BAB 1 Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Menikah merupakan peristiwa yang membahagiakan bagi sebagian orang.
Hal senada diungkapkan oleh pasangan artis TS dan MA (Kapanlagi.com,2010), yang mengatakan bahwa mereka merasa bahagia telah membina pernikahan yang sudah menginjak tahun ke-34 dan mengungkapkan bahwa kunci keharmonisan hubungan mereka terletak pada sikap saling menyayangi dan menghormati. Serupa dengan pernyataan tersebut, Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011) mengatakan jika orang yang menikah hidupnya lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tidak menikah. Setiap pasangan yang menikah tentunya menginginkan pernikahannya berjalan mulus tanpa hambatan dan masalah, namun tidak semua pernikahan berjalan dengan mulus. Banyak hambatan dan rintangan dalam menjalani suatu pernikahan, dan tidak sedikit pasangan yang pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka. Beberapa tahun belakangan ini perceraian kian marak di Indonesia dan terus meningkat jumlahnya setiap tahun. Berdasarkan data Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) perceraian di Indonesia dari tahun 2005 sampai 2010 tercatat meningkat hingga 70 persen dan akan terus meningkat 10 persen setiap tahunnya (Republika, 2012). Perceraian di kota Jakarta juga terus mengalami peningkatan. Menurut data yang di paparkan oleh Mahkamah Agung (MA) Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) perceraian di Jakarta meningkat hingga 34 persen dari tahun 2010 hingga 2012. Perceraian pada dewasa madya juga terus mengalami peningkatan, banyak pasangan dewasa madya yang pada akhirnya memilih untuk mengakhiri pernikahannya disaat sudah menikah dalam waktu yang cukup lama. Masa dewasa madya merupakan masa dimana seseorang berada dalam rentang usia 40-65 tahun (Papalia, Olds & Feldman, 2011). Hasil survei menyebutkan bahwa dalam 20 tahun terakhir tercatat lonjakan perceraian dan sekitar sepertiga dari pasangan yang bercerai berusia 46-64 tahun (Avvo, 2012). Data yang dipaparkan oleh Office for National Statistics mengungkapkan bahwa tingkat perceraian tertinggi di Inggris terjadi pada pria dan wanita terjadi di antara usia 40-44 tahun (Ons, 2012).
1
2
Hasil sensus penduduk Jakarta pada tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS), menyatakan bahwa jumlah penduduk dewasa madya yang telah menikah ialah sebanyak 1.885.987 orang, sedangkan jumlah penduduk dewasa madya yang bercerai berjumlah 68.395 orang. Hal tersebut menunjukan bahwa sebanyak 2,7% pernikahan pasangan dewasa madya berakhir dengan perceraian. Beberapa waktu belakangan ini, juga banyak terjadi kasus perceraian di kalangan artis Indonesia yang telah memasuki masa dewasa madya dan telah menikah dalam waktu yang cukup lama. Dalam Vivalife (2013) disebutkan beberapa pasangan artis yang bercerai tersebut diantaranya ialah pasangan artis CM dan HC yang pada akhirnya harus berpisah di usia pernikahannya yang ke-25 tahun, dan pasangan artis LK dengan JM yang memutuskan bercerai pada usia pernikahan mereka yang sudah 27 tahun. Kasus perceraian yang menimpa keluarga artis tersebut sempat mengagetkan sebagian khalayak masyarakat di Indonesia karena pasangan artis tersebut telah membina hubungan rumah tangga dalam waktu yang cukup lama. Kasus perceraian yang juga banyak terjadi pada pasangan dewasa madya belakangan ini memang cukup mengagetkan karena menurut Epstein, Warfel & Johnson (2005) bahwa pasangan yang telah berusia di atas 40 tahun memiliki relationship skill yang lebih baik dibandingkan pasangan yang berusia di bawah 40 tahun. Meninjau dari hal tersebut maka akan muncul pertanyaan apa yang membuat pasangan dewasa madya memilih berpisah dengan pasangannya . Hasil survei mengenai alasan seseorang melakukan gugatan perceraian adalah karena suami/istri merasa diremehkan akibat candaan yang terlalu merendahkan dari pasangannya karena candaan tersebut dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan diri dari suami ataupun istri (Sklonik, 2014). Beberapa hal lainnya yang menyebabkan pasangan dewasa madya mengakhiri pernikahannya menurut Noller, Feeney & Peterson (2007) ialah karena adanya kemandirian ekonomi pada istri, status ekonomi dalam keluarga dan kehidupan keluarga yang dijalani. Hal-hal tersebut sangat mempengaruhi pernikahan dimana aspek ekonomi menjadi salah satu aspek kepuasan di dalam pernikahan. Perceraian sendiri dapat terjadi jika masing-masing pasangan tidak merasakan kepuasan di dalam pernikahannya. Menurut hasil penelitian mengenai kepuasan pernikahan mengatakan bahwa kepuasan pernikahan berubah seiring berjalannya waktu dan kepuasan pernikahan membentuk seperti kurva U, yaitu
