BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Jalan merupakan bagian dari infrastruktur transportasi darat yang
mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari untuk menghubungkan suatu daerah dengan daerah lain, sehingga pada hakikatnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Seiring meningkatnya kebutuhan kelayakan jalan, maka beban yang diterima oleh struktur perkerasaan jalan semakin bervariasi baik itu beban dari kendaraan berat maupun beban dari kendaraan ringan dengan klasifikasi tertentu. Metoda yang tepat untuk merencanakan tebal perkerasan sangat diperlukan agar dapat menghasilkan perkerasan jalan yang dapat mendukung beban dan lalu lintas kendaraan serta memberikan pelayanan sampai akhir umur rencana. Saat ini banyak metode yang digunakan untuk merencanakan tebal perkerasan jalan antara lain AASTHO, Metode The Asphalt Istitute, Austroads, dan Analisa Komponen. Saat ini, perkerasan lentur di Indonesia banyak mengadopsi dari metode AASHTO 93. Oleh karena hal tersebut, penelitian ini akan membandingkan metode dalam perhitungan tebal lapis perkerasan lentur. Adapun metode yang akan dibahas adalah AASTHO 1993 dan Austroads 1992. Pengkajian kedua metode ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan tebal lapis perkerasan lentur dan parameter-parameter yang digunakan dengan mengambil data asumsi sebagai data perencanaan tebal perkerasan.
1
2
1.2
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan tebal lapis
perkerasan lentur dan parameter-parameter yang digunakan dalam perencanaan dengan menggunakan metode AASTHO 1993 dan Austroads 1992.
1.3
Ruang Lingkup Pembahasan Tugas akhir ini membahas perbedaan yang terjadi dalam merencanakan
tebal perkerasan lentur jalan dengan menggunakan dua metode yaitu American Association of State Highway and Transportation Officials (AASTHO 1993) dengan A Guide to the Structural of Road Pavement Austroads 1992. Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data asumsi berupa data lalu lintas, data tanah dan data geometrik jalan sedangkan data regangan vertikal tanah dasar dan vertikal tanah aspal menggunakan hasil dari tugas akhir Adi Sutrisno.
1.4
Sistematika Penulisan Tugas Akhir ini dibagi dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN; menjelaskan latar belakang, tujuan, ruang lingkup pembahasan, dan sistematika penulisan tugas akhir.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA; berisi suatu tinjauan pustaka yang menjelaskan konstruksi perkerasan lentur, jenis lapisan, tahap perencanaan tebal perkerasan lentur dengan metode AASTHO 1993 dan Austroads 1992.
3
BAB III
: METODE PENELITIAN; berisikan metode yang digunakan dalam perencanaan tebal perkerasan lentur.
BAB IV
: DATA PERENCANAAN DAN ANALISIS; berisikan mengenai data seluruh perencanaan yang diperlukan. Dilanjutkan
dengan
melalukan
analisis
perhitungan
tebal
perkerasan lentur dengan menggunakan kedua metode tersebut serta pembahasan, BAB V
: KESIMPULAN dan SARAN; berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilaksanakan dan saran-saran yang disajikan berdasarkan hasil penelitian.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Jalan merupakan bagian dari infrastruktur yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari untuk mengantarkan kesuatu tempat serta hakikatnya menyangkut hajad
hidup orang banyak. Seiring meningkatnya kebutuhan
kelayakan jalan, maka beban yang diterima oleh struktur perkerasaan jalan semakin bervariasi baik itu beban dari kendaraan berat maupun beban dari kendaraan ringan dengan klasifikasi tertentu. 2.1
Jenis Konstruksi Perkerasan
Perkerasan jalan sebagai prasarana transportasi perlu kokoh selama masa pelayanan sesuai yang ditetapkan oleh pengelolah jalan, memberi rasa nyaman dan aman kepada pengguna jalan. Berdasarkan bahan pengikat yang digunakan sebagai lapisan atas, konstruksi jalan dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu: a.
Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan
aspal
sebagai
bahan
pengikatnya.
Lapisan-lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban ke tanah dasar. b.
Kostruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya. Perkerasan ini baik digunakan pada volume kendaraan yang tinggi dan didominasi kendaraan berat.
c.
Kostruksi perkerasan komposit, yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur, dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku.
4
5
2.2
Susunan Lapisan Perkerasan Lentur
Kostruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipadatkan yang berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Penerimaan Beban Roda pada Lapis Perkerasan Lentur
Kostruksi perkerasan lentur terdiri dari: a.
Lapisan Permukaan (Surface Course)
b.
Lapisan Pondasi (Bese Course)
c.
Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
d.
Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)
Beban kendaraan yang dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui kontak roda dengan muka jalan terdiri atas berat kendaraan sebagai gaya vertikal, gaya rem kendaraan sebagai gaya horizontal, dan gerakan kendaraan sebagai getaran. Lapisan pada kontruksi perkerasan lentur semakin ke bawah semakin kecil gaya yang diterima oleh lapisan dibawahnya karena ada sifat penyebaran gaya. Lapisan
6
permukaan harus mampu menerima seluruh gaya yang bekerja, lapis pondasi menerima gaya vertikal dan getaran, sedangkan tanah dasar menerima gaya vertikal saja. Oleh karena itu, ada perbedaan syarat-syarat harus dipenuhi masingmasing jenis lapisan. 2.2.1
Lapis Permukaan (Surface Course)
Lapisan permukaan adalah lapisan yang bersentuhan langsung dengan beban roda kendaraan. Lapisan permukaan ini berfungsi sebagai: a.
Lapisan yang langsung menahan beban roda kendaraan.
b.
Lapisan yang langsung menahan gesekan akibat rem kendaraan.
c.
Lapisan yang mencegah air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke lapisan bawahnya dan melemahkan lapisan dibawahnya.
d.
Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh lapisan di bawahnya.
Apabila diperlukan, dapat juga dipasang suatu lapis penutup / lapis aus (wearing course) di atas lapis permukaan tersebut. Fungsi lapis aus adalah sebagai lapis pelindung bagi lapis permukaan untuk mencegah masuknya air dan memberikan kekesatan (skid resistance) pada permukaan jalan. Lapis aus tidak diperhitungkan ikut memikul beban lalu lintas. 2.2.2 Lapis Pondasi (Base Course) Lapisan pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan. Lapis pondasi atas ini berfungsi sebagai: a.
Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.
b.
Bantalan terhadap lapisan permukaan.
7
2.2.3
Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapis pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang terletak di atas lapisan tanah dasar dan di bawah lapis pondasi atas. Lapis pondasi bawah ini berfungsi sebagai; a.
Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi
b.
Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas
c.
Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari beban roda-roda alat berat (akibat lemahnya daya dukung tanah dasar) pada awal-awal pelaksanaan pekerjaan
d.
Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari pengaruh cuaca terutama hujan.
2.2.4
Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)
Lapis tanah setebal 50-100 yang terletak pada bagian dasar dari suatu lapisan perkerasan dibawah lapis pondasi bawah dinamakan lapisan tanah dasar atau lapisan subgrade. Mutu persiapan lapisan tanah dasar sebagai perletakan struktur perkerasan jalan, sangan menentukan ketahanan struktur menahan beban selama masa pelayanan. Berdasarkan elevasi muka tanah dimana kostruksi perkerasan jalan akan diletakkan, lapisan tanah dasar dikelompokkan menjadi: a.
Permukaan tanah asli adalah lapisan tanah dasar yang merupakan muka tanah asli di lokasi jalan tersebut
b.
Permukaan tanah timbunan adalah lapisan tanah dasar yang lokasinya di atas muka tanah asli
c.
Permukaan tanah galian adalah lapis tanah dasar yang lokasinya di bawah muka tanah asli.
