BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Parameter cuaca dan iklim mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan
manusia, baik aspek fisis, biologis dan budaya. Iklim adalah jumlah atau sintesis dari data cuaca tercatat selama periode yang panjang. Data cuaca yang dimaksud dapat berupa kejadian-kejadian rerata ataupun kondisi umum, kejadian-kejadian ekstrim, jumlah beberapa kejadian ataupun frekuensi dari kejadian.
Adapun
cuaca adalah gambaran dari kondisi jangka pendek atau snapshot dari atmosfer pada waktu tertentu (bom.gov.au). Iklim cenderung bervariasi yang dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun faktor internal (Tjasyono, 2004). Lebih lanjut Tjasyono menjelaskan, faktor eksternal yang berpengaruh antara lain perubahan lempeng tektonik, perubahan sudut kemiringan bumi dan perubahan kekuatan sinar matahari. Faktor internal merupakan interaksi dari atmosfer, vegetasi, permukaan lahan, lapisan es dan samudera/lautan. Variasi iklim juga dapat dilihat dari waktunya, yaitu jangka pendek (tahunan), jangka menengah dan jangka panjang. Variasi iklim tahunan disebabkan oleh kemiringan sumbu bumi. Dalam hal ini rotasi bumi menyebabkan fenomena inter tropical convergence zone (ITCZ). Variasi jangka menengah disebabkan oleh aktivitas matahari berupa titik hitam matahari atau sunspot. Sunspot mempunyai siklus 11 tahunan. Presisi bumi mengelilingi matahari, perubahan sumbu rotasi bumi, serta perubahan bentuk orbit dan jarak matahari dari bumi merupakan variabel yang mempengaruhi variasi iklim jangka panjang. Ketiga variabel tersebut membentuk Siklus Milankovich. Selain ketiga variabel tersebut, perubahan lempeng tektonik, perubahan intensitas radiasi matahari serta perubahan komposisi kimia atmosfer juga berpengaruh terhadap variasi iklim di bumi (Burroughs, 2007) Salah satu parameter iklim adalah curah hujan. Indonesia mempunyai tiga pola hujan yaitu hujan monsoonal, hujan ekuatorial dan hujan lokal, seperti yang disajikan pada Gambar 1.1.(BMKG, 2010). Curah hujan monsoonal dikenal juga 1
sebagai hujan unimodal (satu puncak hujan), dan hujan tipe ekuatorial dikenal sebagai hujan bimodal (dua puncak hujan).
Gambar 1.1 Tipe curah hujan di Indonesia. (Sumber : BMKG, 2010)
Variabilitas curah hujan di Indonesia, terutama curah hujan musiman, dipengaruhi oleh Monsoon (Aldrian dan Djamil, 2006; Tjasyono, et al, 2009; Seto,
2009; Hernawan dkk, 2010; Suryantoro dkk, 2010; Yulihastin, 2010;
Yulihastin dan Noersomadi, 2010). Selain monsoon (Asia dan Australia), variabilitas curah hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh Madden Jullian Oscilation, ENSO (El-Nino Southern Oscilaltion), dan Dipole Mode (Hernawan dkk, 2010; Avia dkk, 2010). Selain dipengaruhi oleh fenomena regional, curah hujan juga dipengaruhi oleh topografi (elevasi, arah hadap lereng) seperti yang dikemukakan oleh Suyono dan Hadi (1992), Adelekan (1998), Aldrian dan Djamil (2006). Pengaruh topografi terhadap curah hujan akan memberikan karakteristik spasial atau keruangan di suatu wilayah, termasuk daerah perkotaan. Selain pengaruh aspek fisik variabilitas curah hujan juga akan berbeda dalam
2
