BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan
masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat. Jakarta adalah kota yang banyak diperuntukan sebagai rumah susun. Berbanding dengan penduduk yang semakin meningkat, lahan di Jakarta sama sekali tidak bertambah sehingga perlu diadakannya pembangunan tempat tinggal vertikal seperti rumah susun. Kondisi rumah susun di Jakarta mayoritas buruk dan masih terlihat kumuh. Kurang memperhatikan aspek manusia yang berhuni di rumah susun tersebut. Lingkungan di sekitar juga kurang dijaga dan ditata agar menciptakan kenyamanan. Lingkungan yang kumuh dan kurang kondusif menjadi salah 1 faktor banyak masyarakat enggan tinggal di rumah susun. Seperti contohnya rumah susun di Angke, Tambora, Jakarta Barat ini.
Gambar 1 Rumah Susun Tambora Sumber: google.co.id 24 Oktober 2015
Akibat dari kondisi rumah susun di jakarta yang kurang layak atau memiliki lingkungan
yang
kumuh
dan
kurang
memperhatikan
psikologis
penghuni.Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ketua Umum Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun Indonesia Madani (P3RISMA) Yusran JB, minat keluarga muda untuk tinggal di hunian vertikal seperti rusun, apartemen, atau kondominium semakin tinggi dari tahun ke tahun. Keluarga muda ini umumnya memiliki anak yang masih kecil. Diantara anggota keluarga, anak adalah anggota keluarga yang sangat penting. Aset masa depan keluarga yang sangat berharga dan tak ternilai harganya. Anak 1
2
berusia 0-6 tahun (golden age) perlu mendapat perhatian khusus, pada masa tersebut merupakan masa terjadinya perkembangan dan pertumbuhan yang pesat sekaligus kritis karena merupakan langkah awal masa depan anak. Masa ini adalah suatu proses menuju kematangan fisik dan mental sehingga mereka siap menerima dan memberi respon terhadap stimulasi yang didapatkan dari lingkungan. Menurut Laurens (2004), lingkungan fisik sekitar seseorang sangat mempengaruhi mental dan perilakunya. Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan awal tergolong menjadi dua yaitu: lingkungan rumah dan lingkungan luar rumah, lingkungan rumah terdiri dari aspek orang tua dan fisik dari rumah. Menurut Hurlock (1980), lingkungan tempat anak hidup selama tahun-tahun pembentukan awal hidupnya mempunyai pengaruh kuat pada kemampuan bawaan mereka. Karena dasar untuk pola sikap dan perilaku di letakkan secara dini, yaitu ketika lingkungan itu hampir terbatas pada rumah dan kontak sosial umumnya terdapat di antara anggota keluarga dasar ini “tumbuh dari rumah.” Berdasarkan penelitian yang didukung oleh Badan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) untuk Masalah Anak (Unicef), terdapat banyak anak-anak di Indonesia yang mendapatkan perlakukan buruk dan jumlah tidak kekerasan terhadap anak di Indonesia sangat tinggi. Pusat data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak, 2015), melaporkan bahwa dalam tiga tahun (2011-2013) terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik, psikis maupun kekerasan seksual. Sementara itu, tempat terjadinya tidak kekerasan paling banyak adalah di lingkungan sosial 35,03%, rumah tangga 32,70% dan sekolah 32,27%. Tabel 1 Bentuk dan Jumlah Kekerasan Terhadap Anak Indonesia
Sumber: Komisi Nasional Perlindungan Anak (2015)
Berdasarkan tabel tersebut diketahui pula bahwa setiap tahun terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak lebih dari 10%. Alasan perlakuan kekerasan bisa karena unsur ketidaksengajaan, kecelakaan, maupun kesengajaan yang
3
mengarah pada kriminal. Dampak kekerasan pada anak dapat terjadi pada jangka pendek maupun panjang, dari luka ringan hingga depresi mental maupun kematian (Gharini, 2004). Tahun 2003, The Centers For Disease Prevention and Control (CDC) melaporkan 10.216 kematian anak usia 0-18 bulan disebabkan karena kecelakaan (Lilier, 2006). Menurut Survei Kesehatan Nasional tahun 2001, insiden kecelakaan pada anak di rumah mencapai 13.618 kejadian yang disebabkan oleh terjatuh, keracunan, dan tertelan benda asing. Dimana 35% dari jumlah tersebut disebabkan oleh terjatuh yaitu sekitar 4.766 kasus pada tahun 2001. Bisa diambil kesimpulan setiap bulan nya terjadi 397 kecelakaan di rumah yang disebabkan terjatuh. Selain itu menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskemas) tahun 2007, prevalensi kejadian cedera mencapai 7,5% yang disebabkan oleh jatuh (58,0%). Namun begitu kebanyakan rumah susun di Jakarta belum ada yang mengedepankan fasilitas fisik maupun mental untuk anak agar mereka berkembang dengan baik serta lingkungan yang kondusif bagi mereka sehingga mereka merasa aman dan terhindar dari tindak kekerasan. Seperti yang dicantumkan didalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 11: Setiap anak berhak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdaannya demi pengembangan diri. Disamping itu untuk memenuhi hak tersebut, Untuk menghindari maupun mengurangi kekerasan dan kejahatan pada anak salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan membangun lingkungan rumah mereka yaitu dengan penerapan rumah susun ramah anak. Lingkungan maupun bangunan rumah susun yang aman, bersih, sehat, hijau, dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki. Lokasi penelitian dilakukan di Jakarta. Dikarenakan kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan juga jumlah penduduknya yang meningkat tiap tahunnya menjadi salah satu faktor pendukung pengambilan lokasi. Tabel 2 Kepadatan Penduduk DKI Jakarta Tahun 2013 Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Utara Kepulauan Seribu
Jumlah Penduduk 910.897 jiwa 2.427.414 jiwa 2.169.332 jiwa 2.827.114 jiwa 1.732.979 jiwa 22.565 jiwa
Luas Wilayah 48,13 km² 129,54 km² 141,27 km² 188,03 km² 146,66 km² 8,7 km²
Kepadatan Penduduk 18.924 jiwa/ km² 18.738 jiwa/km² 15.356 jiwa/ km² 15.035 jiwa/ km² 11.816 jiwa/ km² 2.594 jiwa/ km²
Sumber: Badan Pusat Statistik
4
Berdasarkan tabel diatas Jakarta pusat adalah wilayah yang paling padat. Jakarta pusat juga merupakan salah satu daerah yang banyak diperuntukan untuk rumah susun diupayakan dapat mengubah pola hidup anak-anak penghuni menjadi lebih baik. Selain itu pula RDTR menunjuk tapak tersebut diperuntukan untuk hunian vertikal, yaitu rumah susun.
Gambar 2 Peruntukan Lahan R7 (Rumah Susun) Sumber: RDTR Provinsi DKI Jakarta
Selain karena peruntukan lahan sesuai dengan peraturan RDTR dan latar belakang yang telah disebutkan, pemilihan lokasi proyek pada tapak tersebut dikarenakan memang pada tapak tersebut kurang sekali fasilitas anak yang dapat ditemukan. Hanya terdapat 1 lapangan pada 1 RW. Sehingga anak-anak mayoritas menjadikan jalan lingkungan menjadi tempat bermain mereka. Tanpa penambahan fungsi sebagai tempat usaha pun, rumah mereka terbilang tidak layak untuk dihuni dan itu membuat ruang gerak anak semakin terbatas. Anak layak mendapatkan hunian dan lingkungan yang mendukung perkembangannya.
5
Jl. Jati Bunder
Jl. KH Mas Mansyur
Jl. Lontar Raya Jl. Kuburan Lama
Gambar 3 Lokasi Tapak Sumber: Google Earth diakses pada 15 Oktober 2015
Gambar 4 Keadaan Tapak dan Gang Kecil Perumahan pada Tapak 1.2
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana menciptakan rumah susun beserta lingkungan yang ramah anak sehingga perkembangan anak penghuni rusun akan jauh lebih baik?
1.3 1.
Tujuan Penelitian Mendesain rumah susun beserta lingkungan yang ramah anak sehingga perkembangan anak penghuni rusun akan jauh lebih baik.
6
1.4 1.
Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan di Jakarta, Indonesia, sebagai salah satu daerah padat penduduknya dan masih berkembang.
2.
Subyek penelitian adalah bangunan hunian bertingkat sedang yang menerapkan konsep ramah terhadap anak.
3.
Karakteristik lokasi penelitian merupakan kawasan berkepadatan bangunan menengah dengan koefisien dasar bangunan 60% dan jarak antar bangunan
4.
Studi lokasi di perumahan Kebon Melati RW 12 di Jakarta pusat
5.
Menganalisa dan mengidentifikasi karakteristik lingkungan, manusia terutama anak dan bangunan.
6.
Studi tentang ramah anak, mengidentifikasi faktor-faktor ramah anak apa saja yang dapat diterapkan dalam rumah susun.
1.5
State of The Art Berdasarkan jurnal Cultural Consideration in Vertical Living in Brunei
Darussalam karya Noor Hasharina Haji Hassan, Izni Azrein Noor Azalie, Khairunnisa Haji Ibrahim, Gabriel Yong, dan Hairuni Ali Maricar (2011), penelitian ini ditujukan untuk memahami faktor-faktor penentu budaya dan sosial yang mempengaruhi pilihan responden berkaitan dengan jenis dan preferensi ruang yang berhubungan dengan perumahan vertikal dengan mengambil pendekatan insideroutsider yang lebih menekankan pentingnya pengetahuan lokal dan pemahaman budaya lokal dan praktek dalam penelitian. Survei dilakukan pada 4 kelompok utama, yaitu: profesional muda dan lebih dewasa, kelompok berpenghasilan rendahmenengah, kelompok berpenghasilan rendah, dan kelompok kota-desa-pinggiran. Kesimpulan dari jurnal di atas adalah tipologi budaya didasarkan pada konsep proxemics dan metodologi penelitian insider-outsider. Secara umum, survei menemukan bahwa ada preferensi rendah untuk jenis flat biasanya ditemukan di Brunei. Sebaliknya, jenis bangunan yang paling populer adalah eco-building, diikuti oleh low-cost, konsep terbuka, bangunan cerdas, dan kondominium modern. Data menunjukkan bahwa desain vertikal saat ini tidak memenuhi tuntutan proxemic dari populasi sampel. Perumahan vertikal harus menyediakan konektivitas yang lebih besar dengan alam dan orang-orang, yang mencerminkan pengaruh budaya baik tradisional Brunei serta globalisasi.
7
Menurut Robert Gifford dalam jurnal The Consequences of Living in HighRise Buildings yang dikutip dari jurnal Liveability of High-rise Housing Estates: A Resident-centered High-rise Residential Environment Evaluation in Tianjin, China (2012), penelitian ini menggabungkan metode penelitian kualitatif dengan kuantitatif melalui meta-analisis, liveability dari bangunan high-rise dapat dirasakan oleh penghuninya dengan memenuhi kebutuhan mendesak dan pengalaman praktis dalam lingkungan perumahan sebelumnya dan menekankan pentingnya konteks lokal secara spesifik. Kesimpulan dari jurnal di atas adalah orang lebih puas tinggal di bangunan low-rise dibandingkan tinggal di bangunan high-rise karena tinggal di bangunan high-rise dapat membatasi kegiatan outdoor dan memiliki persahabatan yang lebih sedikit, tingkat kejahatan dan bunuh diri lebih besar dibandingkan tinggal di bangunan low-rise. Menurut Yuen, Belinda dan rekan-rekannya, dalam jurnal High-rise Living in Singapore
Public
Housingbeberapa
tahun
terakhir,
di
tengah
perdebatan
