BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Biaya transaksi muncul akibat kegagalan pasar (Yeager, 1999: 29-30). Menurut Stone et al. (1996: 97), pasar yang selalu berjalan tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (costumer) memiliki informasi yang sempurna dan penjual saling berkompetisi sehingga menghasilkan harga yang rendah. Tetapi dalam dunia nyata, fakta adalah sebaliknya di mana informasi bisa sangat asimetris sehingga memunculkan biaya transaksi. Informasi sangat dibutuhkan oleh setiap pelaku ekonomi karena para pelaku ini akan selalu menghadapi informasi yang tidak lengkap (incomplete information), atau dengan kata lain terjadi ketidakpastian informasi (informational uncertainty) (Dietrich, 1994: 19). Oleh karena itu, biaya mencari informasi merupakan kunci dari biaya transaksi, seperti mencari informasi untuk menentukan harga pasar. Menurut Shelanski dan Klein (1995), harga pasar merupakan insentif terkuat untuk mengeksploitasi keuntungan sebanyak-banyaknya, dan pelaku pasar dengan cepat beradaptasi dengan perubahan informasi akan keadaan melalui perubahan harga. Salah satu biaya transaksi untuk mencari informasi harga ialah biaya perantara. Di Amerika Serikat, rata-rata biaya transaksi berupa komisi perantara adalah 2,5 persen dari pembelian tanah (Moyer dan Daugherty, 1982). Menurut Gong et al. (2007), volatilitas atau fluktuasi harga merupakan salah satu variabel
1
biaya mencari informasi sebab produsen dapat mengetahui sebagian informasi harga akhir melalui volatilitas atau fluktuasi harga. Volatilitas harga juga terjadi di Indonesia yakni volatilitas harga komoditi pertanian misalnya bawang merah. Bawang merah merupakan salah satu tanaman hortikultura yang sering mengalami fluktuasi harga yang sangat tajam karena produksi bersifat musiman yang mengakibatkan bawang merah sebagai komoditas yang bersifat perishable yakni mudah rusak atau busuk dan tidak tahan lama serta rentan terhadap perubahan cuaca. Dalam agribisnis hortikultura, ada beberapa kekhasan yang dimiliki antara lain usaha tani yang dilakukan lebih berorientasi pasar (tidak konsisten), bersifat padat modal, risiko harga relatif besar karena sifat komoditas yang cepat rusak, dan dalam jangka pendek harga berfluktuasi (Hadi, et al., 2000). Salah satu sifat tanaman hortikultura yakni fluktuasi dalam jangka pendek terjadi pada bawang merah yaitu fluktuasi tajam terjadi pada tahun 2013 dimana perkembangan harga bulan Maret bawang merah di Pulau Jawa yakni pasar Kramat Jati Jakarta berkisar antara Rp40.000-45.000/kg, pasar Jatinegara berkisar antara Rp40.000–60.000/kg serta pasar Mayestik harga berkisar antara Rp45.00050.000/kg (Pati, 2013). Pada periode yang sama di daerah lain yaitu wilayah Jawa Tengah, harga bawang merah tingkat eceran ialah Rp40.000/kg dan harga tertinggi berada pada kisaran Rp50.000–60.000/kg. Pada daerah luar Pulau Jawa harga tertinggi terjadi di kabupaten Gorontalo dari Rp95.000/kg menjadi Rp120.000/kg padahal pada bulan sebelumnya harga bawang merah hanya Rp30.000/kg (Massa, 2013). Hal ini didukung oleh perkembangan harga bawang merah diseluruh provinsi
2
Indonesia selama empat tahun terakhir. Berikut merupakan Tabel 1.1 yang menjelaskan rata-rata harga eceran bawang merah di provinsi seluruh Indonesia. Tabel 1.1 Rata-rata Harga Eceran Bawang Merah di Provinsi Seluruh Indonesia Tahun 2010-2013 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2010 15650 15395 14612 16323 14862 14159 17110 13284 15587 14433 14018 12842 12065 11986 13752 13122 12904 15103 21375 16648 18377 14706 19166 21322 19814 16425 23172 20545 19108 20371 23209 26960 25876