8
2.3
Parameter Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan
Perkerasan jalan dibangun untuk memberi keamanan dan kenyamanan dalam berkendara. Dengan demikian harus memperhatikan dan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan tebal lapisan perkerasan seperti beban lalu lintas, daya dukung tanah dasar, fungsi jalan, faktor pertumbuhan serta kondisi lingkungan dimana lokasi jalan tersebut berada. 2.3.1
Faktor Lalu Lintas
Beban lalu lintas adalah beban kendaraan yang dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui kontak antara ban dan muka jalan, beban tersebut merupakan beban dinamis yang terjadi secara berulang. Tebal dari lapis perkerasan lentur ditentukan dari beban yang akan terjadi pada permukaan perkerasan lentur tersebut. Besarnya beban yang akan bekerja ditentukan dari beban lalu lintas yang berupa repetasi beban kendaraan yang akan menggunakan selama masa pelayanan tersebut. Volume lalu lintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang melewati suatu titik pengamatan selama satu satuan waktu. Untuk perencanaan tebal lapis perkerasan, volume lalu lintas dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah tidak terpisah dan kendaraan /hari/1 arah untuk 1 arah atau 2 arah terpisah. Untuk menentukan volume kendaraan yang akan menggunakan jalan digunakan survei lalu lintas. 2.3.2
Daya Dukung Tanah
Di atas lapisan tanah dasar bertumpu struktur perkerasa struktur perkerasan lainya. Oleh karena itu, daya dukung tanah mempengaruhi mutu jalan secara keseluruhan. Daya dukung tanah dasar dipengaruhi oleh jenis tanah, tingkat kepadatan, kadar air, dan kondisi drainase dari jalan tersebut. Tanah dasar yang
9
dipadatkan sampai tingkat kepadatan tertentu mempunyai daya dukung yang baik serta mampu mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Saat ini terdapat beberapa parameter daya dukung tanah dasar seperti Califonia Bearing Ratio (CBR), CBR segmen dan Modulus Resilien (MR). CBR merupakan parameter penunjuk daya dukung tanah dasar yang paling umum digunakan di Indonesia saat ini. CBR adalah perbandingan antara beban yang dibutuhkan untuk penetrasi contoh tanah sebesar 0,1 inch dan 0,2 inch dengan beban yang ditahan batu pecah standar. Nilai CBR dinyatakan dengan persen. Sedangakan CBR segmen adalah bagian dari ruas jalan yang dengan CBRtitik pengamatan yang relatif sama. Modulus resilient adalah pernbandingan antara nilai deviator stress yang menggambarkan repetisi beban roda dan recoverable strain. Nilai MR dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kadar air, derajat kejenuhan, kepadatan, tempratur, jumlah butir halus, dan gradasi. 2.3.3
Faktor Pertumbuhan
Perkerasan jalan dirancang untuk menahan beban kumulatif lalu lintas selama waktu tertentu. Umur perkerasan dirancang dalam satuan waktu yang dinamakan umur rencana. Faktor pertumbuhan untuk setiap jenis kendaraan nilainya konstan setiap tahunnya. 2.3.4
Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi daya tahan dan mutu pelayanan struktur perkerasan jalan yang terletak di lokasi tersebut. Pelapukan material tidak hanya disebabkan oleh beban lalu lintas, tetapi juga oleh cuaca dan air yang ada di
10
dalam sekitar struktur perkerasan jalan. Perubahan temperatur yang terjadi menyebabkan mutu struktur perkerasan jalan berkurang sehingga perkerasan menjadi aus dan rusak. Di indonesia perubahan tempratur dapat terjadi karena perubahan musim dari musim penghujan ke musim kemarau atau karena pergantian siang dan malam, tetapi perubahan yang terjadi tidak sebesar di daerah yang memiliki 4 musim.
2.4
Perencanaan Tebal Perkerasan Metode AASHTO 1993
Salah satu metode perencanaan untuk tebal perkerasan jalan yang sering digunakan adalah metode AASHTO 1993. Metode ini sudah dipakai secara umum diberbagai negara untuk perencanaan tebal perkerasan dan di adopsi sebagai standar perencanaan. Metode AASHTO 1993 ini pada dasarnya adalah metode perencanaan yang didasarkan pada metode empiris. Terdapat beberapa parameter diantaranya adalah daya dukung tanah dasar, beban lalu lintas, indeks permukaan, reabilitas, koefisien drainase dan Structural Number. 2.4.1
Modulus Resilient (MR)
Sejak 1986, AASHTO menggunakan modulus resilient sebagai parameter penunjuk daya dukung lapisan tanah dasar / subgrade, dan petunjuk daya dukung dari lapis tanah dasar, pondasi bawah, pondasi ataupun lapis permukaan menggantikan CBR yang selama ini digunakan. Nilai MR untuk lapisan tanah dasar diperoleh dari hasil korelasi dari nilai CBR dengan menggunakan Rumus 2.1 dan Rumus 2.2. Rumus 2.1 berlaku untuk tanah berbutir halus dan Rumus 2.2 dipergunakan untuk rentang nilai CBR yang lebih luas.
11
MR = 1500(CBR).....................................................(2.1) MR = 2555(CBR)0,64................................................(2.2) 2.4.2
Indeks Permukaan Berdasarkan Jenis Permukaan Jalan
Tebal perkerasan dipengaruhi oleh nilai kinerja struktur perkerasan yang diharapkan pada saat jalan dibuka untuk melayani arus lalu lintas selama umur rencana dan diakhir umur rencana. Kenerja struktur perkerasan dinyatakan dengan Indeks Permukaan (IP) yang memiliki pengertian sama dengan serviceability index. IP di awal umur rencana atau awal masa pelayanan jalan ( IPi) ditentukan dari jenis perkerasan yang digunakan untuk lapis permukaan. IP di akhir umur rencana (IPt) ditentukan berdasarkan kinerja struktur perkerasan yang diharapkan pada akhir umur rencana. Tingkat pelayanan awal berdasarkan AASHTO 1993 diharuskan sama atau lebih dari 4,0. Nilai tingkat pelayanan awal (IPi) yang direkomendasikan oleh AASHTO 93 adalah 4,2. Sedangkan untuk IPt dipengaruhi oleh volume lalu lintas pada saat akhir Tabel 2.1 menunjukan Indeks permukaan pada akhir umur rencana. Tabel 2.1 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IPt)
Volume Lalu Lintas
ADT
Terminal Serviceability (IPt)
Lalu lintas tinggi
>10.000
3,0 – 3,5
Lalu lintas sedang
3.000 – 10.000
2,5 – 3,0
Lalu lintas rendah
<3.000
2,0 – 2,5
Sumber : AASHTO’93
2.4.3 a.
