BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan zaman yang semakin maju, idealisme profesi wartawan terasa semakin terlupakan. Bila dulu dituntut untuk selalu jujur, menyampaikan berita sesuai fakta tanpa berpihak pada suatu pihak apalagi sampai menutupnutupi suatu kasus sampai berjuang sungguh-sungguh untuk membela kaum yang tertindas, maka yang terjadi sekarang sangatlah berbanding terbalik. Ideologi hanyalah sebuah teori tertulis di atas kertas tanpa diterapkan di lapangan, semuanya karena semata-mata agar dapat lebih cepat menyampaikan berita dari pada wartawan lainnya, demi uang juga kekuasaan. Hal ini menjadi patut direnungkan, tentang pers masa sekarang ini yang sepertinya hanya bisa bertahan hidup dengan perhitungan hukum-hukum dunia bisnis, tanpa memperhitungkan lagi ideologi dan etika yang menjadi landasan utama dari dunia jurnalistik itu sendiri. Mochtar Lubis dalam sebuh artikelnya (Jayakarta, 9 Februari 1991), secara gamblang menjelaskan: Banyak penguasa Indonesia selalu mengatakan, Pers Indonesia itu adalah pers yang bebas dan bertanggung jawab. Hanya dalam prakteknya kita lihat, pers Indonesia itu tidak lah sebenarnya pers yang bebas. Ada lembaga telepon, ada intruksi mengenai mana yang boleh disiarkan atau tidak disiarkan, dan sebagainya. Pers Indonesia juga disuruh bertanggung jawab kepada pemerintah (dikutip dari Sobur, 2001:349) Sehingga pada hakikatnya media jurnalistik harus ditopang oleh idealisme yang diusung melalui fungs-fungsi dan peran dalam masyarakat yang sangat dibutuhkan. Hal ini karena sisi idealisme yang disandang media jurnalistik adalah untuk melayani (public service) dibidang infromasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Tidak hanya idealisme, dalam menunaikan tugasnya profesi wartawan juga memiliki rambu-rambu berupa etika jurnalistik. Dalam buku mereka yang berjudul Media, Message and Men, Merril dan Lowernstein mendefinisikan etika jurnalistik sebagai suatu cabang filsafat yang membantu
1
wartawan menentukan apa yang harus dilakukan secara benar (Suryawati, 2011: 63). Etika dibagi dalam dua wilayah, yaitu substantif dan operasional. Subtantif merupakan wilayah moral yang dianut oleh para wartawan secara personal, sebut saja prioritas atas kasus publik dari pada kasus pribadi, membuat fakta empiris dari pada fakta psikologis, mengambil fakta yang membantu situasi damai bukannya malah yang memicu konflik. Sedangkan etika operasional terkait panduan teknis-etnis tentang bagaimana meliput dengan mempertimbangkan keseimbangan informasi yang didapatkan dari narasumber, akurasi informasi yang diterima, serta menolak sogokan. Tidak hanya itu, dalam menjalani profesinya, para wartawan atau reporter dibatasi juga akan ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40/1999, dan juga harus senantiasa berpegang teguh kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya tentu saja agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalani pekerjaanya selama mencari sekaligus menyebarkan informasi berita. Dalam pelaksanaanya, penggunaan etika pers tidak melulu harus sesuai apa yang tertulis namun juga bisa disesuaikan dengan situasi-kondisi yang tengah terjadi—atau dalam kata lain fleksibel. Seperti yang pernah Sobur (2001) contohkan dibukunya, ketika wartawan sedang melakukan peliputan-penyidikan (investigative reporting) mengenai penyalah gunaan wewenang atau pelanggaran hukum yang merugikan masyarakat. Etika pers membatasi upaya meliputi masalah atau peristiwa privat (privacy), sekaligus melarang upaya menggunakan alat penyadap pembicaraan yang tersembunyi, mengambil gambar atau dokumen tanpa sepengetahuan narasumber apalagi sampai menekan, mengancam, sekaligus mengikuti narasumber. Kendati begitu, larangan-larangan tersebut dapat diabaikan apabila upaya-upaya itu dilakukan oleh wartawan demi kepentingan umum. Dengan syarat, makna ―kepentingan umum‖ tidak diartikan terlampau luas, melainkan hanya sebatas upaya-upaya mengungkap kebenaran. Kasus tentang kebebasan pers serupa pernah terjadi juga di Korea Selatan, preside Park Geun-hye yang juga merupaka presiden wanita pertama Korea Selatan dianggap menganut sifat kediktatoran ayahnya, Park Chung-he, seorang
2