2011 20662 18115 17406 18324 17860 18240 19392 19445 20154 20700 19174 17221 15159 16329 17496 18310 20104 19132 28171 22472 22000 17539 23235 24712 24266 20425 30188 24271 21748 25498 30944 30893 30243
2012 15087 13070 13719 14583 12308 11983 13712 12003 14237 14500 12829 11273 9608 10572 11245 12252 11233 9515 12896 14584 13645 10369 13290 14759 14368 11796 17726 15341 15304 16364 17598 22062 20119
2013 43711 43010 35580 41384 46015 49036 53021 45074 54250 32233 45179 42959 34984 37958 38541 42270 43304 43058 42123 32367 51203 45899 53478 59894 55893 47646 46663 62091 57373 53728 66885 57082 60439
Sumber: BPS Indonesia, 2014 (diolah) Bahkan harga bawang merah tertinggi pada tahun 2013 sempat menyentuh harga Rp120.000/kg di Maluku Utara pada minggu ke dua bulan Agustus. Harga terendah selama tahun 2013 ialah Rp24.000/kg di Kepulauan Riau pada bulan April dan Mei. Kenaikan harga dari tahun 2012 ke tahun 2013 mengenai rata-rata
3
harga eceran bawang merah di provinsi seluruh Indonesia cukup signifikan yang bisa dilihat pada Gambar 1.1 sebagai berikut. 70000 60000 50000 40000 30000 20000
0
Aceh Sumatera Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka… Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimanatan Selatan Kalimanatan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
10000
2010
2011
2012
2013
Sumber: BPS Indonesia, 2014 (diolah) Gambar 1.1 Rata-Rata Harga Eceran Bawang Merah di Provinsi Seluruh Indonesia Tahun 2010-2013 Harga yang sangat tinggi ini terjadi pada tahun 2013 yang dapat dilihat pada gambar diatas dimana lonjakan tertinggi terjadi dari tahun 2012 ke 2013 dibanding dari tahun 2011 ke 2012 yang justru mengalami penurunan harga. Kemudian dari tahun 2010 ke 2011 mengalami lonjakan harga tetapi tidak setinggi harga dari tahun 2012 ke 2013. Sudaryanto et al. (1993) mengemukakan bahwa petani sayuran unggulan di sentra produksi pada saat panen raya berada pada posisi lemah. Lebih lanjut Rachman (1997) mengungkapkan rata-rata perubahan harga ditingkat produsen lebih rendah dari rata-rata perubahan harga ditingkat pengecer, sehingga dapat dikatakan bahwa efek transmisi harga tidak berjalan sempurna (imperfect price transmission).
4
Efek transmisi harga yang tidak berjalan sempurna juga terjadi pada komoditi beras berdasarkan penelitian Bank Indonesia tahun 2008 diketahui bahwa pergerakan harga beras ditingkat petani tidak ditransmisikan secara sempurna terhadap harga beras ditingkat konsumen ataupun sebaliknya. Hal ini tercermin dari semakin besarnya disparitas harga antara level petani dengan konsumen selama periode Januari 2001 sampai Januari 2008. Dalam teori pemasaran, besarnya disparitas harga dalam satu lini pemasaran disebabkan oleh dua hal, yakni jalur atau saluran pemasaran yang terlalu panjang atau adanya market power yang dimiliki pedagang perantara. Keduanya akan menyebabkan marjin yang terbentuk dalam satu lini pemasaran dari hulu ke hilir (vertikal) menjadi sangat tidak efisien (Yustiningsih, 2012). Secara teori ekonomi, semakin kecil tingkat marjin distribusi yang dihasilkan mengindikasikan bahwa para pelaku di jalur distribusi tidak memiliki market power yang cukup untuk membentuk harga (price maker). Sebaliknya, semakin tinggi marjin distribusi mengindikasikan bahwa para pelaku dijalur distribusi memiliki market power yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan menunjukkan bahwa pelaku berada pada pasar yang terkonsentrasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Meyer et al. (2004) menyebutkan bahwa tidak terjadinya transmisi harga antara dua level pasar yang berbeda dalam satu rantai pemasaran disebabkan oleh pasar yang tidak kompetitif. Bahkan untuk komoditas pertanian secara jelas disebutkan bahwa persaingan yang tidak sempurna pada rantai pemasaran (marketing chain) membuka peluang pada
