BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab pertama, akan terdapat pemaparan mengenai latar belakang permasalahan dan fenomena yang terkait. Berikutnya, rumusan masalah dalam bentuk petanyaan dan tujuan dilakukannya penelitian ini. 1.1 Latar Belakang Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1) tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif dan jauh dari kekerasan.Penelitian dari Yayasan Sejiwa (2008) menunjukan bahwa tidak ada satupun sekolah di Indonesia yang bebas dari tindakan kekerasan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, beberapa topik media massa dan penelitian membahas kekerasan di sekolah. Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti (2009) tentang fenomena bullying di sekolah dasar negri Semarang menunjukan bahwa 37,5% siswa/siswi menjadi korban bullying (42,5% siswa menderita bullying secara fisik; 34,06% dari bullying non fisik). Kisah yang sama terjadi beberapa tahun sebelumnya di sebuah sekolah tinggi di Bandung, di mana calon pejabat pemerintahan dipersiapkan hingga berakibat kematian salah seorang siswanya ditangan beberapa senior (Widiyanti, 2009). Koran kompas pun juga membahas melalui artikelnya yang berjudul “Apa Untungnya Menggencet Adik Kelas” dan “Stop Kekerasan Di Sekolah”(Riauskina, Indira, Soestio, Rochani, 2005). Pada umumnya siswa yang mengalami tindakkan bullying adalah siswa yang memiliki tingkat asertivitas rendah (Soendjojo, 2009). Kemudian menurut Tattum dan Tattum “bullying adalah perilaku yang disengaja, sadar keinginan untuk menyakiti orang lain dan menempatkannya di bawah tekanan” (dalam Rigby, 2002: 27). Olweus juga mengatakan hal yang serupa bahwa bullying adalah perilaku
negatif yang mengakibatkan seorang dalam keadaan tidak nyaman/terluka biasanya terjadi berulang-ulang“repeated during successive encounters” (1993:5). Dari kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh siswa/siswi yang memiliki kekuasaan atas siswa/siswi yang lebih lemah, secara berulang-ulang dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut. Berdasarkan hasil survey global yang diadakan oleh Latitude News (beritaedukasi.com, 19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, ditemukan fakta baru yang sangat mengejutkan dengan mengurutkan negara yang memiliki kasus bullying tertinggi adalah Jepang, Indonesia, Kanada dan Amerika Serikat serta yang terakhir Finlandia. Dengan tercatatnya negara Indoneisa sebagai salah satu negara yang memiliki presentase tinggi pada fenomena bullying menjadi sorotan beberapa pihak seperti pendidik, organisasi perlindungan, dan tokoh masyarakat (dalam Rusdi, 2010). Di Indonesia sendiri, penelitian dan pembicaraan tentang hal ini masih sedikit sehingga kurang banyak data yang dapat di peroleh mengenai dampak yang diakibatkannya. Jika dicermati, perilaku bullying memiliki dampak yang serius. Secara fisik, kekerasan ini dapat mengakibatkan luka dan sayatan, luka bakar, luka organ bagian dalam seperti pendarahan di otak, pecahnya lambung, usus, hati, hingga kondisi koma.Secara psikologis bullying mengakibatkan rendahnya harga diri hingga depresi dan pada jangka panjang bullying dapat menyebabkan trauma. Selain melihat fenomena yang ada di kalangan masyarakat, peneliti juga sudah mencoba untuk melakukan wawancara kepada 10 orang mahasiswa dan 10 orang siswa/siswi SMP di jakarta, 80% dari 20 responden yang di wawancarai mengatakan bahwa mereka pernah mengalami bullying yang dilakukan oleh senior di sekolah atau dilakukan oleh teman sebaya atau pernah melakukan tindakan bullying. 80% dari mereka memang mengatakan bahwa respon ketika ia di-bully adalah hanya diam saja dan rata-rata memang siswa/siswi yang di-bully adalah siswa/siswi yang memiliki tabiat pendiam dan tidak mempunyai kemampuan melawan pada pelaku bullying, tidak merasa bebas untuk mengemukakan dirinya, ia tidak merasa bebas untuk menyatakan perasaan, pikiran dan tidak mampu menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan dirinya seperti permintaan atau gagasan.
