BAB 1. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang
Sepanjang penyelenggaraan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I) persoalan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan telah memperoleh perhatian yang cukup besar dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. Perhatian dari pemerintah secara umum ditunjukkan dengan menyelenggarakan program pembangunan sektoral dan regional. Usaha ini sejak Pelita VI dipertajam pemerintah dengan menggelar Program lnpres Desa Tertinggal (IDT). Upaya tersebut, seperti kita ketahui, secara kuantitatif, telah memberikan hasil yang cukup membesarkan hati, walaupun sejak terjadi krisis moneter pertengahan tahun 1997 yang berlangsung hingga saat ini telah menyebabkan kinerja program-program pembangunan secara keseluruhan harus mengalami kemerosotan tajam. Sejajar dengan tumbuhnya optimisme yang menyertai usaha-usaha tersebut, berbagai hasil studi menemukan bahwa masih ada masalah mendasar yang dapat mempengaruhi kelanjutan dan keberhasilan upaya pemerataan dan penanggulangan kemiskinan di waktu-waktu mendatang. Masalah dimaksud berkenaan dengan praktek kehidupan pada institusiinstitusi formal pedesaan yang gejalanya cenderung masih 'meminggirkan' partisipasi warga desa, termasuk golongan periferi di dalamnya. Gejala 'peminggiran' ini berupa kurang terakomodasikannya aspirasi mereka yang disebut terakhir itu dalam dinamika yang bekerja pada kelembagaan yang bersangkutan, baik di aras gagasan maupun pelaksanaan. Dapat diduga faktor terpenting yang mendorong kinerja institusi formal desa serupa itu tak lain karena negara mengelolanya ibarat suatu unit korporasi. Bahkan kuatnya faktor dorongan tersebut oleh sebagian ilmuwan dinyatakan sebagai refleksi atas pola pikir korporatisme pada para pengambil keputusan. Pemahamannya merujuk pada rumusan Schmitter,
korporatisme merupakan cara pikir untuk memperlakukan institusi-institusi formal (desa) sebagai unit perwakilan kepentingan negara, baik sebagian atau sepenuhnya. Fungsi dan tujuan-tujuan institusi yang bersangkutan kemudian ditata secara hirarkhis oleh negara dan seringkali bersifat memaksa. Penataan ini berhubungan dengan kehendak negara untuk memberikan monopoli perwakilan atas suatu kepentingan. Selanjutnya untuk menjamin kelancaran atas kepentingan itu, kepada institusi-institusi yang bersangkutan oleh negara dikenakan suatu syarat, yaitu mereka harus tunduk kepada pengawasan tertentu dalam pemilihan pimpinan serta dalam artikulasi tuntutan dan dukungan
'.
lmplikasi yang dapat kita rasakan akibat ciri institusi demikian itu, dalam konteks kegiatan pembangunan masyarakat desa (untuk selanjutnya disebut PMD), adalah makin kokohnya cara-cara pendekatan yang teknokratis dan paternalistik. Dengan pendekatan teknokratis yang dimaksud adalah pendekatan di rnana sekelompok orang berdasarkan suatu keahlian atau pengalaman, rnemperlakukan rnasyarakat sebagai sebuah mesin atau ladang yang dapat mereka tentukan menurut rencana-rencana mereka sendiri,
tanpa
kesediaan
untuk
membiarkan
rencana-rencana
itu
dipertanyakan, direvisi, atau digagalkan oleh mereka yang terkena. Sedangkan yang diartikan dengan paternalistik adalah sikap dimana pihak yang satu (elit) mernperiakukan pihak lainnya (rnasyarakat luas) sebagai anak kecil atau orang yang belum dewasa '. Akibat lebih lanjut dari proses korporatisasi adalah munculnya suatu konfigurasi elit rnasyarakat yang lebih rnerupakan hasil dari hubungan-
I Philippe Sc-unitter s e w &kut!p Peter W~liarnm,(1989:11), Corporatism in Perspective: An Introdudcry Guide to Cwporatist Theory, Sage Publications. London.
Lihat pula Mohtar Mas'oed, (1994:123-128)), PoIifik, BiBirdmsi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, YoewM. 2
Frans Magnis Suseno (1986:20), K u m dan morel, Gmrnedia. Jakarta.
