BAB 1 PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang Gangguan autistik muncul sekitar tahun 1990-an. Autistik mulai dikenal secara luas
sekitar tahun 2000-an (Yuwono, 2009: 1). Berbicara adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam berbahasa, berkomunikasi, dan berinteraksi. Alasan paling mendasar pentingnya berkomunikasi tentu adalah untuk mencerna segala informasi yang sangat mempengaruhi kecerdasan berpikir (kognitif) manusia. Namun sayangnya, berbicara sebagai hal pokok yang mendasar bagi manusia malah harus menjadi kendala bagi sebagian anak. Menurut data dari Harian Kompas.com (Sabtu 07 Juni 2014. 11.11 wib), masih terdapat gangguan berbicara bagi sebagian anak-anak tertentu. Gangguan berbicara dan bahasa merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang yang kini kian banyak. Tercatat sejumlah 6 persen hingga 19 persen anak mengalami gangguan berbicara. Biasanya gangguan ini lebih sering dialami oleh anak laki-laki (http://www.hariankompas.comdiakses padatanggal 08 Januari 2015, 13.00 wib). Fenomena autis sebenarnya bukanlah fenomena yang baru. Sampai saat ini fenomena autis masih misterius. Penyebab pasti serta penanganan yang tepat masih belum diketahui. Para klinis dan para pakar psikolog masih memperdebatkan masalah spektrum autis tersebut. Sementara data yang telah tercatat dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Kota Bandung berdasarkan data Kompas, Bandung, Jawa Barat, terungkap angka keseluruhan gangguan tumbuh kembang anak (autis) mencapai angka hingga 30 persen, dimana sekitar 19 persen mengalami gangguan dalam berbicara. Perjalanan tumbuh kembang anak harus dipantau, karena sangat sulit untuk diprediksi. Ada anak yang awalnya normal tetapi karena kurang stimulasi maka akibatnya mengalami gangguan. Ada juga penyakit regresi yang baru muncul di usia tertentu, seperti autis (http://www.hariankompas.com diakses pada tanggal 08 Januari 2015, 14.00 wib). Sementara, berdasarkan data lapangan yang ditemukan penulis, menemukan fakta terbaru yang tentu menjadi permasalahan adalah bahwa pertambahan jumlah anak autis yang kian meningkat setiap tahunnya tidak diimbangi dengan fasilitas-fasilitas seperti sekolah inklusi atau sekolah berkebutuhan khusus, puskesmas, serta yayasan khusus yang diharapkan mampu dalam menangani masalah anak autis, padahal anak autis perlu mendapat perhatian dan
penanganan khusus dari dokter, klinis, psikolog, ahli medis, dan pengajar di sekolah inklusi untuk membantu tumbuh kembangnya terutama dalam masalah komunikasi. Berdasarkan hasil survey dari Subdinas Sekolah Luar Biasa, Dinas Pendidikan Kota Bandung, angka pertumbuhan anak autis dikota Bandung semakin meningkat setiap tahunnya. Pertumbuhan tersebut diperkirakan meningkat hingga 5 persen setiap tahunnya. Anak autis di kota Bandung sampai tahun 2007, mencapai angka 739 anak atau kurang lebih sebesar 10 persen dari jumlah anak autis yang tercatat di lndonesia. Sementara menurut data dari Harian Kompas mencapai hingga 30 persen pada tahun 2014. Sayangnya peningkatan jumlah anak autis di kota Bandung ternyata tidak diimbangi dengan fasilitas yang ada. Tentunya yang menjadi kendala selain fasilitas adalah kurangnya perhatian dari masyrakat dalam menyikapi kasus autisme, kurangnya tenaga pengajar yang handal dalam menangani anak berkebutuhan khusus, fasilitas dari dinas kesehatan, dan lainnya. (http://upi.edu.autis.pdf. Diakses pada tanggal 11 Maret 19.20 wib). Salah satunya lagi yang menjadi masalahnya adalah lembaga sekolah yang tersebar di Kota Bandung kebanyakan ataupun pendidikan linguistik malah lebih memperhatikan anakanak normal dari pada anak autis dalam mempelajari bahasa dan komunikasi padahal faktanya anak normal dinilai tidak begitu mengalami kesulitan dalam berbahasa ataupun berkomunikasi. Hal tersebut ternyata tidak dimanfaatkan untuk menangani anak autis yang mengalami keterbatasan dalam berbahasa dan berkomunikasi dengan baik. Menurut data dari Depertemen Kesehatan (2004), secara formal lembaga yang khusus menangani anak autis berdiri dari tahun 1999, padahal faktanya kasus autis sudah ditemukan sejak tahun 1992 (http://www.upi.edi.autis.pdf , diakses pada 10 Maret 2015 .19.20 wib). Berdasarkan data lapangan , menurut data dari Dinas Pendidikan Luar Biasa, Dinas pendidikan kota Bandung, mencatat bahwa sebagian kecil anak autis di kota Bandung tersebar mengikuti terapi atau sekolah berkebutuhan khusus. Akan tetapi sebagian besar lainnya lebih diikutsertakan di sekolah luar biasa, yang tidak secara khusus menangani masalah anak autis (http://www.upi.edu.autis.pdf ). Hal tersebut tentu merupakan sebuah kekeliruan besar, karena pada dasarnya anak autis tentu berbeda dengan anak yang memiliki keterbelakangan mental (retardasi mental), yang pada dasarnya memiliki IQ dibahwah ratarata. Sementara sebagian anak autis dapat dikategorikan memiliki IQ yang lebih tinggi dan hampir sama dengan anak normal kebanyakan, hanya saja anak autis mengalami keterlambatan dan gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Kanner (dalam Yuwono, 2009: 11) mengatakan bahwa anak autis menarik tanpa ciri fisik yang tidak
