pemerintah dengarij masyarakat. Dimana wayang gantung menjadi perekat hubungan sosial sehinggah, pementasan wayang gantung terkait erat dengan perayaanperayaan besar dalam kehidupan orang Tionghoa, seperti: peresmian klenteng, perayaan ulang tahun dewa, klenteng, perkumpulan, ataupun seseorang; serta perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Apapun peristiwanya, pementasan wayang gantung selalu terbuka untuk umum. Di saat-saat seperti itulah seluruh kaum kerabat berkumpul untuk meneguhkan kembali ikatan persaudaraan di antara mereka. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang datang untuk menyaksikan wayang gantung. Mereka bisa saja datang dari berbagai tempat dan menyandang status sosial yang berbeda-beda. Namun pada akhirnya wayang gantung mempersatukan mereka atas dasar persamaan identitas budaya. Pada bab sebelumnya telah dibahas secara detil tentang prosesi ritual yang wajib dilakukan menjelang dan sesudah pementasan wayang
83
gantung. Hal itu menunjukkan adanya nilai-nilai sakral yang terkandung di dalam pertunjukan wayang gantung. Boneka-boneka dan peran-peran yang dimainkannya dianggap sebagai perwakilan dari sosok-sosok yang dihormati dalam keyakinan orang Tionghoa. Oleh karena itu, prosesi ritual yang dilaksanakan itu bertujuan untuk meminta izin, sekaligus memohon kehadiran dewa dan para leluhur tersebut. Fungsi wayang gantung sebagai sarana ritual tercermin pula dari tujuan dipentaskannya wayang gantung. Dalam banyak peristiwa, pementasan
wayang
gantung
dijadikan
sebagai
sarana
untuk
memanjatkan doa atau permohonan, mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih, serta penghormatan kepada dewa dan para leluhur. Wayang gantung dapat juga menjadi sarana kontrol sosial dan edukasi, karena pada dasarnya lakon-lakon yang ditampilkan dalam setiap pementasan wayang gantung mencoba untuk memperkenalkan nilai-nilai kebajikan dan kemanusiaan kepada para penontonnya. Salah seorang informan menuturkan bahwa dongeng-dongeng klasik yang bertema peperangan, sesungguhnya ingin menyampaikan pengetahuan tentang bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Selain itu, melalui kisahkisah peperangan diharapkan dapat terpupuk sifat keberanian, semangat pantang menyerah, dan rasa penghargaan terhadap para pahlawan. Lakon-lakon yang berlatar belakang kisah percintaan dan drama keluarga dijadikan sebagai sarana untuk mengenalkan nilai-nilai moral atau etika, berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan, orang tua dan
84
anak, serta antar-anggota keluarga. Lakon-lakon seperti ini juga hendak mengajarkan tentang nilai-nilai kesetiaan dan penghargaan terhadap pasangan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa wayang gantung berfungsi sebagai sarana kontrol sosial dan edukasi, karena memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang baik dan buruk di dalam kehidupan manusia. Kadang-kadang sindiran dan kritikan disampaikan secara halus melalui berbagai peran yang dimainkan. Dengan cara seperti ini manusia (atau penonton) diajak untuk tnelakukan perenungan, mengoreksi diri, dan memilih hal-hal positif di dalam setiap langkah kehidupannya. Sebagai
sebuah
seni
pertunjukan,
wayang
gantung
tentu
mengemban misi memberikan hiburan kepada para penontonnya. Di tengah berbagai permasalahan yang mengancam eksistensi wayang gantung, inovasi dan improvisasi yang dilakukan oleh para pelaku seni wayang gantung cenderung terfokus pada upaya mempertahankan wayang gantung sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Misalnya dengan cara mengeksplorasi peran-peran lucu dan mengembangkan lakon-lakon bertema komedi, menampilkan cerita-cerita bertema ringan tentang kehidupan sehari-hari, ataupun menghadirkan atraksi-atraksi menarik yang memperlihatkan keahlian dalang dalam mengontrol gerak boneka. Lakon-lakon yang bersumber dari dongeng-dongeng klasik berlatar belakang sejarah sudah semakin jarang dipentaskan. Lakon-lakon
85
tersebut dinilai tak lagi sesuai dengan selera penonton. Selain dikhawatirkan akan menyebabkan kebosanan, pengetahuan penonton akan lakon-lakon itu pun amat terbatas. Alih-alih dapat melepaskan kepenatan dan menyegarkan pikiran, penonton malah harus berpikir keras untuk dapat memahami dan mengikuti alur cerita yang ditampilkan. Jadi, tak dapat dihindari jika pada akhirnya fungsi hiburanlah yang dirasa paling menonjol saat ini dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya.
