Bab 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu karang dengan keanekaragaman tertinggi di dunia. Adanya arus termoklin dari Samudra Pasifik dan kekayaan biota laut menjadikan perairan Indonesia penting bagi pengembaraan 25 jenis mamalia laut dan enam jenis penyu laut. Sepanjang hidup penyu laut melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Migrasi penyu laut merupakan fenomena alam untuk memenuhi kebutuhan biologis, seperti: mencari pakan, beristirahat, menemukan pasangan, kawin dan mendapatkan lokasi untuk bersarang. Pergerakan penyu secara periodik ini mampu menempuh jarak ribuan kilometer melintasi samudera dan melewati batas negara. Penyu hijau adalah salah satu spesies penyu laut yang mampu bermigrasi melintasi 80 negara (IUCN, 2002). Sepanjang jalur migrasi baik di perairan tropis dan sub tropis penyu hijau mengalami eksploitasi kecuali di Zona Atlantic Oceans. Hasil penelitian Seminoff et al. (2003) pada 32 lokasi peneluran di seluruh dunia dilaporkan penurunan populai penyu hijau sebesar 48% hingga 67% selama tiga generasi. Dari hasil pendugaan populasi penyu hijau ini kemudian mengelompokkan penyu hijau sebagai endangered species. Berbeda halnya dengan wilayah Indonesia yang berada di Indian Ocean dan Southeast Asia, penurunan populasi penyu hijau rata-rata 80%. Red Data Book-IUCN menerangkan jika penurunan populasi suatu spesies mencapai 80% selama 10 tahun atau tiga generasi maka spesies diklasifikasikan pada status critically endangered species. Penyebab penurunan populasi secara drastis dibenarkan oleh Sarjana Putra (1996), Troeng (1997) bahwa eksploitasi penyu hijau tertinggi di dunia berada di wilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau.
2
Umumnya penangkapan induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di sekitar pantai peneluran. Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa dekade berakibat pada kepunahan populasi (Montimer, 1995). Dibandingkan dengan kelima jenis penyu laut lainnya, penyu hijau paling intensif dieksploitasi karena daging dan telurnya digemari masyarakat pesisir. Permintaan penyu hijau yang tinggi disebabkan beberapa alasan mulai dari konsumsi rumah tangga, sumber pendapatan masyarakat, kepentingan adat hingga sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Demikian halnya dengan tata niaga penyu dengan biaya transaksi yang tinggi masih berlangsung sebagai black market di daerah Tanjung Benoa Bali. Pemerintah Indonesia melalui instansi-instansi terkait, seperti: Departemen Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup telah mengeluarkan beberapa peraturan dan kebijakan perlindungan jenis-jenis yang terancam punah, seperti: Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati melalui UndangUndang No. 5 tahun 1994, Ratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978; Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999. Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 telah melindungi penyu hijau bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain di wilayah Indonesia. Sejak tahun 1999 eksploitasi penyu hijau termasuk kegiatan ilegal. Status endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES serta penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjadikan penyu hijau sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah. Keikutsertaan Indonesia di berbagai konvensi internasional (CITES tahun 1978, Ramsar tahun 1991 dan Keanekaragaman Hayati tahun 1994), pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan sebagai management outhority flora dan fauna. Pengelolaan penyu hijau didasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 sebagai kegiatan konservasi spesies Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan.
3
Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Ancaman kepunahan penyu hijau semakin nyata jika pemerintah tidak segera menghentikan eksploitasi penyu hijau. Untuk penyelamatan penyu hijau dari kepunahan diperlukan analisis kebijakan perlindungan dan perumusan alternatif perlindungan penyu hijau di masa datang. Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan terhadap kegiatan konservasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Direktorat Jenderal PHKA baik yang berbentuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Balai Taman Nasional (BTN). Hasil analisis kebijakan diperlukan untuk pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam rangka perumusan alternatif perlindungan penyu hijau. Alternatif perlindungan penyu hijau diarahkan pada perlindungan habitat. Perumusan alternatif perlindungan penyu hijau dipilih Kepulauan Derawan karena memiliki nesting area penyu hijau tertinggi di Indonesia, sebagai daerah pengembaraan penting dalam jalur/ lintasan migrasi dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia; dan terjadi penurunan populasi penyu hijau hebat hingga > 90% selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000). Wilayah Kepulauan Derawan akan dirancang Kawasan Konservasi Laut (KKL). Pengelolaan penyu hijau di dalam KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman eksploitasi manusia. Jika beberapa habitat penyu hijau di seluruh wilayah Indonesia dijadikan KKL maka perlindungan penyu hijau secara meluas dan efektif dalam bentuk jejaring KKL.
1.2 Perumusan Masalah Secara garis besar permasalahan disajikan pada Gambar 1 tentang diagram kerangka pemikiran penelitian. Permasalahan yang menjadi pokok pembahasan ada tiga, yakni: regulasi, penyu hijau dan permasalahan kebijakan.
