BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Usia prasekolah adalah usia dini dimana anak sebelum menginjak masa sekolah
(Teviana dan Yusiana, 2012). Anak usia dini merupakan sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan yang pesat dan sangat menentukan bagi kehidupan selanjutnya (Sari, 2013). Usia dini merupakan masa penting, karena dalam masa ini ada era yang dikenal dengan masa keemasan (golden age), masa keemasan hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia, pada masa ini merupakan masa kritis bagi perkembangan anak, jika dalam masa ini anak kurang mendapat perhatian dalam hal pendidikan, perawatan, pengasuhan dan layanan kesehatan serta kebutuhan gizinya dikhawatirkan anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Wuryandani, 2010). Pratisti (2008) menjelaskan bahwa anak usia dini juga disebut sebagai masa Golden Age, yang berlangsung dari usia 0-6 tahun, pada masa ini terjadi berbagai perubahan pada anak, seperti munculnya kepekaan anak terhadap stimulus dan meningkatnya kemampuan berkomunikasi. Anak berkembang melalui interaksi dengan lingkungan, dan anak tidak berkembang secara otomatis, namun dipengaruhi oleh cara lingkungan memperlakukan mereka (Martani, 2012). Lingkungan pertama dan utama yang berpengaruh terhadap perkembangan anak adalah lingkungan keluarga, dimana orangtua sebagai sosok yang paling berperan (Cimi, dkk, 2012). Selanjutnya anak akan berinteraksi dengan lingkungan keduanya yang tidak lain adalah lembaga pendidikan (Rahman, 2009). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal I Ayat 14 menyatakan bahwa “Pendidikan bagi anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut” (Savitri,
1
2
2012). Salah satu bentuk dari pendidikan formal untuk anak usia dini adalah Taman Kanakkanak (TK), dengan tujuan yaitu memberikan fasilitas perkembangan dan pertumbuhan anak secara menyeluruh (Djohaeni, 2005). TK Y merupakan salah satu lembaga pendidikan anak yang bertempat di Tangerang. Berdasarkan dari hasil observasi peneliti, proses pembelajaran di sekolah ini menggunakan metode konvensional dan proses pembelajaran masih berfokus pada guru. Untuk kegiatan atau materi pembelajaran pada TK Y ini dirancang oleh guru, dengan menyesuaikan tingkat kesulitan kegiatan dengan kemampuan murid. Fasilitas yang ada di TK Y ini diantaranya adalah ruangan belajar untuk setiap kelompok kelas, setiap kelas mempunyai satu orang guru dengan kapasitas 20 anak murid, di dalam ruangan belajar disediakan sebuah papan tulis, karpet, permainan indoor seperti miniatur, puzzle, dll. Halaman bermain (playground),menyediakan berbagai permainan dan sebuah kolam renang kecil. Pada awalnya penulis melihat bahwa anak-anak di TK Y ini sangat tertib, namun kemudian penulis menyadari kurangnya keaktifan murid di kelas, selain menjawab pertanyaan ketika ditanya oleh guru, murid hanya diam memperhatikan apa yang dibicarakan atau diinstruksikan oleh guru dan mengerjakan tugas yang diberikan. Pada saat mengerjakan tugas pun anak terlihat sangat diam, penulis hanya menemukan beberapa murid saja yang masih mau berbicara dengan satu sama lain ketika di kelas, selain itu peneliti juga menemukan bahwa sebagian besar murid masih meminta bantuan pada saat mengerjakan tugas yang diberikan. Metode konvensional atau yang merupakan pembelajaran klasikal, pada umumnya lebih mengutamakan hapalan daripada penegertian, lebih fokus pada area akademis seperti matematika, lebih mengutamakan hasil daripada proses, dan merupakan metode yang menggunakan pendekatan “teacher center” atau berpusat pada guru (Suyono, 2012). Dalam pendekatan ini, perencanaan dan pengajaran dirancang dengan sistematis, dan guru pada metode ini berfungsi untuk mengarahkan pembelajaran para siswa (Santrock, 2009). Siregar (2012) menjelaskan bahwa penggunaan metode pembelajaran konvensional dianggap praktis, karena hanya menggunakan metode-metode yang sederhana. Metode konvensional ini dianggap praktis, karena tidak menggunakan metode yang sulit, dan metode ini mempunyai tujuan utama yaitu untuk mengembangkan daya intelektual murid