hubungan kekuasaan yang terbatas. Dikatakan terbatas karena hanya melibatkan pihak-pihak yang memiliki kekuatan dominan saja dalam dinamika kegiatan ekonomi-politik lokal. Pada gilirannya, keseluruhan proses tersebut telah menggiring golongan elit desa sadar atau pun t~dak,untuk lebih memusatkan pikiran dan tindakannya pada kepentingan
di sekitar diri mereka sendiri. Dengan
demikian golongan elit tidak memiliki kepedulian yang cukup untuk memperjuangkan
kepentingan warga desa
pada umumnya, terutama
golongan periferi. Berdasarkan alur pikiran seperti itu menarik untuk mengkaji pokok masalah; sejauh manakah dalarn penyelenggaraan kegiatan PMD yang digagas oleh pihak pemerintah atas-desa (untuk selanjutnya disebut PMDformal) masih memberi peluang interaksi yang dialogis antara golongan elit dan warga desa,
termasuk golongan periferi. Proses dialog yang saya
maknai di sini adalah upaya masing-masing warga desa dari beragam golongan untuk senantiasa melakukan penjabaran kegiatan PMD-formal secara kritis-reflektif, dimana kepentingan kolektiif dan terlebih lagi pihak yang lemah diutamakan. Sebagai konsekuensinya tentu saja golongan elit, dalam ha1 ini Kepala Desa (untuk selanjutnya disebut Kades) dan jajarannya, dituntut untuk mengambil prakarsa melakukan cara-cara pendekatan yang berdampak emansipatif bagi komunitas sosial secara keseluruhan, terutama warga golongan periferi. Keberadaan Kades dan jajarannya ini memegang peran sentral karena mereka adalah figur-figur penggerak kepentingan pengendalian masyarakat (social engineering), khususnya dalam konteks struktur formal. Sedangkan
pihak
warga desa termasuk golongan periferi, adalah
penggerak kepentingan pengawasan sosial (social control), atau pengendali masyarakat dalam konteks struktur informal 3 . Merujuk pada uraian Susanto-Sunario dikatakan praktek pengendalian masyarakat (untuk selanjutnya disingkat: PM) dan pengawasan sosial (untuk selanjut disingkat: PS) merupakan gejala nyata yang senantiasa menyertai usaha suatu masyarakat mengatur diri dalam kehidupan sosial. Dapat dinyatakan, makin berciri formal praktek PM maka akan dengan sendirinya diperlukan dukungan alat bantu yang juga semakin formal, seperti adanya sangsi hukum dan perangkat kekuasaan 4 . Sebaliknya PS dimengerti sebagai bentuk PM yang tidak formal sehingga tidak memiliki alat bantu khas seperti sangsi hukum apalagi kekuasaan seperti halnya PM formal. Konsep PS mengacu pada perilaku kelompok (group conduct) yang ditujukan untuk menciptakan keselarasan (konformitas), solidaritas, dan kelangsungan hidup kelompok dalam masyarakat. Perilaku kelompok tersebut antara lain dikukuhkan oleh
3 Sepecti kita ketahui kebijaksanaan pernbangunan d Indonesia m r a konstitusional berlandaskan pada ideologi Pancasila. lddogi ini menyimak dad konteksnya membenkanruang &n bahkan mendwong para pendukungnya agar se~ntiasamelakukan suatu penjabaran ktitimflektif. Artinya, l a c y , individu, golongan &n lapisan sosial perlu mampu menunjukkan karya yang bedampak pembebasan (emansipatif) bagi entitas kemasyarakatansecara keselwuhan. Oleh karma itu menurut Poeyxrwardojo (1994:ll) hams dihindarkan agar ideologi Pancasila tidak bersifat otoriter yang mengekang &n memparsempit n m g hi- manusia.
Sebagai catatan, yang saya maksudkan dengan warga desa adalah orang-orang yang menjad penduduk desa semra umum.Sementara yang diattikan dengan golongan petifen adalah meraka yang berada dalam stfata a d paling bawah. Pada bab berikut akan diperlihatkan pembagian strata tersebut bedasarkan klasifikasi pungutan swadaya, dmana untuk gdongan periferi tidak dikenakan pungutan pancen.
Di wilayah Riangan misalnya, sering golongan periferi atau golongan lemah (miskin) ini dijuluki dengan 'jelema malaral. Istilah-istilah seperti id biasanya 'bukut' lewat penampilan fisik. antara lain seperti bentuk rumah, isi pentotan, pengwsaan tanah, dan sumber mata pencaharian dan yang paling jelas seperli disebutkan d atas adalah bebas dad pungutan pancen. Gdongan m i a l yang menjadi lapisan di atas meraka , biasanya masih dikategorikan sebagai 'orang kebanyakan'. 'rahayat' (rakyat atau masyarakat luas), atau warga , desa. Oengan kata lain golongan penferi ini hanya meliputi sejumlah orang yang yang lebih sedikit dibandingkan orang ksbanyakan. 4 Astrid Susanto Sunado (1990), Komunikasi Sebagai Mataranfai Utama Antam Pengendalian Masyadat dan Pengwasan S d a l Pidab Guru Besar pada Fisipol-UnhedlaaIndonesia. Jakarta.
keberadaan adat-istiadat. Adat istiadat yang diartikan di sini adalah normanorma sosial yang keberlakuannya berada dalam taraf custom, dimana perilaku-perilaku sepatutnya ditekankan benar, dan sebaliknya pelanggaran atasnya dapat membawa risiko sangsi. Perimpitan penuh antara PM yang bersifat formal dengan PS yang bersifat informal memang tidak pernah akan terjadi, sebab setiap individu atau kelompok selalu masih memiliki saluran-saluran informalnya yang terletak dalam kehidupan pra-politik, atau yang dalam ha1 ini saya sebut sebagai bidanglruang sosial semi-otonom, suatu istilah yang juga dikenal dalam khazanah kepustakaan antropologi hukum. Dapat kita catat bahwa kepentingan PM dan PS memang berpotensi untuk saling bertentangan, apalagi dalam praktek kekuatan PM di aras desa yang digerakkan oleh Kades dan jajarannya,
sering dipaksa untuk
mengemban missi PMD formal yang sebagian isi dan bentuk kegiatannya dirumuskan
secara
sepihak
oleh
kekuatan
atas-desa.