4
5
(1) Penyu hijau (a) Habitat Penyu hijau memiliki kebiasaan bermigrasi dan mampu menempuh perjalanan jauh hingga ribuan kilometer. Habitat spesies migran ini dikelompokkan dalam tiga bagian, yakni: habitat feeding, breeding dan migratory (Donovan, 1995). Habitat penyu hijau sulit diketahui karena sebagian besar siklus hidup penyu berada di laut lepas, namun habitat feeding dan habitat breeding dapat dipetakan. Keduanya mudah dikenali karena terletak berdekatan, yakni: perairan laut dangkal dengan ekosistem lamun dan terumbu karang serta pantai berpasir putih dengan solum tebal dan tekstur kecil. (b) Populasi Di alam populasi penyu hijau mengalami pemangsaan predator, serangan penyakit, kerusakan habitat, kematian akibat penggunaan alat tangkap nelayan dan pencemaran laut, penangkapan induk, pemanenan telur. Eksploitasi terhadap populasi penyu berupa penangkapan induk dan pemanenan telur menempati proporsi tertinggi. Ancaman manusia memberi tekanan di sepanjang hidup penyu baik masih berwujud telur hingga penyu dewasa. Penurunan populasi penyu hijau tertinggi berada di wilayah Indonesia yakni mencapai > 90% selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000). Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau di dunia. (2) Regulasi (a) Tingkat internasional Secara internasional penyu hijau telah digolongkan sebagai endangered species dalam Red Data Book (IUCN, 2003) yang didefinisikan sebagai suatu taxon yang beresiko punah dalam waktu dekat (Jones et al. 2000). Dalam CITES dikategorikan dalam Appendix I berarti spesies yang dilarang diperdagangkan secara internasional. Namun demikian regulasi internasional lainnya yakni: Convention on Biodiversity (CBD) dan UNCLOS mendukung dilakukan perlindungan habitat. Pada UNCLOS pasal 9 bab 5 dinyatakan bahwa negara wajib melindungi ekosistem yang langka dan mudah rusak yang
6
merupakan habitat spesies yang menurun populasinya, terancam dan hampir punah serta biota lainnya dari polusi. Pada CBD pasal 8 dinyatakan bahwa pembentukan sistem daerah perlindungan (protected area) atau daerah yang memerlukan konservasi keanekaragaman hayati. Pembukaan (Preamble) CBD menyebutkan bahwa persyaratan dasar bagi konservasi keanekaragaman hayati ialah konservasi in-situ ekosistem dan habitat alami, serta pemeliharaan dan pemulihan populasi jenis-jenis yang dapat berkembang biak dalam lingkungan alaminya. (b) Tingkat nasional Pemerintah Indonesia telah melindungi penyu hijau melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Sejak tahun 1999 semua bentuk eksploitasi penyu hijau menjadi kegiatan ilegal. Dengan adanya Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999, pemerintah berkewajiban melaksanakan konservasi spesies penyu hijau. (c) Tingkat kabupaten Pada tingkat kabupaten, penyu hijau dijadikan obyek pajak. Kebijakan privatisasi pemanenan telur penyu memberi masukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa kabupaten. Pengusahaan telur penyu menimbulkan konflik kepentingan antar lembaga pemerintah. (d) Tingkat lokal Di tingkat lokal populasi penyu hijau berada pada situasi open access. Open access diterangkan sebagai situasi tidak ada hak kepemilikan secara sah untuk membatasi siapa pun memanfaatkan sumberdaya (Ciriacy-Wantrup, 1968). Sebagai contoh penangkapan induk penyu di laut lepas maupun di pantai dengan leluasa dilakukan masyarakat lokal/ nelayan, demikian halnya dengan pengunduhan telur penyu yang dianggap sebagai benda temuan di pantai. (3) Permasalahan kebijakan (a) Kebijakan perlindungan yang tidak efektif Pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia melindungi penyu hijau melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Penyu hijau bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain dilindungi di wilayah Indonesia. Status
7
endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES secara internasional dan penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjadikan penyu hijau sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah. Setelah delapan tahun pemerintah mengimplementasikan perlindungan penyu hijau. Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Karenanya dilakukan analisis kebijakan terhadap pengelolaan penyu hijau yang dilaksanakan pemerintah. Ancaman kepunahan semakin nyata jika pemerintah tidak segera merubah kebijakan perlindungan penyu hijau. (b) Ancaman Kepunahan Ancaman kepunahan penyu hijau sebagai akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat. Eksploitasi yang tinggi dan implikasinya dapat dipandang dari beberapa aspek, antara lain: a) Aspek ekologi − Hilangnya kemampuan reproduksi populasi
Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan akan menghilangkan
kemampuan
reproduksi
populasi.