Beban Lalu Lintas
Angka Ekivalen Beban Sumbu Angka ekivalen (E) menunjukan jumlah lintasan sumbu standar sumbu tunggal roda ganda dengan beban 18.000 pon yang mengakibatkan kerusakan
12
yang sama pada struktur perkerasan jalan jika dilintasi oleh jenis dan beban sumbu tertentu atau jenis dan beban kendaraan tertentu. Angka ekivalen untuk roda tunggal, tandem, dan tridem ditentukan pada lampiran I-1, I-2, dan I-3. b. Lalu Lintas pada Lajur Rencana Rumus 2.3 digunakan untuk memperoleh lalu lintas pada lajur rencana (W18) adalah: W18= DD x DL xW18..........................................................(2.3) dengan :DD = faktor distribusi arah DL = faktor distribusi lajur W18 = beban gandar standar kumulatif untuk dua arah Faktor distribusi arah (DD) digunakan untuk menunjukan distribusi kendaraan ke masing-masing arah. Pada umumnya nilai (DD) diambil 0,5, walaupun nilainya berada pada bentang 0,3-0,7. Pemilihan nilai lebih besar atau lebih kecil dari 0,5 ditentukan oleh analisis yang dilakukan terhadap arus lalu lintas yang akan menggunakan jalan tersebut. Faktor distribusi lajur (DL) digunakan untuk menunjukan distribusi kendaraan ke lajur rencana. Tabel 2.2 menunjukan faktor distribusi kendaraan ke lajur rencana Tabel 2.2 Faktor Distribusi Lajur
Junlah Lajur setiap arah
DL (%)
1
100
2
80-100
3
60-80
4
50-75
Sumber : AASHTO’1993
13
Lalu lintas yang digunakan adalah jumlah lalu lintas selama umur rencana. Rumus 2.4 untuk menentukan lalu lintas selama umur rencana. Wt = W 18 x
....................................(2.4)
dengan : Wt = jumlah beban gandar standar kumulatif selama umur rencana
2.4.4
W18
= beban gandar kumulatif selama 1 tahun
n
= umur rencana, tahun
g
= pertumbuhan lalu lintas
Reabilitas
Reliabilitas adalah tingkat kepastian atau probabilitas bahwa struktur perkerasan mampu melayani arus lalu lintas selama umur rencana sesuai dengan proses penurunan kinerja struktur perkerasan yang dinyatakan dengan servicebility yang direncanakan. Tabel 2.3 memperlihatkan nilai reliabilitas sesuai fungsi jalan. Tabel 2.3 Nilai Reliabilitas Sesuai Fungsi Jalan
Rekomendasi tingkat reliabilitas Fungsi Jalan
Urban
Rural
Bebas Hambatan
85 – 99,9
80-99,9
Arteri
80 – 90
75 – 95
Kolektor
80 – 95
75 – 95
Lokal
50 – 80
50 – 80
Sumber: AASHTO’93
Dalam persamaan desain perkerasan lentur, tingkatan dari nilai reliabilitas dialokasikan dengan parameter penyimpangan normal standar (standard normal deviative, ZR). Tabel 2.4 menunjukan nilai Standard Normal Deviative (ZR) untuk tngkat reliabilitas tertentu.
14
Tabel 2.4 Nilai Standard Normal Deviative (ZR) untuk Tingkat Reliabilitas Tertentu Reliabilitas, R, %
Standard
Normal Reliabilitas, R, Standard Normal
Deviative (ZR)
%
Deviative (ZR)
50
0.000
93
-1,476
60
-0,253
94
-1,555
70
-0,524
95
-1,645
75
-0,674
96
-1,751
80
-0,841
97
-1,881
85
-1,037
98
-2,054
90
-1,282
99
-2,327
91
-1,340
99,9
-3,090
92
-1,405
99,99
-3,750
Sumber : AASHTO 1993
2.4.5
Koefisien Drainase
Ketahana kinerja struktur perkerasan dalam melayani arus lalu lintas sangat dipengaruhi oleh kondisi drainase dari struktur perkerasan tersebut. Pengaruh kondisi drainase ini ditentukan berdasarkan 2 hal yaitu kualitas drainase sesuai kemampuan mengalihkan air dari struktur perkerasan. Untuk perencanaan tebal perkerasan
jalan
kualitas
drainase
ditentukan
berdasarkan
kemampuan
menghilangkan air dari striktur perkerasan. Tabel 2.5 menunjukan kelompok kualitas drainase berdasarkan AASHTO 1993. Pengaruh kualitas drainase dalam proses perencanaan tebal lapis perkerasan dinyatakan dengan menggunakan koefisien drainase (m). Tabel 2.6 menunjukkan nilai koefisien drainase.
15
Tabel 2.5 Kelompok Kualitas Drainase
Kualitas Drainase
Air hilang dalam
Baik sekali
2 jam
Baik
1 hari
Sedang
1 minggu
Jelek
1 bulan
Jelek sekali
Air tidak mengalir
Sumber: AASHTO 1993 Tabel 2.6 Koefisien Drainase
persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar Kualitas Drainase
air yang mendekati jenuh <1%
1-5%
5 - 25 %
> 25 %
Baik sekali
1,40 - 1,35
1,35 - 1,30
1,30 - 1,20
1,20
Baik
1,35 - 1,25
1,25 - 1,15
1,15 – 1
1,00
Sedang
1,25 - 1,15
1.15 - 1,05
1 - 0,8
0,80
Jelek
1,15 - 1,05
1,05 - 0,80
0,8 - 0,6
0,60
Jelek sekali
1,05 - 0,95
0,95 - 0,75
0,75 - 0,4
0,40
Sumber: AASHTO 1993
2.4.6
Koefisien Kekuatan Relatif
Metode ini memperkenalkan kerelasi antara koefisien kekuatan relatif (a) dengan modulus resilien (MR). Berdasarkan fungsi dan jenis material lapisan perkerasan, perhitungan ini dikelompokan menjadi tiga katagori yaitu : a.
Lapis Permukaan Benton Aspal (asphalt concrete surface course) Pada Lampiran II-1 memperlihatkan grafik yang dipergunakan untuk memperkirakan koefisien kekuatan relatif lapis permukaan beton aspal (a1).
b.
Lapis Pondasi Granular (granular base layer) Koefisien ini (a2) didapat dengan menggunakan Lampiran II-2 atau Rumus 2.5.
16
a2 = 0,249 (logEBS) – 0,977............................................(2.5) dengan: a2 = koefisien relatif lapis pondasi berbutir EBS c.
= modulus elastisitas lapis pondasi, psi.
Lapis Pondasi Bawah (granular sub base layer) Koefisien ini (a3) didapat dengan menggunakan Lampiran II-3 atau Rumus 2.6. a3 = 0,227 ( logESB) – 0,839...........................................(2.6) dengan: a3
= koefisien relatif lapis pondasi bawah berbutir
ESB
= modulus elastisitas lapis pondasi bawah, psi.
2.4.7
Rumus Dasar Tebal Lapis Perkerasan
Rumus dasar AASHTO 1993 mengalami perubahan sesuai hasil penelitian sejak 1972 yaitu seperti pada Rumus 2.7 dan 2.8.
...............................(2.7) dengan : W18
= ESAL yang diperkirakan
ZR
= simpangan baku normal, sesuai Tabel 2.6
S0
= deviasi standar keseluruhan, bernilai 0,4-0,5
SN
= Structural Number, angka struktural relatif perkerasan, inci
∆PSI = perbedaan serviceability index di awal dan akhir umur rencana
17
MR
= modulus resilient tanah dasar (psi)
Struktural Number (SN) SN = a1 x D1 + a2 x m2 x D2 + a3 x m3 x D3............................................(2.8) dengan : a1, a2, a3
= koefisien kekuatan relatif tiap lapisan
m2, m3 = koefisien drainase D1, D2, D3
= tebal masing-masing lapisan (inci)
Gambar 2.2 Tebal perkerasan lentur
Tebal minimum untuk masing-masing lapisan dihitung dengan menggunakan rumus: D1* ≥
..........................................................(2.9)
SN1 = a1 x D1* ≥ SN1........................................(2.10) ...................................................(2.11) ...............................................(2.12) ...............................................(2.13) ..............................................(2.14) * menunjukan tebal minimal yang digunakan untuk lapis permukaan (D1*), lapis pondasi (D2*), lapis pandasi bawah (D3*)
18
2.4.8
Batas-Batas Minimum Lapis Perkerasan
Pada
saat
menentukan
tebal
lapis
perkerasan,
perlu
dipertimbangkan
keefektifannya dari segi biaya, pelaksanaan konstruksi, dan batasan pemeliharaan untuk menghindari kemungkinan dihasilkan perencanaan yang tidak praktis. Tabel minimum lapis permukaan dari beton aspal dan lapis pondasi batu pecah ditentukan juga berdasarkan Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Tebal Minimum Lapis Permukaan dan Lapis Pondasi
Tebal Minimum Lapisan (Inch)
ESAL
Beton aspal
Pondasi batu pecah
< 50000
1,0
4,0
50001 – 150000
2,0
4,0
150001 – 500000
2,5
4,0
500001 – 2000000
3,0
6,0
2000001 – 7000000
3,5
6,0
> 7000000
4,0
6,0
Sumber AASHTO 1993
2.5
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Austroads 1992
Metode Austroads merupakan metode mekanistik yang dikembangkan berdasarkan teori matematis dari regangan pada setiap lapisan perkerasan akibat beban berulang dari lalu lintas. Metode mekanistik yang banyak digunakan biasanya berdasarkan teori elastik yang membutuhkan modulus elastis dan rasio poisson dari setiap bahan lapis perkerasan. Parameter yang digunakan pada perencanaan perkerasan menggunakan metode Austroads 1992 ini daya dukung tanah dasar, suhu, faktor lalu lintas, dan jenis material.