jendral Angkatan Darat yang merebut kekuasaan melalui kudeta militer dan memerintah Korea Selatan dari tahun 1960-an hingga akhir 1970-an. Park menggugat semua media massa Korea Selatan yang dianggap menentang pemerintahannya. Sebut saja kasus Tatsyta Kato, wartawan asal Jepang yang didakwa terkait laporannya yang ia tulis pada bulan agustus tahun lalu. Tulisan itu dibuat berdasarkan pada laporan sebelumnya di Chosun Ilbo, Koran terbesar di Korea Selatan yang mempertanyakan tanggung jawab Park pada hari terjadinya tragedi Feri Sewol bulan April tahun lalu yang menewaskan ratusan korban jiwa yang terdiri dari pelajar, Park rupanya sedang pergi untuk urusan pribadi dan tidak bisa dihubungi sama sekali. Kantor presiden dengan tegas segara membantah rumor tersebut dan mengaitkannya dengan sengketa teritorial antara Korea Selatan dengan Jepang atas pulau Dokdo. Kasus ini dipandang sebagai kasus yang sangat politis. Alhasil, terhitung Agustus tahun lalu, Kato dilarang meninggalkan Korea Selatan, sedangkan istri dan ketiga anaknya telah kembali ke Tokyo. Pengacara Kato mengatakan, persidangan dapat saja mengambil waktu selama delapan bulan lebih. Jika terbukti bersalah, ia menghadapi tujuh tahun penjara atau denda sebesar $45.000. Sontak hal ini menimbulkan protes keras terutama dari luar Korea Selatan yang menyatakan bahwa tindakan tersebut telah merusak prinsip utama demokrasi yang tak lain adalah kebebasan pers. Wartawan Korea Selatan dianggap terlalu tunduk pada presidennya, semua berita yang dilempar ke publik harus melalui tahap persetujuan pemerintah. Apabila suatu berita dianggap mengkritik pemerintah, maka mereka akan dituntut atau dipaksa melakukan pengalihan isu untuk menjaga nama baik pemerintah. Merasa prihatin dengan situasi yang terjadi di negara tempat ia tinggal, sutradara drama terkenal, Jo Soo-won kembali menggaet penulis naskah Park Hye-ryun dan juga aktro Lee Jong-suk untuk kembali terlibat dalam proyek drama teranyarnya yang diberi judul Pinocchio, setelah sebelumnya mereka sukses lewat drama I Hear Your Voice. Berisikan jajaran aktris, aktor papan atas maupun veteran Korea Selatan dan dengan didukung kru film yang sangat mahir dibidangnya masing-masing membuat Pinocchio sebagai drama yang paling
3
menjanjikan sejak mulai tayang 12 November 2014 kemarin hingga berakhir pada 15 Januari 2015 tempo hari, terbukti dari rating drama Rabu-Kamis ini yang selalu menduduki peringat satu dengan persentasi di atas angka 10%. Situs streaming video Youku Tudou, Cina bahkan rela membayar mahal hak siarnya sebesar $280.000 atau setara Rp 3,4 miliar per episode menggantian rekor drama My Lovely Girl yang sebelumnya dibandrol harga sebesar $200.000 atau setara 2,4 miliar per episode. Seperti dikutip oleh media online y2cindonesia.com: ―Respon dari Cina dan negara lain untuk drama Pinocchio menjadi semakin panas dan panas. Kami pasti akan terus memproduksi drama Korea dengan kualitas tinggi‖ – tutur perwakilan tim produksi.
Gambar 1.1 Poster Pinocchio
Sumber: http://i1192.photobucket.com/ Drama hasil rumah produksi Seoul Broadcasting System (SBS) ini mengambil latar belakang dunia wartawan melalui tokoh Gi Ha-myung (Lee Jong-suk) yang bercita-cita menjadi wartawan demi membersihkan nama baik ayahnya akibat pemberitaan media yang salah sehingga menyebabkan keluarga harmonisnya hancur berantakan dan perjuangan Cho In-ha (Park
4
Shin-hye) untuk menjadi wartawan meskipun menderita sindrom pinocchio, di mana setiap kali mengatakan kebohongan ia akan cegukan. Sindrom pinocchio ini hanyalah fiktif
belaka, Namun dalam drama
dijelaskan seseorang yang tidak dapat berbohong maka tidak cocok dengan profesi wartawan, menimbulkan suatu pemikiran bahwasannya semua wartawan pasti berbohong untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Sementara para wartawan punya alasan sendiri mengenai masalah tersebut, sebab yang terjadi dibeberapa situasi adalah narasumber akan berbicara lebih leluasa jika ia tidak tahu lawan bicaranya adalah seorang wartawan. Kemudian, lebih lanjut digambarkan dalam drama dengan jumlah total 20 episode ini bagaimana perjuangan para wartawan untuk terus berusaha mempertahankan idealisme mereka, yaitu menyajikan berita sesuai fakta, mengungkap kebenaran bukannya malah melakukan pengalihan isu di tengah tekanan dari tempat mereka bekerja demi menutupi keburukan para pemegang saham stasiun televisinya. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk melalukan penelitian dengan judul “Ideologi Wartawan Korea Selatan dalam Serial Drama Korea”. Penelitian ini nantinya akan menggunakan metode penelitian kualitatif beserta dengan paradigma kontruktivisme. Penelitian kualitatif adalah
suatu proses penelitian
dan pemahaman
berdasarkan kepada metodologi untuk menyelidiki suatu fenomena sosial dan juga masalah manusia yang ditunjukkan dari sudut pandang partisipan. Sementara untuk analisis penelitian, penulis memilih analisis semiotika. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda dan produksi makna. Semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat semiotik (tanda, pemaknaa, denotatum, dan interpretan) dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaa, dan ada interpretasi (Cristomy dan Yuwono, 2004: 79). Tiga bidang studi utama dalam semiotika adalah sebagai berikut;
5
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda,
cara-cara
tanda
itu
terkait
dengan
manusia
yang
menggunakannya. Tanda adalah kontruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 2. Sistem atau kode yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia guna mentransmisikannya. 3. Kebudayaan, tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri (Fiske, 200:60). Semiotika penulis pilih karena dianggap sebagai metode analisis yang paling tepat untuk mengungkapkan makna tanda-tanda baik berupa verbal maupun nonverbal yang ada pada drama Pinocchio dengan cara menjabarkan potongan demi potongan gambar adegan, sehingga pesan yang ingin disampaikan drama Pinocchio dapat dicerna lebih baik dan mendetail.
1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah ―Makna Ideologi Wartawan Korea Selatan yang ditampilkan dalam Drama Pinocchio?‖ sedangkan untuk permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana makna ideologi wartawan Korea Selatan yang dibangun pada level realitas (gesture, ekspresi dan kostum) dalam drama Pinocchio? 2. Bagaimana makna ideologi wartawan Korea Selatan yang dibangun pada level representasi (kamera, setting, dialog dan karakter) dalam drama Pinocchio? 3. Bagaimana ideologi wartawan Korea Selatan yang ditampilkan dalam drama Pinocchio?
6
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana makna ideologi wartawan Korea Selatan yang dibangun pada level realitas (gesture, ekpresi dan kostum) dalam drama Pinocchio 2. Untuk
mengetahui
bagaimana
makna
ideologi
wartawan
Korea
Selatanyang dibangun pada level representasi (kamera, setting, dialog dan karakter) dalam drama Pinocchio 3. Untuk mengetahui Bagaimana ideologi wartawan Korea Selatan yang ditampilkan dalam drama Pinocchio? 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan dan juga bahan refrensi tambahan untuk mahasiswa yang akan melakukan penelitian semiotika terutama dengan menggunakan metode semiotika John Fiske.
1.4.2 Manfaat Praktis Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang makna tanda-tanda yang ada dibalik drama Pinocchio, meningkatkan kesadaran pentingnya berpedoman pada ideologi dan etika wartawan ketika penjalankan profesi mereka dan semoga khalayak luas penonton televisi mampu membedakan mana berita yang memang benar-benar penting atau yang hanya sekedar dijadikan pengalihan isu.
1.5 Tahap Penelitian Dalam melakukan penelitian kualitatif, penulis melakukan berapa tahapan yang sistematis dan menyusunnya secara terstruktur. Penulis menjadikan drama Pinocchio sebagai objek penelitian untuk menjabarkan seberapa penting penerapan ideologi wartawan ketika bertugas. Tahap selanjutnya, penulis mencari
7
teori-teori dan literature yang relevan, untuk mendukung penelitian sehingga penelitian dapat dipertanggung jawabkan. Penulis mencari teori komunikasi massa yang membahas betapa lihai media massa dalam menciptakan sebuah berita, dan juga mencari teori yang berhubungan dengan analisis semiotika untuk mendapatkan hasil tentang pentingnya makna serta penerapan ideologi di dunia wartawan seperti yang drama Pinocchio coba representasikan.
1.6 Waktu Penelitian Waktu penelitian dibuat oleh penulis yang digambarkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 1.1 Tahap dan Waktu Penelitian Taha pan
Bulan Maret
Desemb Januari Februa April Mei Juni er ri 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Menc ari topik peneli tian dan mene ntuka n judul Meng umpu lkan kesel uruha n infro masi peneli tian Penca
8
rian sampl e peneli tian Meny usun propo sal skrips i bab I samp ai bab III Semi nar propo sal skrips i Revis i semin ar propo sal skrips i Break
9
dawn scene Anali sis data Meny usun skrips i bab IV samp ai V Sidan g skrips i Sumber: Olahan Penulis.
10