Bab 1 Pendahuluan 1.1
Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah maupun di kantor, orang
sering kali berbicara satu dengan yang lain tentang tingkat stres yang mereka alami. Gejala stres dimiliki oleh semua orang, dimana hal tersebut dapat dipengaruhi dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan sekitar. Tetapi apakah stres itu ? Stress is physiological and psychologycal responses to excessive and usually unpleasant stimulation and to threatening events in the environment (Schultz & Schultz, 2006), dengan pengertian bahwa stres adalah respon fisiologis dan psikologis yang berlebihan dan biasanya memiliki rangsangan yang tidak menyenangkan dan mengancam kegiatan di lingkungannya. Sedangkan dalam pengertian umum, stres terjadi jika orang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya (Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem, 1993). Peristiwa tersebut biasanya dinamakan stresor dan reaksi orang terhadap peristiwa tersebut dinamakan respons stres. Bicara mengenai reaksi fisiologis terhadap stres adalah tubuh bereaksi terhadap stresor dengan memulai seurutan kompleks respons bawaan terhadap ancaman yang dihayati. Jika ancaman dapat dipecahkan dengan segera, respons darurat tersebut menghilang, dan keadaan fisiologis kembali menjadi normal. Jika situasi stres terus terjadi, timbulah respons internal lainnya berupaya beradaptasi dengan stresor kronis. Sedangkan reaksi psikologis terhadap stres, situasi stres menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan (jika peristiwa menuntut tetapi dapat ditangani) sampai emosi umum kecemasan, kemarahan, agresi, kekecewaan, apatis, depresi, serta gangguan kognitif (sebagai contohnya, gangguan berkonsentrasi dan perkerjaan).
“Stres di tempat kerja”, kalimat tersebut tentu akrab dengan para karyawan yang bekerja dalam tekanan deadline, tugas yang menumpuk, rasa bosan terhadap tugas kerja yang diberikan, dan juga tidak menutup kemungkinan stres kerja yang dialami karyawan berasal dari gaya kepimpinan atasan. Stres kerja secara umum didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang merasa tegang karena adanya tekanan yang dialami oleh karyawan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir, kondisi fisik seseorang, dan hal ini tentunya merugikan organisasi (Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem, 1993). Stres kerja dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengadapi perkerjaan yang nantinya dapat menghambat pencapaian kinerja yang diharapkan organisasi. Stres kerja dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor interinsik pekerjaan, konflik peran, hubungan dalam pekerjaan, pengembangan karier, serta faktor lainnya yang terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Faktor interinsik pekerjaan bisa berupa beban kerja yang diberikan dirasa terlalu berat oleh karyawan, dan banyaknya jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan dengan waktu yang tidak normal sementara di sisi lain kualitas kerja juga menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Faktor penyebab stres lainnya seperti hubungan dalam pekerjaan (hubungan dengan atasan, rekan kerja, dan bawahan) yang buruk. Hal ini bisa terjadi apabila adanya nilai-nilai negatif dari atasan yang kurang memberikan dukungan dan arahan, adanya tekanan persaingan antar rekan kerja, serta kurangnya dukungan dan kerjasama antara atasan dengan bawahan (Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem, 1993). Dari sisi stres kerja sendiri, banyak penyebab dan banyak efek yang dapat ditimbulkan baik bagi karyawan itu sendiri maupun bagi organisasi. Sebagai contoh kasus adalah sebuah penelitian dilakukan untuk melihat adanya pengaruh stres kerja terhadap produktivitas kerja melalui kepuasan kinerja. Hasil dari pada penelitian ini adalah stres kerja berpengaruh negatif secara signifikan terhadap produktivitas kerja, sehingga dapat disimpulkan
