BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Pengantar Pertumbuhan organisasi non-profit termasuk gereja semakin pesat, serta menuntut akuntabilitas yang tinggi karena semakin besarnya dana publik (jemaat) yang dikelola (Booth, 1993). Pernyataan Booth diperkuat oleh Blackwood et al (2012) bahwa organisasi non-profit berkontribusi sebesar 5% pada PDB Amerika Serikat. Gereja sebagai organisasi keagamaan berpengaruh signifikan pada kegiatan organisasi di banyak negara dan cenderung memiliki kendali yang cukup besar pada manusia, sumber daya keuangan dan sumber daya lain pada masyarakat, meskipun terjadi kecenderungan sekularisasi (Wilson, 1967).
Menurut Carmona dan Ezzamel (2006) rendahnya minat akademisi untuk mempelajari akuntansi pada lembaga keagamaan agak membingungkan, mengingat keunggulan pengaruh lembaga keagamaan pada masyarakat baik dalam bidang spiritual maupun ekonomi. Tuntutan atas akuntabilitas yang tinggi pada sektor non-profit tidak diikuti oleh akuntabilitas pada gereja dan organisasi keagamaan lainnya (Booth, 1993). Perwujudan akuntabilitas diawali dengan penerapan
pengendalian
internal
yang
baik.
Tanpa
adanya
penerapan
pengendalian internal yang baik, potensi untuk terjadinya fraud dalam gereja akan semakin meningkat.
Salah satu akibat dari rendahnya akuntabilitas gereja
tersebut adalah
munculnya kasus-kasus fraud dalam organisasi gereja, bahkan diduga dilakukan oleh pemimpin, pengurus maupun jemaat gereja sendiri. Bab ini menjelaskan bagaimana dasar pemikiran peneliti untuk melakukan pengujian mengenai persepsi organisasi gereja tentang pengendalian internal, serta menjelaskan kontribusi bagi gereja untuk mengelola keuangan dengan menerapkan pengendalian internal yang sesuai kaidah.
Bab ini juga menjelaskan dasar pemikiran peneliti untuk melakukan pengujian
secara
empiris mengenai
persepsi organisasi
gereja
tentang
pengendalian internal. Selain pengujian empiris peneliti juga melakukan observasi berupa wawancara dengan pihak gereja. Ulasan dalam bab ini antara lain latar belakang, perumusan masalah, kontribusi penelitian bagi penerapan pengendalian internal dalam gereja.
1.2 Latar Belakang Financial Fraud atau penyimpangan keuangan tidak hanya terjadi dalam organisasi profit, hanya saja dalam organisasi profit penyimpangan keuangan lebih berbentuk manipulasi laporan keuangan, sedangkan dalam organisasi non profit fraud cenderung lebih kompleks. Berdasarkan temuan Holfreter (2004) penyimpangan keuangan (fraud) pada organisasi non-profit di Amerika Serikat terdeteksi sebesar US$ 600 milliar. Indonesia yang dikenal sebagai negara yang religius ternyata juga tidak luput dari indikasi fraud pada organisasi religinya. Berdasarkan pemberitaan pada salah satu media, gereja sebagai organisasi non profit religi juga terindikasi penyimpangan keuangan sebesar Rp 4,7 Trilliun, yang diduga dilakukan oleh salah satu pendeta (www.jawaban.com). Dalam berita tersebut terdapat ketidakjelasan mengenai pertanggung jawaban atas pengelolaan dana dari jemaat yang didonasikan kepada gereja.