Sementara
kepentingan PS tak lain berfungsi sebagai PM informal, sehingga arah yang ditempuh lebih mengutamakan pencapaian rasa solidaritas, adil,
merata
yang pada gilirannya semua itu mencarminkan arti kemaslahatan sosial. Sejajar dengan itu dapat kita katakan bahwa secara sosiologis potensi pertentangan dan persaingan antar warga dari beragam golongan itu sendiri sejak semula sering sudah ada, karena ha1 itu dipicu oleh sebabsebab: (a) keterbatasan tersedianya sumberdaya, dan (b) keterbatasan kesempatan kerja, serta (c) keterbatasan volume dalam pemenuhan kebutuhan dasar, dan (d) keterbatasan akses terhadap proses-proses pengambilan keputusan. Dengan demikian kita dapat mengatakan antara kekuatan yang menjalankan kepentingan PM dan PS masing-masing perlu menjalin proses interaksi yang lebih dialogis, apabila kepentingan mereka ingin tercapai lebih harmonis. Tentu saja ha1 ini hanya dimungkinkan apabila para pelaku rnelandasi dirinya dengan norma maral sosial yang sarna, yang
-
dalam ha1 ini mengutamakan kepentingan bersama melalui kerjasama yang timbali-balik. Norma moral sosial tersebut dalam tulisan ini untuk selanjutnya akan disebut etos komunal resiprokal. Dalam konteks pandangan rekayasa sosial (istilah lain yang kurang lebih sepadan dengan PM) dasar pemikirannya adalah, hubungan-hubungan sosial rentan terhadap praktek-praktek pengendalian, dimana alat yang dipergunakan untuk mencapai kendali adalah hukum. Moore menyebut hukum sebagai suatu istilah ringkas yang lazim untuk menggambarkan suatu himpunan yang kompleks dari prinsip-prinsip, norma-norma, ide-ide, aturanaturan,
kebiasaan-kebiasaan
dan
kegiatan-kegiatan
dari
alat-alat
perlengkapan negara yang berkenaan dengan perundangan-undangan, pemerintahan, peradilan dan pelaksanaan putusannya yang didukung kekuatan politik dan legitimasi '. Dengan demikian hukum, yang sesungguhnya lebih kompleks dari itu, kemudian diabstrasikan dari konteks sosial dimana ia berada dan dibicarakan
seolah-olah merupakan
suatu
kesatuan
yang
mampu
mengendalikan konteks sosial tersebut. Berlawanan dengan arah itu sebenarnya kita juga dapat menyatakan bahwa: masyarakatlah yang sesungguhnya menentukan hukum dan bukan sebaliknya. Namun bagi studi sosiologi, seperti kita ketahui, kedua arah penglihatan yang kelihatan saling 'bertentangan'
ini sesungguhnya
berimplikasi sama, yaitu hukum dan konteks sosial dimana hukum itu berada pada dasamya berinteraksi secara dialektis, atau satu sama lain bersifat saling tarik-menarik. Dalam kaitan ini saya hendak mengajukan rumusan pendekatan sosiologi atas ruang sosial semi-otonom tersebut. Ruang sosial semi-otonom dimengerti sebagai suatu analisis atas proses-proses interaksi,
Sally Falk M m (1993: 148149), Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sasal Semi Otonom Sebagai Suahr Topik Sfudi yang Tepat. dalam T.O. lhromi (ed), Anlmpdogi Hultum, W a h Bunga Rampai, Yayasan
yang di dalamnya berkembang dialog kritis, antar golongan elit dan warga desa termasuk golongan periferi dalam rangka implementasi kegiatan PMDformal, yaitu kegiatan yang diprakarsai pihak atas-desa. Dialog kritis ini, dapat kita sebut sebagai upaya masing-masing pihak untuk menghasilkan kesesuaian pengertian atau bahkan aturan yang lebih adil terutama bagi kepentingan golongan periferi. Diasumsikan aturan ini dapat muncul apabila masing-masing pihak melandasi kepentingan dirinya dengan acuan norma moral sosial yang sama, dalam ha1 ini yang mengutamakan kepentingan kolektif . Dalam kaitan ini Suseno menerangkan kata moral sebagai kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia itu sendiri, sehingga kewajiban moral dibedakan dengan kewajiban-kewajiban lain. Norma moral mengikuti lebih lanjut pemikiran Suseno adalah norma untuk mengukur betulsalahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dasar keberlakukan norma normal ini, hanya akan memperoleh keabsahannya jika norma-norma tersebut disepakati (atau dapat disepakati) oleh semua orang yang menjadi partisipan dalam wacana yang terbuka dan bebas tekanan6. Dalam konteks teori kritis, keabsahan norma-norma moral ini tidak dapat dikembalikan pada penetapan oleh penguasa lewat tindakan strategis, melainkan hanya dapat lahir dari tindakan-tindakan interaktif di kalangan warga komunitas itu sendiri yang pada gilirannya mengembangkan wacana dialogdialog krits (komunikatif)
'.
