BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan subtropik di seluruh dunia terutama daerah perkotaan dan pinggiran kota. Distribusi geografis demam berdarah, frekuensi, dan jumlah kasus DBD telah meningkat tajam selama dua dekade terakhir. Frekuensi menunjukkan kepada besarnya masalah kesehatan yang terdapat pada kelompok masyarakat sedangkan jumlah kasus adalah jumlah mereka yang terkena atau terserang penyakit DBD. Diperkirakan 2,5 milyar penduduk (sekitar 2/5 dari populasi penduduk dunia) sangat berisiko terinfeksi DBD (WHO, 2015). Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Menurut Laporan
Kajian
Kebijakan
Penanggulangan
(Wabah) Penyakit
Menular
menyatakan bahwa penyakit DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan domestik maupun iklim, demografi, sosial ekonomi, dan perilaku. Penyakit DBD merupakan penyakit yang dapat berimplikasi luas terhadap kerugian material dan moral berupa penurunan kualitas hidup anak, biaya rumah sakit dan pengobatan pasien, kehilangan produktivitas kerja bagi penderita, kehilangan wisatawan akibat pemberitaan buruk terhadap daerah kejadian dan yang paling fatal adalah kehilangan nyawa (Llyod, 2003). Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Setelah perang dunia II, DBD
1
Universitas Sumatera Utara
2
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Asia Tenggara. Ada kenaikan yang drastis dalam jumlah dan frekuensi epidemic penyakit DBD di Asia Tenggara. Penyakit ini paling banyak menyerang anak-anak dengan angka fatalitas kasus berkisar antara 1% hingga 10% (rata-rata 5%). Diperkirakan terjadi 50 hingga 100 juta kasus demam Dengue per tahun, 500.000 kasus DBD perlu dirawat inap setiap tahunnya dengan persentase 90% pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun dengan rata-rata kematian mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2005). Sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Kemenkes RI, 2010). Hal yang sama juga dilaporkan WHO bahwa sejak tahun 2000 hingga tahun 2010 daerah endemik DBD banyak terdapat di wilayah Asia Tenggara. Sebagaimana yang dilaporkan Cases of Dengue in SEA Region Countries, pada tahun 2010 penderita DBD di Indonesia berjumlah 80.065 penderita dengan Incidence Rate (IR) 34,29% dan Case Fatality Rate (CFR) 0,93%. DBD masih menjadi prioritas utama masalah kesehatan Indonesia untuk penyakit menular. Demam berdarah merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada usia sekolah dan remaja di Indonesia. DBD merupakan penyakit menular yang berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Kepmenkes RI No HK.02.02/Menkes/52/2015). Pada tahun 2012 jumlah penderita DBD di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 90.245 kasus dengan jumlah kematian 816 orang (Incidence Rate/
Universitas Sumatera Utara
3
Angka Kesakitan 37,11 per 100.000 penduduk dan CFR=0,90%) dan pada tahun 2013 angka kesakitan DBD tercatat 45,85 per 100.000 penduduk (112.511 kasus) dengan angka kematian sebesar 0,77% (871 kematian). Pada tahun 2014 tercatat penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa masih perlu upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, manajemen tatalaksana penderita di sarana-sarana pelayanan kesehatan, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kesehatan di rumah sakit dan puskesmas (dokter, perawat, dan lain-lain) termasuk peningkatan sarana-sarana penunjang diagnostik dan penatalaksaaan bagi penderita di sarana-sarana pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Di Provinsi Sumatera Utara penyakit DBD telah menyebar luas sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi sehingga masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang ada di Sumatera Utara. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD di Sumatera Utara sebesar 4.732 kasus dengan IR 35 per 100.000 penduduk. Jumlah ini mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2012 dengan jumlah kasus 4.367 kasus dengan IR sebesar 33 per 100.000 penduduk. Berdasarkan angka kesakitan DBD di Sumatera Utara dalam 10 tahun terakhir dari tahun 2004-2013, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2010 dengan IR sebesar 72 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2014). DBD
juga masih menjadi masalah penyakit menular yang menjadi
prioritas dibeberapa daerah endemis yang ada di Provinsi Sumatera Utara seperti
Universitas Sumatera Utara
4
Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Karo. Hal ini didasarkan pada jumlah kasus selalu menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan KLB wilayah Provinsi Sumatera Utara maka daerah endemis DBD di Sumatera Utara adalah Kota Medan, Deli Serdang, Binjai, Langkat, Asahan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kabupaten Karo
(Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara, 2014). Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
nyamuk
Aedes
aegypti
tidak
memungkinkan
hidup
dan
berkembangbiak pada daerah dengan ketinggian diatas 1000 meter di atas permukaan laut karena suhu udara terlalu rendah. Namun, perubahan iklim global yang menyebabkan kenaikan rata-rata temperatur, perubahan pola musim hujan dan kemarau disinyalir menyebabkan risiko terhadap penularan DBD bahkan berisiko terhadap munculnya KLB DBD. Kabupaten Karo merupakan salah satu daerah endemis DBD di Sumatera Utara. Wilayah Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 700-1500 mdpl. Pada tahun 2014 tercatat ada 248 kasus DBD di Kabupaten Karo dengan IR sebesar 63,7 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan terjadinya peningkatan kasus yang sangat signifikan dari tahun sebelumnya yaitu 82 kasus pada tahun 2013, dan 90 kasus pada tahun 2012. (Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, 2014). Upaya untuk memberantas penyakit DBD telah dikeluarkan Kepemenkes No. 581/ Menkes/ SK/ VII/ 1992 tentang pemberantasan penyakit DBD yang menyebutkan bahwa upaya pemberantasan penyakit DBD melalui kegiatan
Universitas Sumatera Utara
5
pencegahan, penemuan, pelaporan penderita, pengamatan penyakit, dan penyelidikan epidemiologi, seperlunya, penanggulangan lain dan penyuluhan kepada masyarakat, pemberantasan sarang nyamuk yang dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi. Upaya pemberantasan penyakit DBD ini dilaksanakan dengan cara tepat guna oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat. Dari sini tampak bahwa penyakit ini mendapat perhatian dari pemerintah. Kesuksesan dari program penanggulangan DBD pastinya akan memberikan hasil yang positif dalam menurunkan angka kasus DBD karena program-program penanggulangan penyakit DBD memiliki peran yang sangat vital untuk menanggulangi DBD mengingat penyakit DBD adalah penyakit menular yang telah tersebar luas. Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan bertanggung jawab atas masalah kesehatan yang ada di wilayah kerjanya. Tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan juga menjadi kendala utama yang dihadapi dalam implementasi kebijakan penanggulangan penyakit menular dalam kasus DBD (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006). Kecamatan Tigapanah merupakan wilayah yang berada pada ketinggian 1128-1328 meter di atas permukaan laut. Puskesmas Tigapanah Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo merupakan puskesmas dengan status puskesmas rawat inap. Jumlah desa wilayah kerja Puskesmas Tigapanah ada 21 desa. Kejadian kasus DBD yang terjadi di wilayah kerja puskesmas ini merupakan suatu fenomena karena terjadinya KLB DBD dan peningkatan jumlah kasus yang singnifikan. Pada tahun 2013 dilaporkan bahwa tidak ada kasus DBD, namun
Universitas Sumatera Utara
6
pada tahun 2014 dilaporkan adanya kasus DBD yang berjumlah lima kasus, dan terjadi peningkatan yang signifikan pada tahun 2015 yaitu dengan jumlah 63 kasus (Puskesmas Tigapanah 2015). Berdasarkan hasil survei awal diperoleh informasi bahwa program yang dilaksanakan dalam upaya penanggulangan penyakit DBD adalah penyuluhan yang dilakukan ke desa-desa dan ke sekolah–sekolah, survei jentik, fogging dan abatisasi, dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Penyuluhan dilakukan di dalam dan di luar gedung. Di dalam gedung yang bersifat formal dilakukan di sekolah-sekolah dan yang bersifat informal dilakukan di acara pertemuan keagamaan seperti perpulungan dan perwiritan. Sedangkan penyuluhan diluar gedung dilakukan di jambur, biasanya dilakukan setelah adanya kasus dan dilakukan oleh petugas puskesmas. Survei jentik dilakukan untuk pengambilan sampel jentik di dalam maupun di luar gedung dimana terdapat sumber atau genangan air bersih dan dilaksanakan oleh petugas puskesmas. Selanjutnya, fogging dan abatisasi yang dilakukan di dalam maupun di luar gedung. Program ini dilakukan setelah adanya kasus dengan pelaksana dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dimana alat dan bahannya juga oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Karo. Dalam pelaksanaan fogging dan abatisasi petugas dari puskesmas dilibatkan sebagai pendamping dan penyuluh, penyuluhan dilakukan secara door-to-door. PSN adalah program yang dilakukan di luar gedung. Bentuk dari kegiatan ini adalah Gerakan Jum’at Bersih yang melibatkan bidan desa dalam pelaksanaannya.