3
(Siregar, 2012). Pendekatan yang digunakan pada metode ini adalah Teacher Centered. Sudjana (dalam Siregar, 2012) menjelaskan, berdasarkan konsep pengajaran konvensional, proses pembelajaran yang baik dinilai dari sisi guru, dan bukan apa yang terjadi pada siswa. Namun seiring perkembangan zaman, berkembang pula strategi-strategi pembelajaran yang ada, dimana strategi pembelajaran yang menggunakan metode yang lebih menekankan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar (Wijarnoko, 2011). Mufrihatin (2008) menjelaskan, saat ini lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini sudah mulai mencoba untuk mengadopsi beberapa metode pembelajaran dari luar negeri. Salah satu metode alternatif yang sudah diadopsi adalah metode pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT) atau pendekatan yang akrab dipanggil metode sentra ini ditemukan dan dikembangkan oleh Dr. Pamela Phelps yang berasal dari Amerika Serikat dan pertama kali dikembangkan melalui sekolah Creative Pre School di Tallahasse, Florida, dan kini konsepnya telah diterapkan di banyak Negara, metode BCCT ini termasuk metode yang baru diterapkan secara resmi, yang diadopsi oleh Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2004 (Arriyani & Wismiarti, 2010). Salah satu faktor yang membedakan metode pembelajaran BCCT dengan metode pembelajaran tradisional adalah pengajaran di metode BCCT bersifat tidak langsung (non-direct teaching), dimana guru tidak menyuruh, melarang, dan tidak boleh marah pada murid secara langsung, namun, guru hanya membantu memberikan sebuah pijakan (scaffolding) pada anak (Arriyani & Wismiarti, 2010). Model BCCT ini merupakan pendekatan yang menggunakan metode permainan, yang mempunyai landasan filosofi kontruktivisme yang mana pembelajarannya menekankan bahwa belajar tidak sekedar menghafal, siswa harus mengkontruksikan pengetahuannya di benak mereka sendiri (Lestarini, 2013). TK X merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menggunakan metode pembelajaran BCCT, yang terletak di Tangerang. Berdasarkan dari hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan, TK X mencoba untuk menerapkan metode BCCT dengan tujuan untuk mengoptimalkan perkembangan anak muridnya. TK X ini mempunyai berbagai sentra dengan fokus pembelajaran yang beragam, diantaranya adalah sentra imtaq/ibadah, sentra musik, sentra bahan alam, sentra persiapan, sentra seni kreativitas, sentra balok, sentra main peran, sentra bahasa inggris, dan sentra IPTEK (Ilmu
4
Pengetahuan Teknologi). Kegiatan belajar di TK X ini dirancang oleh guru sesuai dengan tema sentra tempat anak akan belajar. Berdasarkan observasi penulis di TK X, mayoritas murid terlihat sangat aktif ketika sedang melakukan kegiatan “circle”, keaktifan tersebut terlihat dari bagaimana mereka mengeluarkan pendapat, ikut bercerita, ikut bernyanyi, membaca do’a dengan baik, bahkan beberapa diantaranya mengajukan diri untuk menjadi pemimpin do’a. Begitu juga ada saat kegiatan sentra, di setiap sentra terdapat fasilitas yang berbeda sesuai dengan tema sentra masing-masing, seperti contohnya untuk sentra balok disediakan baok-balok dengan berbagai ukuran dan bentuk, untuk sentra IPTEK disediakan seperangkat komputer, di sentra musik disediakan alat-alat music, dsb. Fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh sekolah disediakan untuk membantu anak untuk belajar lebih aktif dan optimal. Jika dilihat dari sisi anak murid, penulis melihat anak di TK X ini sudah bisa mengurus dirinya sendiri, dalam hal ini seperti membereskan tas sendiri, makan sendiri, membuka tempat minum sendiri, memakai sepatu sendiri, bahkan ke toilet sendiri. Meskipun dalam pendidikan terdapat berbagai metode pembelejaran, namun Solehuddin dalam Djoehaeni (2005) menjelaskan bahwa secara umum pendidikan prasekolah dimaksudkan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai kehidupan, pendidikan prasekolah hendaknya tidak berorientasi akademik, tetapi hendaknya dapat menyediakan