86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Sehingga penulis menarik kesimpulan terkait dengan wayang gantung Singkawang yang menjadi tema penelitian ini adalah, dimana wayang gantung atau chiao thew adalah seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di Singkawang. Meskipun berakar dari kebudayaan China yang berkembang di negeri leluhur, tetapiwayanggantung telah mengalamipenyesuain-penyesuaian,sehingga merefleksikankebudayaan dan kehidupan orang Tionghoa di Singkawang. Pementasan wayang gantung menggunakan bahasa Tionghoa dialek Hakka. Dalam pementasan wayang gantung terdapat unsur-unsur penting yang satu sama lain saling berkaitan seperti, boneka wayang, terbuat dari kayu Chongsu dan berukuran 70-80 sentimeter. Boneka wayang terdiri dari beberapa bagian, yaitu bagian badan dan bagian yang bisa dilepas dan dipasang sesuai dengan peran yang diinginkan. Saat dimainkan, gerakan boneka ini dikontrol melalui benang yang terhubung dengan sebuah panel pengontrol. Karena boneka ini merupakan simbol dari sosok-sosok yang dihormati dalam kepercayaan orang Tionghoa, maka terdapat ritual-ritual khusus yang harus dilaksanakan oleh dalang. Misalnya, saat membuka dan menutup peti, atau saat menjelang pementasan wayang gantung. Dalang disebut juga chiao thew ciu nyin
87
adalah orang yang memiliki keterampilan dalam memainkan wayang gantung sesuai peran yang ditentukan. la juga berperan untuk menyampaikan kandungan dari sebuah lakon yang dipentaskan. Dalang juga menjadi perantara bagi hadirnya dewa dan roh-roh leluhur di dalam pementasan wayang gantung. Ritual menjelang pementasan dilakukan dengan menyajikan persembahan yang diperuntukkan bagi dewa dan para leluhur. Tujuan dari ritual ini adalah untuk meminta izin kepada dewa dan roh leluhur yang sosoknya akan diperankan melalui boneka-boneka wayang gantung. Kehadiran dewa dan roh leluhur diyakini akan "menghidupkan" boneka-boneka tersebut, sehingga pementasan yang dilakukan benar-benar tampak seperti kenyataannya. Kealpaan dalam melakukan ritual menjelang pementasan diyakini akan menyebabkan gangguan-gangguan selama pementasan. Unsur pendukung pementasan terdiri atas panggung dengan beragam dekorasinya, instrumen yang mengiringi pementasan wayang (chem, loku, tok, sio lo, tew hiari), para pemusik dan penyanyi, serta orang-orang lain yang bertugas membantu dalang. Penokohan dan Lakon dalam pementasan wayang gantung sangat tergantung dengan peristiwa/momen yang melatarbelakangi pementasan wayang gantung tersebut. Misalnya, saat wayang gantung dipentaskan untuk perayaan-perayaan keagamaan yang ditampilkan adalah lakon-lakon klasik tentang dewa, kstria, dan kerajaan. Sedangkan dalam pementasan yang berkaitan dengan daur hidup seseorang, seperti perkawinan dan ulang tahun, cerita yang dihadirkan bertema tentang
88
kehidupan sehari-hari, kisah percintaan, maupun cerita-cerita yang penuh humor (komedi). Pementasan wayang gantung membutuhkan waktu paling lama 3 jam. Selama rentang waktu 3 jam itu, ditampilkan sebuah kisah yang merupakan nukilan dari dongeng-dongeng klasik Tiongkok, ataupun cerita-cerita lain yang merupakan hasil dari pengembangan ide dalang. Pementasan dapat diakhiri dangan menyanyikan lagu-lagu tradisional (tong san ko), menyanyikan lagu-lagu berbahasa Mandiri, atau menyajikan cerita-cerita lucu. Penulis juga menguraikan ancaman kepunahan yang melanda kesenian wayang gantung adanya beberapa permasalahan, seperti: kebijakan politik di masa pemerintahan Orde Baru yang membatasi ekspresi-ekspresi budaya orang Tionghoa dipertunjukan di depan umum, perkembangan jenis-jenis media hiburan dan bentuk-bentuk hiburan modern yang lebih diminati masyarakat, ketidakmampuan wayang gantung tidak mendatangkan profit (secara ekonomi) bagi para pelaku seni wayang gantung, gagalnya proses regenerasi penerus wayang gantung,
serta
belum
pengembangan
adanya
wayang
program-program
gantung
yang
pelestarian
dilakukan
dan
secara
berkesinambungan. Upaya yang selama ini dilakukan untuk menyikapi berbagai permasalahan tersebut antara lain adalah memanfaatkan wayang gantung sebagai media dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan, sehingga dapat dipentaskan di depan umum (selama diberlakukannya
89
Inpres No. 147 1967). Strategi lain yang dilakukan adalah dengan memperpendek durasi pementasan dan memilih lakon-lakon yang bersifat menghibur. Sejak dicabutnya Inpres No. 14/1967 oleh (aim.) Presiden Abdurrahman Wahid, pementasan wayang gantung mulai digalakkan kembali, meskipun tinggal satu perkumpulan wayang gantung yang ada di Kota Singkawang. B. Saran Dari hasil kesimpulan diatas maka penulis mencoba untuk memberikan saran sebagai berikut: 1. Pemerintah dengan bantuan berbagai pihak, diharapkan dapat memfasilitasi
sebuah
program
yang
bertujuan
untuk
melestarikan dan mengembangkan seni wayang gantung Singkawang. Rencana pemerintah untuk membangun sentra wayang gantung sebagai tempat pementasan dan pembelajaran wayang gantung hendaknya dapat direalisasikan, sehingga aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pengembangan seni wayang gantung dapat dilakukan secara komprehensif. 2. Para pelaku seni wayang gantung hendaknya lebih kreatif dalam menggali dan mengembangkan ide-ide cerita dan melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam pementasan. Diharapkan inovasi dan improvisasi yang dilakukan itu dapat bersesuaian dengan selera pasar, meskipun tanpa harus melupakan atau
90
mengorbankan
fungsi-fungsi
wayang
gantung
yang
lebih
substansial. 3. Perlu dipikirkan secara serius mengenai proses regenerasi penerus wayang gantung, misalnya melalui publikasi dan sosialisasi di sekolah-sekolah, sehingga generasi muda tertarik untuk mengenai dan mempelajari wayang gantung lebih lanjut.
91