Berdasarkan pemahaman tersebut kita dapat mengatakan pendasaran keberlakuan norma moral sosial atau etos komunal resiprokal itu datang dari sikap kolektif yang mengacu pada adat-istiadat setempat. Lebih jauh dapat kita mengerti apabila etos seperti itu memberi tekanan kuat agar setiap 6
'
Frans Magnis Suseno (1995: 47-49). Filsafat Sebagai llmu Kritis, Kanisus. Jakarta
Lihat Jurgen Habermas (1984), The Theory of CommunicativeAction: Reason end Rationalizationof Society ( volume I EL 11). Beacon Press. Boston.
individu
mengambil
sikap
tanggung
jawab
dan
kewajiban
yang
mengutamakan pemenuhan kepentingan bersama yang adil, sehingga pada gilirannya tercipta suatu kernaslahatan sosial (social utility). Hal terakhir ini rnengacu pada rasa aman dan nyaman lahir-batin yang mewarnai kehidupan komunitas secara merata, dan ini terjadi berkat masing-masing individu dari beragarn golongan sosial mengembangkan proses-proses interaksi yang menguatkan pemenuhan kepentingan satu sama lain secara timbal-balik. Singkat kata, pengertian ruang semi-otonom ini menunjuk adanya suatu fakta bahwa ruang kecil di dalarn lingkup kehidupan desa ini memiliki kapasitas untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan, aturan, nilai-nilai, simbol-simbol yang berasal dari dalam, atau bahkan adat-istiadat sehingga orang tunduk padanya. Tetapi di pihak lain ruang sosial semi-otonom itu sendiri sebenarnya juga rentan terhadap aturan-aturan dan desakandesakan kekuasaan yang datang dari dunia luar yang mengelilinginya, dalam ha1 ini dari pihak kecamatan. Meskipun kekuatan PM dengan dukungan kekuasaan formalnya dapat menikmati keadaan dan monopolistik terhadap penggunaan kekerasan, namun pemaksaan atau bujukan efektif tidaklah dapat terlepas dari ruang sosial kecil yang terorganisasi ini (semi-otonom) dimana individu atau golongan warga tertentu berpartisipasi. Di sinilah kita secara nyata dapat melihat sisi peran PS yang lain, yaitu sebagai kekuatan PM yang bersifat informal.
1.2. Perurnusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka ada dua ha1 yang ingin dikaji: pedama, apakah proses korporatisasi pada instittusi-institusi formal pembangunan desa bentukan pemerintah memang benar mengikuti penataan yang bersifat hirarkhis dan mernaksa, sehingga artikulasi tuntutan, dukungan dan proses-proses pengambilan yang keputusan oleh institusi yang bersangkutan berlaku dalam konteks pengendalian ikatan kekuasaan
-
(power compliance) pihak atas-desa. Kedua, apakah keberadaan norma moral sosial yang mengutamakan etos komunal resiprokal mampu menumbuhkan kepekaan sosial yang penting bagi pengembangan proses interaksi yang dialogis antar warga dari beragam golongan dalam konteks kegiatan PMD.formal, Dengan demikian ingin saya katakan, soal krusial yang menentukan ada atau tidaknya peluang interaksi dialog kritis tanpa tekanan (hegemoni) antar warga dari beragam golongan pada ruang sosial semi-otonom adalah, sampai mana masing-masing partisipan melandasi diri dengan norma moral
-
yang sama etos komunal resiprokal. Mengikuti pendapat ahli antropologi, etos komunal atau etos hidup ini biasanya sulit dibedakan dengan adat-istiadat yang dikenal dalam kehidupan komunitas itu sendiri. Hal ini disebabkan suara hati (sikap) seorang individu atau kelompok individu umumnya belum dapat mengartikulasikan dirinya secara khas terpisah, karena ia atau mereka tidaklbelum berbeda dengan suara adat istiadat. Dengan kata lain sistem normatif pada komunitas Desa Baru, khususnya yang masih diikat kuat oleh ciri-ciri hubungan primer (face to face grouping), biasanya belum sampai dipersoalkan orang secara menyeluruh apakah suatu wewenang normatif berpusat pada suara hati atau pada ketentuan-ketentuan adat-istiadat . Etos komunal berciri resiprokal ini tak lain berupaya mencari keserasian antara individu dan komunitas melalui interdependensi mereka.
-
-
a Frans Magnis Suseno, ibid (1995:30).
Dapat dcatat istilah ' h e g m i ' (hegemony) ditawarkan deh Gramsci untuk dqan istiiah 'kekuatan' (force). Jika 'kekuatan' dartikan sebagai penggwraan &ya paksa untuk membuat orang , banyak mengikuti dan mematuhi syaratdyarat suatu cam produksi tertentu, maka 'hegemoni' berarli perluasan dan pelestarian 'kepatuhan aklif dad kelonyak-kelompdc yang ddcininasi deh kelas berkuasa lewat penggunaan kspemirrpinan intelekhral, moral, &n pditik yang rnewujud &lam bentuk-bentuk kocptasi insUtusiml dan manipulasi teks dan tafsimya.
Dalam proses inilah biasanya timbul apa yang disebut kepekaan sosial (social sensitivity) yang merupakan inti suatu PS . Bertolak dari anggapan di atas muncul pertanyaan berikut pada aras kehidupan manakah norma moral tersebut berakar kuat sehingga mengejewantah menjadi sebuah etos. Diduga etos yang berciri resiprokal ini hidup dan berakar kuat pada kelompok-kelompok kekerabatan, kelompok teritorial, dan kelompok sosial yang berstruktur sodality bawah-desa.
Menjelaskan arti kelompok yang
yang eksis di
disebut terakhir
ini
(selanjutnya disebut kelompok sodalis) adalah, suatu kesatuan sosial kecil yang berdaya hidup dan disertai kuatnya ciri hubungan primer antar warga pendukungnya, tetapi tanpa ikatan kekeluargaan sebagai ciri khas, melainkan oleh hubungan kepentingan atau compliance)
kebutuhan bersama (need
'.