19
2.5.1
Faktor Equivalent Standard Axle (ESA)
Dalam perencanaan perkerasan menggunakan metode Austroads faktor ESA yang didapat ada 2 faktor ESA yaitu tanah dasar (Fsij) dan aspal (Fcij). Rumus 2.16 menunjukan cara perhitungannya. Faij (atau Fcij atau Fsij) =
dengan : Lj
......................................(2.16)
= beban roda gandar pada sumbu j (kN)
Li
= beban standar pada roda gandar tipe i dilihat pada Tabel 2.8 (kN)
EXP
= pangkat yang terdapat dalam hubungan antara batasan regangan dan
regangan repetisi yang menjelaskan kinerja aspal, bahan bersemen, atau tanah dasar saat digunakan. Nilai pangkat 5 (aspal), 18 (bahan bersemen), dan 7,14 (tanah dasar) didapat dari kriteria kinerja. Tabel 2.8. Beban Sumbu yang Mengakibatkan Kerusakan Sama
Konfigurasi
Tunggal
Tunggal
Tandem
Tripel
sumbu
Tunggal
Ganda
Ganda
Ganda
Beban (kN)
53
80
135
181
Sumber AASHTO 1993
2.5.2
Lalu Lintas Rencana (Design Traffic)
Lalu lintas rencana adalah volume lalu lintas harian yang diperoleh dari nilai ratarata jumlah kendaraan selama satu tahun dan telah dikalikan dengan faktor ESA dan faktor pertumbuhan lalu lintas. Lalu lintas harian rata-rata pada awal jalan dibuka dapat dihitung menggunakan Rumus 2.18 dan lalu lintas rencana dapat dihitung menggunakan Rumus 2.19. NSi = LHRjalan dibuka x faktor ESA.................................(2.18)
20
Nilai Rencana ESAS = NSi x 365 x GF........................(2.19)
dengan :ESAS = nilai ESA rencana pada (kendaraan rencana/umur rencana/jalur rencana) NSi
= lalu lintas harian rata-rata tahun awal pada nilai ESA i ( ken/hari/2 arah
GF
2.5.3
= faktor pertumbuhan kumulatif
Lalu Lintas Rencana Disesuaikan (Modifide Disign Traffic)
Pengali usia perkerasan atau pavement life multipliers (PLM) digunakan untuk memperhitungkan pengaruh rentang suhu berdasarkan lokasi spesifik pada kinerja perkerasan aspal. Rumus 2.19 menunjukan cara untuk mendapatkan PLM. Harus diingat bahwa PLM tidak dapat digunakan pada perkerasan yang terdiri dari bahan bersemen. PLM dibagi menjadi dua bagian yaitu PLMN dan PLMD. PLMN adalah faktor pengali pada malam hari sedangkan PLMD faktor pengali pada malam hari. Faktor PLMN dan PMLD ditetapkan dari data di wilayah New Zealand yang terdapat pada Tabel 2.9. Tabel 2.9 Nilai Faktor Ketebalan Aspal untuk Wilayah NEW ZEALAND Kota Whangarei Auckland Hamilton Tauranga Rotorua
≤50mm PLMD 0,83 0,73 0,58 0,63 0,39
Sumber : AUSTROADS 1992
PLMN 0,11 0,14 0,07 0,11 0,07
Tebal Aspal 75mm PLMD PLMN 1,13 0,49 1,05 0,53 0,99 0,45 0,98 0,5 0,83 0,46
≥100mm PLMD PLMN 1,44 1 1,38 1 1,36 1 1,32 1 1,23 1
21
.......................................(2.19)
dengan: PLM
= pavement life multipliers lalu lintas total
PD
= % ESA selama siang (pukul 07.00-21.00)
PLMD
= faktor PLM untuk siang hari
PLMN
= faktor PLM untuk malam hari
Nilai lalu lintas rencana yang sudah disesuaikan dapat dihitung menggunakan Rumus 2.20. ....................................................(2.20) dengan :
2.5.4
N
= beban lalu lintas normal
NA
= beban lalu lintas disesuaikan
PLM
= pavement life multiplier total
Daya Dukung Lapisan Perkerasan
Daya dukung lapis perkerasan pada metode Austroads 1992 menggunakan CBR dan parameter elastis. Parameter elastis pada perencanaan tebal perkerasan menggunakan Austroads 1992 adalah modulus vertikal (Ev), modulus horizontal (EH), angka poisson, dan modulus geser. Angka poisson rasio adalah rasio kontraksi terhadap ekstensi atau rasio dari tegangan yang terjadi tegak lurus dengan beban terhadap tegangan aksial. Angka poisson rasio didapat dari Tabel 2.11. Modulus vertikal dan modulus horizontal dapat ditentukan dari pengujian labolatorium sepesimen atau menggunakan Rumus empiris yang terdapat pada
22
Rumus 2.21 untuk modulus vertikal sedangkan untuk modulus horizontal menggunakan Rumus 2.22. Modulus geser dapat dicari menggunakan Rumus 2.23. Tabel 2.11 Nilai Dugaan untuk Karakterisasi Elastis Material Berbutir Bawah Lapisan Permukaan Aspal Tipis
Sumber: Austroads 1992
EV = 10 x CBR.......................................................(2.21) EH = 0,5 x EV.........................................................(2.22)
dengan: EV
2.5.5
= modulus vertikal (MPa)
EH
= modulus horizontal (MPa)
f
= modulus geser (MPa)
vv
= rasio poisson vertikal
CBR
= nilai CBR rencana (%)
Regangan Vertikal
Parameter-parameter untuk mencari regangan vertikal seperti modulus vertikal, modulus horizontal, modulus geser, dan poisson rasio dan tebal perkerasan harus
23
ditentukan dengan trial and error . Setelah semua data didapat maka dimasukkan kedalam program CIRCLY 5.0 agar mendapatkan με dari aspal dan tanah dasar. Batasan standar regangan untuk tanah dasar ditunjukan oleh Rumus 2.25. .........................................(2.25) dengan : N
= jumlah repetisi yang diijinkan sebelum tingkat yang tidak dapat diterima
dari kerusakan alur terbentuk ε
= vertical compressive strain (microstrain) didapat dari hasil program
CIRCLY Faktor kerusakan didapat dari ESA rencana dibagi dengan ESA yang diijinkan seperti Rumus 2.26 Faktor kerusakan = N/Nijin...................................................(2.26) Persen volume bitumen perlu diperkirakan dahulu sebelum menentukan batasan repetisi pada aspal. Untuk itu menggunakan nomogram Van der Poer dan Bonnaure yang ditunjukkan pada Lampiran III-2 dan Lampiran III-3. Jumlah repetisi yang diijinkan dari beban tersebut. Rumus 2.27 adalah sebagai berikut:
dengan: N
= jumlah repetisi yang diijinkan (ESA)
με
= vertical compressive strain (micristrain) didapat dari program CIRCLY
VB
= persentase volume bitumen di aspal
Smix
= kekakuan campuran (modulus) dalam MPa
24
2.5.6
Parameter Sublapisan Lain pada Bahan Berbutir
Sub lapisan tidak diperlukan dan modulus dapat ditentukan secara langsung untuk bahan butiran yang diletakkan langsung pada fondasi dasar bersemen kaku. Namun untuk bahan butiran yang diletakkan langsung pada tanah dasar diperlukan sub lapisan. Pokok permasalahannya yaitu ketebalan lapisan harus berada pada kisaran antara 50 – 150 mm. Rasio modular (R) sub lapisan yang berbatasan tidak boleh mencapai 2. Rasio modular (R) dapat didapat dengan menggunakan Rumus 2.28. Jumlah dari sublapisan bahan berbutir dapat dilihat dari Tabel 2.14 Tabel 2.14 Jumlah Sub Lapisan Bahan Berbutir
Sumber : AUSTROADS, 1992
dengan : R
= rasio modular
ETop of base
= modulus vertikal fondasi (MPa)
Esubgrade
= modulus fertikal tanah dasar (MPa)
25
D1
= tebal lapisan ke-n (mm)
DB
= tebal total fondasi material (mm)
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1
Bagan Alir Penelitian
Penelitian yang dilakukan berdasarkan studi litelatur dengan membandingkan 2 metode yaitu American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO) 1993 dan A Guide to the Structural of Road Pavement, Austroads 1992. Data yang digunakan adalah data asumsi berupa data lalu lintas, data tanah dan data geometrik jalan. Pada Gambar 3.1 menunjukan bagan alir penelitian.
