BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk cenderung
mengalami peningkatan jumlah kasus dan kematiannya. Salah satunya nyamuk dari genus Culex yang merupakan vektor biologis dari penyakit: filariasis, Japanese encephalitis, dan demam chikungunya. (Geneung Patridina, 2012) Filariasis atau elephantiasis atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah adalah penyakit yang disebabkan karena infeksi cacing filaria. Penyakit kaki gajah disebabkan oleh cacing dari kelompok Nematoda, yaitu Wucheraria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Wilayah Indonesia Timur memiliki prevalensi kejadian penyakit lebih tinggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 di laporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 Kabupaten/kota. Hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non endemis. (Subdit Filariasis dan Schistomiasis, 2010) Tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta , Banten, Jawa Timur dan lain-lain. Tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Tahun 2007 sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada beberapa provinsi dengan 149.526
1
2
kasus tanpa kematian. Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis. Banyaknya tempat perindukan nyamuk Culex sp sering berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia potensial untuk terjadinya KLB Chikungunya. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012) Penyakit virus Ensefalitis Jepang (Japanese Encephalitis Virus = JEV) termasuk dalam kelompok penyakit Virus Ensefalitida (Encephalitides Virus). Vektor utama dari virus ensefalitis Jepang di Asia Tenggara adalah Culex tritaeniorhynchus, Cx. gelidus dan Cx. Vishnu. Infeksi virus ensefalitis biasanya akan menyebabkan pembengkakan pada otak. Banyak dari jenis virus ini tidak menunjukkan gejala yang jelas meskipun serangan awal dapat terlihat
seperti
demam yang terjadi tiba-tiba, sakit kepala, sakit otot (myalgia), tidak enak badan (malaise) dan keletihan (prostration). Infeksi dapat berlanjut dengan adanya pembengkakan pada otak. Invasi virus masuk ke sistem pusat persarafan (SPP). (Sembel, 2009) Pemberantasan larva merupakan kunci strategi program pengendalian vector borne disease diseluruh dunia karena dapat mencegah larva untuk menjadi stadium dewasa. Selain karena larva memiliki umur stadium terpanjang sehingga paparan yang diterima juga paling lama, stadium dewasa atau nyamuk dewasa bisa terbang sehinga dapat menyebarkan penyakit secara luas. Penggunaan insektisida sebagai larvasida dapat merupakan cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan vektor tersebut (Ashry Sikka Aradilla, 2009).
3
Penggunaan insektisida organik sintetik sayangnya tidak disertai dengan perhatian terhadap efek samping yang bisa terjadi. Penggunaan dosis yang subletal merangsang terjadinya adaptasi diri serangga terhadap insektisida. Sifat ini akan diturunkan ke generasi berikutnya, sehingga timbul populasi baru yang resisten terhadap suatu jenis insektisida. Geneung Patridina (2012) penggunaan bahan-bahan alamiah yang banyak terdapat di alam sebagai insektisida dan larvasida alamiah dapat menjadi alternatif pilihan. Insektisida dan larvasida alamiah dari bahan alami diharapkan akan lebih mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang. Daun pepaya (Carica papaya L) dapat digunakan sebagai insektisida dan larvasida karena mengandung bahan aktif seperti senyawa alkaloid karpain, caricaksantin, violaksantin, papain, saponin, flavonoida, politenol, dan saponin yang dapat menjadi racun pada pernapasan bagi nyamuk dewasa. (Rehena, 2010) Atas dasar latar belakang di atas maka akan dilakukan penelitian dengan judul
“Efek Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L) Sebagai Larvasida
Terhadap Larva Nyamuk Culex sp.”
1.2 Rumusan Masalah Apakah ekstrak daun pepaya (Carica papaya L) mempunyai efek larvasida terhadap larva Culex sp?
4
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum: Untuk mengetahui efek ekstrak daun pepaya (Carica papaya L) sebagai larvasida terhadap kematian larva Culex sp. 1.3.2 Tujuan Khusus: 1. Mengetahui efek ekstrak daun pepaya (Carica papaya L) di berbagai konsentrasi yang memiliki daya bunuh terhadap larva Culex sp. 2. Mengetahui hubungan antara tingkatan konsentrasi ekstrak daun pepaya (Carica papaya L) dengan jumlah kematian larva Culex sp.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Klinis Sebagai sumber informasi tentang efek ekstrak daun pepaya (Carica papaya L)
sebagai larvasida dan dapat diaplikasikan untuk
membasmi larva
nyamuk Culex sp dalam
angka kejadian Filariasis, Japanese
usaha
menurunkan
encephalitis, dan Chikungunya.
1.4.2 Manfaat Akademis Sebagai
data
dasar
untuk pelaksanaan penelitian lebih lanjut
mengenai sumber alternatif alami yang
dapat
digunakan untuk
menambah khasanah ilmu pengetahuan. 1.4.3 Manfaat Masyarakat Memberikan informasi kepada masyarakat tentang efek ekstrak daun
5
pepaya (Carica papaya L) Culex sp.
sebagai larvasida terhadap nyamuk