BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pendidikan dan kemanusiaan adalah dua hal yang saling berkaitan, pendidikan selalu berhubungan dengan tema-tema kemanusiaan. Artinya pendidikan diselenggarakan dalam rangka memberikan peluang bagi pengakuan derajat kemanusiaan. Berdasarkan fungsi dan tujuan tersebut maka setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti tertuang dalam UU RI no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 ayat 1 bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini berarti suatu satuan pendidikan yang diselenggarakan tidak membedakan jenis kelamin, suku, ras dan kedudukan sosial serta tingkat kemampuan ekonomi, dan tidak terkecuali juga kepada para penyandang cacat. Khusus bagi para penyandang cacat disebutkan dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 2 bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Pendidikan khusus yang dimaksud adalah pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa mempunyai tujuan seperti yang termuat dalam Peraturan Pemerintah no 72 tahun 1991 pasal 2 yaitu “Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan”. Pendidikan luar biasa diberikan kepada warga negara yang memiliki kelainan fisik ataupun kelainan mental agar nantinya bisa kembali bersosialisasi ke masyarakat secara normal. Namun dalam kenyataannnya presentase anak cacat yang mendapatkan layanan pendidikan jumlahnya sangat sedikit.
1
2
Tabel 1.1 Jumlah persentase penyandang cacat di Jakarta
Jenis kecacatan Mata/Netra Rungu/Tuli Wicara/Bisu Bisu/Tuli Tubuh Mental/Grahita Fisik dan mental/Ganda Jiwa Jumlah total
Jumlah (%) 15.93 10.52 7.12 3.46 33.75 13.68 7.03 8.52 100.0
Sumber: BPS, SUSENAS 2012
Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik), Jakarta mempunyai 8.690 orang penyandang disabilitas dan diantaranya terdapat 1.071 orang penyandang tunanetra, dari jumlah tersebut 488 orang di antaranya merupakan kelompok anak berusia sekolah dari umur 6 – 19 tahun. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta sendiri memiliki 93 sekolah luar biasa yang diantaranya terdapat 2 sekolah untuk tunanetra dan 91 sekolah untuk sekolah penyandang cacat lainya seperti yang tertera pada tabel 1.2. Tabel 1.2 Jumlah Sekolah Menurut Ketunaan di Beberapa Provinsi No.
Provins i
Tuna Netra A
Tuna Rungu B
Tuna Grahita C
Tuna Daksa D
Tuna Laras E
1
DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyak arta Jawa Timur
2
11
35
-
1
5
38
93
13
25
56
-
-
69
163
326
6
2 21
3 35
35 2
2 2
2 33
17 62
37 164
2
4
8
-
1
11
-
65
11
49
88
5
5
102
175
438
2 3 4 5.
6
Tuna Ganda G
Camp uran
Jml
Sumber: Depdikbud 2010/2011
Data diatas menyebutkan bahwa sekolah untuk tunanetra atau SLB-A menjadi jumlah yang paling sedikit dengan memiliki jumlah penyandang cacat netra terbanyak dibanding dengan penyandang cacat lainnya. Selain itu populasi kelahiran orang tuna netra meningkat dari tahun ke tahun seperti yang tertera pada table 1.1. Berdasarkan survei pada sekolah SLB-A Pembina Jakarta dan Studi Literatur pada SLB-A Elsafan masing-masing sekolah
3 tersebut hanya tersedia sekitar 40 kelas yang merupakan gabungan dari SDLB, SMPLB, SMALB dan masing-masing kelasnya hanya dapat menampung rata-rata 3 siswa. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah proses belajar mengajar
siswa yang mengalami keterbatasan dalam
menerima pelajaran. Dari data tersebut dapat di asumsikan 240 siswa yang tertampung dari 488 anak tunanetra usia sekolah dan terdapat 248 anak lainnya
yang tidak dapat tertampung oleh
pihak sekolah karena
keterbatasannya jumlah ruangan. Dengan begitu dapat di ambil kesimpulan bahwa hanya setengah jumlah anak penyandang tunanetra yang dapat tertampung oleh sekolah di Jakarta. Oleh karena itu pembangunan sekolah perlu dilakukan guna untuk menampung anak-anak yang tidak tertampung dan tidak mendapatkan pendidikan.
