Bab 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Shuji dalam Olson (2006: 197) masyarakat Jepang adalah masyarakat patriarkal. Olson (2006: 125) juga menerangkan bahwa sistem patriarkal adalah suatu sistem dimana para pria lebih dominan dibandingkan para wanitanya di lingkungan pekerjaan maupun di kehidupan rumah tangga. Para pria di Jepang memainkan peranan penting di dalam masyarakat dan mereka cenderung lebih mementingkan pekerjaannya daripada perkawinannya. Pada masa awal pemerintahan Meiji, wanita harus tunduk pada laki-laki. Pada zaman tersebut ketika hendak makan, perempuan harus menunggu sampai para laki-laki selesai. Selain itu, perempuan harus berjalan beberapa langkah di belakang laki-laki. Perempuan harus selalu berbicara dengan hormat ketika menghadapi lawan jenis. Ruang lingkup perempuan diharuskan terbatas hanya pada pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Wanita juga tidak boleh mengenyam pendidikan terlebih mengejar citacita karena dianggap melanggar hukum. Jalan terbuka untuk pendidikan wanita pun sangat minim. Diskriminasi gender tersebut memposisikan kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal tersebut menyebabkan reaksi masyarakat tidak terima dengan perlakuan
tersebut
sehingga,
timbul
gerakan
kaum
perempuan
yang
ingin
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan melalui kontribusi mereka dalam organisasi-organisasi perempuan. Gerakan emansipasi wanita di Jepang tak terlepas dari sejarah perjuangan wanita Jepang dalam memperjuangkan hak–haknya. Sebelum Perang Dunia II, kehidupan wanita sebagai seorang istri sangat dibatasi, dalam arti mereka tidak boleh bekerja di luar rumah dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Kehidupannya hanya berkisar pada melayani suami dan mengurus anak. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II telah memberikan kehidupan baru pada pergerakan emansipasi wanita
1
2
di Jepang, membuat wanita di Jepang mempunyai hak pilih pada pemilu 1946. Bagaimanapun, pergerakan untuk memberi penerangan bagi wanita Jepang telah dimulai sejak awal tahun 1910-an, dan pada tahun 1920 terbentuk New Women’s Association (Asosiasi Wanita Baru) yang telah melahirkan zaman baru pada pergerakan wanita di Jepang (Claremont, Agustus 2005). Persoalan gender yang selalu terlihat adalah kedudukan laki-laki sebagai penguasa telah memarginalkan kedudukan wanita dan seringkali keluar anggapan bahwa wanita hanya bertugas menjalankan kehidupan rumah tangga. Laki-laki tidak menyadari pentingnya kehadiran wanita. Hal inilah yang menimbulkan gerakan pembebasan oleh kaum wanita yang kemudian disebut sebagai feminis. Akan tetapi, gerakan pembebasan ini banyak mendapat tantangan dari kaumwanita yang masih berpandangan konservatif maupun dari kaum laki-laki yang tidak menginginkan kedudukan mereka digugat. Kaum pria yang pada umumnya menolak membiarkan wanita menggeser atau mengambil alih kedudukan mereka, selalu menghambat perjuangan kaum feminis. (Djajanegara, 2003: 7) Feminisme merupakan gerakan yang berawal dari Barat, dimulai dengan adanya industrialisasi dan kelas dalam masyarakat yang memarginalkan kelas perempuan. Munculnya pemikiran-pemikiran tentang wacana feminisme berasal dari masyarakat, agama, dan budaya. Prabasmoro mengatakan, feminisme bukanlah paham yang berdiri sendiri. Pada dasarnya ruang lingkup tentang paham feminisme sangat luas. Ruang lingkup ini meliputi gender dan ketidakadilan gender hingga pemikiran-pemikiran tentang feminisme. Menurut Prabasmoro (2006: 23), pemahaman dasar atas feminisme ini penting untuk melihat dengan lebih bening bahwa feminisme bukanlah semata-mata milik perempuan. Ini berarti wacana feminis bukan hanya menjadi pekerjaan besar wanita, tetapi juga laki-laki. Orang yang mengikuti aliran ini disebut feminis. Artinya, pria maupun wanita yang peduli dan menyadari adanya ketimpangan struktur sosial antara kaum wanita dan pria di masyarakat dapat dikatakan seorang feminis. Feminis Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.Setiap
