BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Partisipasi pria menjadi salah satu faktor dalam menyukseskan program Keluarga Berencana (KB). Sebaik apa pun program yang dilakukan pemerintah tetapi tanpa peran aktif masyarakat, program tersebut tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Peningkatan partisipasi pria dalam KB dan kesehatan reproduksi merupakan salah satu isu penting dalam kesehatan reproduksi. Perkembangan teknologi kontrasepsi begitu cepat namun tidak diimbangi dengan peran serta pria untuk ikut berpartisipasi dalam menggunakan kontrasepsi. Program KB jangka panjang untuk mencapai Keluarga Berkualitas 2015 berupaya mencapai peningkatan kesetaraan pria dalam ber-KB sehingga terwujudnya peran serta pria dalam ber-KB. Berdasarkan data SDKI (Survey Demografi Kesehatan Indonesia) tahun 2007, partisipasi pria dalam ber-KB secara nasional hanya mencapai 1,5% di antaranya 1,3% akseptor kondom dan 0,2% akseptor vasektomi. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa partisipasi pria dalam ber-KB masih rendah jika dibandingkan dengan sasaran nasional pada tahun 2009 yaitu 4,5%. Jika dibandingkan dengan pencapaian angka partisipasi pria dalam ber-KB pada tahun 2006 di negara-negara berkembang seperti Pakistan sebanyak 5,2%, Bangladesh sebanyak 13,9%, Nepal sebanyak 24%, Malaysia sebanyak 16,8% dan Jepang sebanyak 80%. Dari data ini
Universitas Sumatera Utara
dapat dilihat bahwa Indonesia menempati angka partisipasi pria dalam ber-KB yang paling rendah (BKKBN, 2006). Menurut Soemarjati (2008), penyebab rendahnya partisipasi pria dalam berKB adalah keterbatasan pengetahuan suami tentang kesehatan reproduksi dan paradigma yang berkaitan dengan budaya patriarki dimana peran pria lebih besar daripada wanita. Ketidaksetaraan gender dan kesehatan reproduksi sangat berpengaruh pada keberhasilan program KB. Sebagian besar masyarakat masih mengganggap bahwa penggunaan kontrasepsi adalah urusan wanita saja. Mengacu pada pelaksanaan International Conference on Population and Development (ICPD) atau Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan tahun 1994 di Kairo dan Millenium Development Goals (MDGs) disebutkan adanya akses yang sama antara pria dan wanita terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan dan kesehatan. Namun faktanya untuk meningkatkan kesetaraan pria dalam ber-KB masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) tahun 2004-2009, salah satu indikator keberhasilan BKKBN adalah tercapainya kesetaraan KB pria sebesar 4,5% pada tahun 2009 (BKKBN, 2006). Menurut BKKBN tahun 2008, ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB dan kesehatan reproduksi di antaranya adalah rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, sikap dan perilaku suami, keterbatasan alat kontrasepsi pria, faktor sosial budaya masyarakat, dan adanya rumor tentang vasektomi serta pengunaan kondom untuk hal yang bersifat negatif.
Universitas Sumatera Utara
Menurut
Hartanto
dalam
Mukhadiono
(2009),
faktor-faktor
yang
menyebabkan rendahnya minat akseptor KB pria menggunakan kontrasepsi Medis Operasi Pria (MOP) di Puskesmas Sokaraja Kabupaten Kulonprogo Provinsi Yogyakarta antara lain meliputi budaya, minimnya pengetahuan tentang MOP, takut tidak punya anak lagi, frekuensi senggama, jumlah keluarga yang diinginkan, faktor metode kontrasepsi yang berhubungan dengan efek samping minor, kerugian, komplikasi-komplikasi yang potensial, dan faktor biaya. Penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab bersama antara pria dan wanita sebagai pasangan, sehingga metode kontrasepsi yang dipilih mencerminkan kebutuhan serta keinginan suami dan istri. Dalam penggunaan kontrasepsi pria seperti kondom, pantang berkala, senggama terputus dan vasektomi, suami mempunyai tanggung jawab utama, sementara bila istri sebagai pengguna kontrasepsi, suami mempunyai peranan penting dalam mendukung istri dan menjamin efektivitas pemakaian kontrasepsi. Suami dan istri harus saling mendukung dalam penggunaan metode kontrasepsi karena KB dan kesehatan reproduksi bukan hanya urusan pria atau wanita saja (Depkes, 2002). Sebuah studi yang dilakukan di Jawa Barat dan Sumatera Selatan pada tahun 2001 menunjukkan masih rendahnya tingkat keikutsertaan pria dalam ber-KB. Hal ini disebabkan karena terbatasnya pilihan KB. Dari studi tersebut diketahui hanya satu dari tiga pria yang setuju dengan metode MOP dan sebanyak 41% pria mengatakan bahwa kondom tidak disukai karena mengurangi kenikmatan dalam berhubungan seksual.