Gambar 1.1 Jumlah Anak Usia Sekolah Tunanetra Dari tahun 2007 sampai 2013 Sumber: DEPSOS 2007-2013
Dengan pendidikan yang rendah dan ketiadaan keterampilan, membuat mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan sehingga bermunculan fenomena yang sering kita lihat disekitar seperti tunanetra menjadi tukang kerupuk, pengamen, bahkan sampai pengemis. Adapun usaha penanganan yang dilakukan oleh pemerintah untuk pemenuhan akan adanya fasilitas khusus bagi penyandang tunanetra yaitu dalam bentuk memperbanyak Sekolah Luar Biasa Bagian A yang juga menerima siswa double handicap atau siswa yang memiliki ketunaan ganda dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Menurut Kepala Sekolah SLB Dharma Asih Surabaya yang dikutip dari Surya Online sebuah website berita di Surabaya, diantara siswa lain
4 siswa tunanetra lah yang paling mengalami kesulitan untuk mengikuti proses pembelajaran karena sedikitnya pengetahuan mereka terhadap lingkungan sekitar dan faktor sebagian orangtua yang merasa malu atau tidak ingin repot untuk mengenalkannya terhadap sesuatu yang mereka tidak ketahui. Berdasarkan hal tersebut mereka membutuhkan perlakuan dan kebutuhan ruang yang lebih memfasilitasi mereka pada proses pembelajaran sejak dini. Berdasarkan wawancara dengan beberapa siswa SLB-A Pembina Jakarta tidak sedikit dari mereka yang tetap bersekolah di sekolah tersebut untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Adanya jenjang sekolah dari SDLB hingga SMALB juga dapat mempermudah guru untuk mengenal karakteristik siswa sehingga dapat membantu proses belajar. Dari hasil studi banding mengenai fasilitas, diakui masih terdapat kekurangan terutama dari segi aksesibilitas, kenyamanan, dan aspek-aspek arsitektural lainnya yang merespon perilaku tunanetra. Padahal dengan keterbatasan yang mereka miliki tentu sangat berdampak pada pemenuhan fasilitas dan perancangan arsitektural khusus yang menunjang prilaku dan aktivitas akademis mereka. Hal inilah yang dirasakan kurang menjadi perhatian bagi perancangan sebuah kompleks pendidikan bagi siswa tunanetra. Berdasarkan
pertimbangan
kebutuhan
dan
keinginan
untuk
menciptakan sebuah fasilitas pendidikan yang ideal dengan metode pendekatan prilaku sesuai untuk mengetahui kebutuhan apa yang mereka butuhkan sehingga tercipta ruangan yang dapat menyesuaikan dengan perilaku yang mereka lakukan di lingkungan sekolah sehingga terjadinya hubungan yang harmonis antara fungsi ruang dengan penggunanya yang nantinya juga dapat lebih memandirikan dan memberdayakan para siswa dengan keterbatasan penglihatan yang dimiliki. Pemilihan tapak berada di daerah Jakarta Barat, tepatnya di jalan Kebon Raya, Kebun Jeruk. Daerah tersebut merupakan wilayah pendidikan yang didukung oleh sarana transportasi umum yang berguna bagi kemandirian siswa untuk menggapai sekolah, juga terdapat beberapa sekolah dan diantaranya adalah sekolah inklusi SMPN 191 Jakarta Barat, dekatnya jarak antar sekolah tersebut mempermudah siswa yang sudah dapat melanjutkan ke jenjang sekolah normal untuk bermobilitas dengan
5 menggunakan jalan yang sudah biasa mereka lewati sebelumnya. Kawasan tersebut merupakan kawasan hunian atau komplek perumahan warga sekitar yang tidak begitu banyak lalu lalang kendaraan, sebelumnya tapak digunakan untuk SD Duri Kepa 10 Pagi yang sudah pindah ke lahan sebelah dan sekolah lama dibiarkan tidak terawat. Kondisi tersebut baik untuk tingkat keamanan siswa dalam menggapai sekolah saat berjalan kaki. Selain itu menurut BPS Jakarta Barat merupakan kawasan terbanyak jumlah populasi penyandang disabilitas tunanetra. 1.2.