skala waktu (temporal), sehingga bagaimana persebaran curah hujan di darah perkotaan secara ruang dan waktu sangat menarik untuk dibicarakan. Selain faktor atmosfer, laut dan topografi di permukaan tanah, curah hujan juga dipengaruhi oleh antroposfer. Diantara gas-gas yang terdapat di atmosfer, sulfur dioksida (SO4) dan nitrogen oksida (NOx) merupakan gas utama sebagai precursor asidifikasi global (Rhode, 1989; Legge and Krupa, 1990 dalam Kato, 1992). Hal ini dikemukakan oleh Bhaskaran dan Mitchell (1998), bahwa peningkatan CO2 akan meningkatkan hujan monsoon. Peningkatan CO2 akan menyebabkan peningkatan penyerapan radiasi matahari dan pengurangan radiasi bumi yang keluar angkasa akan meningkatkan suhu permukaan sehingga menimbulkan perbedaan yang sangat kontras dengan suhu troposfer sehingga mendorong pertumbuhan awan dan meningkatkan potensi hujan. Selain perubahan kadar kimia atmosfer, curah hujan juga mengalami perubahan akibat lahan terbangun seperti yang dikemukakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Goddard Space Flight Center (2002), dan Burian, et al (2003). Urbanisasi adalah salah satu fenomena yang patut dicatat pada abad ke 21 ini. United Nation on Environmental Programme (UNEP, 2002 dalam Kirono, 2004) melaporkan pertumbuhan urbanisasi yang sangat cepat terjadi di negaranegara tropis yang sedang berkembang. Laporan tersebut menyebutkan wilayah Asia-Pasifik, sebagai contoh, jumlah penduduk perkotaan wilayah ini hanya sekitar 35% dari jumlah penduduk total, dan saat ini telah mengalami peningkatan 3,2% tiap tahunnya selama kurun waktu 1990-1995. Hal senada juga dikemukakan oleh Douglas (dalam Suryantoro, 2002) bahwa pada dekade tahun 1800, hanya 3% dari penduduk dunia yang bertempat tinggal di kota atau lebih dari 5000 jiwa. Pada tahun 1900 meningkat menjadi 14% penduduk dunia yang bertempat tinggal di kota, dan setelah tahun 1950 perkembangan penduduk yang bertempat tinggal di kota meningkat menjadi 40%. Akhirnya pada periode tahun 1991, jumlah penduduk dunia yang bertempat tinggal di kota menjadi 50%. Kondisi ini tentunya akan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan.
3
Untuk Indonesia sendiri, tingkat urbanisasi yang dicirikan oleh jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan, mengalami peningkatan. Berdasarkan Tabel 1.1, sejak tahun 1920 hingga tahun 2000, terjadi peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan. Jika pada tahun 1920, jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan kurang dari 3 juta jiwa, pada tahun 1980 menjadi 32.881.928 jiwa (22,3%), meningkat menjadi 55.264.852 jiwa pada tahun 1990 (30,9%) dan menjadi 86.613.191 jiwa pada tahun 2000 (42,0%). Dapat disimpulkan bahwa sepuluh tahun terakhir terdapat peningkatan
yang sangat besar dari jumlah
penduduk yang tinggal di perkotaan yaitu sebesar 11% . Tabel 1.1. Penduduk perkotaan dan tingkat urbanisasi di Indonesia (1920-2000) Tahun
Jumlah penduduk Jiwa
%
1920
2.881.576
5,8
1930
4.034.149
6,7
1961
14.358.372
14,8
1971
20.465.377
17,2
1980
32.881.928
22,3
1990
55.264.852
30,9
86.613.191
41,2
2000 Sumber : Widyatmoko (2007)
Tabel 1. 2. Tingkat urbanisasi DIY menurut Kabupaten/Kota (1980/2000) Kabupaten/Kota
1980
1990
2000
Penduduk kota
Tingkat urban
Penduduk kota
Tingkat urban
Peduduk kota
Tingkat urban
Kulon Progo
18.225
4,8
31.141
8,4
66.366
17,9
Bantul
64.975
10,2
421.785
60,5
561.938
71,9
Gunung Kidul
21386
3,2
28.130
4,3
34.875
5,2
Sleman
107.686
15,9
400.941
51,4
738.623
81,9
Yogyakarta
394.965
53,9
412.059
57,9
396.711
54,2
DIY
607.267
22,08
1.294.056
44,43
1.798.513
57,64
Sumber : Widyatmoko (2007)
Jika kita melihat ke wilayah yang lebih sempit yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, maka urbanisasi juga terjadi seperti yang disajikan pada Tabel 1.2.