Universitas Sumatera Utara
Simanjuntak (2007) menyatakan bahwa tingkat adopsi inovasi KB pria di kalangan prajurit di Kota Medan dipengaruhi oleh pengetahuan, kondisi kesehatan fisik dan pengaruh istri. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Lubis (2009), di mana pengaruh istri dan kompensasi memiliki pengaruh terhadap keputusan untuk menjadi akseptor vasektomi di Kota Tebing Tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rustam pada tahun 2006, partisipasi pria dalam praktik metode KB modern di Indonesia dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi yang meliputi pengetahuan, umur istri, pendidikan suami, jumlah anak masih hidup, dan sikap terhadap program KB. Partisipasi merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses pembangunan. Namun demikian dalam praktiknya, upaya meningkatkan partisipasi tersebut tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Hal ini disebabkan faktor sosial budaya yaitu: pengetahuan, adat-istiadat masyarakat yang bersifat tradisional sehingga memengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi (Mikkelsen, 2003). Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan sesuatu kegiatan yang merupakan keterlibatan sukarela dan ikut serta dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan (Mikkelsen (2003). Club du Sahel dalam Mikkelsen (2003) menerangkan beberapa pendekatan untuk memajukan partisipasi, yaitu: (1) Partisipasi
pasif, pelatihan dan informasi;
(2) Partisipasi aktif; (3) Partisipasi dengan keterikatan; dan (4) Partisipasi atas permintaan setempat.
Universitas Sumatera Utara
Keberhasilan KB bukan semata-mata karena partisipasi perempuan yang aktif tetapi juga partisipasi pria dan dukungan keluarga. Menurut Sarwono (2003), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melakukan kegiatan. Caplan dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan, yaitu: (1) Dukungan instrumental; (2) Dukungan informatif; (3) Dukungan emosional; dan (4) Dukungan penghargaan. Berdasarkan data BKKBN Sumatera Utara (2009), jumlah akseptor KB tahun pada tahun 2009 mencapai 1.311.625 orang dengan total Pasangan Usia Subur (PUS) sebesar 2.075.120. Dari keseluruhan peserta aktif tersebut, akseptor KB pria mencapai 69.650 orang (3,3%) yang terdiri dari MOP 4.288 orang (6%) dan pengguna kondom 65.362 (94%). Hal ini berarti partisipasi KB pria di Provinsi Sumatera Utara masih rendah. Serdang Bedagai yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki jumlah penduduk 588.263 jiwa dengan jumlah PUS sebesar 111.271 orang. Peserta KB aktif dari Januari – Juli 2010 berjumlah 82.944 dengan jumlah akseptor KB pria 2900 orang (3,4%) yang terdiri dari 38 akseptor MOP (1,3%) dan 2.862 akseptor kondom (98,7%). Cakupan PUS terbesar di Kecamatan Perbaungan yaitu 18.291 dengan jumlah peserta non-KB sebesar 4.57 dan peserta KB aktif sebesar 13.694. Di antara jumlah tersebut terdapat 6 peserta MOP (0,04%); 353 pemakai kondom (2,5%); 627 peserta IUD atau Intra Uterine Devices (45%), 505 peserta MOW (36%), 491 peserta implant (35%), 5.560 peserta suntik (40%)
Universitas Sumatera Utara
dan 6.152 peserta pil (44%). Berdasarkan data tersebut, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi wanita lebih besar daripada pria. Polisi merupakan salah satu alat Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional. Kepolisian yang angggotanya mayoritas adalah laki-laki, juga turut berperan aktif dalam menyukseskan program KB pria. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kesadaran dan partisipasi jajaran Polri. Hal ini dimulai sejak operasi Bhakti KB-Kesehatan Polri, TNI, dan Brimob. Program ini juga telah mendapat perhatian besar jajaran Polri tanpa mengabaikan kuantitas dengan sasaran pencapaian target partisipasi Polri dalam ber-KB pria secara nasional sebanyak 3% (BKKBN, 2009). Kepolisian Resor (Polres) Serdang Bedagai mempunyai personil sebanyak 490 orang dan membawahi 7 (tujuh) Kepolisian Sektor (Polsek) yaitu: (1) Polsek Firdaus, mempunyai personil sebanyak 33 orang; (2) Polsek Dolok Masihul, mempunyai personil sebanyak 26 orang; (3) Polsek Tanjung Beringin, mempunyai