BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jepang adalah negara kepulauan yang terletak disebelah timur benua Asia, dengan pulau yang memanjang lebih dari 45° LU dan 20° LS. Luas wilayah Jepang adalah 378.000 km .Negara Jepang terdiri dari 4 pulau yaitu: Honshu, Shikoku, Kyushu, dan Hokaido. Serta 300 pulau kecil yang ada di dekatnya. Kepulauan Jepang ditutupi oleh wilayah pegunungan. Hanya 15% wilayah Jepang yang dapat ditanami dari wilyah dataran 25%. Selebihnya yaitu 75% adalah pegunungan yang bervariasi bentuk dan ragamnya. Di antara pegunungan yang memanjang di kepulauan itu terdapat gunung berapi dalam jumlah yang besar dan beragam. Ini merupakan kekhasan dari negeri ini. Gunung yang tertinggi adalah gunung Fuji (fujisan). Diluar negeri gunung Fuji terkenal dengan nama fujiyama dengan tinggi 3.776 meter, yang terletak di kepulauan Honshu. (Jepang Dewasa Ini :1989). Negara Jepang juga terletak di daerah curah hujan yang tinggi, dengan memiliki 4 musim, yaitu: musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Yang dalam jangka waktu yang relatif singkat dapat berubah. Alam Jepang selain mendatangkan keuntungan, juga mendatangkan kesengsaraan bagi penduduknya dengan seringnya terjadi bencana alam seperti gempa bumi dan angin topan. Oleh karena itu untuk memilih bahan bangunan
rumah tradisional Jepang yang sesuai dengan
perubahan-perubahan iklim dan letak geografis tersebut dan juga dikarenakan
1
2 berlimpahnya bahan alam berupa kayu, maka kayu lebih dianjurkan untuk dijadikan bahan dasar bangunan rumah tradisional Jepang. Di dalam perbandingannya, kayu lebih peka untuk menerima iklim. Kayu dapat menjadi lebih dingin dan dapat meresap kelembaban ketika musim panas tiba, dan tidak akan terlalu dingin jika di sentuh pada waktu musim dingin. Selain itu kayu juga lebih cocok dan dapat bertahan pada saat terjadi gempa bumi di Jepang. Alasan lain juga diperkuat oleh pemaparan kepercayaan penganut agama Shinto bahwa kesucian Jepang diciptakan pertama dari alam dan kemudian menciptakan manusia sebagai bagian dari kekuatan alam, maka arsitektur rumah tradisional Jepang pada dasarnya berbahan dasar kayu dan alam. (Tadahiro : 1983). Selain dari tiang-tiang dan atap rumah yang berbahan dari alam (kayu dan jerami), hampir seluruh komponen-komponen utama rumah tradisional jepang berbahan dasar alam. Seperti pada; tokonoma(床の間) yaitu ruang sudut/bilik di dalam ruang tamu, tatami(畳) yaitu lantai yang juga dapat berfungsi sebagai tempat duduk lantai yang terbuat dari jerami, fusuma(ふすま)yaitu pintu geser yang berfungsi sebagai sekat atau pemisah ruangan-ruangan bagian dalam dan shoji(障子) yaitu pintu geser kayu yang berfungsi untuk memisahkan teras dengan ruang dalam, ranma( 欄 間 ) yaitu jendela kecil di atas pintu atau kusen, tokonoma shelves (chigaidana/違い棚) yaitu rak sudut kayu yang bertingkat, dan tokobashira(床柱) yaitu tiang balok ukir. Yang hampir keseluruhan bahan dasarnya memakai kayu.(lihat lampiran gambar). (Japanese room interior design and material: 2004). Agama Budha telah diperkenalkan ke Jepang dari Cina sekitar abad ke-6. Menjelang zaman Nara (710-794), agama Budha mempengaruhi bangunan-bangunan