4
Tabel tersebut memperlihatkan jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan pada tahun 1980 hingga 2000 dan tingkat urbanisasinya. Secara umum tingkat urbanisasi di DIY berturut-turut pada tahun 1980 – 2000 adalah 22,08%, 44,43% dan 57,64%. Hal yang menarik dari
tabel tersebut adalah dari segi jumlah
penduduk, maka perkembangan jumlah penduduk di Kota Yogyakarta mengalami perkembangan negatif pada periode 1990-2000 (-15.348 jiwa) dan perkembangan yang negatif ini menunjukkan bahwa perkembangan jumlah penduduk perkotaan terjadi di luar wilayah Kota Yogyakarta (Widyatmoko, 2007). Salah satu kenampakan urbanisasi yang sangat jelas adalah perubahan penggunaan lahan, baik perubahan penggunaan lahan dari lahan kosong menjadi terbangun, lahan pertanian menjadi terbangun, maupun terbangun menjadi terbangun yang lebih kokoh. Hal ini menyebabkan kenampakan fisik kota yang lebih luas. Berdasarkan Suryantoro (2002), selama periode 38 tahun (1959-1996) penambahan luas penggunaan lahan yang terbesar di Yogyakarta adalah penambahan luas penggunaan lahan permukiman (286,74 ha). Suryantoro (2002) juga mengungkapkan bahwa selama 240 tahun (1756-1996) telah terjadi perubahan penggunaan lahan seluas 3284,4 ha atau 26,37 ha setiap tahunnya di Kota Yogyakarta. Perubahan penggunaan lahan tersebut mengiringi peningkatan jumlah penduduk. Salah satu kenampakan fisik dari urbanisasi adalah perubahan penggunaan lahan dari lahan alami ke lahan terbangun. Pada masa sekarang perubahan penggunaan lahan terjadi secara cepat sehingga untuk dapat memantau atau memonitoring diperlukan wahana yang dapat dengan cepat menyajikan perubahan tersebut yaitu teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh untuk studi kota banyak digunakan karena perolehan data cepat. Pilihan data yang dapat digunakan antara lain data resolusi spasial tinggi atau citra dengan ukuran obyek terkecil dapat terdeteksi, resolusi spektral tinggi (semakin sempit interval panjang gelombang atau semakin banyak jumlah salurannya), resolusi temporal tinggi yaitu kemampuan merekam ulang daerah yang sama dalam waktu yang singkat (Danoedoro, 2012). Danoedoro (2012) juga mengungkapkan bahwa data penginderaan jauh yang dapat digunakan antara lain foto udara, citra satelit
5
Landsat (sekarang Landsat 8), dan pada milenium ketiga ini banyak jenis satelit yang diluncurkan dengan kemampuan yang bervariasi, dari resolusi sekitar satu meter atau kurang (IKONOS, OrbView, QuickBird, dan GeoEye), 10 meter atau kurang (SPOT milik Perancis, ALOS milik Jepang, COSMOS milik Rusia, IRS milik India), 15-30 meter (ASTER kerjasama Jepang dan NASA, Landsat 7 ETM+ milik AS), 250-500 meter (MODIS milik Jepang) hingga 1,1 km (NOAAAVHRR milik Amerika Serikat). Curah hujan merupakan salah satu variabel iklim yang akan terpengaruh jika terjadi perubahan penggunan lahan akibat urbanisasi. Perubahan tersebut tidak hanya meliputi jumlah atau intensitas (kuantitas), juga meliputi aspek kualitas. Tabel 1.3. memperlihatkan perbedaan curah hujan di daerah kota dan desa dari penelitian yang pernah ada (Landsberg, 1981).