Gambar 3.1 Bagan alir penelitian
26
27
3.2
Identifikasi Masalah dan Penentuan Topik Penelitian
Semakin bertambah banyak pengguna jalan dan beban yang diterima oleh perkerasan semakin besar, sehingga dibutuhkan metode untuk menghitung tebal perkerasan yang dapat menghasilkan tebal perkerasan yang dapat menanggung beban lalilintas tersebut. Banyaknya metode-metode yang digunakan untuk menghitung tebal perkerasan lentur di dunia. Salah satunya adalah AASHTO, Austroads dan Analisa Komponen. Saat ini di Indonesia mengadopsi metode untuk perkerasan lentur memakai metode AASTHO 1993 sedangkan untuk perkerasan kaku memakan Austroad 1992. Maka dari pada itu tugas akhir ini ingin membandingkan perencanaan tebal perkerasan lentur menggunakan metode AASHTO 1993 dan Austroads 1992 untuk perkerasan lentur. 3.3
Studi Literatur Studi literatur yaitu tahapan pengumpulan bahan-bahan kepustakaan
sebagai referensi persiapan dalam langkah selanjutnya. Sumber referensi yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini berasal dari buku-buku, internet, dan tugas akhir mengenai bahasan sesuai tema yang diajukan. 3.4
Pengumpulan Data Sekunder
Setelah mengetahui data-data yang diperlukan dari studi litelatur, penulis akan mengumpulkan data-data tersebut untuk diolah. Data yang digunakan pada tugas akhir ini menggunakan data asumsi dan data skunder dari tugas akhir ADI SUTRISNO (2011).
28
3.5
Prosedur Perencanaa dengan Metode AASHTO 1993 Langkah-langkah
perencanaan
tebal
lapisan
perkerasan
dengan
menggunakan metode AASHTO 1993 adalah sebagai berikut: a.
menentukan lamanya umur rencana;
b.
menentukan Indeks permukaan IPi di awal umur rencana menggunakan Tabel 2.2;
c.
menentukan Indeks Permukaan IPt di akhir umur rencana menggunakan Tabel 2.3;
d.
nilai SN diasumsikan untuk menentukan angka ekivalen untuk masingmasing jenis kendaraan;
e.
nilai Wt dihitung, dengan menggunakan Rumus 2.5;
f.
nilai Reliabilitas sesuai dengan Tabel 2.6;
g.
nilai deviasi standar S0, sesuai kondisi lingkungan dan tingkat kepercayaan akan data yang dimiliki;
h.
nilai MR dari segmen jalan tertentu dengan menggunakan Rumus 2.1 atau Rumus 2.2 MR dalam psi;
i.
nilai SN dihitung dengan menggunakan Rumus 2.8 atau menggunakan monogram seperti pada Lampiran 1;
j.
koefisien drainase (m) didapat dengan menggunakan Tabel 2.8;
k.
koefisien relatif (a1) didapat dari lapis permukaan menggunakan grafik pada Lampiran II-1;
l.
koefisien relatif (a2) didapat dari lapis pondasi dengan menggunakan grafik pada Lampiran II-2;
29
m. koefisien relatif (a3) didapat dari lapis pondasi bawah menggunakan grafik pada Lampiran II-3; n.
D1, D2, dan D3 ditentukan dengan menggunakan Rumus 2.9; dan
o.
menentukan SN berdasarkan hasil langkah 14. Jika nilai SN mendekati nilai SN yang diasumsikan untuk menghitung angka ekivalen, maka perencanaan tebal lapis perkerasan telah sesuai dengan asumsi pada langkah 4. Namun, jika berbeda jauh maka perhitungan harus diulangi dari langkah 4.
Gambar 3.2 menunjukan bagan alir dari metode AASHTO 1993.
3.6
Prosedur Perencanaan dengan Metode AUSTROADS 1992 Langkah-langkah
perencanaan
tebal
lapisan
perkerasan
dengan
menggunakan metode AASHTO 1993 adalah sebagai berikut: a.
menentukan lamanya umur rencana;
b.
menghitung nilai foktor ESA aspal dan tanah dasar menggunakan Rumus 2.16;
c.
menghitung besar faktor pertumbuhan menggunakan Rumus 2.17;
d.
menghitung lalu lintas rencanan aspal dan tanah dasar menggunakan Rumus 2.18;
e.
menghitung lalu lintas rencanan yang telah disesuaikan menggunakan Rumus 2.20;
f.
menentukan nilai parameter elastis :
30
Gambar 3.2 Bagan alir metode AASHTO 1993
3-31
1) menentukan nilai parameter elastis tanah dasar : a) nilai modulus vertikal dihitung menggunakan Rumus 2.21; b) nilai modulus horizontal dihitung menggunakan Rumus 2.22; c) nilai modulus geser dihitung menggunakan Rumus 2.23. 2) menentukan nilai parameter elastis bahan butiran: a) nilai modulus vertikal dihitung menggunakan Tabel 2.13; b) nilai modulus horizontal dihitung menggunakan Rumus 2.22; c) nilai modulus geser dihitung menggunakan Rumus 2.23.
g.
parameter-parameter yang sudah dihitung seperti mosulus vertikal, modulus horizontal, modulus geser, poisson rasio, tebal perkerasan di masukkan ke program CIRCLY versi 5.0;
h.
menentukan nilai sumbu standar yang diijinkan : 1) jumlah repetisi yang diijinkan untuk tanah dasar dihitung menggunakan Rumus 2.25; 2) faktor kerusakan untuk tanah dasar dihitung menggunakan Rumus 2.24; 3) jumlah repetisi yang diijinkan untuk aspal dihitung menggunakan Rumus 2.26; 4) faktor kerusakan untuk aspal dihitung menggunakan Rumus 2.24.
i.
jika ESA ijin lebih besar dari nilai repetisi ESA rencanan maka perkerasan dapat diterima, jika tidak dapat di terima maka perhitungan harus diulangi dari langkah 6;
3-32
j.
menentukan banyak lapisan butiran menggunakan Tabel 2.14; dan
k.
nilai rasio modular setiap lapisan dapat dihitung menggunakan Rumus 2.27.