Universitas Sumatera Utara
7
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala tata usaha Puskesmas Tigapanah diperoleh informasi bahwa banyak kendala yang ditemui dalam pelaksanaan program untuk penanggulangan penyakit DBD. Dimulai dari jumlah tenaga kesehatan bidang Pencegahan dan Pemberantasan (P2) DBD yang hanya berjumlah satu orang dan hanya bertugas sebagai pencatatan dan pelaporan. Pelaksana program dilakukan oleh siapa saja yang bersedia. Kendala lain nya adalah pada pelaksanaan program PSN dalam Gerakan Jum’at Bersih belum optimal karena masih ada warga yang berpikir bahwa penyakit DBD tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Pada saat penyuluhan banyak warga yang tidak hadir karena menganggap kegiatan penyuluhan tidak penting. Mereka beranggapan bahwa fogging saja sudah cukup untuk mencegah penyakit DBD. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sriwulandari (2009) mengenai evaluasi pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan penyakit demam berdarah Dengue Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan, menyatakan bahwa salah satu hambatan dalam pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD yaitu susahnya koordinasi dengan beberapa pihak. Dinyatakan bahwa susahnya koordinasi dengan masyarakat maupun pihak desa terlihat dari terkadang ada perangkat desa yang tidak terlalu tanggap saat ada kasus yang menimpa warga. Penelitian yang dilakukan oleh Dalimunthe (2011), mengenai peranan puskesmas
dalam
upaya
penanggulangan
Demam
Berdarah
Dengue.
Menyebutkan bahwa upaya dan tindakan yang dilaksanakan Puskesmas Pembantu Sidorejo Hilir Medan cukup berhasil. Hal ini ditandai dengan tidak bertambahnya
Universitas Sumatera Utara
8
warga yang terkena DBD dan Kecamatan Sidorejo Hilir Medan tidak termasuk daerah endemik. Akan tetapi perlu ditingkatkan penyuluhan DBD dan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan fogging di sekolah-sekolah dan tempat tinggal warga secara serentak serta pembagian bubuk abate gratis. Penelitian yang berkaitan juga dilakukan oleh Tairas, dkk (2015), mengenai analisis pelaksanaan pengendalian DBD di Kabupaten Minahasa. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa pelaksanaan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Minahasa Utara yang meliputi surveilans kasus, diagnosis dan tatalaksana
kasus,
pengendalian
vektor
DBD,
kewaspadaan
dini
dan
penanggulangan KLB, penyuluhan dan peran serta masyarakat dan monitoring evaluasi secara umum sudah berjalan baik dan dirasa cukup sebagai program untuk menanggulangi penyakit DBD. Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk menganalisis pelaksanaan program penanggulangan DBD di Puskesmas Tigapanah Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo Tahun 2016. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian
ini
adalah
bagaimana
analisis
pelaksanaan
program
penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Tigapanah Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo Tahun 2016.
Universitas Sumatera Utara
9
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan program penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Tigapanah Kecamatan Tigapanah Kabupaten KaroTahun 2016. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1.
Bagi Pemerintah, Sebagai bahan kajian dan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dan Puskesmas Tigapanah dalam pelaksanaan program penanggulangan DBD agar menjadi lebih baik dan untuk membuat kebijakan untuk penanggulangan DBD.
2.
Bagi Masyarakat, Sebagai pengetahuan dan informasi dalam upaya pencegahan
dan
pemberantasan
penyakit
DBD
sehingga
mampu
meningkatkan peran serta masyarakat dalam program penanggulangan DBD. 3.
Bagi Peneliti, Sebagai sarana belajar untuk mengetahui pelaksanaan program penanggulangan DBD serta dapat menerapkan ilmu dan pengalaman belajar selama di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
4.
Bagi Peneliti Lain, Sebagai dasar dan bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya secara lebih mendalam yang berhubungan dengan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara