BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kasus kecelakaan kendaraan bermotor di Indonesia termasuk dalam kondisi yang
memprihatinkan. Sepanjang tahun 2007 hingga tahun 2013 terjadi 541,804 kasus (Dephub, 2013). Jenis kecelakaan lalu lintas darat yang paling sering terjadi adalah tabrakan. Tabrakan menempati urutan pertama sebagai jenis kecelakaan dengan persentase sebanyak 65%. Setelah tabrakan urutan berikutnya ditempati oleh tergulingnya kendaraan dengan peresentase 31%, dan terakhir adalah terbakar sebanyak 4%. Data yang dihimpun Polda Metro Jaya mengenai angka kecelakaan yang terjadi di Jakarta dari tahun 2006 hingga 2010 berupa :
T ABEL 1.1 A NGKA KECELAKAAN KENDARAAN BERMOTOR DI DKI J AKARTA TAHUN 2006-2010
Sumber: (Dephub, 2013)
1
2
Sedangkan jumlah korban meninggal dunia, luka berat dan luka ringan pada tahun 2006 hingga tahun 2010 berupa:
T ABEL 1.2 J UMLAH KORBAN KECELAKAAN BERMOTOR TAHUN 2006 HINGGA 2010 DI DKI JAKARTA
Sumber: (Dephub, 2013)
Terdapat fakta yang cukup mencengangkan adalah sekitar 75% dari kasus kecelakaan ini melibatkan anak usia di bawah umur. (Pembaruan, 2011). Sedangkan menurut Ditjen Hubdat (Direktorat Jendral Perhubungan Darat) tahun 2009, kelompok usia yang paling sering terlibat dalam kasus kecelakaan adalah kelompok usia 16-25 tahun dengan persentase sebanyak 27% (Dirjenhubdat, 2009). Angka kecelakaan yang tinggi tersebut bukan semata-mata terjadi begitu saja, akan tetapi memiliki beberapa faktor penyebab. Menurut KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) faktorfaktor penyebab terjadinya kecelakaan yaitu faktor manusia sebanyak 73%, sarana 18%, pra sarana 2%, dan lingkungan sebanyak 7%. Hal yang perlu dicermati adalah faktor kelalaian manusia menjadi faktor terbanyak penyebab kecelakaan ini yaitu sebanyak 73% (Dephub, 2013).
3
Dari data tersebut bisa dilihat bahwa angka kecelakaan kendaraan tiap tahun memiliki sebuah pola statistik yang terus meningkat. Adanya pola peningkatan dari tahun ke tahun, maka hal dapat digunakan sebagai prediktor bahwa akan ada peluang besar angka kecelakaan kendaraan bermotor akan terus bertambah. Oleh karena itu bila hal ini terus dibiarkan dan tidak ada intervensi yang diberikan, maka akan banyak sekali kerugian yang ditanggung. Menilik segi finansial, dengan tingkat kecelakaan yang semakin meningkat, tentu akan menghabiskan banyak dana, baik itu untuk perbaikan, maupun untuk pengobatan. Data terakhir di tahun 2013, jumlah kerugian finansial yang diderita pada kecelakaan lalu lintas mencapai 254,6 miliar rupiah (Tempo, 2014). Selain itu, karena kecelakaan banyak disebabkan oleh kelalaian manusia dalam berkendara, maka bisa disimpulkan bahwa fenomena kecelakaan yang muncul, paling banyak disebabkan karena adanya risky driving behaviour (perilaku mengemudi berisiko). Risky driving behaviour adalah perilaku-perilaku yang meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan (Parker, 2012). Kemudian hal yang perlu dicermati berikutnya adalah perilaku mengemudi yang berisiko ini tidak muncul begitu saja, melainkan ada faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku tersebut. Penelitian akan perilaku berisiko oleh Ryb (2006) dalam dunia kesehatan menghasilkan kesimpulan bahwa salah satu faktor yang menimbulkan perilaku-perilaku berisiko adalah risk perception yang rendah. Penelitian lain oleh Rhodes (2008) menemukan bahwa hubungan antara perilaku mengemudi dan risk perception tidak memiliki hubungan yang signifikan. Akan tetapi hasil penelitian oleh M. Anthony Machin (2007), bahwa ada hubungan yang signifikan antara risk perception dan kecenderungan untuk mengebut di jalan raya pada remaja. Kedua penelitian tersebut menunjukan bahwa hasil hubungan antara risk perception dengan risky driving behaviour itu sendiri belum dapat ditarik sebuah kesimpulan yang memuaskan. Penelitian dari Machin menunjukan adanya hubungan antara variable risk perception dan kecenderungan mengebut, akan tetapi penelitian oleh Rhodes menunjukan tidak ada hubungan signifikan antara risk perception dan risky driving behaviour. Penelitian oleh Machin (2007) melahirkan hasil berupa adanya hubungan antara adanya risk perception dan kecenderungan mengebut di jalan raya pada remaja. Hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian oleh Rhodes (2008) meskipun hasilnya tidak