Rumusan Masalah Uraian yang sudah dijelaskan menghasilkan rumusan permasalahan yang diangkat menjadi bahan penelitian, yaitu 1.
Bagaimana memberikan tempat dan fasilitas yang dapat melatih kemandirian siswa tunanetra dalam melakukan kegiatannya sendiri?
1.3.
Tujuan Adapun tujuan dari penelitian adalah 1. Memfasilitasi pendidikan khusus kepada siswa tunanetra, seperti ruangruang yang responsif terhadap kegiatan yang akan ditampung, serta karakter dan perilaku penyandang tunanetra dengan lengkap, nyaman, dan aman, guna pencapaian pendidikan khusus yang berkualitas. 2. Membuat kawasan sekolah khusus yang akan melatih mereka menjadi lebih mandiri dan aktif, dengan indera lain yang mereka miliki. 3. Tercapainya pengurangan angka anak-anak tunanetra yang belum bersekolah yang ada di Jakarta.
1.4.
Ruang Lingkup Adapun lingkup perancangan dalam Sekolah Luar Biasa Tunanetra agar memberikan batasan permasalahan, penelitian ini difokuskan pada 1. Aksesbilitas pada Sekolah Luar Biasa Tunanetra yang dapat mendukung siswa melakukan aktifitas dilingkungan tersebut. 2. Fasilitas Sekolah Luar Biasa Tunanetra yang dapat memberikan kemudahan dalam proses belajar mengajar seperti sirkulasi ruang, fungsi ruang dan elemen ruang berdasarkan perilaku siswa.
6 1.5.
State of The Art (Tinjauan Pustaka) Tinjauan pustaka merupakan hasil rangkuman beberapa penelitian atau artikel yang telah ada yang berkenaan dengan sekolah untuk anak yang berkebutuhan khusus. Ann Heylighen tahun 2011 “Haptic design research” berdasarkan perilaku tunanetra yang sangat mengandalkan indra perabanya kualitas haptic dalam lingkungan binaan berhubungan dengan permukaan, karakteristik bentuk dan material pada permukaan furniture sangat membantu untuk menunjukan arah ruangan yang ingin dituju. Sholahuddin tahun 2009 “Setting Ruang dan Pengaruhnya terhadap Perilaku Penyandang Disabilitas” Perabot yang ergonomis sesuai dengan antropometri
tubuh penyandang cacat dan penataan perabot yang
menyediakan area sirkulasi bagi semua penyandang cacat tubuh memberi pengaruh pada aksesibilitas di setting ruang. Dari segi perilaku, penyandang cacat melakukan penyesuaian (adjusment) terhadap kekurang aksesibelan pada ukuran dan bentuk perabot serta penataannya. Narulita Anugrahing Widi tahun 2013 “Penerapan Aksesibilitas pada Desain Fasilitas Pendidikan Sekolah Luar Biasa” Penerapan aksesibilitas yang ada pada detail bangunan fasilitas pendidikan dapat dijadikan sebuah tuntunan dalam melaksanakan kegiatan mobilitasnya agar setiap anak berkebutuhan khusus dapat melakukan aktivitasnya secara mandiri. Fidear Morina Puspitasari tahun 2010 “Karakteristik Lingkungan Fisik sebagai Pendukung Mobilitas Siswa Tunanetra di Lingkungan Sekolah Luar Biasa” Berdasarkan perilaku tunanetra dalam melakukan perpindahan fisik konsep informasi menjadi alat bantunya. Indera selain penglihatan sangat diandalkan untuk mendapatkan informasi mengenai lingkungan fisik di sekitarnya seperti elemen non-taktual antara lain: suara lonceng angin, suara air dari kolam pancuran air, dan aroma bunga. Nina Karina Marpaung tahun 2009 “Peranan Orientasi Ruang Sekolah Menengah Tunanetra Bandung” orientasi ruangan yang sederhana dan tidak banyak cabang pada jalan dapat membantu dalam bermobilisasi menuju ruang luar tapak maupun ke ruang dalam bangunan.