Namun seperti dijumpai Tjondronegoro di pedesaan Jawa Barat dan Jawa Tengah pada tahun 1980-an sodalis-sodalis ini belum dilibatkan dalam berbagai kegiatan PMD yang diprakarsai oleh pemerintah atas-desa. Terlebih lagi kelompok-kelompok berbasis kekerabatan serta teritorial yang menurut saya juga bernasib sama. Kenyataan ini terjadi karena pihak atas-
9 Lihat Astrid Susanto-Sunario (1977: 7-9), Makna dan Fungsi Kn'tik Sosial dalam Masyarakatdan Negam, Prisrna no 10. LWES. Jakarta.
Di sini bdiau menguraikan seam terang mengapa e t a komunal dikatakan berciri naturalism resiprokal. Dikatakanetos ini pada dasarnya tidak &tang bettiasarkan piinsip transendental, melainkan tercipta deh situasi nyata lingkungan sosial, materi dan nokmateri. B ~ N sesudah itu sistem n m t i f kolektif (agarna, kepercalaan alau adat-istiadat) membari sangsi yang lebih tinggi, sehingga orang takut untuk menyimpang daripadanya. Dengan pengertian ini kiranya menjadi lebih tdihat retevansi penggunaan konsep etos tersebut dengan kepentingan s M i ini. Mnya, karma kajian ini saya pusalkan pada kmunilas pedesaan dimana hubungan antar iridividu warganya masih terjalin deh ikalan sosial primer atau naturalistik rnaka etos yang tabntuk pun mengutamakan kepentingan kdektif . Dalarn tataran praksis etos ini bekerja &lam bentuk-bentuk niprokal, sepeiti tolong-mendong antar warga dalarn berbagai lapangan kehidiipan.
Mono MP. Tjondronegoro (1984). Sodel OrganizationAnd PlannedDevelopment In Rural Jaw: A Study of the Ckganizaticftal Phenomenon in Kecamaten Cibadak West Java and Kernmatan Kendal, Central Java, Oxford University Press, Singam.
desa ini lebih suka mengandalkan basis institusionalnya pada organisasiorganisasi formal bentukannya sendiri. Padahal berbeda dengan kelompokkelompok primer tersebut yang dasar moralnya lebih dilandasi oleh ikatan kebutuhan (need compliance), pada organisasi formal dasar moralnya lebih bertumpu pada ikatan pengendalian kekuasaan (power compliance). Akibatnya dapat diduga penjalinan hubungan antara institusi-institusi formal dan kelornpok-kelompok sosial yang ada menjadi persoalan tersendiri. Dalam kaitan itulah keberadaan ruang sosial semi-otonom diharapkan dapat rnencairkan kemandegan (stagnasi) hubungan tersebut. Sekaligus dengan ha1 ini program PMD pun dapat diberikan akar lebih kuat pada kenyataan kebutuhan yang berlaku di lapangan kehidupan, karena antara aspirasi yang hidup di kalangan warga desa dengan penyelenggaraan kegiatan akan terjadi peratutan yang fungsional ". Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas pada kajian ini saya hendak memusatkan persoalan keberadaan dan peranan ruang sosial semi-otonom pada konteks pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Sejauh manakah korporatisasi negara pada institusi-intistitusi formal desa
mengikuti penataan yang bersifat hirarkhis dan memaksa, sehingga artikulasi tuntutan, dukungan dan proses-proses pengambilan keputusan oleh institusi yang bersangkutan berlaku dalam konteks pengendalian ikatan kekuasaan (power complience).
I Dalam pmpektif stud yang kurang lebih sama namun lebih memwatkan kajiannya pada ams atasdesa, Nico Schulle Noldhdt (1984:14) &lam karanpnnya, C$o Dumeh: Kepemlmpinan M a 1 dalem Fernbangunan, mengajukan persoalan yang drumuskamya sbb: ada jurang ktitis yang membelah antara kesatwbkesaluan ekonomipolitik di desa dengan satuan-satuan senpa d atasdesa. Pa& jurang knlis inilah , kekuatan PM (pemetintahan) mengambil litik tunpu untuk mengadakan takanan-tekanan, yang kemudian deh pihak pecwakilan (pmerintahan) d atas kecamatan tekanan-lekanan tersebut dsalurkan kembali ke dalarn lingkungan badsi yang dwakili deh kepada desa dan staf pemerinI8hannya. Dilihat dad kaitan intmksi mtar Mabat f m l , maka lnbmgan yang membentenp antara carnal4wah idah yang swing men)& persoalan krusid dalarn m h h n kualitas kqiatann-e lk ekowni-pdilik lokal
Sejajar dengan itu hendak dianalisis sejauhmana etos komunal resiprokal yang
hidup
mentradisi pada
kelompak-kelompok primer
mampu
menumbuhkan kepekaan sosial pada kalangan warga di lingkup yang lebih luas (komunitas desa), sehingga mampu menumbuhkan keberadaan interaksi yang melahirkan dialog kritis antar golongan warga yang bermanfaat bagi terwujudnya kemaslahatan sosial (social utility). 1.3. Tujuan Penelitian
I.