Salah satu faktor yang menentukan intensitas kecenderungan menjadi korban bullying adalah perilaku asertif pada siswa. Perilaku asertif itu sendiri didefinisikan sebagai perilaku interpersonal individu yang berupa pernyataan mengenai apa yang dirasakan oleh individu tersebut, yang bersifat jujur dan relatif langsung (Rimm & Master dalam Marini, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Novalia dan Dayaksini (2013) tentang perilaku asertif dan kecenderungan menjadi korban bullying, menunjukan bahwa semakin tinggi asertivitas siswa maka semakin rendah kecenderungan menjadi korban bullying, demikian sebaliknya. Dengan memiliki perilaku asertif, siswa akan merasa percaya diri sehingga siswa mampu menolak dan mampu bersikap tegas saat di bullying oleh kakak kelas atau seniornya. Siswa juga berani melapor kepada guru atau kepala sekolah jika siswa mengalami tindakan bullying. Selain itu hasil dari penelitian diatas menunjukan bahwa perilaku asertif mempunyai sumbangan efektif terhadap kecenderungan menjadi korban bullying sebesar 18,5% yang cenderung kecil, sedangkan sisanya sebesar 81,5% dipengaruhi faktor lain misalnya faktor sekolah, faktor komunitas, faktor keluarga dan teman sebaya (Novalia & Dayaksini, 2013). Adanya faktor teman sebaya sebagai salah satu penyumbang efektif terbesar pada kecenderungan perilaku asertif remaja menjadi hal penting untuk diketahui, karena remaja sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya, akan mulai mencoba hal-hal baru untuk menemukan dan menunjukkan jati diri mereka. Kebanyakan remaja menunjukkan jati diri mereka dengan membentuk kelompok-kelompok tertentu dan menamai kelompok mereka.Remaja lebih merasa diterima dan diakui dengan membentuk dan menjadi bagian atau anggota dari kelompok-kelompok, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka. Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Kebanyakan remaja yang berada di dalam kelompok-kelompok tersebut menyamakan identitas diri mereka dengan identitas kelompok mereka, dengan melakukan hal serupa yang dilakukan oleh anggota yang lain. Hal-hal tersebut adalah, seperti memiliki dan membeli barang-barang yang sama, selalu pergi bersama-sama, hingga berperilaku dan menggunakan cara berbicara serta bahasa yang sama. Jika kelompok mereka
baik, remaja akan berkembang dengan baik pula, namun jika kelompok atau geng tersebut buruk, remaja justru akan semakin kehilangan jati diri dan cenderung melakukan hal-hal yang menyimpang, terlibat tawuran, narkoba, minum-minuman keras serta seks bebas. Menurut Mann, Harmoni dan Power (Santrock, 2003), remaja lebih membutuhkan banyak kesempatan untuk melatih dan membahas pengambilan keputusan yang lebih realistis, karena kebanyakan remaja mengambil keputusan dalam situasi stress yang mengandung banyak faktor keterbatasan waktu dan pelibatan emosi, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tidak pernah bisa menolak ajakan dari teman sebaya, walaupun hal tersebut sangat merugikan diri mereka. Berdasarkan hal tersebut, remaja memerlukan kemampuan untuk dapat berperilaku asertif, agar dapat terhindar dari pengaruh teman sebaya serta tekanan kelompok yang negatif dan dapat merugikan diri mereka sendiri. Dalam hal ini orangtua juga memiliki peran dan fungsi yang sangat penting ketika banyak terjadi kasus-kasus kenakalan remaja. Keberadaan orangtua dibutuhkan ketika mengalami kesulitan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang tepat. Remaja perlu lebih banyak peluang untuk mempraktekkan dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang realistis dengan orangtua mereka. Gjerde dan S Block (Santrock, 2003) menyatakan bahwa hubungan yang baik dan dekat dengan orangtua juga penting dalam perkembangan remaja, karena hubungan ini berfungsi sebagai acuan yang akan dibawa oleh anak terus menerus dan dari waktu ke waktu sebagai hal yang mempengaruhi pembentukan hubungan baru dengan orang lain dan dengan anak-anak mereka dimasa yang akan datang. Piaget (Santrock, 2003) berpendapat bahwa hubungan orangtua dengan anak berbeda sekali dengan hubungan antara anak dengan teman sebaya mereka. Dalam hubungan orangtua dengan anak, orangtua cenderung memiliki kewenangan terhadap anak mereka,- apa yang akan dilakukan oleh anak harus dengan persetujuan dari orangtua dan anak harus menuruti perintah dari orangtua. Dalam hal, ini orangtua memiliki pengetahuan dan kewenangan yang lebih besar, sehingga anak-anak mereka seringkali harus belajar bagaimana mematuhi perintah dan peraturan yang ditetapkan orangtua. Sedangkan hubungan antara anak dengan teman