Gambar 3.3 menunjukan bagan alir dari metode AUSTROAD 1992.
Gambar 3.3 Bagan alir metode Austroads 1992
3-33
3.7
Analisis
Perencanaan tebal perkerasan menggunakan metode AASTHO 1993 dan metode Austroad 1992 dibandingkan sehingga didapat perbandingan parameter dan tebal perkerasan dari kedua metode tersebut. Sehingga bisa diambil kesimpulan dan saran dari kajian ini. Kesimpulan yang berisi material yang digunakan pada perencanaan, parameter yang digunakan pada kedua metode, dan tebal perkerasan dari setiap metode. Sedangkan saran berisi saran-saran yang disajikan berdasarkan hasil kajian.
BAB 4 DATA PERENCANAAN DAN ANALISIS
4.1 Data Perencanaan Pada bab ini diberikan data perencaan tebal perencanaan tebal perkerasan lentur yang menggunakan data asumsi dan dari tugas akhir berupa data lalu lintas, data tanah, dan geometrik jalan. Perhitungan ini menggunakan lebar jalan yang akan digunakan 2 x 7 meter dan umur rencana 10 tahun. a. Data Lalu Lintas Tabel 4.1 Data Lalu Lintas Kendaraan
Jumlah Jenis Kendaraan
Kendaraan (kend/hari/2
Berat Kendaraan (ton)
arah)
Beban Tiap Sumbu
Mobil Penumpang (1.1)
2101
2,13
0,8t + 1,33t
Bus (1.2)
181
11,15
4,18t + 6,97t
Truk 2 As (1.2)
120
13,005
4,875t + 8,13
Truk 3 As (1.22)
12
15,47
5,8t + 9,67
Lalu lIntas Harian Rata-rata
2416
b. Data Geometri
Panjang ruas jalan
= 5 km
Lebar badan jalan
= 2 x 7 meter (4 lajur 2 arah)
Fungsi jalan
= arteri
34
35
c. Data Tanah
CBR tanah dasar
= 3,59%
με tanah dasar
= 946,29 microstrain
με aspal
= 439,07 microstrain
d. Umur Rencana
= 10 tahun
e. Pertumbuhan Lalu Lintas
= 6%
4.2 Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur Menggunakan Metode AASHTO 1993 a. Tingkat Pelayanan Nilai yang tingkat pelayanan awal umur rencana (Pi) 4,2 Nilai Pt berdasarkan volume lalu lintas ditunjukan pada Tabel 2.1 sebesar 2. ∆PSI = Pi – Pt = 4,2 – 2 = 2,2
b. Perhitungan Anggka Ekivalen Untuk menentukan faktor ESA, nilai G dihitung dengan nilai Pt yang telah ditentukan sebelumnya yaitu sebesar 2. Nilai G dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
dengan
: G = faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan
36
Pt = indeks pelayanan akhir (Pt) Nilai SN yang sudah disesuaikan dengan hasil perhitungan adalah 3,2636. Nilai SN digunakan untuk menghitung βx dan β18. Contoh perhitungan βx dengan menggunakan SN 3,2636 untuk kendaraan ringan yang memiliki berat sumbu depan 1,76368 kips:
Hasil perhitungan nilai β18 dengan SN 3,2636 adalah sebagai berikut:
Contoh perhitungan Wx/W18 untuk kendaraan ringan adalah sebagai berikut:
37
Dengan: β
= faktor desain dan variasi beban sumbu
W
= ekivalen beban sumbu standar
G
= faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan
SN
= structural number
Lx
= beban sumbu yang akan di evaluasi (kips)
L18
= beban sumbu standar (18 kips)
L2x
= notasi konfigurasi sumbu (1 = sumbu tunggal, 2 = sumbu ganda, 3 = sumbu tripel)
Nilai faktor ESAL (LEF) untuk kendaraan ringan adalah sebagai berikut:
dengan: LEF
= faktor ESAL
= perbandingan ekivalen sumbu x terhadap sumbu standar
Hasil perhitungan faktor ESAL (LEF) untuk sumbu depan dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan untuk sumbu belakang pada Tabel 4.3.
38
Tabel 4.2 Faktor ESAL untuk Sumbu Depan kelas kendaraan Mobil Penumpang (1.1) Bus (1.2) Truk 2 As (1.2) Truk 3 As (1.22)
Beban Depan ton kips 0,8 4,18 4,875 5,8
1,764 9,215 10,747 12,787
Lx
β18
βx
=
1 1 1 1
0,9893 0,9893 0,9893 0,9893
0,4012 0,4794 0,5247 0,6091
-0,22171 -0,18553 -0,16951 -0,1460
=
wx/w18
LEF
-0,08991 7563,1203 0,000132 -0,08991 15,6787 0,063781 -0,08991 8,3291 0,12006 -0,08991 4,0842 0,244846
Tabel 4.3 Faktor ESAL untuk Sumbu Belakang kelas kendaraan Mobil Penumpang (1.1) Bus (1.2) Truk 2 As (1.2) Truk 3 As (1.22)
Beban belakang ton kips
Lx
β18
βx
=
1,33 6,97 8,13 9,67
1 1 1 2
0,9893 0,9893 0,9893 0,9893
0,40364 0,7639 0,98164 1,39113
-0,22035 -0,11643 -0,0906 -0,06393
2,932 15,366 17,923 21,318
=
wx/w18
LEF
-0,08991 1401,2766 0,000714 -0,08991 1,9227 0,520101 -0,08991 1,0179 0,982417 -0,08991 9,8754 0,101261
Nilai faktor ESAL yang telah dididapat kemudian dijumlah untuk mendapat faktor ESAL total dari setiap kelas kendaraan. Contoh perhitungan faktor ESAL (LEF) untuk kendaraan ringan sebagai berikut; Total LEF = LEFdepan + LEFbelakang Total LEF = 0,000132 + 0,000714 = 0,000846 Hasil dari perhitungan faktor ESAL (LEF) setiap kendaraan dapat dilihat pada Tabel 4.4
39
Tabel 4.4. Hasil Perhitungan Total Faktor ESAL (LEF)
kelas kendaraan
GVW
Mobil Penumpang (1.1) Bus (1.2) Truk 2 As (1.2) Truk 3 As (1.22)
2,13 11,15 13,005 15,47
LEF Depan Belakang 0,0001322 0,0637807 0,1200603 0,2448456
0,00071 0,52010 0,98242 0,10126
Total LEF 0,0008459 0,5838817 1,102477 0,3461068
c. Lalu Lintas Rencana ESAL Faktor pertumbuhan mengunakan rumus:
Lalu lintas rencana
= LHR2014 x GF x 365
Lalu lintas rencana
= 2102 x 13,2 x 365 = 10111895 kend/umur rencana/2
arah Lalu lintas rencana ESAL
= Lalu lintas rencana x LEF
Lalu lintas rencana ESAL
= 10111895 x 0,0008459 = 8553,20 Iss/umur
rencana/2 arah Hasil dari perhitungan lalu lintas Rencana ESAL dapat dilihat pada Tabel 4.5
40
Tabel 4.5. Hasil Perhitungan Total ESAL (LEF)
kelas kendaraan Mobil Penumpang (1.1) Bus (1.2) Truk 2 As (1.2) Truk 3 As (1.22)
LHR 2014 2102 181 121 12
GF
Lalu Lintas Rencana
Faktor Lalu Lintas ESAL Rencana ESAL
13,2 10111895 0,000846 13,2 871715,06 0,583882 13,2 581143,38 1,102477 13,2 58114,338 0,346107 Total
8553,20 508978,48 640697,20 20113,77 1178342,65
Distribusi lajur (DL) didapat pada Tabel 2.2 sebesar 0,9 Distribusi arah (DA) ditentukan sebesar 0,5 W18 = DA x DL x lalu lintas rencana ESAL W18 = 0,5 x 0,9 x 1178342,65 = 530254 Iss/umur rencana/jalur rencana
d. Reabilitas Direncanakan tingkat reabilitas 85% (Tabel 2.3) Deviasi standar (S0)
= 0,4
Maka diperoleh ZR = -1,037
e. Modulus Resilient (MR) MR tanah dasar = 1500 x CBR (koreksi MR dari Rumus 2.1) MR = 1500 x 3,59 = 5385 psi MR pondasi atas = 1500 x 70 = 105000 psi
41
f. Koefisien Drainase Diasumsikan jalan memiliki kualitas drainase baik dengan nilai m2 = m3 = 1 (Tabel 2.6) g. indeks tebal perkerasan SN yang sebelumnya digunakan untuk menentukan faktor ESAL (LEF) dimasukan pada persamaan dasar AASHTO untuk menentukan SN rencana. Apabila tidak memenuhi maka nilai SN ditentukan ulang dari SN yang digunakan untuk menentukan faktor ESAL (LEF). Pembuktian nilai SN memenuhi persamaan dasar AASHTO dengan memasukan nilai dan asumsi yang telah ditentukan sebelumnya adalah sebagai berikut ∆PSI = Pi – Pt = 4,2 – 2 = 2,2 Log w18 = Log (530254) = 5,7245
5,7245 = 5,7245 maka saumsi benar SN2 = 3,263.