biasa, dimana memiliki prestasi baik pada beberapa test IQ (test rote memory dan copying), lebih baik dari pada pemahaman abstrak dan konsep verbal. Kanner berpendapat bahwa anak autis bukanlah (mentaly retarded), individu autis disebut functionaly retarded. Menurut Kanner (2009: 12) terkesan dengan potensi IQ yang normal, meskipun menghadapi keterlambatan yang nyata berdasarkan pada apa yang menjamin penemuan secara konsisten pada test psikologi. Anak-anak autis seringkali memiliki kemampuan tidak merata yang sangat luar biasa, dimana kemampuan non verbal seringkali mencapai secara signifikan lebih dari kemampuan verbalnya. Selain itu, anak autis berbeda dalam pola periaku dan perkembangan kognitif, maka dari itu anak autis memiliki gangguan bahasa yang berat (Bartak, Rutter dan Cox). Inilah mengapa anak autis sulit dalam berkomunikasi secara verbal. Sementara menurut Wall (2004) dalam (Yuwono, 2009: 21), menyatakan tipe anak autis memiliki IQ level normal atau tinggi. Yuwono (2009: 37) mengatakan bahwa kemampuan visual spasial merupakan kemampuan yang menonjol pada anak autis. Semantara Siegel berpendapat dalam (Yuwono, 2009: 38) bahwa anak autis memiliki level intelegensi non verbal yang normal, tapi memiliki signifikansi yang sangat kuat terhadap kerusakan dalam IQ verbal bahasa. Kekeliruan masalah diatas sebenarnya dapat dimaklumi melihat fasilitas sekolah berkebutuhan khusus di kota Bandung sangat minim sekali. Para orangtua terpaksa melakukannya karena faktor situasional yang sedang dihadapi saat ini. Anak autis mengalami kesulitan dalam memahami bahasa lisan, sebagian anak autis lainnya secara alamiah menggunakan bahasa tubuh (non verbal), sebagai petunjuk tambahan untuk membantu beajar mereka dan memahami kata (Cristie, dkk,. 2009: 94). Sejalan dalam penelitian Diah Arum dalam jurnal vol. 1 no. 2 dengan judul komunikasi dengan anak autis mengatakan pemahaman terhadap bahasa dan kemampuan untuk berkomunikasi dua arah lebih penting dari pada hanya sekedar berkomunikasi tanpa memahami apa yang diucapkan oleh anak atau orang lain. Untuk itu kita harus mempunya strategi (teknik) dalam berkomunikasi dengan anak autis agar mereka dapat berkomunikasi dua arah. Anak autis memiliki kemampuan yang menonjol dibidang visual daripada materi yang dipelajari hanya dengan ucapan saja ( Rasyid, 2014: 2). Sejalan dengan penelitian Rukmini (2014: 3), dengan judul perilaku komunikasi non verbal anak autis, mengatakan bahwa visual dapat membantu anak dalam memahami pesan yang disampaikan oleh dirinya ataupun orang lain. Anak autis tidak dapat berkomunikasi
secara normal seperti anak-anak normal lainnya. Hal ini disebabkan oleh autisme spectrum disorder (ASD), atau gangguan spektrum autisme yang merupakan gangguan perkembangan dalam pertumbuhan manusia yang secara umum tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak tersebut. ASD yang dialami anak autis berpengaruh pada cara mereka berkomunikasi, berinteraksi sosial, daya imajinasi, dan sikap yang merupakan suatu kumpulan sindrom yang menggangu sistem syaraf. Ketidakmampuan berkomunikasi secara sempurna yang dialami oleh sebagian anak autis menuntut perlu adanya teknik komunikasi yang tepat dalam membantu perkembangan bahasa dan komunikasi anak autis. Teknik komunikasi yang baik bisa dilakukan oleh pengajar di sekolah dalam membimbingan anak autis, orang tua dirumah, para klinis, dokter, psikologi, konsultan, dan ahli terapi biomedik dalam menangani anak autis. Untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti teknik komunikasi pengajar dengan anak autis di sekolah berkebutuhan khusus Yayasan Pelita Hafizh kota Bandung. Di sekolah ini masih terdapat anak autis yang tidak dapat berkomunikasi secara baik, dan perlu mendapatkan teknik komunikasi efektif dari pengajar dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Di sekolah ini juga masih terdapat anak autis yang memang lancar berbicara tetapi komunikasi interpersonalnya masih belum fokus kontak matanya dan juga perlu diperhatikan, pasalnya saat diajak berkomunikasi kontak mata anak autis sangat datar bahkan saat berkomunikasi sering tidak memandang orang yang sedang diajak berbicara. Masih terdapat teknik komunikasi yang salah dan perlu mendapat perbaikan dari pengajar dalam menangani anak autis pada yayasan ini. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Yayasan Pelita Hafizh ini untuk mengetahui bagaimana teknik komunikasi yang efektif dari para pengajar dengan anak autis agar efisiensi dan efektifitas komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Tidak hanya itu yayasan ini lebih menekankan pada wawasan dan nilai-nilai pendidikan yang lslami, walau dalam sekolahnya masih menggunakan pakaian formal merah putih seperti sekolah dasar kebanyakan. Salah satu yang menjadi alasan peneliti tertarik untuk meneliti teknik komunikasi di sekolah berkebutuhan khusus ini adalah bahwa saat proses belajar para pengajar menggunakan terapi musik, dengan tujuan untuk melatih komunikasi dan perkembangan bahasa anak autis. Hal ini sejalan dengan pendapat Ahirra Amarilis dalam jurnalnya dengan judul “Dampak Terapi Musik terhadap Bentuk Komunikasi Verbal dan Non Verbal Anak Autis di Yayasan Autis Pelita Hafizh Bandung”, di mana terapi musik pada
anak autis diyakini dapat menjadi salah satu alternatif untuk menyembuhkan gangguan komunikasi anak autis. Fungsinya adalah untuk melatih auditory, menekan emosi, melatih kontak mata, dan kekuatan konsentrasi pada anak autis. Tujuan terapi musik ini adalah untuk perkembangan bahasa verbal dan non verbal anak autis. Tidak hanya terapi musik, anak autis juga dilatih untuk dapat bernyanyi dan menghapal liril-lirik lagu yang telah dipersiapkan oleh para pengajar, yang tujuannya untuk melatih daya imajinasi, daya ingat dan merangsang syaraf memori dan otak anak. Yayasan ini kurang lebih telah membina dua puluh anak autis dari berbagai usia yang mengalami gangguan komunikasi. Yayasan Pelita Hafizh ini terletak di Jalan Kota Baru 1 Kota Bandung, dekat Tegalega, yang spesial menangani anak autis, gangguan berbicara, ADD, ADHD (hyperactif), dan kesulitan belajar. Gambar 1. Foto SLB Autisme Pelita Hafizh
Sumber: Olahan Penulis 1.2 Rumusan Masalah Anak autis mengalami ganguan perkembangan salah satunya pada bidang komunikasi. Untuk itu yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana teknik komunikasi pengajar dalam menangani
masalah perkembangan komunikasi
komunikasinya efektif dalam proses belajar mengajar?.” 1.3 Tujuan Penelitian
anak autis
agar
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui teknik komunikasi yang digunakan oleh pengajar dalam menangani masalah perkembangan komunikasi anak autis agar komunikasi berjalan dengan efektif di dalam kelas.
1.4 Batasan Penelitian Batasan dari penelitian ini adalah: melihat sudut pandang teknik komunikasi pengajar dalam menangani gangguan berkomunikasi anak autis dalam proses kegiatan belajar mengajar. 1.5 Manfaat Penelitian Adapun
manfaat
dari
penelitian
ini
adalah
sebagai
berikut,
Secara teoritis adalah : 1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam mengembangkan kajian bidang komunikasi yang berkaitan dengan tekhnik komunikasi yang paling efektif dalam menangani anak autis. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstrubusi positif dalam bidang komunikasi, khususnya dalam bidang komunikasi dan bahasa verbal dan non verbal. Manfaat secara praktis: 1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi mengenai bidang kajian komunikasi dan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi dan bahan bacaan bagi guru, konsultan, dan orangtua dalam menangani anak autis yang mengalami keterbatas dan memerlukan penanganan, khususnya pada bidang komunikasi anak autis. 1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di sekolah berkebutuhan khusus kota Bandung, yaitu di Yayasan Pelita Hafizh, yang beralamat di Jalan Kota Baru no.1 Bandung. Sekolah ini khusus menerima anak yang memiliki penanganan khusus seperti autis, ADD/ADHD (hyperaktif), kesulitan beajar, lambat bicara, dan kesulitan berkomunikasi. Waktu penelitian ini dilakukan pada periode bulan Maret dan April 2015.
1.7 Tahapan Penelitian Tabel 1 Jadwal dan tahapan penelitian No
Bulan
. 1
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
2014
2014
2014
2015
2015
2015
2015
2015
Pengajuan proposal skripsi dan literatur
2
Bimbingan BAB 13
3
Revisi penelitian skripsi BAB per BAB dan survey lokasi penelitian
4
Sidang proposal skripsi dan pengambilan data observasi
5
Penelitian dan wawancara informan
6
Analisis data kualitatif
7
Penyusunan dan penulisan hasil penelitian.
Sumber : olahan Penulis