3 kuil Shinto di Jepang. Sebagai contohnya adalah dekorasi ornamen yang terbuat dari kuningan sebagai langkan untuk memperkuat selusur tangga dan juga anak tangga dari shoden (tempat ibadah) pada kuil Ise. Sehingga pada masa ini bangunan rumah tradisional Jepang mendapat pengaruh dari agam Budha dan Shinto. (Tadahiro : 1983). Menjelang zaman Heian (794-1185) gaya bangunan rumah tradisional Jepang mulai mendapat pengaruh dari negara Cina, gaya rumah tradisional ini menampilkan suatu kemegahan sebagai contoh pada bangunan shinden zukuri (kuil bertingkat agama Shinto). Komponen lain yang juga mendapat pengaruh asli dari Cina adalah fusuma. Gaya tempat tinggal baru disebut shoin zukuri (arsitektur bergaya shoin atau lebih dikenal dengan ruang belajar bagi kaum pejuang), keistimewaan dari fitur gaya ini meliputi tokonoma (床の間) dan merupakan salah satu elemen terpenting di dalam ruangan utama pada rumah tradisional Jepang. Pada masa Kamakura (1192-1333), tokonoma dibangun dari Butsudan (altar pribadi bagi penganut agama Budha). Menjelang masa Muromachi
(1392-1573) dan masa Azuchi Momoyama
(1573-1603), tokonoma telah berkembang menjadi sebuah bangunan permanen atau suatu ruangan kecil (bilik) yang menempati sudut ruangan utama pada sudut ruangan yang biasanya ditambahi dengan beberapa hiasan penunjang seperti, rangkaian bunga (ikebana/ 生け花) atau tanaman bonsai, dupa, tempat lilin dan naskah kuno atau lukisan yang digantung di dinding (kakejiku /掛け軸 atau kakemono/掛け物 ). Hiasan-hiasan ini biasanya dibuat sangat sederhana sekali tanpa harus meninggalkan ke alamiahnnya sesuai dengan keinginan si pemilik. Sebagai contoh, lukisan-lukisan atau kaligrafi-kaligrafi yang dipajang di dinding biasanya dibuat sesuai dengan keadaan dan suasana musim yang sedang berlaku di daerah Jepang pada saat itu.
4 Ketiga benda tersebut dinamakan Mitsugushoku yaitu benda terpenting bagi agama Budha. Pada rezim samurai telah masuk kebudayaan Cina, dan telah memperkenalkan ajaran Zen Budha yang diperkenalkan oleh rahib agama Buddha India Bodhidharma, pada tahun 520. Zen Budha itu sendiri masuk ke negara Jepang pada zaman Kamakura (1185-1333), yang dibawa oleh dua orang pendeta yaitu Eisei dan Dogen. Zen Budha telah mengajarkan bahwa kedisiplinan dan kesederhanaan telah dibutuhkan di dalam memerintahkan keharmonisan dengan alam, dan juga ajaran ini percaya bahwa di dalam menghasilkan suatu seni arsitektur rumah tradisional Jepang merupakan suatu keselarasan antara keindahan, kesederhanaan dan alam. Sehubunga dengan keselarasan maka Leonard Koren (1994) mengatakan bahwa The quintenssential japanese aesthetic of the beauty of the simplicity called wabi-sabi (bagian inti dari ilmu keindahan Jepang mengenai suatu keselarasan antara suatu keindahan, kesederhanaan dan alami dikenal sebagai wabi-sabi)
(wabi-sabi : 2004).
Menurut Suzuki T. Daisetzu (1991: 23) mengenai wabi-sabi mengatakan: Wabi really means “Poverty” or “Negativelly, “not to be in Fashionable society of the time”, and Sabi consist in rustis unpretentiousness or archaic, imperfection, apparent simplicity or effortness in execution,and richness in historical association. Wabi( 詫 び ) berarti”kemiskinan” atau “tidak berguna”, “tidak mengikuti perkembangan sosial zaman, dan Sabi(寂び) dapat berarti mempunyai unsur utama pada kesederhanaan, rendah hati atau kuno,tidak sempurna, sangat simpel, atau tanpa (dibuat-buat dan kaya akan sesuatu yang bersifat sejarah). Wabi-sabi (詫び寂び) menurut Itoh Teiji (1993), terdiri dari dua suku kata yaitu, wabishi (侘びしい)、yang berarti: tidak senang, sepi, sunyi, hening dan kata sabishi (寂
5
し い ): kemelaratan, kesengsaraan, kemiskinan, kesepian dan juga kesederhanaan. Kedua-duanya mengacu pada nilai-nilai ajaran Zen(禅)Budha.