42
Dengan cara trial and error diperoleh SN1 0,99868
h. Koefisien Kekuatan Relatif Didapatnya mengunakan nomogram pada lampiran diperoleh: lapis permukaan aspal beton (Laston MS 590) mempunyai nilai a1 sebesar 0,35. lapis pondasi granular (batu pecah CBR 80%) mempuyai nilai a2 sebesar 0,13,
i. Tebal Perkerasan
(tebal minimum lapis permukaan = 3 inci dari Tabel 2.7)
(tebal minimum lapis pondasi = 6 inci dari Tabel 2.7)
43
Sehingga diperoleh tebal D1 = 3”=7,6 cm dan D2 = 17,5 “ = 44,45 cm. Susunan perkerasan hasil perhitungan tebal perkerasan lentur menggunakan Metode AASHTO 1993 dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Lapis Permukaan Laston
3 in
Lapis Pondasi Batu Pecah CBR 80%
17,5 in
Gambar 4.1 Tebal Lapis Perkerasan pada Metode AASHTO 1993
4.3 Perhitungan Tebal Perkerasan Menggunakan Metode Ausroads 1992 a) Faktor ESA Cintoh perhitungan faktor ESA aspal (
dan ESA tanah dasar (
sumbu depan dan belakang kendaraan ringan menggunakan Rumus 2.16.
pada
44
dengan: Fcij= faktor ESA aspal Fsij
= faktor ESA tanah dasar
Lij
= beban roda gandar pada sumbu j (ton)
Lsi
= beban standar roda gandar pada sumbu i (ton)
EXP
= pangkat yang terdapat dalam hubungan antara batasan regangan dan
regangan repetisi yang menjelaskan kinerja aspal, bahan bersemen, atau tanah dasar saat digunakan. Nilai pangkat 5 (aspal), 18 (bahan bersemen), dan 7,14 (tanah dasar) didapat dari kriteria kinerja. Faktor ESA sumbu depan dan bekakang yang telah dihitung, selanjutnya dijumlahkan untuk mendapat faktor ESA setiap kendaraan. Berikut hasil perhitungan faktor ESA dimana untuk ESA aspal terdapat pada Tabel 4.6 dan ESA tanah dasar terdapat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.6 Perhitungan ESA Aspal Kelas Kendaraan Mobil Penumpang (1.1) Bus (1.2) Truk 2 As (1.2) Truk 3 As (1.22)
Konfigurasi Beban Depan Belakang 0,8 1,33 4,18 6,97 4,875 8,13 5,8 9,67
Faktor ESA Depan Belakang 7,83557E-05 0,000995128 0,038943186 0,502011835 0,084027833 1,083933885 0,200304189 2,580372682
Total 0,00107348 0,54095502 1,16796172 2,78067687
45
Tabel 4.7 Perhitungan ESA Tanah Dasar Konfigurasi Beban Depan Belakang 0,8 1,33 4,18 6,97 4,875 8,13 5,8 9,67
Kelas Kendaraan Mobil Penumpang (1.1) Bus (1.2) Truk 2 As (1.2) Truk 3 As (1.22)
Faktor ESA Depan Belakang 1,37004E-06 5,16382E-05 0,009708143 0,373782985 0,029112284 1,121977088 0,100649904 3,87152901
Total 5,3008E-05 0,38349113 1,15108937 3,97217891
b) Lalu Lintas Rencana Faktor pertumbuhan 13,18 dihitung dengan menggunakan Rumus 2.17 Contoh perhitungan nilai ESA untuk aspal (NSA) dan nilai ESA tanah dasar (NSS) pada jenis kendaraan mobil penumpang. LHR yang dipakai pada saat jalan dibuka adalah LHR2014.
NSA = LHRjalan dibuka x faktor ESA NSA = 2102 x 0,00107348 = 2,25645496 ken/hari/2 arah NSS = LHRjalan dibuka x faktor ESA NSA = 2102 x 0,000053 = 0,111406 ken/hari/2 arah Berikut adalah hasil perhitungan nilai ESA aspal dan ESA tanah dasar yang di sajikan pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Nilai ESA Kelas Kendaraan Mobil Penumpang (1.1) Bus (1.2) Truk 2 As (1.2) Truk 3 As (1.22)
LHR 2014 2102 181 121 12
Faktor ESA Aspal 0,001073483 0,54095502 1,167961718 2,780676872
Faktor ESA Tanah Dasar 5,30082E-05 0,383491128 1,151089373 3,972178914 Total
NSA
NSS
2,256282332 98,01696207 141,083892 33,58917584 274,9463122
0,11141441 69,4856946 139,045798 47,9819203 256,624827
46
Kedua lajur diasumsikan memiliki lalu lintas yang sama 50%-50%. Maka berikut contoh perhitungan lalu lintas rencana menggunakan Rumus 2.19. Nilai rencana ESA aspal = NSA x 365 x GF x 0,5 Nilai rencana ESA aspal = 274,946 x 365 x 13,18 x 0,5 Nilai rencana ESA aspal = 661341,361 (kendaraan rencana/umur Rencana/jalur Rencana) Nilai Rencana ESA tanah dasar = 256,625 x 356 x 13,18 x 0,5 Nilai Rencana ESA tanah dasar = 602052,515 (kendaraan Rencana/umur Rencana/jalur Rencana)
c) Lalu Lintas Rencana yang Disesuaikan Faktor PLMN dan PLMD ditetapkan pada wilayah New Zealand (Auckland) yang terdapat pada Tabel 2.9. Tebal perkerasan diasumsikan ≥ 100 mm Contoh perhitungan PLM dengan tebal ≥ 100 mm sebagai berikut:
Perhitungan lalu lintas rencana yang sudah disesuaikan menggunakan Rumus 2.20 (kendaraan rencana/umur rencana/jalur rencana)
47
(kendaraan
rencana/umur
rencana/jalur rencana)
d) Parameter Pelastis 1) Tanah Dasar CBR Rencana yang digunakan adalah sebesar 3,59. Nilai parameter-parameter elastis EV = 35,9 MPa didapat menggunakan Rumus 2.21 EH
= 17,95 MPa didapat menggunakan Rumus 2.22
Vv
= VH = 0,45
f
= 24,764 MPa didapat menggunakan Rumus 2.23
2) Material Berbutir Ev
= 190 MPa
EH
= 95 MPa didapat menggunakan Rumus 2.22
VV
= VH = 0,35 didapat menggunakan Tabel 2.11
f
= 140,741 MPa didapat menggunakan Rumus 2.23
3) Aspal Ev
= 2000 MPa
Vv
= 0,4
48
e) Regangan Vertikal Tebal lapis permukaan diasumsikan 110 mm dan tebal lapis berbutir 350 mm didapat dari lampiran III-1. με tanah dasar didapat dari Tugas Akhir Adi Sutrisno, 2011 sebesar 946,29 microstrain με tanah aspal didapat dari Tugas Akhir Adi Sutrisno, 2011 sebesar 439,07 microstrain
f) Nilai Sumbu Standar yang Ijin N ijin Tanah Dasar = 6475126,64 didapat menggunakan Rumus 2.25 Faktor kerusakan = 0,07170891 didapat menggunakan Rumus 2.26 Nijin Aspal
= 561682,476 didapat menggunakan Rumus 2.27