Jumlah
data atau
panjang tahun yang digunakan dalam penelitian tersebut tidak sama, tetapi memperlihatkan adanya perbedaan curah hujan tahunan antara kota dan desa di negara-negara lintang tinggi di belahan bumi utara. Terdapat perbedaan sampai 11% curah hujan tahunan yang turun di desa dan kota. Penelitian Avia (tanpa tahun) di Jakarta juga memperlihatkan bahwa curah hujan selama periode 19012002 terlihat kecenderungan positif tetapi tidak signifikan, dimana kecenderungan positif di musim hujan (DJF) tampak lebih besar dibandingkan pada musim kemarau (JJA) Tabel 1.3. Perbedaan presipitasi tahunan antara kota dan desa Lokasi
Panjang tahun data
Presipitasi (mm)
Sumber
Desa
Perbedaa n (%)
Kota
Moscow
17
605
539
+11
Bogolopow, 1928
Urbana, Illinois
30
948
873
+9
Changnon, 1962
Munich, West Germany
30
906
843
+8
Kratzer, 1956
Chicago, Illinois
12
87
812
+7
Changnon, 1961
St Louis, Missouri
22
876
833
+5
Changnon, 1969
Sumber : Landsberg (1981)
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul “Karakteristik Spasio-Temporal Curah Hujan di Daerah Perkotaan Yogyakarta Sebagai Fungsi Penutup Lahan” sebagai judul penelitian disertasi ini.
6
1.2.
Perumusan Masalah Permasalahan yang umum terjadi di daerah perkotaan adalah perubahan
penggunaan lahan ataupun penutupan lahan selaras perkembangan suatu kota untuk memenuhi kebutuhan penghuninya. Perubahan penggunaan lahan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia dapat mempengaruhi iklim di perkotaan tersebut. Perubahan penggunaan lahan yaitu perubahan penutup lahan di interface antara permukaan tanah dan atmosfer, mempengaruhi iklim melalui perubahan albedo permukaan, kekasaran permukaan, dan hidrologi tanah serta panas permukaan. Perubahan-perubahan ini akan menghasilkan perubahan radiasi matahari di permukaan bumi dan fluks radiasi gelombang panjang, fluks dari momentum dan panas laten (Gao, 2003). Tabel 1.4 memperlihatkan perubahan nilai radiasi gelombang panjang atau radiasi bumi di daerah kota dan desa. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa radiasi bumi berupa gelombang panjang yang diserap (QL↓) dan dipancarkan di daerah perkotaan lebih besar dibandingkan di daerah perdesaan. Tabel 1.4. Radiasi gelombang panjang antara kota dan desa di Montreal QL↑ QL↓ QN Kota
-40,1
31,3
-8,8
Desa
-38,2
29,8
-8,4
Δu-r
1,9
1,5
+0,4
Sumber : Oke and Fuggle (1972) dalam Landsberg (1981)
Meskipun kota dan daerah sekitarnya terletak di dalam satu wilayah dengan kesamaan data meteorologi, tidak jarang bahwa kota menunjukkan perbedaan iklim. Menurut Prawiro (1983) iklim merupakan hasil interaksi berbagai variabel cuaca seperti radiasi matahari, suhu udara, tekanan udara, kelembapan udara, curah hujan, dan angin, yang berjalan di suatu wilayah. Kota yang besar merupakan enklave atau kantong yang mempunyai perbedaanperbedaan iklim dengan daerah sekitarnya. Ada 5 (lima) faktor fisik kota yang mempengaruhi unsur-unsur cuaca dan iklim kota, yaitu materi kota, struktur kota, pembangkitan panas di dalam kota, lekas perginya air hujan dan udara kota.