3
manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Feminsime
liberal
muncul
dari
aliran
pemikiran
politik
liberalisme
membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif. Dalam konteks ini, hal yang dimaksud ialah peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, di dalam akademi, forum, maupun pasar. Mereka menawarkan bahwa masyarakat patriarkal mencampuradukkan seks dan gender, dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan (Tong, 2010: 48-49). Dalam penelusuran memahami feminisme yang terjadi di Jepang, penulis menemukan tokoh-tokoh yang berpengharuh pada zaman dahulu yaitu. Higuchi dan Ichiyo, Yosano Akiko. Yosano Akiko (1878-1942) sebagai penganut paham feminis liberal, Akiko menginginkan kesamaan hak dalam menyuarakan ide dan pikiran di segala bidang, salah satunya mengenai perang. Dan ia berpendapat bahwa Wanita di Jepang berada dibawah kekuasaan kaum pria. Pada tokoh Higuchi Ichiyo, penulis akan memberikan penjelasan kisah singkat hidupnya. Bermula dari seorang tokoh wanita bernama Higuchi Ichiyo (1872-1896). Satusatunya tokoh wanita yang namanya diabadikan di mata uang kertas 5000 yen Jepang. Sebuah penghormatan dan kedudukan yang tak pernah dicapai oleh perempuan Jepang mana pun. Perjalanan hidup mengarahkan Ichiyo menjadi penulis. Menjadi penulis perempuan pada zaman Meiji adalah hal yang hampir mustahil, namun, tekad dan semangat Ichiyo akhirnya membawanya menjadi salah satu penulis yang diperhitungkan di Jepang. Sayang, kesehatan yang terus memburuk akibat penyakit tuberkulosis yang menggerogoti Ichiyo mengantarnya pada ajal di usia belia, 24 tahun. Ironi kehidupan yang dialami Higuchi saat kaum pria yang telah bersikap diskriminatif terhadap tulisannya hanya karena ia seorang wanita, sekarang membanjirinya dengan pujian-pujian dan ajakan bekerjasama. Para penulis yang terdiri dari nama-nama besar dari kalangan sastra zaman Meiji dan bahkan cendekiawan pria paling chauvinistis sekalipun terpaksa mengakui bahwa Higuchi yag adalah seorang
4
wanita merupakan kekuatan sastra yang diperhitungkan dan mereka tidak dapat lagi dengan sombong merendahkannya sebagai seorang wanita yang “bermimpi menjadi penulis” di dunia pria. Pada saat itu tidak ada yang dapat menulis “fiksi realistis” seperti Higuchi Ichiyo. Karya-karyanya mendapatkan banyak pujian oleh karena gaya bahasanya, pemakaian kata, dan alur cerita yang brilian. Adalah sebuah keajaiban bagi masyarakat umum bagaimana seorang wanita muda yang menghadapi penyakit, kemiskinan berkepanjangan, dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal, dapat memiliki pengetahuan ragam bahasa dan kata-kata yang begitu kaya serta menulis dengan emosi, keindahan, dan kedalaman seperti itu. Di akhir hidupnya, barul sajak dan novel-novelnya dibaca dan dihormati oleh warga Jepang. Beratus-ratus tahun kemudian wajahnya diabadikan pada mata uang kertas 5.000 yen Jepang. Sebuah penghormatan dan kedudukan yang tak pernah dicapai oleh perempuan Jepang mana pun. Tidak hanya pada tokoh Higuchi Ichiyo yang mengalami diskriminasi dalam penulisan karena statusnya sebagai perempuan, Bentuk-bentuk diskriminasi dan ketidakadilan sosial yang sama pun dialami oleh Ogino Gin. Dengan mengalami berbagai penindasan, melahirkan sebuah gerakan feminisme yang mengusung kesetaraan gender dan menuntut untuk memperoleh hak yang sama dengan kaum laki-laki. Gin merupakan putri bungsu yang terkenal cantik dan cerdas dari Ayasaburo Ogino, sang kepala desa Tawarase. Sebagai keturunan klan Ashikaga kelas atas, mereka adalah keluarga yang paling dihormati dalam klan tersebut. Hingga zaman modern, akhir abad ke-19, mereka adalah salah satu dari sedikit keluarga petani yang dapat menikmati hak istimewa untuk menyandang pedang. Tiga tahun setelah pernikahan Gin dengan Kanichiro, putra tertua keluarga petani kaya raya Inamura dari Desa Kawakami, tersiar kabar mengenai perceraian Gin, tetapi hanya segelintir orang yang mengetahui bahwa penyebab sebenarnya perceraian itu karena Gin tertular penyakit kelamin dari suaminya. Gin dengan berani menolak kembali kepada suaminya bahkan, Gin tidak menyesal apabila tidak dapat menikah lagi. Hal yang tak lazim pada zaman itu. Gin harus menanggung malu akibat perceraian semakin terpuruk ketika penyakit yang dianggapnya sebagai aib hanya dapat ditangani oleh dokter laki-laki karena saat itu belum ada dokter perempuan di Jepang. Namun,