Kistler (2008) menemukan bahwa rendahnya akuntabilitas akan terwujud dalam penerapan pengendalian internal gereja, dan penerapan pengendalian internal akan tergantung dari persepsi individu dalam organisasi gereja. Bukti dari rendahnya akuntabilitas pada gereja dan organisasi keagamaan antara lain temuan dari Holfreter (2004) yang menemukan fraud sebesar US$600 milliar pada organisasi non profit, dengan 85% data didominasi oleh organisasi keagamaan. Menurut Ellis (1974) gereja adalah organisasi non profit yang lemah pengendalian internalnya, sistem akuntansi yang tidak memadai dan kurang berkomitmen dengan manajemen keuangan. Selanjutnya menurut Midkitt (2004) gereja dan organisasi non profit adalah sasaran utama dalam terjadinya fraud. Fraud menjadi
hal yang umum terjadi dalam gereja (Duncan dan Flesher, 2002). Synder dan Clifton (2005) menyatakan bahwa gereja berada dalam risiko yang lebih besar dalam hal penyalahgunaan keuangan, karena sifat dari misi dan struktur manajemen. Gereja memiliki sikap mengabaikan terhadap fraud (Comission on Private
Philantrophy
and
Public
Needs,
1975).
Gereja
lebih
sering
menyembunyikan penyimpangan-penyimpangan keuangan (West dan Zech, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kistler (2008) fraud dalam gereja pada umumnya disebabkan oleh lemahnya pengendalian internal. Lemahnya pengendalian internal disebabkan oleh lemahnya dukungan terhadap penerapan pengendalian internal di dalam organisasi. Penyebab dari lemahnya dukungan organisasi terhadap pengendalian internal ada berbagai faktor, salah satunya adalah persepsi organisasi terhadap pengendalian internal. Penelitianpenelitian mengenai akuntansi gereja menunjukkan gereja cenderung tidak begitu memperhatikan masalah keuangan, secara lebih spesifik dalam hal pengendalian internal (Weiner, 2003).
Organisasi memiliki berbagai macam klasifikasi dan karakter. Menurut Christensen et al. (2007) berdasarkan tujuan utamanya, organisasi dibedakan menjadi dua yaitu organisasi sektor publik dan organisasi sektor privat, di mana sektor privat lebih bertujuan untuk memenuhi kepentingan pemilik, sedangkan sektor publik lebih cenderung untuk kepentingan umum. Menurut Halim (2013) Organisasi jika dilihat dari tujuannya dapat digolongkan pada organisasi yang bertujuan atau bermotif mencari laba, dan organisasi yang bertujuan atau bermotif selain mencari laba. Tujuan selain mencari laba memiliki arti yang luas, dan pengukuran yang lebih kompleks. Organisasi non profit pada umumya memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dalam penerapan pengendalian internal kemungkinan juga disebabkan kompleksitas tujuannya.
Armacost (1989) menemukan pengalaman-pengalaman yang lebih bervariasi dari auditor saat melakukan audit pada organisasi-organisasi non profit. Pengalaman auditor yang lebih bervariasi tersebut menunjukkan kompleksitas pada organisasi non profit lebih tinggi daripada organisasi profit. Kompleksitas tujuan dari organisasi non profit inilah yang sering menjadikan organisasi non profit menjadi sasaran fraud, terlebih dalam organisasi gereja yang asetnya masih dikelola secara tradisional (Vargo, 1989), pernyataan Vargo diperkuat oleh Duncan (1995) yang menemukan indikasi bahwa rata-rata organisasi gereja terlambat dalam menerapkan elemen-elemen pengendalian internal. Penelitianpenelitian tersebut menunjukkan bahwa pengendalian internal memiliki hubungan dengan fraud. Fenomena yang terjadi adalah fraud banyak terjadi dalam gereja.
Permasalahan tersebut menjadi hal yang menarik dan layak untuk diteliti, karena masalah penyimpangan keuangan umumnya terjadi pada organisasi non keagamaan. Organisasi keagamaan pada umumnya dipandang sebagai organisasi yang “bersih” dari permasalahan-permasalahan keuangan, karena uang bukanlah tujuan utama dari organisasi keagamaan, terlebih lagi keuangan dalam gereja dikelola oleh orang yang dianggap sebagai pilihan Tuhan dan dipercaya oleh jemaat untuk mengelola keuangan gereja (Muller, 2015). Gereja merupakan organisasi keagamaan yang menyatakan diri sebagai wakil pemerintahan Tuhan di atas bumi.