7
Menurut Tjasyono (2004), ada tiga cara manusia mempengaruhi sistem iklim, pertama dengan merubah komposisi atmosfer misalnya buangan asap industri dan kendaraan bermotor ke dalam atmosfer. Data tahun 1999-2001 memperlihatkan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta seperti yang disajikan Tabel 1.5. Peningkatan terbesar kendaran bermotor adalah sepeda motor yaitu 10,3%, sedangkan kendaraan bus mengalami penurunan sebesar 20,9%. Secara keseluruhan terjadi peningkatan pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta selama tahun 1999-2001. Tabel 1.5. Pertumbuhan kendaran bermotor di Kota Yogyakarta tahun 1999 dan 2001 No Jenis kendaraan Jumlah kendaraan 1999
2001
Pertumbuhan (%)
1
Sedan dan station wagon
29.091
29.797
+2,4
2
Truk
10.385
11.441
+10,1
3
Bus
1.178
932
-20,9
4
Sepeda motor
152.800
68.468
+10,3
Jumlah 193.454 Sumber : Yogyakarta dalam angka (BPS, 2002)
201.456
+4,1
Cara yang kedua adalah menambah panas pada sistem atmosfer misalnya buangan panas dari pembangkit listrik dan penyerapan panas pada siang hari melalui jalan aspal atau bahan bangunan. Radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi akan diserap dan dipantulkan kembali ke atmosfer, maka emisi yang dikeluarkan akan semakin kecil. Rasio antara radiasi yang dipantulkan ke atmosfer dan diserap permukaan bumi dinamakan albedo. Semakin besar nilai albedo, maka semakin besar radiasi yang dipantulkan, maka akan semakin kecil pelepasan panas. Tabel 1.6 memperlihatkan albedo beberapa permukaan bumi. Albedo tertinggi adalah salju yaitu sebesar 0,4-0,95 artinya dari sejumlah radiasi yang masuk ke bumi maka 40-95% akan dikembalikan ke atmosfer, hanya 5-60 % yang diserap. Fenomena ini yang menyebabkan salju dan bentuklahan asal glasial tetap ada sepanjang tahun. Tanah dan aspal mempunyai albedo yang kecil, (0,050,04 dan 0,05-0,1) artinya tanah dan aspal menyerap radiasi matahari yang tinggi. Akibatnya panas yang terdapat di daerah perkotaan akan bertambah. Perubahan
8
penutup lahan seperti Gambar 1.2. menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan dari alami menjadi permukiman padat akan meningkatkan panas.
Tabel 1.6. Nilai albedo pada beberapa jenis penutup lahan Jenis permukaan
Albedo
Jenis permukaan
Albedo
Tanah
0,05-0,04
Aspal
0,05-0,1
Pasir
0,20-0,45
Atap gelap
0,08-0,18
Rumput
0,16-0,26
Atap terang
0,3-0,5
Hutan
0,05-0,15
Batuan
0,2-0,4
Salju Sumber : Oke (1997)
0,40-0,95
Dinding
0,17-0,27
Ketiga mengubah karakteristik permukaan bumi, misalnya sawah diubah menjadi lahan permukiman ataupun perdesaaan berubah menjadi perkotaan. (Gambar 1.2).
Gambar 1.2. Perubahan lahan alami menjadi lahan terbangun
Bahkan menurut Nagle dan Spencer (1997), dalam bukunya Advanced Geography : Revision Handbook, struktur udara di atas wilayah kota mengandung jumlah debu yang lebih banyak sehingga dapat meningkatkan jumlah partikel higroskopik. Akibatnya jumlah uap air berkurang dibandingkan kandungan karbondioksida yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Perubahan penggunaan lahan di kota juga menyebabkan perubahan struktur permukaan kota. Di kota terdapat lebih banyak material yang menyimpan panas dengan albedo
9
yang lebih rendah dan bersifat lebih baik dalam menyerap radiasi. Permukaan yang kasar dengan variasi sudut jatuh yang besar akan menimbulkan aspek yang berbeda-beda. Bangunan-bangunan bertingkat lebih terekspos, sedangkan jalanan di bawahnya akan terlindungi dan tertutup bayangan. Proses perubahan penggunaan lahan mulai terjadi di kota-kota di Indonesia termasuk Yogyakarta. Luas Kota Yogyakarta (administrasi) 3248 ha, tetapi luas daerah terbangun di sekitar Kota Yogyakarta lebih luas lagi. Wilayah ini disebut sebagai daerah perkotaan Yogyakarta dari segi morfologi fisik (Yunus, 2000). Menurut Yunus (2000), dari tahun 1950 hingga tahun 2000-an kota Yogyakarta telah mengalami perubahan dari over bounded city menjadi under bounded city. Perubahan morfologi fisik kota inilah yang menjadi dasar analisis perubahan penggunaan ataupun penutup lahan daerah penelitian. Jumlah penduduk di perkotaan Yogyakarta telah mengalami peningkatan. Jumlah kendaraan bermotor juga mengalami peningkatan. Fenomena
