BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kekeringan merupakan fenomena alam yang kompleks dengan prosesnya berjalan lambat, tidak diketahui pasti awal dan kapan bencana ini akan berakhir, namun semua baru sadar
setelah berada di periode tengahnya.
Masyarakat pada umumnya baru menyadari ketika air di dalam sumurnya habis, ketika aliran PDAM macet, ketika penyedotan air tanah dengan pompa hanya keluar udara (Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2010). Perubahan iklim yang mempengaruhi datangnya musim kemarau dan musim hujan memiliki peranan penting dalam kejadian kekeringan. Kekeringan merupakan bencana yang kerap terjadi dan menimbulkan banyak kerugian. Kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan yang diakibatkan oleh kekeringan saat ini menjadi semakin signifikan di Indonesia. Kekeringan tahun 2012 telah mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia gagal panen dan kesulitan air bersih. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007) menyatakan bahwa dunia semakin rawan terhadap kekeringan dalam 25 tahun terakhir dan proyeksi iklim menunjukkan bahwa hal ini akan semakin parah pada masa mendatang. Wilayah Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan curah hujan terendah. Kabupaten Ende, misalnya, memiliki curah hujan tahunan sekitar 1.500 mm/tahun. Meskipun total curah hujan tahunan tergolong rendah, hujan berlangsung dalam waktu yang singkat sehingga intensitas hujan rata-rata menjadi tinggi (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur, 2008). Kejadian kekeringan di wilayah Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi perhatian, di samping rata-rata jumlah curah hujan tahunannya, faktor lain yang menyebabkan wilayah ini menjadi rawan terhadap
1
bencana kekeringan diantaranya kondisi infrastruktur pertanian yang belum memadai baik irigasi maupun pengelolaan pertaniannya. Selain itu, bentuk wilayah yang umumnya bergunung dengan lereng lebih dari 30%, serta tanah yang peka terhadap erosi, kondisi ini selanjutnya akan menurunkan produktivitas lahan (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur, 2008). Berdasarkan kondisi tersebut, perlu dilakukan usaha untuk memantau dan menganalisis kekeringan meteorologis sebagai langkah awal untuk mitigasi bencana kekeringan. Upaya untuk memantau dan menganalisis kekeringan dapat dilakukan dengan menggunakan indeks kekeringan. Indeks kekeringan ini menghubungkan antar parameter iklim secara sederhana. Dengan menggunakan indeks kekeringan memungkinkan untuk menganalisis secara kuantitatif anomali iklim khususnya intensitas, durasi, frekuensi, dan penyebaran wilayahnya (Angelidis, et al., 2012). Terdapat berbagai macam indeks kekeringan yang telah dikembangkan, diantaranya adalah Standardized Precipitation Index (SPI) dan Effective Drought Index (EDI). Perhitungan SPI tidak serumit indeks kekeringan yang lain, yaitu hanya dengan menggunakan parameter data curah hujan, sedangkan untuk indeks kekeringan EDI yang termasuk baru, sama halnya dengan SPI, data yang dibutuhkan untuk analisis hanyalah data curah hujan sehingga relatif lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan metode lainnya. Metode ini telah diuji oleh Morid, et al. (2006) untuk mendemonstrasikan kekeringan di Iran. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa analisis kekeringan menggunakan EDI lebih efektif dibandingkan indeks kekeringan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian untuk mengetahui tingkat kekeringan di Kabupaten Ende dilakukan dengan menggunakan kedua indeks kekeringan, yaitu SPI dan EDI.
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. menilai tingkat kekeringan meteorologis di wilayah studi menggunakan metode SPI dan EDI berdasarkan data historis,
2. menilai tingkat potensi kekeringan pada masa mendatang di wilayah studi menggunakan metode SPI dan EDI berdasarkan data hasil perkiraan dari skenario iklim IPCC, 3. mengetahui persebaran kekeringan di Kabupaten Ende baik untuk kondisi historis maupun kondisi prediksi masa depan, 4. mengkaji penyebab kekeringan yang ada terjadi di Kabupaten Ende dan kegiatan yang pernah dilakukan baik oleh masyarakat maupun instansi terkait, yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun rekomendasi dalam penentuan kebijakan mitigasi bencana kekeringan di Kabupaten Ende selanjutnya.
1.3. Batasan Penelitian Batasan masalah dalam penelitian yang dilaksanakan ini adalah sebagai berikut: 1. penelitian dilakukan di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, 2. penelitian ini menganalisis kekeringan meteorologis sebagai tahap awal mengetahui awal kekeringan di wilayah study, 3. data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri dari data hujan harian, data reanalysis NCEP (National Centers for Environmental Prediction), data prediksi dari General Circulation Model (GCM) IPCC AR4 (The Fourth Assessement Report) , dan peta digital daerah penelitian, 4. skenario iklim yang digunakan dalam analisis adalah skenario iklim Hadley Centre Coupled Model, version 3 (HadCM3), sedangkan skenario gas rumah kaca yang digunakan adalah Spacial Report on Emissions Scenarios A2a (SRES-A2a) dan Spacial Report on Emissions Scenarios B2a (SRESB2a) yang ditentukan oleh beberapa alternatif asumsi pertumbuhan ekonomi, penduduk, perkembangan teknologi dan sebagainya (IPCC, 2007), 5. survey lapangan dilakukan dengan mengunjungi masyarakat, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ende, Dinas
3
Pertanian Kabupaten Ende, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaaten Ende, dan beberapa Instansi terkait untuk memperoleh informasi tentang kejadian kekeringan yang pernah terjadi di Kabupaten Ende dan bagaimana upaya masyarakat dan dinas terkait dalam mengatasi permasalahan kekeringan di Kabupaten Ende.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini yang berupa informasi potensi kekeringan meteorologis di wilayah studi yang diharapkan dapat digunakan sebagai penentuan kebijakan mitigasi kekeringan di wilayah studi.
4
5