pembangunan berkelanjutan dan kekompakan perkotaan, telah ada minat melebar untuk memperkenalkan kembali tinggi tinggal di kota. Beberapa kota di Eropa termasuk London dan Manchester sekali lagi membangun perumahan bertingkat tinggi sebagai bagian dari strategi perumahan perkotaan mereka. Di tempat lain, di Asia, Hong Kong dan Singapura dibedakan dengan tinggi pembangunan perumahan publik mereka. Dengan hampir setengah dari populasi dunia yang hidup di daerah perkotaan, tren berlangsung adalah menuju pembangunan yang lebih urban bergaya dengan bangunan tinggi termasuk sebagai solusi perumahan yang tak terelakkan. Menggambar pada temuan dari studi Singapura perumahan umum warga pengalaman hidup, makalah ini bertujuan untuk melihat pertanyaan yang semakin penting dari liveability tinggi bertingkat hidup dengan membahas penghuni 'apresiasi dan keprihatinan tinggi. Menurut jurnal dari ITS (Institut Teknik Semarang) dalam Konsep Perancangan Rumah Susun Bagi Pedagang Pasar. Konsep perancangan rumah susun bagi pedagang pasar Oeba yang dihasilkan dari analisa Trianggulasi adalah : 1. Rumah susun terdiri atas 4 lantai, lantai dasar digunakan sebagai ruang komersial, sebagai tempat menyimpan peti ikan dan tempat menjual barang dagangannya selain yang dijual di pasar Oeba, sedangkan lantai 2, 3 dan 4 digunakan sebagai hunian, jumlah blok sebanyak 3 blok, type 21, dan jumlah hunian 216 buah, luasan tiap
8
hunian didesain untuk sekitar 4-5 orang anggota keluarga. Fasilitas ruang tidur, ruang tamu, dan tempat jemuran harus ada pada satu satuan rumah susun. Dapur dan kamar mandi bersama berada di setiap lantainya. Bentuk atap didesain agar tahan dengan angin kencang karena dekat dengan laut. Bentuk selasar diperluas dengan tidak menggunakan lift. Tangga terbuat dari beton sehingga tidak mengganggu kebisingan di rumah susun 2. Ruang bersama terdiri dari dua lantai, ruang komunal dengan membaginya secara vertikal dimana ruang komunal lantai 1 berupa ruang yang tertutup merangkap ruang serbaguna dan ruang tempat menyimpan boks ikan. Sedangkan ruang komunal di lantai 2 berupa ruang terbuka yang berbatasan langsung dengan unit-unit hunian sebagai tempat interaksi sosial sehari-hari. Terdapatnya ruang-ruang pada lantai 1 sebagai ruang serbaguna yang bersifat publik, dimana penggunaannya bisa disesuaikan dengan potensi masyarakat atau tapak suatu tempat misalnya untuk kios dagang, workshop, penghuni daan lain-lain. Letak rumah susun masih dalam satu kawasan pasar Oeba. Jaraknya sekitar 200 m dari pasar Oeba. Menciptakan orientasi ruang bawah ke arah luar blok, berlawanan dengan orientasi unit hunian sehingga memungkinkan dua aktivitas tersebut berlangsung bersamaan tanpa saling merugikan. Hal ini sekaligus mengurangi potensi terjadinya ruang tak bertuan pada ruang antar blok akibat tak adanya orientasi. Menurut Medha Baskara dalam jurnalnya yaitu Pengendalian Perancangan Taman Bermain Anak di Ruang Publik, untuk mewujudkan taman bermain anakanak yang sesuai dan ideal maka pengendalian terhadap perancangannya dilandaskan fungsi taman bermain sebagai area pengembangan kreativitas, jiwa sosial, indera dan pengembangan diri anak-anak sehingga dapat memperoleh kesenangan. Untuk itu perancangan taman bermain anak-anak harus menjamin keselamatan menciptakan kenyamanan, keharmonisan dan memberikan kejelasan tentang fungsi peralatan permainan. Kesimpulannya taman bermain anak merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang memiliki nilai penting, terutama untuk membentuk karakter anak sebagai generasi penerus bangsa. Melalui kegiatan bermain kemampuan kognisi, fisik,
dan
kestabilan
emosi
anak
dapat
berkembang.
9