Hilangnya
kemampuan reproduksi dapat ditandai dengan: (a) Jika konsumsi daging penyu berasal dari penangkapan semua induk yang akan bertelur; (b) Jika terjadi pemanenan semua telur yang ada di sarang. Apabila ekploitasi induk dan telur berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade akan menimbulkan kepunahan spesies penyu hijau. − Kerusakan habitat
Penyu hijau adalah jenis herbivora yang kelangsungan hidupnya tergantung pada keutuhan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan habitat feeding penyu hijau yang menyediakan berbagai jenis tumbuhan rumput laut. Penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti dinamit dan racun potasium yang dilakukan nelayan telah
8
menimbulkan hilangnya sumber pakan populasi penyu hijau yang berakibat ancaman kepunahan. b) Aspek sosial Kebiasaan bermigrasi jauh menjadikan populasi penyu hijau di laut sebagai sumberdaya open access. Situasi open access diindikasikan oleh tidak ada pengelolaan dan tidak ada kepemilikan yang membatasi pemanfaatan penyu hijau. Sebagai satwa buruan yang memiliki nilai ekonomis tinggi jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Eksploitasi secara berlebihan hingga melampaui daya dukungnya akan mengarahkan kepunahan spesies dalam waktu dekat. c) Aspek ekonomi Penyu hijau merupakan spesies penyu laut yang paling intensif dieksploitasi. Jika dibandingkan dengan harga per ekor ikan, nilai ekonomis penyu hijau tergolong tinggi (±1 juta rupiah/ekor untuk ukuran induk). Tingginya eksploitasi penyu hijau yang diawali sebagai pemenuhan kebutuhan protein keluarga dan pendapatan masyarakat lokal. Dalam
perkembangannya
eksploitasi
penyu
berkembang
sebagai
perdagangan penyu hijau ilegal yang melibatkan tata niaga dengan biaya transaksi yang tinggi. d) Aspek budaya Persepsi masyarakat tentang penyu hijau menyebabkan rendahnya dukungan terhadap upaya konservasi penyu hijau. Umumnya eksploitasi penyu hijau sulit dihentikan karena ada anggapan bahwa ketersediaan penyu hijau di alam masih berlimpah dan masyarakat tidak peduli akan status spesies dilindungi. Pada kasus Sukabumi, penyu sebagai sumber protein murah dan mudah didapatkan di daerah pantai. Mitos yang berkembang tentang khasiat daging dan telur penyu telah menimbulkan peningkatan eksploitasi penyu dari tahun ke tahun. Pada kasus Pulau Bali pengiriman penyu dari berbagai wilayah Indonesia berkaitan dengan kepentingan adat. Adanya perdagangan penyu secara ilegal (black market) di daerah Tanjung Benoa Bali merupakan
bukti sulitnya
menghentikan konsumsi daging penyu untuk kepentingan adat.
9
1.3 Tujuan Penelitian 1) Melakukan analisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen PHKA. 2) Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh: − Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan; − Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau menggunakan analisis deskriptif dan analisis statistik yang diarahkan pada penilaian tentang efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau, dan kondisi populasi penyu. Hasil analisis kebijakan perlindungan penyu hijau digunakan sebagai pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam perumusan alternatif perlindungan di masa datang. Alternatif perlindungan penyu hijau yang menggunakan konsep berbeda dimana perlindungan diarahkan pada habitat penyu. Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh: Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan dan Arahan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.
1.5 Manfaat Penelitian 1) Sebagai pertimbangan pemerintah dalam mengupayakan konservasi penyu hijau di masa datang dan memberi informasi kepada pihak-pihak yang terkait. 2) Sebagai informasi dan referensi bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penyu hijau.
1.6 Novelty (Kebaruan) 1) Konsep perlindungan habitat Untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan dilakukan perlindungan habitat. Perlindungan yang diarahkan pada habitat feeding dan breeding akan
10
memulihkan populasi penyu hijau dan mengurangi ancaman kepunahan. Perlindungan habitat bagi spesies langka dan terancam kepunahan dapat dibentuk Kawasan Konservasi Laut. Jika habitat-habitat penting penyu hijau di Indonesia dialokasikan sebagai KKL maka pengelolaan penyu hijau akan berupa jejaring (network) KKL yang mampu melindungi penyu hijau secara meluas dan efektif. 2) Proses perencanaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) secara partisipatif Perencanaan KKL Kepulauan Derawan menggunakan Site Conservation Planning (The Nature Conservancy, 2003). Metode ini pernah digunakan di TN Lore Lindu dan TN Tesso Nilo yang keduanya berada di daratan. Didasari oleh kerangka 5-S (systems, stresses, sources, strategies, success) dilaksanakan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal/ pengguna sumberdaya alam. Proses diskusi yang terarah dengan prosedur sederhana dan alat peraga memudahkan pengumpulan data/ informasi. Melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan merupakan pendekatan bottom-up dimana masyarakat tidak ditempatkan sebagai obyek atau diabaikan harapan dan keinginannya. Proses perencanaan yang sekaligus pemasyarakatan ini mempermudah implementasi strategi konservasi karena dukungan/
sambutan
masyarakat
dimulai
sejak
tahap
identifikasi
permasalahan, menemukan prioritas penanganan masalah hingga memilih strategi konservasi yang dimengerti dan diterima masyarakat (legitimate).