4
menemukan hubungan yang signifikan antara risk perception terhadap perilaku mengemudi, tetapi mendapati temuan lain bahwa remaja memiliki kecederungan lebih dalam melakukan risky driving behaviour dibandingkan orang dewasa. Dari dua hal tersebut bisa dilihat bahwa adanya sebuah kemiripan dalam subjek yang diteliti yaitu remaja dan risky driving behaviour meskipun kedua penelitian ini dilakukan pada tempat yang berbeda. Penelitian Rhodes (2008) dilakukan di Alabama, US sedangkan penelitian oleh Machin (2007) dilakukan di Queensland, Australia. Oleh karena itu bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa remaja memiliki kecenderungan yang sama untuk melakukan risky driving behaviour. Akan tetapi belum dapat diketahui pengaruh dari risk perception di dalamnya. Menilik teori pengambilan keputusan (decision making), Rosenstock dan Ajben serta Fishbein (dalam Rhodes, 2010) menyatakan bahwa pengambilan keputusan akan perilaku berisiko dilakukan melalui proses berpikir yang rasional. Permasalahnya adalah ketika mengacu pada pendekatan tersebut, seharusnya intervensi seperti kampanye akan keselamatan berkendara, penggunaan alat-alat keamanan dalam berkendara, serta pendidikan safety driving sudah cukup untuk mengurangi jumlah kecelakaan. Khususnya dalam masa remaja banyak sekali sosialisasi mengenai hal ini ke sekolahsekolah. Akan tetapi faktanya adalah jumlah kecelakaan semakin meningkat (Dephub, 2013). Selain itu juga dalam tahapan remaja dikenal sebagai golongan usia yang paling banyak melakukan perilaku-perilaku berisiko. Adapun penyebab remaja banyak melakukan perilaku berisiko ini (sex berisiko, penggunaan obat terlarang, alkoholisme) yaitu karena ada faktor psikologis. Faktor psikologis ini berupa decision making yang belum cukup baik dikarenakan adanya faktor afektif yang banyak berperan didalamnya (Santrock, 2012). Hal inilah yang sangat berhubungan dengan perilaku berisiko dan risk perception pada remaja. Oleh karena itu pendekatan tersebut mulai ditinggalkan dalam menjelaskan fenomena ini. Dual process models of decision making (Trueblood, 2013) menjadi model penjelasan yang lebih lengkap dalam hal ini. Persepsi subjektif manusia dibentuk bukan hanya dari faktor rasional saja, melainkan juga dari faktor afektif. Oleh karena itu analisis akan risky driving behaviour yang berdampak pada angka kecelakaan harus menyertakan kedua faktor ini. Kembali lagi pada kemanfaatan dari penelitian ini, selain merugikan secara finansial seperti sudah disebutkan di atas, angka kematian remaja Indonesia dalam kasus
5
kecelakaan mencapai 1,000 orang orang per hari. Bila hal ini terus dibiarkan, maka bisa menjadi indikasi tidak seriusnya pemerintah dalam menjaga kehidupan rakyatnya dan juga akan mengurangi generasi muda Indonesia sebagai penopang bangsa di masa depan. Padahal melalui Wapres RI pada 20 Juni 2011, Indonesia mencanangkan program Dekada Keselamatan Jalan 2011-2020 (BIN, 2011). Oleh karena itu menilik dari kondisi yang sudah memprihatinkan, penelitian akan melihat tentang hubungan antara risk perception dan risky driving behaviour pada remaja di Jakarta.
1.2
Rumusan Masalah Banyaknya angka kecelakaan remaja di Jakarta dalam berkendara menjadi sebuah
indikator adanya risky driving behavior. Selain itu dengan adanya karakteristik umum dalam kemampuan risk perception pada remaja, maka penelitian ini akan melihat hubungan antara risk perception dengan risky driving behavior pada remaja di Jakarta. Sehingga dari fenomena ini dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan penelitian berupa adakah hubungan antara risk perception dan risky driving behaviour pada remaja di Jakarta?
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: a) Untuk melihat adakah hubungan antara risk perception dengan risky driving behaviour pada pengemudi kendaraan bermotor di Jakarta. b) Untuk memajukan keilmuan psikologi transportasi di Indonesia. Untuk menciptakan suatu intervensi baru yang lebih efektif guna mengurangi angka kecelakaan lalu lintas di kalangan remaja.
6