sebaya terdiri dari partisipan yang berhubungan satu sama lain dengan kedudukan yang jauh lebih setara. Kesalahan dalam mendidik dan memberikan arahan kepada anak untuk apa yang harus dilakukan juga dapat berdampak pada perilaku sehari-hari anak. Sebagai contoh, anak akan menggunakan apa yang telah mereka terima dari orangtua, jika orangtua mereka selalu memaksakan keinginan mereka terhadap anak, maka anak tidak akan bisa mengembangkan diri mereka, sehingga yang mereka bisa hanyalah diam dan menuruti kemauan orangtuanya. Hal inilah yang berdampak pada hubungan anak dengan teman atau lingkungan di luar rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Anjar (2013), tentang hubungan parenting style dengan perilaku asertif remaja menunjukan bahwa orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe participating cenderung memiliki tingkat asertif yang tinggi, orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe telling cenderung memiliki tingkat asertif yang rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Hersey dan Blanchard (1978) yang menyatakan bahwa remaja dengan orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe telling, akan membentuk anak mereka menjadi individu yang pasif, selalu tergantung dengan orang lain dalam pengambilan keputusan, bahkan mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengarahkan hidup mereka sendiri. Hal ini berbanding terbalik dengan orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe participating, remaja dengan orangtua yang cenderung menggunakan parenting style tipe ini akan tumbuh menjadi remaja baik yang memiliki perasaan positif mengenai dirinya dan orang lain, berani bahkan cenderung suka memberontak. Hersey dan Blanchard (1978) juga menyatakan bahwa parenting style tipe participating mengembangkan kerjasama antara orangtua dan anak dalam menyelesaikan suatu masalah. Disini anak dapat mengatakan apa yang ingin disampaikan kepada orangtua mereka, baik saran, pendapat maupun kritikan. Selain itu, anak juga tidak merasa terkekang ataupun merasa terlalu dibebaskan dalam berbagai hal. Sehingga anak-anak dengan orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe participating lebih memiliki kepercayaan diri dan mengungkapkan pendapatnya dan dapat menghargai setiap pendapat yang berbeda dengan dirinya, serta mampu berpikir positif mengenai diri mereka dan oranglain.
Dalam hal ini terlihat bahwa peran parenting style sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa yang akan datang, peran komunikasi di dalam keluarga dalam proses pola pengasuhan orangtua bisa dibilang sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh anak. Hal ini bisa dilihat bagaimana gaya komunikasi itu sendiri adalah cara atau pola yang di tampilkan oleh komunikator untuk mengungkapkan sesuatu (menyampaikan pesan, ide, gagasan) baik melalu sikap, perbuatan, dan ucapannya ketika berkomunikasi dengan komunikan (Suryadi, 2004:33). Gaya komunikasi bisa dilihat dalam tiga macam menurut Heffer (dalam buku The Language Of Jury Trial: 2005) yaitu gaya komunikasi pasif, agresif dan asertif. Berbagai gaya komunikasi yang digunakan orang tua berbeda-beda, meskipun terkadang ada persamaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anita (2014) tentang pola asuh anak usia dini pada keluarga tenaga kerja wanita (TKW) proses sosialisasi anak dalam lingkungan sosial sangat dipengaruhi oleh pola komunikasi yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua yang mempunyai komunikasi yang baik dengan anaknya maka dapat menciptakan hubungan yang harmonis di dalam keluarga sehingga perkembangan kepribadian anak baik. Jika orang tua yang terbiasa menggunakan gaya komunikasi yang asertif pada anak, maka anak terbiasa untuk mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya dan tujuan dari komunikasi asertif adalah membuat proses komunikasi berjalan lancar dan membangun hubungan yang baik, saling menghormati. Perilaku ini juga merupakan bentuk pemecahan masalah (problem solving). Tapi jika orangtua terbiasa melakukan gaya komunikasi secara agresif, anak terbiasa untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya dengan cara pemaksaan hak pada orang lain, karena yang dimaksud gaya komunikasi agresif yaitu gaya komunikasi yang berusaha mendominasi dalam interaksi dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal, komunikasi ini juga sangat tidak efektif karena ada pemaksaan hak pada orang lain. Namun jika orang tua yang terbiasa melakukan gaya komunikasi pasif terhadap anak, maka anak akan terbiasa selalu mengalah dengan merendahkan diri kepada orang lain saat berkomunikasi.