5
peristiwa itu pula yang memicu Gin bertekad untuk menjadi dokter demi rasa solidaritasnya terhadap sesama perempuan. Pada masa awal pemerintahan Meiji, ketika meraih profesi dokter sangatlah sulit bahkan bagi laki-laki, cita-cita Gin terbilang mustahil. Dengan tekadnya yang bulat, Gin mengubah namanya
menjadi Ginko sebagai simbol perlawanannya terhadap
ketidakadilan yang mendera perempuan, dia berjuang menjadi dokter perempuan pertama di Jepang. Perjuangan hidup yang dialami Ginko sangat berat dengan posisinya sebagai perempuan, kaum tertindas. Berbagai diskriminasi ia terima dari kaum laki-laki. Penindasan-penindasan tersebut yang membawa Ginko menjadi salah seorang tokoh feminis yang menuntut kesetaraan gender. Pada kisah ini, penulis menemukan bahwa Ginko yang adalah tokoh utama perempuan dalam novel 花埋み (Hana Uzumi) terlihat mempunyai gagasan sebagai seorang feminis liberal sebagai akibat dari diskriminasi gender yang ia alami. Hal inilah yang menurut penulis merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih dalam.
1.2 Masalah/Isu Pokok Penulis ingin menganalisis diskriminasi gender sebagai penyebab timbulnya feminisme liberal di Jepang yang terdapat dalam novel Hanauzumi (花埋み) karya Jun’ichi Watanabe.
1.3 Formulasi Masalah Formulasi masalah pada penelitian ini, penulis akan menganalisis diskriminasi yang dialami pada tokoh utama, Ginko yang menyebabkan timbulnya pemahaman terhadap gerakan feminisme liberal dalam diri Ginko. Kemudian, penulis akan menganalisis feminisme liberal yang timbul sebagai akibat dari diskriminasi yang dialami Ginko dalam setiap pemahaman dan gerakannya.
1.4 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup permasalahan dalam skripsi ini adalah menganalisis diskriminasi yang dialami oleh tokoh utama yang bernama Ginko dalam novel Hanauzumi (花埋み)
6
karya Jun’ichi Watanabe yang menyebabkan tokoh Ogino Ginko memiliki pemahaman feminisme liberal.
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis diskriminasi gender yang dialami oleh tokoh Ogino Ginko, dokter perempuan pertama di Jepang dalam novel Hana Uzumi karya Jun’ichi Watanabe yang menyebabkan tokoh Ogino Ginko memiliki pemahaman feminisme liberal. Manfaat dari penelitian ini adalah menyediakan informasi kepada pembaca untuk dapat memahami diskriminasi gender yang dialami Ogino Ginko pada latar belakang awal zaman Meiji sebagai bahan pertimbangan atas diskusi-diskusi panjang maupun penelitian diskriminasi gender dan feminisme selanjutnya.
1.6 Tinjauan Pustaka Dalam proses penelitian ini, penulis menemukan penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain yang serupa. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Giri Prastasari berjudul “Upaya Tokoh Ogino Ginko Mencapai Kesetaraan Gender dalam Novel Hanauzumi Karya Jun’ichi Watanabe” (2014). Penelitian tersebut membahas tentang kendala yang dialami Ogino Ginko dalam mencapai kesetaraan gender dan upaya Ginko dalam pencapaian kesetaraan gender tersebut. Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode studi pustaka dan teknik catat. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode dan teknik yang digunakan adalah metode formal dan metode deskriptif analisis, serta teknik intertekstual. Sedangkan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Diskriminasi Gender Sebagai Penyebab Timbulnya Feminisme dalam Novel Hanauzumi”. Penelitian ini membahas tentang diskriminasi yang terjadi pada tokoh utama, Ginko yang menyebabkan timbulnya feminisme liberal dalam novel Hanauzumi (花埋見) karya Jun’ichi Watanabe. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif, dan deskriptif analisis.