7 1.6.
Sistematika Penulisan Sistematika pembahasan adalah hasil penelitian sebelum melakukan proses perencanaan. Berikut adalah bab-bab yang dibahas dalam penyusunan laporan penelitian ini BAB I PENDAHULUAN Pada pendahuluan berisi latar belakang pemilihan judul dan keterkaitan dengan topik dan tema yang diambil, maksud dan tujuan dari penelitian ini, sistematika pembahasan dan kerangka berfikir yang berkembang dalam penelitian ini. BAB II TINJAUAN DAN LANDASAN TEORI Pada tinjauan dan landasan teori berisi teori-teori ataupun definisi apa saja yang peneliti jabarkan untuk mendukung laporan penelitian. Di mulai dari tinjauan umum dan tinjauan khusus dan novelty yang dihasilkan dari penelitian Sekolah Luar Biasa Tunanetra. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab permasalahan berisi mengenai identifikasi permasalahan yang timbul dalam perencanaan Sekolah Luar Biasa Tunanetra ditinjau dari aspek manusia, lingkungan dan bangunannya. BAB IV ANALISA Pada bab analisa akan dibahas dari permsalahan apa saja yang terjadi pada perencanaan bangunan ditinjau dari manusia, lingkungan dan bangunannya. Melalui analisa manusia dan analisa lingkungan dilakukan agar dapat mengetahui permasalah yang ada dan mengidentifikasi pontensi yang dimiliki. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab kesimpulan dan saran menjelaskan apa yang didapatkan dari hasil penelitian dan ingin diterapkan terhadap desain Sekolah Luar Biasa Tunanetra.
8 1.7.
Kerangka Berpikir
JUDUL TUGAS AKHIR Pendekatan Perilaku Terhadap Lingkungan Sekolah Luar Biasa di Jakarta Barat
LATAR BELAKANG Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini berarti suatu satuan pendidikan yang diselenggarakan tidak membedakan jenis kelamin, suku , ras dan kedudukan sosial serta tingkat kemampuan ekonomi, dan tidak terkecuali juga kepada para penyandang cacat.
TUJUAN Memfasilitasi pendidikan khusus kepada siswa tunanetra, seperti ruang- ruang yang responsif terhadap kegiatan yang akan ditampung, serta karakter dan perilaku penyandang tunanetra dengan lengkap, nyaman, dan aman, guna pencapaian pendidikan khusus yang berkualitas.
PERMASALAHAN Bagaimana memberikan tempat dan fasilitas yang dapat mendukung proses pembelajaran siswa tunanetra dan bagaimana memfasilitasi siswa dan guru agar dapat berkerja sama dalam proses pembelajaran terhadap lingkungan sekitar.
ANALISA Analisis permasalahan dari aspek manusia, lingkungan, dan bangunan dengan melengkapi dengan solusi. Selain itu dilengkapi dengan analisis khusus mengenai tema yang di ambil.
KONSEP PERANCANGAN Hasil dari kesimpulan analisis permasalahan
SKEMATIK DESAIN
PERANCANGAN
Gambar 1.2 Kerangka Berpikir
Tinjauan Umum ABK SLB SLB-A Ars.Perilaku Tinjauan Khusus Tunanetra