Jika dilihat dari karakteristik ketiga gaya komunikasi menurut Heffer, dan karakteristik gaya keibu-bapak-an menurt Baumrind kita bisa melihat persamaan dari keduanya, seperti gaya komunikasi orangtua yang bersifat asertif mirip seperti gaya keibu-bapak-an autoritatif, ibu-bapak memiliki high demandingness dan high responsiveness yaitu mengamalkan ketegasan yang diimbangi dengan kesediaan mendengar pandangan anak-anak, bertoleransi, setia kawan, membantu serta mendidik secara berpenglibatan. Gaya komunikasi pasif, mirip seperti gaya keibubapak-an gaya keibubapaan autoritarian dicirikan oleh sikap ibu-bapak yang high demandingness tetapi low responsiveness di mana ibu bapa meletakkan jangkaan tinggi terhadap anak-anak dengan mempraktik pendekatan kawalan, hukuman dan peraturan ketat yang tidak membenarkan anak-anak mempersoalkannya. Sedangkan gaya komunikasi agresif mirip seperti gaya keibubapaan permisif, ibu bapak dicirikan oleh sikap high responsiveness tetapi low demandingness yaitu bersikap terlalu lembut (lenient), memenuhi kehendak anak-anak dan tidak tradisional dengan menggangap anak-anak sebagai individu yang matang dan boleh menentukan diri sendiri sehingga tidak wujud tekanan, kawalan atau peraturan mengenai tingkah laku yang baik dan dilarang secara kukuh. Anak dengan pola asuh permisif sulit mengontrol diri mereka, tidak mandiri, tidak taat dan memberontak ketika diminta untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka.Mereka juga terlalu menuntut dan tergantung pada orang dewasa dan mereka menunjukkan kurang mampu menyelesaikan tugas di sekolah. Dengan adanya hal ini, peran penting dari gaya komunikasi yang dilakukan oleh orang tua kepada anak penting untuk perilaku dan perkembangan anak terutama pada remaja. Lebih lanjut, Rakhmat (Saad, 2003) mengungkapkan komunikasi dengan orangtua seyogyanya diwarnai oleh suatu prinsip saling menjalin komunikasi dan menjalin relasi yang dapat mendorong terjadinya hubungan yang sehat. Gaya komunikasi orangtua dengan anak perlu di bina dengan baik karena merupakan salah satu hal yang dapat membantu perlkembangan perilaku anak remaja. Berdasarkan uraian diatas mengenai pentingnya peran gaya komunikasi orangtua dengan anak memang sangat penting, maka dari situ muncul pertanyaan penelitian
yang dibuat oleh peneliti yaitu, apakah ada hubungan antara gaya komunikasi orangtua dengan kecenderungan perilaku asertif pada remaja. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran latar belakang yang telah di jelaskan pada poin sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini ialah “apakah ada hubungan gaya komunikasi orangtua dengan kecenderungan perilaku asertif remaja di DKI Jakarta?” 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang dibuat oleh peneliti yaitu peneliti ingin melihat untuk mengetahui hubungan gaya komunikasi orangtua dengan kecenderungan perilaku asertif remaja di DKI Jakarta. 1.3.1 Tujuan Praktis a) Sebagai tambahan ilmu bagi para pembaca agar dapat mengembangkan perilku asertif atau memiliki perilaku asertif. b) Menginformasikan bagi para orangtua bahwa gaya komunikasi yang diterapkan orangtua terhadap anak mempengaruhi bagaimana anak bersikap di lingkungan. 1.3.2 Tujuan Teoritis a) Tujuan pembuatan dari skripsi ini adalah untuk memberikan informasi kepada para pembaca mengenai ada atau tidaknya hubungan dari gaya komunikasi orangtua dengan kecenderungan perilaku asertif remaja di DKI Jakarta. b) Memberikan pengetahuan baru bagi peneliti mengenai faktor yang mampu mempengaruhi perilaku asertif dan factor lain yang dapat di pengaruhi oleh gaya komunikasi orangtua.