3
kepuasan pernikahan mencapai titik terendah saat masa pertengahan pernikahan atau pada saat anak-anak berada pada usia sekolah dan remaja (Noller, Feeney & Peterson, 2007). Karney dan Bradburry (dalam Parker, 2002) mengungkapkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan evaluasi subjektif mengenai kualitas pernikahan yang dilihat dari proses adaptasi masing-masing pasangan. Kepuasan pernikahan menurut Funk & Rogge (2007) adalah suatu proses yang terus berubah dalam menjalankan hubungan dan pernikahan yang ada dilihat dari hasil kualitas hubungan yang dirasakan masing-masing pasangan. Menurut Mackey & O’Brien (dalam Parker, 2002) ada 5 faktor yang mempengaruhi pernikahan agar bertahan lama dan mencapai kepuasan pernikahan yaitu penyelesaian masalah, pengambilan keputusan secara bersama-sama, kualitas komunikasi, adanya rasa kepercayaan, hormat dan pengertian serta kedekatan secara seksual dan fisiologis. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat faktor lain yang ternyata dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu sense of humor. Sense of humor sendiri merupakan cara individu memandang dan berinteraksi dengan dunia melalui hiburan dan merupakan sebuah ciri kepribadian yang stabil dan sebagai variabel perbedaan individu (Martin et al, 2003). Wallestrein & Blakeslee (dalam Parker, 2002), mengatakan bahwa ada 9 hal yang harus dilakukan di dalam pernikahan untuk mencapai pernikahan yang langgeng serta bahagia dan salah satu tugas itu ialah dengan berbagi tawa (humor) di dalam pernikahan. Seorang komedian yaitu TPK mengatakan bahwa salah satu cara untuk mempertahankan kebahagiaan dalam rumah tangganya ialah dengan humor, dalam menjalani kehidupannya berumah tangga TPK selalu menyelipkan canda dan tawa dengan suami (Indosiar, 2012). Selain komedian tersebut, psikolog Roslina Verauli (dalam Femina, 2011) juga mengatakan bahwa ketika pasangan suami istri melibatkan humor dalam kehidupan sehari-hari, setiap masalah seberat apapun akan terasa ringan sebab humor dapat mengendurkan ketegangan. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian
Wallestrein
&
Blakeslee
(dalam
Parker,
2002)
yang
mengungkapkan bahwa humor dapat memberikan koneksi emosional diantara pasangan dan apabila dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari maka akan memperkuat keintiman dan ikatan di antara pasangan. Namun seiring bertambahnya usia ternyata seseorang akan semakin sedikit melakukan candaan maupun tertawa, menurut Dr. Lesley Harbidge (dalam Primetimes, 2014) ketika seseorang mulai memasuki usia 50
4
tahun maka orang tersebut akan mulai kehilangan sense of humor dan hanya akan sedikit tertawa. Dalam penelitian mengenai humor dan pernikahan yang dilakukan oleh Kuiper & Martin (dalam Barelds & Barelds, 2010), dikatakan bahwa sense of humor memiliki peranan yang sangat penting dalam pernikahan, selain itu sense of humor juga berhubungan dengan kualitas dalam pernikahan karena dengan humor dapat membantu pasangan dalam coping terhadap stress, rasa humor memungkinkan adanya komunikasi yang positif antar pasangan serta rasa humor berkolerasi positif dengan self esteem. Hasil penelitian dari Ziv & Gadish (2001), menunjukan bahwa humor merupakan aspek penting bagi suami yang dapat meningkatkan rasa kepuasan di dalam pernikahan. Menurut Gottman, Coan, Swanson & Carrere (dalam Gottman, 2004) mengatakan bahwa penggunaan emosi yang positif seperti humor dan kasih sayang selama konflik di dalam pernikahan adalah salah satu prediktor dalam stabilitas dan kepuasan pernikahan. Selain itu, penelitian pada pasangan dewasa madya dan dewasa akhir yang dilakukan oleh Carstensen, Gottman & Levenson (dalam Gottman, 2004) juga mengatakan bahwa humor dan kasih sayang menjadi karakteristik dalam pernikahan yang bahagia. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Saraglou, Lacour & Demeure (2010), menunjukkan bahwa dimensi dari humor yaitu humor styles berhubungan dengan kualitas hubungan pernikahan. Humor styles merupakan dimensi yang berkaitan dalam penggunaan humor yang terbagi ke dalam 4 jenis yaitu affiliative humor, self enhancing humor, aggressive humor dan self defeating humor (Martin et al, 2003). Affiliative humor merupakan kecenderungan untuk mengatakan hal-hal lucu, menceritakan lelucon, senang menghibur orang secara spontan, self enhancing humor merupakan dimensi humor yang melibatkan pandangan humoris tentang hidup dan memiliki perspektif yang humoris bahkan saat menghadapi tekanan, aggressive humor merupakan kecenderungan menggunakan humor untuk mengkritik atau memanipulasi orang lain sedangkan self defeating humor adalah penggunaan humor yang menghina diri sendiri dengan tujuan menghibur orang lain. Menurut hasil penelitian oleh Saraglou, Lacour & Demeure (2010) yang dilakukan pada pasangan yang masih menikah dan telah bercerai dengan rentang usia 26 hingga 62 tahun, menyebutkan bahwa penggunaan affiliative humor dan self enhancing humor lebih sering digunakan pada pasangan yang masih terikat dalam ikatan pernikahan sedangkan aggressive humor dan self defeating humor lebih sering
5
digunakan pada pasangan yang telah bercerai. Hasil penelitian lainnya yang dikemukakan oleh Hall (2013) yang melakukan penelitian kepada 103 pasangan berusia 19 hingga 75 tahun mengungkapkan bahwa penggunaan affiliative humor dan self enhancing humor pada laki-laki berhubungan positif dengan kepuasan di dalam hubungan jangka panjang. Penggunaan affiliative humor yang sering dilakukan di dalam pernikahan dan jarang menggunakan aggressive humor maka akan menimbulkan kepuasan di dalam pernikahan karena perilaku yang ditunjukan kepada pasangan adalah perilaku yang bersahabat serta menampilkan perilaku yang hangat, bekerjasama dan keintiman diantara pasangan (Saraglou, Lacour & Demeure, 2010). Penggunaan self enhancing humor di dalam pernikahan juga dapat menimbulkan kepuasan dalam pernikahan karena gaya humor tersebut digunakan sebagai regulasi emosi atau sebagai coping terhadap stress dan apabila regulasi emosi dapat dilakukan dengan baik oleh pasangan maka akan semakin memperkecil resiko perceraian (Saraglou, Lacour & Demeure, 2010). Pada penelitian sebelumnya mengenai humor styles banyak yang melakukan penelitian pada rentang usia yang cukup luas yaitu mulai dari usia 26 hingga 62 tahun pada pasangan yang menikah dan sudah bercerai (Saraglou, Lacour & Demeure, 2010) serta pada usia 19 hingga 75 tahun pada pasangan yang menikah maupun yang tidak menikah tetapi tinggal bersama (Hall, 2013). Akan tetapi belum ada penelitian mengenai humor styles dan kepuasan pernikahan pada dewasa madya yaitu individu yang berada pada rentang usia 40 sampai 65 tahun hanya pada pasangan yang masih menikah dan tinggal bersama. Dari fenomena yaitu semakin meningkatnya jumlah perceraian yang dilakukan pada pasangan dewasa madya dan telah menikah dalam waktu yang cukup lama, serta ditemukan bahwa humor merupakan salah satu aspek dalam kepuasan pernikahan dan belum adanya penelitian sebelumnya mengenai humor styles dan kepuasan pernikahan pada dewasa madya, maka peneliti ingin meneliti mengenai penggunaan humor yaitu affiliative humor, self enhancing humor, aggressive humor serta self defeating humor dengan kepuasan pernikahan pada dewasa madya di Jakarta.
6
1.2
Rumusan Permasalahan Dari latar belakang yang telah dijelaskan tersebut, maka dapat disimpulkan
pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah: Bagaimana hubungan antara humor styles dengan kepuasan pernikahan pada pasangan dewasa madya di Jakarta?
1.3
Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini peneliti memiliki tujuan yang hendak dicapai, yaitu:
untuk mengetahui bagaimana hubungan antara humor styles dengan kepuasan pernikahan pada pasangan dewasa madya di Jakarta.