1.3 Perumusan Masalah Pelaksanaan suatu organisasi memerlukan pedoman-pedoman yang terarah untuk mencapai tujuannya. Demikian juga dengan gereja sebagai organisasi publik memerlukan pedoman-pedoman untuk mencapai tujuan. Pedoman tersebut hanya akan sekedar menjadi utopia jika tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pengendalian internal mutlak diperlukan oleh gereja untuk memastikan pelaksanaan
sesuai
dengan
pedoman
pencapaian
tujuan
gereja
serta
meminimalkan penyimpangan-penyimpangan yang dapat mengakibatkan tujuan gereja tidak tercapai.
Midkitt (2004) menemukan bahwa Gereja dan organisasi keagamaan adalah entitas yang memiliki potensi penyimpangan keuangan yang tinggi. Penemuan Midkitt diperkuat oleh hasil penelitian West dan Zech (2007) yang menunjukkan bahwa 85% responden dalam penelitiannya pada gereja terindikasi fraud. Artinya pengendalian internal tidak diterapkan sesuai dengan fungsinya. Penyimpangan-penyimpangan keuangan tersebut pada umumnya terjadi karena kekurang pedulian organisasi gereja, khususnya dalam hal pengawasan keuangan yang merupakan bagian dari pengendalian internal. Rendahnya kepedulian tersebut sering disebabkan oleh kepercayaan yang berlebihan (blind trust) kepada pemimpin agama maupun pengelola keuangan gereja (Kistler, 2008). Sistem keuangan tersebut meliputi akuntansi, yang di dalamnya termasuk pengendalian internal. Carmona dan Ezzamel (2006) menyatakan bahwa pengendalian internal adalah produk dari lingkungan entitas organisasi termasuk lingkungan entitas organisasi religius. Menurut Kistler (2008) Pengendalian internal yang lemah memunculkan
potensi
terjadinya
penyimpangan
keuangan.
Kekuatan
pengendalian internal dalam suatu organisasi ditentukan oleh dukungan dari personel yang terlibat dalam suatu organisasi (McNeal, 2006). Kistler (2008) menambahkan bahwa dukungan tersebut dilatarbelakangi oleh persepsi dari individu yang terlibat dalam organisasi organisasi gereja. Berdasarkan teori pengendalian internal salah satu unsur yang ada dalam organisasi adalah jabatan. Jabatan akan menentukan bagaimana individu berperilaku dalam organisasi. Dalam pengendalian internal terdapat juga unsur span of control (rentang kendali), yang merupakan tingkat kemampuan pengendalian internal dalam mengendalikan individu-individu yang terlibat dalam organisasi, berdasarkan teori tersebut jumlah jemaat dalam gereja dapat digunakan sebagai acuan. Selain kedua unsur tersebut dalam masalah pengendalian internal bidang keuangan adalah ukuran materialitas (Ranglin, 2014). Menurut SPAP (Standard Pemeriksaan Akuntan Publik) materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupnya, dapat mengakibatkan perubahan atas suatu pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi itu, karena adanya penghilangan atau
salah saji itu. Nilai materialitas akan berbeda antara satu entitas dengan entitas lainnya, demikian halnya dengan nilai materialitas dalam entitas gereja. Gereja mendapatkan dana berupa persembahan yang kemudian dikelola untuk operasional, artinya nilai materialitas dalam entitas gereja memiliki kaitan dengan jumlah persembahan yang diterima oleh gereja.
Penelitian ini kemudian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1.
Apakah jabatan, jumlah jemaat, dan jumlah persembahan dalam gereja berhubungan dengan persepsi anggota gereja terhadap pengendalian internal?
2.
Adakah faktor selain jabatan, jumlah jemaat dan jumlah persembahan dalam gereja yang memiliki hubungan dengan penerapan pengendalian internal dalam gereja?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami persepsi dari organisasi gereja terhadap pengendalian internal. Persepsi tersebut akan menentukan sikap terhadap pengendalian internal yang terbagi dalam dua jenis, yaitu: sikap apatis dan sikap skeptis. Sikap apatis akan melemahkan pengendalian internal, sedangkan sikap skeptis akan memperkuat pengendalian internal (Kistler, 2008).