5
middleman untuk melakukan penyalahgunaan kekuatan pasar yang dimilikinya (abuse of market power). Salah satu bentuk abuse of market power ialah pedagang perantara memiliki kemampuan untuk menetapkan marjin pemasaran yang besar. Hal ini disebabkan pedagang perantara akan berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikkan/menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga. Kondisi inilah yang menyebabkan competition restraint pada jalur distribusi dan transmisi harga yang tidak sempuran antara level produsen dengan konsumen (Yustiningsih, 2012). Penyalahgunaan kekuatan pasar (abuse of market power) disebabkan oleh adanya perbedaan posisi bargaining power yang rendah antara petani dan pedagang perantara dalam menetukan harga. Posisi bargaining power yang rendah ini menurut ekonomi kelembagaan disebabkan oleh keterbatasan informasi yaitu suatu kondisi informasi tidak simetris (information asymmetry) karena salah satu pelaku transaksi (agen) mempunyai pengetahuan yang lebih banyak ketimbang pelaku lain (Bickenbach, et al. 1999). Untuk mengetahui pelaku ekonomi yang memiliki lebih banyak informasi ini dapat diketahui melalui rantai tataniaga perdagangan yaitu rantai tataniaga bawang merah. Hal ini disebabkan masing-masing pelaku perdagangan bawang merah memiliki kemampuan untuk menentukan harga berdasarkan informasi yang dimiliki. Jadi, untuk mengetahui penyebab tingginya harga bawang merah dapat diketahui dengan menelusuri rantai tataniaga bawang merah. 6
Keterbatasan informasi pada tataniaga bawang merah menyebabkan petani sebagai produsen berada pada posisi yang lemah diantara pelaku tataniaga yang lain. Untuk mengetahui seberapa banyak informasi yang dimiliki oleh setiap pelaku tataniaga diperlukan analisis tentang biaya transaksi tataniaga bawang merah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan, di antaranya adalah sebagai berikut. 1.
Viona (2013: 88) menganalisis tentang konstruksi sosial dan ekonomi tataniaga beras dengan fenomenologi tataniaga beras dari Kabupaten Demak ke Kota Semarang. Hasil penelitian menyimpulkan ada 4 saluran tataniaga beras dari Kabupaten Demak ke Kota Semarang. Marjin terbesar terdapat pada saluran 1 dan terkecil pada saluran 4. Biaya informasi dan negosiasi ditingkat pedagang pengumpul Rp2/kg dan ditingkat penggilingan gabah Rp4/kg.
2.
Escobal dan Cavero (2012) menganalisis biaya transaksi, pengaturan kelembagaan, dan ketimpangan hasil, studi kasus pemasaran kentang oleh produsen kecil di pedesaan Peru. Hasil penelitian menyimpulkan efek distribusi dapat menurunkan biaya transaksi sehingga memungkinkan terciptanya akses ke peluang pasar yang lebih baik bagi petani kecil di dataran tinggi Peru.
3.
Utama (2011: 82) menganalisis sistem tataniaga daun bawang, studi kasus Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Hasil penelitian
7
menyimpulkan ada 4 pola saluran tataniaga di Kecamatan Pacet. Marjin terbesar terdapat pada saluran IV dan terkecil pada saluran III. 4.