Faktor kerusakan = 0,88568597 didapat menggunakan Rumus 2.26 Nilai Nijin lebih besar dari Nrencana maka asumsi tebal lapis permuakaan benar sehingga banyak tebal lapis lapis berbutir bisa dihitung dengan menggunakan Tabel 2.14 dengan menggunakan data sebagai berikut: Etop
= 190 MPa
Etanah dasar
= 35,9 MPa
Tebal bahan berbutir ditetapkan sebesar 350 mm. Sesuai dengan tabel 2.14 maka jumlah sub lapisan berbutir 3 sub lapisan.setelah didapat banyak sub lapisan ,
49
nilai rasio modular setiap lapisan dan parameter elastis setiap lapisan dapat dihitung menggunakan Rumus 2.28. contoh perhitungan
VV = VH = 0,35 dari Tabel 2.11 EV1 = EV subbase x R1
= 35,9 x 1,7705
= 63,561 MPa
EH1 = EV1 x 0,5
= 63,561 x 0,5
= 31,781 MPa
Berikut hasil perhitungan nilai rasio modular setiap lapisan dan parameter elastis yang dapat dilihat pada Tabel 4.9 Tabel 4.9 Angka Posion Rasio dan Parameter Elastis Setiap Sub Lapisan
Lapisan Lapisan 1 Lapisan 2 Lapisan 3
Tebal Lapisan R 12 1,770432342 12 1,770432342 11 1,688130657
Vv=Vh=0,35 0,35 0,35 0,35
Ev Eh 63,57234176 31,7861709 112,5505299 56,275265 190 95
Tebal masing masing lapis perkerasan berdasarkan hasil perhitungan tebal masing-masing lapisan sebagai berikut: 1. Lapis permukaan menggunakan aspal dengan modulus vertikal/horizontal 2000MPa, VB 15%, angka posion rasio 0,4, dan tebal 11 cm 2. Lapis pondasi menggunakan bahan butiran yang dibagi 3 sub lapisan masingmasing setebal 12 cm, 12 cm, dan 11 cm dengan modulus vertikal puncak 190 MPa dengan angka posion rasio 0,35 serta tebal total 35 cm.
50
Berikut adalah tebal lapis peerkerasan menggunakan metode Austroads 1992 Dapat dilihat pada gambar 4.10.
Aspal 2000 MPa
11 cm
Sub Lapisan 3 dengan kekuatan 190 Mpa
11 cm
Sub Lapisan 2 dengan kekuatan 112,550 MPa
12 cm
Sub Lapisan 1 dengan kekuatan 63,572 MPa
12 cm
Lapis Permukaan
Lapis Pondasi
Gambar 4.2 Tebal Lapis Perkerasan menggunakan Metote Austroads 1992
4.4 Pembahasan Dari contoh perhitungan yang telah dilakukan dapat dilihat hasil tebal dan parameter-parameter perkerasan lentur yang digunakan pada metode AASHTO 1993 dan metode Austroads 1992 dengan menggunakan data yang sama pada Tabel 4.11 Tabel 4.10 Parameter Perencanaan dan Hasil Perencanaan Metode AASHTO 1993 dan Austroads 1992
No Keterangan
Metode AASHTo 1993
Metode Austroads 1992
1
-
-
Parameter Perencanaan
Daya dukung tanah dasar
Daya dukung tanah dasar
-
Indeks permukaan
-
-
Beban lalu lintas rencana
-
Jenis material
-
Jenis material
-
Koefisien Drainase
-
Suhu
-
Reabilitas
Beban lalu lintas rencana
51
2
Daya dukung
Dinyatakan dengan MR
Dinyatakan dengan
tanah 3
Beban lalu
Modulus Elastis Dinyatakan dengan lalu
lintas
4
Angka ekivalen
Dinyatakan dengan Nilai
lintas rencana ESAL
Rencana ESA
dipengaruhi oleh;
dipengaruhi oleh:
-
Jumlah kendaraan
-
Jumlah kendaraan
-
Distribusi lajur (DL)
-
Angka ekivalen
-
Distribusi arah (DA)
-
Faktor pertumbuhan
-
Angka ekivalen (E)
-
Jenis material
-
Faktor pertumbuhan
Dihitung untuk setiap sumbu
Dibedakan menjadi dua
berbagai jenis kendaraan
angka ekivalen yaitu aspal dan tanah dasar dab dihitung setiap sumbu berbagai jenis kendaraan -
5
Tebal
Lapis permukan laston = 3 in
perkerasan
Lapis pondasi berbutir CBR 80% = 17,5 in
Lapis permukaan aspal 2000MPa = 11 cm Tebal total pondasi berbutir 350 cm
Dapat dilihat dari Tabel 4.11 bawasannya dengan menggunakan data perencanaan yang sama untuk kedua metode mendapatkan hasil tebal perkerasan yang berbeda. Lapis permukaan menggunakan metode Austroads 1992 lebih tebal dibandingkan dengan AASHTO 1993 sedangkan untuk tebal lapisan berbutir metode AAHTO 1993 lebih tebal dibandingkan dengan Metode Austroads 1992. Hal ini diakibatkan adanya perbedaan metode dalam mencari
52
faktor beban sumbu pada setiap kendaraan, pada metode Austroads faktor beban sumbu dibedakan menjadi dua dan metode AASHTO 1993 tidak dibedakan. Pada metode Austroads 1992 dipengaruhi oleh suhu lingkungan sekitar sedangkan pada metode AASHTO tidak.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah melakukan analisis terhadap tebal perkerasan lentur menggunakan metode AASHTO 1993 dan Austroads 1992 dengan data perencanaan yang sama maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut: 5.1
Kesimpulan a. Tebal untuk lapis permukaan aspal beton dengan menggunakan metode Austroads 1992 bernilai 11 cm, lebih tebal dibandingkan dengan AASHTO 1993 yang bernilai 7,5 cm. b. Tebal untuk lapis pondasi berbutir dengan menggunakan metode Austroads 1992 bernilai 350 cm, lebih tipis dibandingkan dengan AASHTO 1993 yang bernilai 444 cm c. Faktor beban sumbu dalam metode Austroads 1992 dibagi menjadi dua sedangkan pada metode AASHTO 1993 faktor beban sumbunya tidak dibagi menjadi dua. d. Perencanaan menggunakan Austroad menggunakan software CIRCILY untuk mendapatkan regangan vertikal pada lapis tanah dasar dan aspal.
5.2
Saran a. Perencanaan tebal perkerasan menggunakan metode Austroads 1992 untuk menentukan volume bitumen dirasa membutuhkan ketelitian yang besar karna menggunakan metode grafis sehingga disarankan supaya dibuat rumus yang bisa mengetahui nilai volume bitumen dalam campuran aspal. 53
54
b. Untuk perencanaan sebaiknya menggunakan program CIRLY supaya mendapatkan regangan vertikal yang lebih akurat