Menurut Kistler (2008) semakin lemah pengendalian internal dalam gereja, maka semakin besar potensi fraud. Tingkat kekuatan penerapan pengendalian internal ditentukan oleh berbagai macam faktor. Persepsi dari anggota dalam organisasi adalah salah satu faktor yang menentukan karena dari persepsi ini akan membentuk penilaian dari individu atas suatu hal (Wang, 2007). Persepsi individu tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kekuatan pengendalian internal.
1.5 Kontribusi Penelitian Penelitian ini merupakan replikasi dari disertasi Kistler (2008) untuk mengetahui kecenderungan persepsi individu dalam organisasi gereja atas pengendalian internal. Modifikasi yang dilakukan adalah penambahan variabel dan persepsi individu sebagai anggota gereja di Indonesia. Perbedaan lainnya adalah gereja-gereja dalam penelitian Kistler tidak memiliki latar belakang suku bangsa tertentu, sedangkan dalam penelitian ini dilakukan pada gereja yang juga memiliki latar belakang suku bangsa tertentu.
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori persepsi individu dalam organisasi, karena persepsi individu dapat mempengaruhi penerapan pengendalian internal dalam organisasi tersebut. Persepsi tersebut akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku individu terhadap pengendalian internal. Persepsi sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor logis kognitif, maupun faktor mistik individu atas suatu hal (Groonros, 2013).
Persepsi menentukan sikap individu terhadap pengendalian internal, persepsi tersebut dipengaruhi oleh pemahaman kognitif tentang akuntansi sebagai salah satu faktor. Pengendalian internal yang kuat didukung oleh sikap skeptis atas pengelolaan keuangan gereja karena individu anggota gereja telah memiliki pemahaman akuntansi. Peningkatan pemahaman akuntansi pada anggota gereja dan organisasi keagamaan diharapkan dapat menurunkan potensi terjadinya fraud pada organisasi tersebut.
Penelitian ini juga diharapkan dapat membuka wawasan organisasi gereja mengenai pentingnya pemahaman akuntansi terhadap persepsi dan sikap terhadap pengendalian internal, dan mendorong lembaga-lembaga pendidikan yang didukung oleh gereja untuk lebih berkontribusi dalam mendampingi gereja khususnya pada masalah pengelolaan keuangan. Perbedaan lain adalah peneliti sebelumnya menggunakan gereja pada negara yang memiliki regulasi keuangan yang mengikat organisasi non profit, yaitu Sarbanes Oxley Act (2002).
1.6 Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam lima (5) bab sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan Bab ini berisi gambaran umum mengenai penelitian, yang di dalamnya meliputi: latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II: Landasan Teori dan Penyusunan Hipothesis Bab ini mengulas secara teoritis tentang konsep-konsep yang terkait dengan pengendalian internal, faktor belief dan persepsi, faktor budaya, dan faktor lingkungan organisasi gereja. Dalam bab ini juga mengulas tentang hasil-hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian internal dalam gereja, yang menjadi panduan dalam penyusunan hipothesis dalam penelitian ini.
Bab III: Metoda Penelitian Bab ini mengulas metoda penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Lebih spesifik bab ini mengulas desain penelitian, populasi, sampel, jumlah sampel, serta teknik pengambilan sampel, variabel penelitian, pengumpulan data dan teknik analisis data.
Bab IV: Analisis Data dan Pembahasan Bab ini mengulas tentang profil responden penelitian, proses pengumpulan dan analisis data baik data kuantitatif, maupun kualitatif. Ulasan dalam bab ini berisi penjelasan bagaimana data diolah dan pembahasan dilakukan.
Bab V: Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan dan Saran. Bab ini berisi kesimpulan atas hasil penelitian, implikasi hasil penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran-saran untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.