Hamidi (2010: 1) mengnalisis keterkaitan antar pelaku dan dampak kemitraan dalam agribisnis tembakau virginia di pulau Lombok NTB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan harga tembakau antara pembeli bebas dengan perusahaan mitra dan besarnya hutang petani di rentenir berpengaruh signifikan terhadap penyimpangan kontrak petani terhadap perusahaan mitranya.
5.
Agustina (2008: 84) menganalisis tataniaga dan keterpaduan pasar kubis, studi kasus Desa Cimeyan, Kecamatan Cimeyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis menyimpulkan terdapat 3 saluran tataniaga kubis di Desa Cimenyan. Marjin terbesar terdapat pada saluran tiga dengan nilai total marjin sebesar Rp1.681,87, dengan nilai farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar ialah 2,28. Struktur pasar dalam tataniaga kubis ialah tidak bersaing sempurna sebab keterpaduan pasar ialah jangka pendek degan nilai IMC < 1.
6.
Mayrowani dan Darwis (2007: 13) menganalisis perspektif pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Hasil penelitan menunjukkan bahwa masalah pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes ialah harga bawang merah berfluktuasi dan sulit diramalkan, dominasi pedagang besar dalam penentuan harga, rantai pasar yang relatif panjang, dan sarana pasar dan transportasi yang masih belum berkembang.
7.
Yang (2007) menganalisis faktor sosial, biaya transaksi, dan industri dengan perbandingan
antara
Korea
Selatan
dan
Taiwan.
Hasil
penelitian 8
mdnyimpulkan bahwa industri Korea Selatan dan Taiwan bebeda dilihat dari sudut pandang biaya transaksi luar negri yang terdiri atas biaya awal dan pelaksanaan kontrak. 8.
Yustika (2005: 1) menganalisis perusahaan penggilingan gula pemerintah di Jawa Timur melalui perspektif ekonomi biaya transaksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan pada penggilingan gula ialah inefisiensi manajemen perusahaan yang menyebabkan biaya transaksi menjadi tinggi.
9.
Fontnouvelle dan Lence (2002) menganalisis biaya transaksi dan teka-teki nilai masa depan harga sawah. Hasil penelitian menyimpulkan biaya transaksi pasar lahan pertanian tinggi karena CDR dan PVM yang mengimplikasikan pembatasan keseimbangan secara parsial pada pengembalian adalah konstan.
10. Shelanski dan Klein (1995) menganalisis biaya transaksi secara empiris berupa uraian dan penilaian. Hasil penelitian menyimpulkan biaya transaksi ekonomi menunjukkan bahwa aktifitas ekonomi dapat dianalisis dengan transaksi sesuai dengan tujuan yang diprediksi oleh teori.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Menganalisis saluran tataniaga bawang merah di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah.
2.
Menganalisis marjin tataniaga antar lembaga saluran tataniaga bawang merah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah.
3.
Mengetahui biaya transaksi tataniaga bawang merah di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah.
9
1.4 Manfaat Penelitian Manfaaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Petani dan lembaga
tataniaga
sebagai
bahan pertimbangan dalam
pembentukan sistem tataniaga bawang merah yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. 2.
Pemerintah sebagai bahan informasi bagi perencanaan kebijaksanaan guna meningkatkan efisiensi tataniaga bawang merah.
3.
Pihak lain sebagai bahan masukan atau rujukan bagi penelitian berikutnya.
1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab 1 merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang uraian landasan teori dan kajian terhadap penelitian terdahulu. Bab III merupakan metoda penelitian yang meliputi metoda analisis data, metoda pengumpulan data, lokasi penelitian, metoda analisis saluran tataniaga, metoda analisis marjin tataniaga, dan metoda analisis biaya transaksi. Bab IV berisi tentang ulasan pembahasan, pada bab ini akan dijelaskan mengenai analisis data yang merupakan analisis hasil penelitian dan pembahasan, berupa kondisi sosial ekonomi daerah penelitian, analisis saluran tataniaga, analisis marjin tataniaga, dan analisis biaya transaksi. Bab V merupakan bab simpulan dan saran di mana berisi simpulan, saran dan keterbatasan.
10