pengalamanpengalaman belajar bagi anak, disamping itu program pendidikan prasekolah harus disesuaikan dengan kebutuhan, minat dan perkembangan anak. Papalia dan Olds (dalam Karni, 2013) menjelaskan, lembaga pendidikan prasekolah yang dianggap baik itu adalah yang bisa merangsang perkembangan siswa dalam seluruh aspek, baik jasmaniah, sosial, emosional, maupun intelektual, melalui interaksi aktif dengan para guru, siswa-siswa yang lain, dan juga melalui bahan-bahan belajar yang telah dipilih secara tepat. Sependapat dengan hal tersebut, Mufrihatin (2008) menjelaskan bahwa anak usia dini atau anak prasekolah memiliki karakter yang khas, oleh karena itu strategi maupun metode pengajaran sebaiknya disesuaikan dengan kekhasan anak, baik secara fisik maupun psikis. Prawistri (2013) menjelaskan, dalam proses pembelajaran seluruh kecerdasan yang ada pada anak akan terstimulus, baik yang bersifat akademik ataupun bukan, dan tidak hanya diajarkan materi akademis seperti membaca dan menulis saja, namun kecerdasan
5
intrapersonal juga. Lebih lanjut Prawistri (2013) menjelaskan bahwa percuma saja ketika anak pandai berhitung, membaca, menulis tetapi mereka tidak mempunyai rasa percaya diri dan malu untuk tampil. Anita Lie (dalam Ningsih, 2014), menjelaskan pentingnya percaya diri bagi kehidupan anak, anak yang percaya diri dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan tahapan perkembangan dengan baik atau memiliki kemampuan untuk belajar cara menyelesaikan tugas tersebut, memiliki keberanian serta kemampuan untuk meningkatkan prestasinya sendiri, akan dipercaya oleh orang lain, dan akan tumbuh dalam pengalaman dan kemampuan sehingga menjadi pribadi yang sehat dan mandiri. Slameto (2003) menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu kepercayaan mengenai keadaan dirinya yang tumbuh dari interaksi seseorang dengan orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya. Mayasari (dalam health.detik.com, 2013) menjelaskan banyak anak yang memiliki hambatan dalam belajar di sekolah karena memiliki kepercayaan diri yang rendah, selain dalam belajar anak juga akan kesulitan dalam bergaul dengan teman-temannya. Menurut Lauster (dalam siska, dkk, 2003), rasa percaya diri bukan merupakan sifat yang diturunkan (bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat diajarkan dan ditanamkan melalui pendidikan, sehingga upaya-upaya tertentu dapat dilakukan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya diri, dengan demikian kepercayaaan diri terbentuk dan berkembang melalui proses belajar di dalam interaksi seseorang dengan lingkungannya. Dalam kehidupan awal anak, keluarga dan sekolah adalah lingkungan yang mempunyai peran besar dalam pembentukan kepercayaan diri (Adywibowo, 2010). Lebih lanjut Setiti (2011) menjelaskan bahwa peran guru di sekolah sanatlah penting, hal tersebut dikarenakan gurulah yang mempunyai pengaruh besar dalam proses pembelajaran, selain itu guru juga sangat dbutuhkan untuk memahami kesulitan dan hambatan dalam membangun kepercayaan diri siswa. Fokus penelitian ini adalah kepercayaan diri anak usia 5 sampai dengan 6 tahun (kelompok B) di dua sekolah dengan metode pembelajaran yang berbeda, dalam hal ini yaitu TK X yang menggunakan metode BCCT dan di TK Y yang menggunakan metode konvensional. Berdasarkan dari penjelasan fenomena dan teori di atas, peneliti ingin melakukan penelitian yang bertujuan yaitu mengetahui gambaran kepercayaan diri anak
6
usia prasekolah dengan dua metode pembelajaran yang berbeda, dalam hal ini yaitu metode BCCT dan metode konvensional.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Kepercayaan Diri Anak Usia Prasekolah di TK X dengan Metode Pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT) dan di TK Y dengan Metode Pembelajaran Konvensional”
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi atau penjelasan mengenai kepercayaan diri anak usia prasekolah di TK X dengan metode pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT) dan di TK Y dengan metode pembelajaran konvensional.