1.2 Rumusan
Permasalahan
Yang akan menjadi permasalahannya di dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaruh Wabi-Sabi(侘び寂び)terhadap Tokonoma(床の 間)pada ruang tamu dalam rumah tradisional Jepang pada masa Meiji (1868-1912) .
1.3 Ruang Lingkup Ruang lingkup yang digunakan untuk membahas masalah ini adalah bagaimana pengaruh wabi-sabi ( 詫び寂び) terhadap tokonoma(床の間)pada rumah tradisional Jepang pada masa Meiji (1868-1912)
khususnya di kota Tokyo dan Kyoto.
1.4 Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan pada penulisan skripsi ini dengan mengetahui pengaruh Wabi-Sabi terhadap tokonoma pada rumah tradisional Jepang masa Meiji khususnya di kota Tokyo dan Kyoto. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah agar para pembelajar dapat semakin memahami mengenai rumah tradisonal Jepang khususnya tokonoma.
1.5
Metode Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
kepustakaan dan deskriptis analisis, yaitu
penelitian yang mengambil data-data yang
6 diperoleh dari sejumlah naskah tertulis yang merupakan sumber data dan dideskripsikan kemudian menganalisisnya. Data-data tersebut diambil dari koleksi perpustakaan Pusat Kebudayaan Jepang, perpustakaan Universitas Dharma Persada, perpustakaan Universita Indonesia dan Kajian Wilayah Jepang UI, koleksi buku pribadi penulis, data website, serta dari beberapa koleksi dosen-dosen pembimbing dan koleksi teman-teman penulis.
1.6
Sistimatika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan urutan bab sebagai berikut: Bab 1
Pendahuluan yang memuat uraian latar belakang, permasalahan, tujuan
penulisan, metode penulisan, dan sistimatika penulisan. Bab 2 Landasan Teori Bab 3 Analisis Data, yang memuat uraian mengenai hubungan antara Zen, Wabi-sabi terhadap tokonoma pada rumah tradisional Jepang. Bab 4 Kesimpulan dari seluruh bab di atas. Dan Bab 5 adalah Ringkasan.
7 BIBILIOGRAFI Daisetz, Suzuki. Zen and Japanese Culture. New York, Tokyo: The Charles E.Tuttle Company. 1991. Dananjaja, James. Foklor Jepang Dilihat Dari Kacamata Indonesia, Jakarta: Grafiti, 1997. Jepang Dewasa Ini. The International Society For Education Information, Inc. Tokyo Jupiter, Andrew. Wabi-Sabi: The Japanese Arts of Impermanence. Boston: Tuttle,2003. Kodansha Encyclopedia of japan. Tokyo: Kodansha International Ltd.,1983. Koren, Leonard. Wabi-Sabi for Artist, Designers, Poets, and Philoshopers. Berkeley, CA: Stone Bridge Press, 1994. Morse, Edward. Japaneses Home and Their Surounding. Tokyo: The Charles tuttle company, 1977. Tadahiro, kozawa. History of Housing, Kodansha Encyclopedia of Japan. 1983. Teiji, Itoh. Wabi-sabi Suki The Essence of Japanese Beauty. Hiroshima, Japan. 1993. Wabi-sabi. (2004). (13-november-2004) http://www.amazon.com/exec/obidos/ISBN=1880656124/portlandpatternrA/ wikipedia-Zen. (2005). http://en.wikipwedia.org/wiki/zen (12-03-2005). William. Japanese room interior design and http://www.japanesespace.com (25-september-2004)
material.
(2004)