Mempelajari sejauh mana institusi-institusi formal bentukan pemerintah berstruktur korporatis, dimana kepentingan berdimensi PM yang menyertai program-program pembangunan diduga cenderung tampil monolitik sehingga mengatasi kepentingan kekuatan-kekuatan PS, dalam ha1 ini yang diartikulasikan oleh warga desa, terutama golongan periferi.
2. Mempelajari sejauhmana tatanan kelompok-kelompok primer yang berlandaskan etos komunal-resiprokal mampu menguatkan kepekaan sosial pada kehidupan komunitas lokal.
3. Mempelajari sejauh mana kepekaan sosial tersebut dapat menguatkan peranan ajang-ajang sosial menjadi ruang sosial semi-otonom yang menggelar di dalamnya proses dialog kritis antara golongan elit sebagai kekuatan PM dan warga desa terutama golongan periferi sebagai kekuatan PS, dalam kepentingan yang mengacu pada pencapaian kemaslahatan sosial
1.4. Pokok Penelitian, Konsep, dan Metoda Penelitian Pokok penelitian ini adalah, sejauhmana ajang-ajang sosial yang tergelar pada kehidupan komunitas Desa Baru mampu memaknai dirinya sebagai ruang sosial semi-otonom yang berkembang di dalamnya prosesproses dialog kritis antara golongan elit, yang berdiri sebagai kekuatan PM, dengan warga desa pada umumnya termasuk golongan periferi, yang berdiri sebagai kekuatan PS, untuk memecahkan persoalan-persoalan PMD atas dasar etos komunal resiprokal. Berdasarkan pokok studi tersebut konsep-konsep di dalamnya dirumuskan sebagai berikut: Ruang sosial semi-Otonom: Ruang sosial semi-otonom dimengerti sebagai suatu analisis atas proses-proses interaksi, yang di dalamnya berkembang dialog kritis, antar golongan elit dan warga desa termasuk golongan periferi dalam rangka implementasi kegiatan PMD-formal, yaitu kegiatan yang diprakarsai pihak atas-desa. Dialog kritis ini, dapat kita sebut sebagai upaya masing-masing pihak untuk menghasilkan kesesuaian pengertian atau bahkan aturan yang lebih adil dan merata terutama bagi kepentingan golongan periferi. Diasumsikan aturan ini dapat muncul apabila masing-masing pihak melandasi kepentingan dirinya dengan acuan norma moral sosial yang sama, dalam ha1 ini mengutamakan kepentingan kolektif . Etos komunal: Etos adalah kebiasaan, adat, watak, cara berbuat dan beberapa arti lainnya yang menunjukkan tentang karakter suatu kelompok atas kelompok lainnya. Etos adalah masalah tentang baik dan buruk, yang bajik dan yang jahat, yang benar (dalam arti adil) dan yang salah, dan seterusnya. Etos komunal adalah suatu pleonasme, karena para sosiolog mengartikan etos
sebagai sejumlah perangai budaya, karakteristik yang membedakan satu keldmpok dengan kelompok lainnya Pengendalian Masyarakat (PM) dan Pengawasan Sosial (PS): PM dan PS dipahami sebagai gejala yang menyertai kehidupan sosial untuk mengatur diri dalam kehidupan berkelompok. Pada komunitas desa Cijati, yang relatif telah berkembang, bentuk PM berciri lebih formal dengan segala alat bantu-nya seperti kekuasaan dan perangkat hukum. Hal terakhir ini
terwujud
dengan
pembentukan
institusi-institusi
formal
desa
(pemerintahan desa dan perangkatnya seperti LKMD). Di samping itu wujud operasional PM lainnya, yang dalam studi ini akan mendapatkan sorotan utama, adalah program-program lnpres Bandes yang diturunkan dari atasdesa yang pada kenyataannya telah terstruktur begitu ketat. Sebaliknya PS dipahami sebagai PM yang berwujud informal karena ia mengacu pada perilaku kelompok (group conduct) dan sering tidak memiliki alat bantu khas seperti sangsi hukum apalagi kekuasaan. Sebagai PM tidak formal yang berbasiskan norma moral etos komunal, maka benartidaknya sikap dan tindakan inividu diukur menurut sikap dan tindakan kelompok. PM dan PS dengan demikian harus berusaha mengatasi pertentangan dan persaingan antar anggotalgolongan masyarakat. Pertentangan ini sering berasal dari (a) keterbatasan tersedianya sumberdaya, dan (b) keterbatasan kesempatan kerja, serta (c) keterbatasan volume dalam pemenuhan kebutuhan dasar, dan (d) keterbatasan akses terhadap proses-proses pengambilan keputusan.