perubahan penggunaan lahan dan
penutup lahan juga mulai terjadi di perkotaan Yogyakarta. Landsberg (1981) juga mengemukakan bahwa hujan meningkat di daerah perkotaan dan sekitarnya. Peningkatkan jumlah hujan tersebut disebabkan oleh adanya fenomena urban heat island yang akan meningkatkan proses keawanan; adanya obstacle effect yang menghambat progres dari sistem cuaca sehingga awan yang tercipta di daerah kota bergerak secara lambat dan produk polusi yang dapat meningkatkan nucleus kondensasi. Di perkotaan juga terdapat suatu darah sempit yang mempunyai suhu tertinggi yang disebut sebagai zone angin tenang (zone of doldrum). Pada zone ini terjadi pemanasan yang berlebih sehingga udara akan lebih panas dan ringan sehingga akan mengalami penaikan (uplift). Dengan naiknya udara yang mengandung uap air ini, maka daerah ini akan lebih banyak terjadi pembentukan awan, dan tentunya hujanpun akan lebih besar. Peningkatan curah hujan di daerah perkotaan juga didorong oleh banyaknya polutan, sehingga analisis hujan tidak hanya secara kuantitatif juga perlu analisis kuantitatif. Dampak yang mungkin timbul adalah perubahan secara spasial dan temporal curah hujan yang ada di Kota Yogyakarta dan sekitarnya atau daerah perkotaan Yogyakarta, sehingga pertanyaan yang muncul adalah 1) bagaimanakah
10
sifat curah hujan di daerah perkotaan secara keruangan dan waktu?, 2) bagaimanakah kualitas air hujan di daerah perkotaan?, dan 3) bagaimanakah hubungan dan pengaruh penutup lahan di daerah perkotaan terhadap curah hujan? 1.3.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan, baik secara ilmiah
maupun terapannya. Kegunaan ilmiah atau teoritis dari penelitian ini adalah pada upaya pengembangan ilmu
mengenai perubahan curah hujan yang terjadi di
daerah kekotaan. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan teori-teori baru di bidang iklim mikro khususnya iklim di daerah perkotaan. Kegunaan terapan dari penelitian ini adalah dengan pemahaman yang baik terhadap hasil penelitian, maka diharapkan akan terwujud kebijakan tentang pengelolaan tata ruang kota yang lebih baik . Tata ruang kota yang baik dengan memperhatikan aspek atmosfer diharapkan akan menciptakan iklim yang nyaman bagi masyarakat. 1.4.
Keaslian Penelitian Penelitian mengenai karakteristik curah hujan telah banyak dilakukan
terutama pada skala global ataupun regional. Penelitian-penelitian ini banyak dilakukan di negara-negara maju dengan ketersediaan data meteorologi yang sangat baik. Penelitian-penelitian yang ada terutama mengkaji daerah-daerah beriklim subtropik ataupun humid (cold ataupun temperate), daerah beriklim tropik sangat jarang diteliti. Kirono, dkk (2004) pernah meneliti tentang pengaruh kota atau urbanisasi terhadap hujan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ada, maka keunggulan penelitian ini dari penelitian sebelumnya, antara lain penggunaan citra untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di kota dan analisis struktur dan permukaan kota. Selain itu, walaupun penelitian ini juga mengutamakan curah hujan sebagai acuan penelitian, tetapi beberapa anasir iklim yang terkait, tetap dibahas. Selain membahas karakteristik kuantitas curah hujan, penelitian ini juga membahas kualitas air hujan.
11
1.5.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan curah
hujan yang terjadi di daerah perkotaan Yogyakarta, baik secara keruangan (spasial) maupun waktu (temporal) beserta kualitasnya. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka ada beberapa tujuan khusus yang akan dicapai, yaitu : 1. Menganalisis sifat curah hujan secara spasial dan temporal di daerah perkotaan Yogyakarta, 2. Menganalisis
kandungan kimia air hujan yang jatuh di daerah perkotaan
Yogyakarta, 3. Menganalisis hubungan dan pengaruh penutup lahan terhadap curah hujan di daerah perkotaan Yogyakarta.
12