personil sebanyak 21 orang; (4) Polsek Teluk Mengkudu mempunyai personil sebanyak 20 orang; (5) Polsek Pantai Cermin mempunyai personil sebanyak 26 orang; (6) Polsek Kotarih, mempunyai personil sebanyak 27 orang; dan (7) Polsek Perbaungan, mempunyai personil sebanyak 33 orang dan selebihnya bertugas di Polres Serdang Bedagai yaitu sebanyak 304 orang dan 3 orang di antaranya adalah anggota Polisi Wanita (Polwan). Dari keseluruhan personil anggota Polres Serdang Bedagai yang berjumlah 490 orang tersebut, diketahui terdapat 35 orang yang belum pernah menikah (Polres Serdang Bedagai, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Dari arsip Klinik Polres Serdang Bedagai, diketahui bahwa Polres Serdang Bedagai juga turut serta memasyarakatkan KB dengan terbentuknya suatu klinik lingkaran biru atau klinik KB mandiri yang salah satu kegiatannya adalah melakukan penyuluhan dan bimbingan mengenai pelayanan semua jenis alat kontrasepsi KB. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak Polres Serdang Bedagai untuk memasyarakatkan KB pria pada jajaran kepolisian setempat, namun dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan Penulis diketahui bahwa keikutsertaan anggota Polres Serdang Bedagai pria dalam ber-KB masih rendah. Dari survei pendahuluan tersebut diketahui hanya 19 orang (4,19%) anggota Polres Serdang Bedagai pria yang menggunakan KB pria dari 453 orang anggota Polres Serdang Bedagai yang sudah menikah. Dari jumlah akseptor KB pria tersebut, 2 orang vasektomi (0,4%) dan 17 orang menggunakan kondom (4,2%). Dari survei tersebut diketahui sebayak 267 orang (65%) istri anggota Polres Serdang Bedagai menggunakan alat kontrasepsi wanita dengan perincian 27 peserta IUD (10%); 21 peserta Implant (7,8%); 7 peserta MOW (2,6); 117 peserta Suntik (43,8%); 95 peserta Pil (35%); dan selebihnya tidak mengunakan alat kontrasepsi wanita. Berdasarkan data tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi wanita lebih besar daripada pria. Dari hasil survei pendahuluan tersebut juga diketahui bahwa 40% responden adalah Suku Batak; responden yang berasal dari Suku Jawa sebesar 20%; responden yang berasal dari Suku Minang sebesar 20%; responden yang berasal dari Suku Melayu sebesar 15% dan selebihnya responden berasal dari Suku Nias dan suku
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Dari survei tersebut juga diperoleh informasi bahwa 70% responden menyadari peran responden sebagai suami berperan dalam keikutsertaan keluarga dalam ber-KB. Beberapa responden yang berasal dari Suku Batak juga mengatakan bahwa walaupun jumlah anak sudah lebih dari dua namun bila belum mempunyai anak laki-laki, maka beberapa responden tersebut akan terus berusaha untuk memperoleh anak laki-laki sebagai penerus keturunan (marga) serta yang paling berperan dalam upacara adat. Hal ini menunjukkan bahwa budaya patrilineal masih sangat berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam ber-KB. Selain itu, Penulis juga menduga alasan rendahnya anggota Polres Serdang Bedagai pria dalam ber-KB adalah rendahnya pengetahuan tentang KB pria. Berdasarkan fenomena di atas, perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh sosial budaya yang meliputi: pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat, serta dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
1.2. Permasalahan Bagaimana pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adatistiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011?
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adatistiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Kepolisian Republik Indonesia Resor Serdang Bedagai; sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan kesadaran anggota Polri dalam menyukseskan Program KB Nasional. 2.
Anggota Polri Resor Serdang Bedagai; sebagai bahan masukan untuk menambah wawasan tentang KB pria dan diharapkan berpartisipasi dalam pemakaian alat kontrasepsi KB pria.
3.
Pengembangan ilmu adminitrasi dan kebijakan kesehatan serta dapat dimanfaatkan sebagai referensi ilmiah untuk pengembangan ilmu khususnya tentang alat kotrasepsi KB pria.
Universitas Sumatera Utara