Golongan Elit, Warga Desa, dan Periferi: Golongan elit yang dimaksudkan dipusatkan pada Kades dan jajaran aparat desanya. Sementara yang dimaksudkan dengan warga desa adalah penduduk desa setempat pada umumnya, sedangkan yang diartikan dengan golongan periferi adalah mereka berada dalam strata sosial paling bawah. Di desa setempat kita dapat melihatnya dalam klasifikasi penduduk menurut besarnya pungutan swadaya pancen. Dalarn bahasa lokal tentu saja ada istilah-istilah yang spesifik untuk menunjukan status individu atau golongan tertentu dalam struktur sosial kornunitas yang bersangkutan. Di wilayah Sumedang misalnya sering golongan periferi atau golongan lemah (miskin) ini dijuluki dengan sebutan 'jelema malarat'. lstilah seperti ini biasanya 'diukur' lewat berbagai penampilan fisik, antara lain seperti bentuk rumah, isi perabotan, penguasaan tanah, surnber mata pencaharian, dan yang paling jelas seperti telah dikatakan di atas adalah mereka bebas dari pungutan pancen. Golongan sosial yang menjadi lapisan di atas mereka biasanya rnasih dikategorikan berturut-turut sebagai 'jelema biasa' (mayoritas warga) dan 'jelema beunghar' (minoritas orang kaya). Pembangunan Masyarakat Desa (PMD): Secara analitis PMD diartikan sebagai seluruh tindakan terpola yang menyertai perikehidupan warga desa dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok dan peningkatan kesejahteraan hidupnya di aras kornunitas, terrnasuk bagaimana proses-proses pengambilan keputusan diambil dari berbagai tingkat kehidupan, dalam ha1 ini di aras bawahdesa (dukuh, RW, RT), desa, dan antar desa (kewmatan). Korporatisasi Institusi: Suatu perlakuan atas institusi-institusi formal (desa) yang cenderung atau bahkan sepenuhnya dikelola sebagai unit pewakilan kepentingan yang
-
fungsi dan tujuan-tujuannya ditata secara hirarkhis oleh negara dan bersifat memaksa. Penataan ini berhubungan dengan kehendak untuk memberikan monopoli perwakilan oleh negara untuk suatu kepentingan. Kepada institusiinstitusi tersebut negara mengenakan pengawasan tertentu dalam pemilihan pimpinan dan artikulasi tuntutan dan dukungan. Gambaran Umum Metodologi Penelitian Studi Kasus Sebagai Strategi Penelitian Strategi penelitian ini menggunakan studi kasus karena bertujuan untuk menyoroti secara rinci dan mendalam persoalan 'apa' dan 'mengapa' yang menyertai penyelenggaraan kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa, khususnya yang dihadapi golongan elit (kepala desa dan jajarannya) dan warga desa termasuk golongan periferi, di desa Cijati kecamatan Situraja, kabupaten Sumedang. Teori Kritis Sebagai Paradigma Utama Penelitian Sesuai dengan pokok penelitian ini maka paradigma utama studi berlandaskan pada teori kritis yang diadaptasikan dari gagasan Habermas. Artinya, dengan teori kritis ini ingin dicapai suatu proses interaksi yang mampu
membuka
selubung
kepentingan
masing-masing
partisipan
(golongan elit dan warga desa) secara lebih jujur dalam suatu seri dialog kritis. Secara teknis artinya bagaimana, saya selaku peneliti,
turut
mendorong situasi yang kondusif bagi munculnya daya kekuatan refleksi-diri pada pihak-pihak yang bersangkutan terhadap praktek penyelenggaraan PMD dalam arti luas. Dari hasil refleksi tersebut terkandung kepentingan praksis, yaitu bagaimana mendapatkan jalan ke luar atas persoalan yang dihadapi masing-masing golongan sosial tersebut dalam konteks dialektika PM dan PS yang menyertai penyelenggaraan PMD. Secara teknis peneliti juga akan turut serta mengupayakan agar pemecahan masalah tersebut
muncul sebagai dorongan dari hasil konsensus atau saling pengertian (mutual understanding) yang mempertautkan segi pengetehuan dan praksis. Pengetahuan yang dimaksud adalah pandangan hidup yang secara normatif dianut oleh warga komunitas lokal (etos komunal), sedangkan diartikan dengan segi praksis adalah perilaku individu-individu warga
yang
bersangkutan yang terejawantah sebagai konsekuensi dari dianutnya pandangan hidup itu sendiri. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Untuk keperluan melengkapi data dan cara menganalisisnya maka peneliti meiengkapi diri dengan beragam dan metode lain yang bertolak dari paradigma positivistik (berdasarkan fakta obyektif sehingga kebenaran atau kesalahannya dapat diverifikasikan), post-positivistik (berdasarkan fakta gabungan obyektif dan subyektif), dan konstruktivistik (berdasarkan fakta yang direkonstruksikan secara spesifik dan lokal). Dengan kata lain studi ini meminjam sejumlah ragam metode dan analisis data dari disiplin lain seperti antropologi, sejarah, dan psikologi. Semua data ini selain untuk memberikan gambaran awal tentang situasi lokal seperti Gambaran Umum Desa dan Kecamatan, juga untuk mendapatkan pemahaman awal mengenai sejumlah pokok persoalan mengenai bagaimana Pandangan Hidup dan Pola-Pola Resiprositas pada Kehidupan Warga Desa, bagaimana praktek PM dan PS Dalam Kepemimpinan dan Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), yang semuanya itu diperlukan sebelum sampai pada pokok penelitian yang sebenarnya yaitu bagaimana Ruang Sosial Semi-Otonom mengejawantah untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi golongan elit dan warga desa dalam PMD. Secara skematis gambaran metode pengumpulan dan analisis data dapat dilihat sebagai berikut ini:
Pokok Penelitian: Metode dan Analisis Data Pokok Penelitian Gambaran Umum Desa & Kecamatan
Pandangan Hidup & Pola-Pola Resiprositas
Pengendalian Masyarakat
Pengawasan Sosial
Ruang Sosial Semi-Otonom: Dialog Kritis antar Golongan
.
