BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui oleh garis khatulistiwa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Keanekaragaman hayati tersebut meliputi keanekaragaman flora dan fauna yang tersebar di darat maupun di laut (Nybakken, 1992). Perairan Indonesia memiliki 3 ekosistem pesisir penting yang meliputi ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem bahari tersebut, dimana terjadi interaksi timbal balik yang saling mendukung. Secara fisik ekosistem mangrove memiliki peran sebagai pelindung daratan dari abrasi dan intrusi air laut serta menjadi tempat berlindung bagi banyak biota laut. Ekosistem lamun secara fisik memiliki peran mengurangi gelombang, menstabilkan substrat sehingga mengurangi kekeruhan, menjebak zat hara, serta menjadi tempat bertelur, memijah, mencari makan dan membesarkan juvenil bagi biota laut. Sedangkan terumbu karang sendiri berperan mengurangi energi gelombang, juga memperkokoh daerah pesisir secara keseluruhan dan menjadi habitat bagi banyak organisme laut (Helmi, 2008). Lamun merupakan tumbuhan laut yang berbentuk seperti rumput namun memiliki akar, rhizoma dan daun sejati. Kelebihan inilah yang dimiliki lamun yang tidak dimiliki oleh rumput laut sebagai tumbuhan yang ada di laut. Lamun biasanya tumbuh terbenam di laut dan umumnya membentuk sebuah padang atau hamparan yang luas sehingga di sebut padang lamun (Steven, 2013). Secara ekologi, lamun memiliki peranan yang penting dalam ekosistem perairan laut. Lamun berfungsi sebagai penyedia makanan, penangkap sedimen, tempat berlindung, berpijah, dan tempat mencari makan bagi biota-biota laut yang berasosiasi dengan lamun itu sendiri. Karena fungsi lamun yang belum banyak
1
2 diketahui oleh masyarakat luas, maka keberadaan lamun sering terabaikan. Kerusakan lamun di Indonesia biasanya banyak tersumbang dari aktivitas manusia seperti pembuangan limbah organik maupun non organik langsung ke laut, aktivitas perahu nelayan, penangkapan ikan yang tidak menggunakan alat yang ramah lingkungan, dan lain-lain (Tangke, 2010). Upaya pemulihan terhadap kerusakan padang lamun masih jarang dilakukan. Salah satu alternatif dalam upaya konservasi ekosistem lamun adalah melalui tranplantasi lamun. Metode ini dapat mengimbangi tingkat kerusakan lamun baik fisik ataupun fisiologi yang terjadi begitu cepat. Jika tingkat kerusakan ini dapat diimbangi, maka secara tidak langsung dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir. Berbagai biota ekonomis penting yang berasosiasi, seperti teripang, bintang laut, bulu babi, kerang, udang, ikan karang, dan kepiting dapat dijadikan komoditi tangkapan unggulan (Bengen, 2001). Pada penelitian ini teknik transplantasi yang digunakan yaitu metode plug. Dimana metode plug adalah pengambilan bibit lamun secara utuh menggunakan linggis atau sekop dan kemudian ditanam pada kerapatan dan substrat yang berbeda di setiap stasiunnya. Penanaman lamun dengan kerapatan dan substrat yang berbeda disini bertujuan untuk melihat perbedaan laju pertumbuhan lamun yang dihasilkan dari metode penanaman tersebut (Kiswara, 1992). Selain itu sebagai data penunjang, penelitian ini juga menguji kandungan metabolit sekunder yang terkandung pada daun lamun Enhalus acoroides hasil dari transplantasi dengan metode fitokimia. Kandungan metabolit sekunder yang diujikan yaitu alkaloid, flavonoid, triterpenoid, steroid, fenolik, saponin dan tanin. Setelah mendapatkan kandungan metabolit sekunder tersebut kemudian nantinya bisa dilakukan penelitian lanjutan untuk memanfaatkan potensi yang ada di dalam lamun jenis Enhalus acoroides tersebut. Bintan merupakan bagian dari Kepulauan Riau yang memiliki ekosistem lamun yang terbilang cukup baik dan luas. Luas padang lamun yang dimiliki sekitar 2500 Ha yang terletak di pesisir timur Bintan. Jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Bintan terdiri dari 10 spesies diantaranya Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serullata, Halodule pinifolia, Halodule