Metode Pengumpulan & Analisis Data Pengamatan atas obyek-obyek visual, seperti: kondisi geografis, fasilitasfasilitas fisik yang ada, transportasi dan komunikasi ke luar desa, dokumen-dokumen tertulis, dsb wawancara: Kades dan jajarannya, para tokoh desa dan kecamatan, dan warga biasa. Pandangan Hidup secara normatif diacu pada konsep yang diajukan ahli psikologi sosial Suwarsih Warnaen yang menggali makna dari ungkapanungkapan tradisional daerah Jabar, cerita Lutung Kasamng, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Sawer Panganten, cerita Roman Pangetan Komel dan Manfn Jero Pola-pola resiprositas digali secara empiris dengan melakukan pengamatan atas pola-pola perilaku antar kerabat & tetangga, wawancara mendaiam kepada tokoh dan warga. Pengamatan atas obyek-obyek visual (proyek-proyek dan kegiatan PMD yang diprakarsai pemerintah), dokumen-dokumen tertulis tentang regulasi formal yang diberiakukan oleh pemerintah atas-desa, wawancara mendalam terhadap tokoh (formal & informal) desa dan kecamatan, serta kepada warga desa. Pengamatan atas obyek-obyek visual (proyek-proyek & kegiatan PMD yang bersifat swadaya), riwayat hidup Kades, wawancara mendalam kepada tokoh (formal & informal). dan analisis peristiwa. Pengamatan terlibat dan turut menfasilitasi proses refleksi-diri pada ajang-ajang sosial, analisis terhaaap peristiwa, proses & hasil dialog.
Organisasi Penulisan Tulisan ini dibagi dalam 7 bab, masing-masing: Bab I dengan judul Pendahuluan, berisi uraian yang menggambarkan latar belakang rnasalah, perumusan masalah, dan tujuan penelitian. Bab II dengan judul Teori dan Metodologi akan dikupas rnengenai paradigma penelitian, teori, metoda, ajang sosial, dan hipotesis pengarah. Bab Ill dengan judul Gambaran Umum Desa Coati Kabupaten Sumedang akan menguraikan mula-mula mengenai gambaran umum kabupaten Sumedang, dan desa Cijati. Dalam ha1 yang disebut terakhir ini secara
khusus akan dideskripsikan hubungan kait-mengait
antara
sumberdaya manusia setempat dan kegiatan PMD. Hal ini penting untuk membawakan pengenalan kita atas siapa dan mengapa golongan elit, warga desa kebanyakan, dan golongan periferi berpartisipasi mereka dalam kegiatan PMD. Bab IV dengan judul Etos dan Pengaturan Kehidupan Kehidupan Warga Desa Cijati mengulas berturut-turut etos hidup sebagai dasar moral, pola pandangan hidup orang Sunda, pola-pola resiprositas sosial dalam kehidupan warga desa, ikatan kekerabatan dekat (baraya deukeut), ikatan teritorial dan perkumpulan-perkumpulan. Bab V dengan judul
Pengawasan Sosial dan Pengendalian
Masyarakat Dalam Kepemimpinan dan Pembangunan Masyarakat Desa ditelaah tentang bagairnana kekuatan PS memainkan peranannya lewat kelompok-kelompok primer dalam proses rekrutmen Kades. Sebaliknya dikupas pula mengenai bagaimana kekuatan PM memainkan peranannya dalam penataan PMD. Bab VI dengan judul Ruang Sosial Semi-Otonom: Dialog Kritis antara Golongan Elit dan Warga Desa Termasuk Golongan Periferi dituangkah menjadi penutup tulisan. Pada bab ini secara khusus diperlihatkan bagaimana negara
melakukan penetrasi terhadap desa lewat program-program PMD-nya, dan ditampilkan sejauhmana implikasi yang timbul terhadap kepemimpinan Kades. Selanjutnya diuraikan apa itu ruang sosial semi-otonom dan bagaimana dengan peluang dialog kritis yang berkembang di dalamnya. Berikutnya digambarkan bagaimana dialog-dialog yang tergetar antara golongan etit dan warga desa termasuk golongan periferi dalam sejumlah persoalan-persoalan PMD. Akhirnya di bab ini pula peneliti mencoba untuk menarik kesimpulan atas seluruh hasil penelitian ini. Bab VII sebagai bab penutup menguraikan tentang desa dan otonomi. Di sini dipersoalkan mengenai masalah-masalah internal desa yang perlu mendapatkan perhatian, seperti yang terungkap pada proses-proses dialog yang mencerminkan makna dirinya sebagai ruang sosial semi-otonom. Lebih jauh kita juga mengamati adanya masalah dan aspirasi warga yang muncul dari lingkup antar desa (setara kecamatan). Artinya, masalah dan aspirasi yang hanya mungkin diakomodasikan dalam skala komunitas dan wilayah setara kecamatan atau bahkan kewedanaan. Dalam konteks itulah gagasan pengembangan daerah otonom tingkat Ill akan diletakkan dengan segala prasyarat yang perlu dipenuhi.
Dalam bab ini pula dituangkan secara
khusus paragraf rangkuman (review) atas pokok penelitian dan hasil-hasil analisisnya yang telah diuraikan di muka, dan akhirnya ditutup dengan kesimpulan dan gagasan tentang daerah otonom tingkat Ill lengkap dengan gambaran skematisnya.