3 uninervis, Halophila ovalis, Halophila spinolosa, Syringodium isotifolium, Thalassia hemprichii, dan Thalasodendron ciliatum (Salomo, 2011). Sumberdaya lamun yang paling mendominasi di lokasi penelitian adalah Enhalus acoroides, Hal ini dikarenakan tipe substrat di lokasi penelitian dominan pasir berlumpur yang merupakan habitat yang paling cocok untuk Enhalus acoroides (Bengen, 2001). Daerah Bintan merupakan daerah pariwisata yang banyak melakukan pembangunan resort-resort dan tempat makan pinggir pantai yang sewaktu-waktu limbahnya atau pembangunan tersebut bisa mengorbankan daerah padang lamun. Maka daripada itu diperlukannya antisipasi dalam melindungi ekosistem padang lamun supaya tetap terjaga kelestariannya. Upaya rehabilitasi lunak seperti sosialisasi kepada masyarakat tentang lamun dan pembentukan daerah konservasi lamun sudah dijalankan, namun untuk rehabilitasi keras seperti transplantasi lamun belum pernah dilakukan. Pernyataan ini dikarenakan kurangnya pemahaman dalam teknik mentransplantasi lamun tersebut (BAPPEDA Bintan, 2010). Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides hasil transplantasi dengan kerapatan dan substrat yang berbeda. Nantinya apabila penelitian ini berhasil maka bisa dijadikan objek ekowisata padang lamun di daerah tersebut. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. Sejauhmana laju pertumbuhan daun lamun Enhalus acoroides hasil transplantasi pada kerapatan dan substrat yang berbeda. 2. Sejauhmana kelangsungan hidup lamun Enhalus acoroides hasil transplantasi pada kerapatan dan substrat yang berbeda. 3. Metabolit sekunder apa saja yang terkandung di dalam daun lamun jenis Enhalus acoroides dari hasil tranplantasi tersebut.
4 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui laju pertumbuhan daun lamun Enhalus acoroides hasil transplantasi pada kerapatan dan substrat yang berbeda. 2. Untuk mengetahui kelangsungan hidup lamun Enhalus acoroides hasil transplantasi pada kerapatan dan substrat yang berbeda. 3. Untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder daun lamun Enhalus acoroides dari hasil transplantasi tersebut. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai teknik transplantasi lamun Enhalus acoroides dengan menggunakan metode plug yang dapat menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup terbaik pada kerapatan dan substrat yang berbeda. Selain itu hasil dari kandungan metabolit sekunder yang sudah didapat kemudian nantinya bisa di eksplor lagi untuk menunjang potensi yang ada di dalam lamun jenis Enhalus acoroides tersebut, serta dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait mengenai pengelolaan daerah percontohan lamun dalam upaya pelestarian ekosistem lamun dan kawasan pesisir di pulau tersebut. 1.5 Pendekatan Masalah Lamun (Seagrass) mempunyai peranan sebagai produsen primer dan mempunyai 3 fungsi utama di daerah estuaria dan ekosistem dekat pantai yaitu sebagai sumber makanan, habitat, dan sebagai stabilisator sedimen. Lamun juga memegang peranan penting pada fungsi-fungsi biologis dan fisik dari lingkungan pesisir pantai. Disamping itu, ekosistem lamun mempunyai peran penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal (Azkab,1988). Karena fungsi lamun tidak banyak dipahami, maka banyak padang lamun yang rusak oleh berbagai aktivitas manusia. Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia mengalami kerusakan sekitar 30-40% (Kiswara, 1994). Menurut Sumadhiharga (2009)
5 kondisi padang lamun di seluruh lautan Indonesia sekitar 75-90% rusak, terutama di daerah pelabuhan, di Bintan (Kepulauan Riau) pembangunan resort pariwisata di pantai banyak yang tidak mengindahkan garis sempadan pantai, pembangunan resort banyak mengorbankan padang lamun (Kawaroe, 2008) Daerah estuaria dan wilayah pantai pesisir di beberapa tempat di indonesia telah banyak mengalami kerusakan akibat proses pembangunan, seperti pembangunan pelabuhan, dermaga, pusat-pusat tenaga listrik, penambangan minyak, pariwisata dan lain-lain. Hal ini tentunya akan mengakibatkan rusaknya daerah atau habitat yang kebetulan adalah daerah padang lamun. Sekali suatu padang lamun rusak atau hilang, maka sering kali sulit untuk direhabilitasi (Foseca, 1987). Oleh karena itu perlu adanya usaha rehabilitasi yang salah satunya adalah dengan cara transplantasi lamun atau penanaman lamun. Penelitian transplantasi lamun telah dimulai pada tahun 1947 dengan tujuan untuk restorasi habitat di daerah Woods Hole, Massachusets (Addy, 1947). Penelitian mengenai transplantasi lamun di Indonesia telah dilakukan oleh Azkab pada tahun 1987 dan 1988 di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu pada jenis
Cymodocea
dan
Thalassia
dengan
menggunakan
empat
metode
transplantasi, yaitu metode Plug, Sod (Turf), Sprig dan Anchor. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa metode plug memiliki tingkat keberhasilan tertinggi. Metode transplantasi terbaik yang dapat digunakan untuk tranplantasi lamun adalah metode plug dengan nilai sintasan pada kedua jenis lamun sebesar 100% (Kawaroe, 2008). Pada tahun 2007 Balai Taman Nasional Pulau Seribu telah melakukan kegiatan rehabilitasi lamun dengan penanaman lamun di rataan terumbu Pulau Pramuka menggunakan meode plug yaitu penanaman lamun termasuk daun, akar dan rhizome beserta substratnya yang utuh. Metode ini baik digunakan untuk semua jenis lamun karena meminimalisasi stress pada akar dan rhizome lamun (BTNKpS, 2007). Pertumbuhan lamun dibatasi oleh suplai nutrien antara lain partikulat nitrogen dan fosfat yang berfungsi sebagai energi untuk melangsungkan fotosintesis. Pertumbuhan daun rata-rata untuk jenis Enhalus acoroides sebesar
6 16,89 mm/hari dan Thallasia hemprichii sebesar 4,51 mm/hari untuk daun lama. Perbedaan komposisi jenis substrat dapat menyebabkan perbedaan komposisi jenis lamun dan juga dapat mempengaruhi perbedaan kesuburan dan pertumbuhan lamun. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa perbedaan komposisi ukuran butiran pasir akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi dan mineralisasi yang terjadi di dalam substrat (Kiswara, 1992). Pada penelitian dosen muda Universitas Diponegoro menyatakan bahwa Enhalus acoroides mengandung senyawa alkaloid yang bersifat bioaktif sebagai antibakteri terhadap keempat bakteri uji (Wilis Ari Setyati dkk, 2005). Morfologi dan anatomi dari beberapa jenis lamun berbeda-beda, sehingga sangat mempengaruhi potensi dari kandungan senyawa bioaktif yang ada pada beberapa jenis lamun. Menurut Rumiantin (2011) adanya kandungan senyawa flavonoid dan fenol hidrokuinon pada daun Enhalus acoroides, sedangkan Elizabeth (2012) menemukan senyawa steroid pada akar Enhalus acoroides. Dengan kondisi tingkat asosiasi dari padang lamun yang tinggi menyebabkan lamun akan cenderung untuk mengeluarkan metabolit sekundernya untuk melindungi diri dari pemangsa (Haris et al., 2012).