bahwa semakin tinggi stres kerja berarti dapat menurunkan produktivitas kerja (Harrisma & Witjaksono, 2013). Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu: (1) Eustress, adalah akibat positif yang ditimbulkan oleh stres yang berupa timbulnya rasa gembira, perasaan bangga, menerima sebagai tantangan, merasa cakap dan mampu, meningkatnya motivasi untuk berprestasi, semangat kerja tinggi, produktivitas tinggi, timbul harapan untuk dapat memenuhi tuntutan pekerjaan, serta meningkatnya kreativitas dalam situasi kompetitif. (2) Distress, adalah akibat negatif yang merugikan dari stres, misalnya perasaan bosan, frustrasi, kecewa, kelelahan fisik, gangguan tidur, mudah marah, sering melakukan kesalahan dalam pekerjaan, timbul sikap keragu-raguan, menurunnya motivasi, meningkatnya absensi, serta timbulnya sikap apatis. Akan tetapi pada penelitian ini, peneliti akan khusus membahas distress atau akibat negatif dari stres kerja pada karyawan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh McVicar. A (2003) membuktikan bahwa stress di tempat kerja yang dialami oleh perawat adalah karena adanya beban kerja yang berat karena adanya tuntutan profesionalitas dalam merawat pasien yang menimbulkan terjadinya konflik secara emosional, gaya kepemimpinan atasan dan juga menejemen seperti shift working dan pemberian reward yang tidak berjalan dengan baik, menjadi sumber tekanan yang menyebabkasn stres pada perawat selama bertahun-tahun. Dari penelitian tersebut dapat terlihat bahwa adanya hubungan antara gaya kepemimpinan terhadap pekerjaan dan stres kerja karyawan. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan tujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara tipe gaya kepemimpinan atasan terhadap stres kerja yang dialami karyawan. Pengertian dari kepemimpinan sendiri secara umum adalah sebuah gaya/cara yang dilakukan seseorang dalam rangka sebuah proses dari pada pengaruh sosial yang dilakukan untuk mendukung atau memberikan
bantuan kepada seseorang (bawahan) dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dale & Fox (2008) menyimpulkan bahwa adanya hasil positif antara leadership style dan organizational commitment yaitu berupa motivasi pada karyawan yang berujung pada peningkatan kinerja, sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila job satisfaction karyawan tinggi, maka kecenderungan karyawan mengalami stres kerja rendah. Banyak peneliti psikologi industri organisasi terfokus pada gaya kepemimpinan dan prilaku seseorang pada saat di tempat kerja. Gaya kepemimpinan dapat kita lihat dari beberapa teori. Gaya kepemimpinan terbagi menjadi lima tipe (Schultz & Schultz, 2006) yaitu; authoritarian leadership, democratic leadership, transactional leadership, transformational leadership, dan charismatic leadership. Gaya kepemimpinan authoritarian adalah gaya kepemimpinan ini menganggap bahwa kepemimpinan adalah hak pribadinya (pemimpin), sehingga ia tidak perlu berkosultasi dengan orang lain dan tidak boleh ada orang lain yang ikut campur (Sorby Sutikno, 2014). Seorang pemimpin tergolong memiliki serangkaian karakteristik yang biasanya dipandang sebagai karakteristik yang negatif. Gaya kepemimpinan Demokratis merupakan gaya yang digunakan pemimpin dimana ia menempatkan manusia sebagai faktor terpenting yang dilakukan berdasarkan mengutamakan orientasi pada hubungan dengan anggota organisasi (Sudaryono, 2014). Pemimpin dengan gaya demokratis adalah pemimpin yang bersedia menerima dan menghargai setiap saran, pendapat, dan nasihat dari bawahan dalam forum musyawarah untuk mencapai mufakat (Sorby Sutikno, 2014). Gaya kepemimpinan transaksional adalah dimana seorang pemimpin memfokuskan pada transaksi interpesonal anatara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan kesepakatan klasifikasi sasaran, standar kerja, dan penghargaan (Sudaryono, 2014). Sehingga dapat diartikan gaya kepemimpinan
transaksional yang digunakan atasan dengan menawarkan imbalan atau akibat kontribusi yang diberikan anggota kepada organisasi, untuk menggerakan anggotanya. Gaya kepemipinan transformasional merupakan jawaban akan perubahan zaman yang penuh dengan perubahan. Secara umum diartikan sebagai cara yang dilakukan pemimpin yang bertujuan untuk mengubah sesuatu menjadi bentuk lain. Oleh sebab itu, dapat diartikan gaya kepemimpinan transformasional yang digunakan pemimpin adalah mengarahkan atau membentuk bawahan untuk mengubah sesuatu, guna untuk menjadikan organisasi menjadi lebih baik (Sudaryono, 2014). Gaya kepemimpinan karismatik adalah kepemilikan daya tarik pada diri pemimpin/atasan yang sangat memikat, sehingga dapat memperoleh pengikut yang sangat besar dan para pengikutnya tidak selalu dapat menjelaskan secara konkrit mengapa orang tertentu itu dikagumi (Sorby Sutikno, 2014). Gaya kepemimpinan ini tidak dapat dijelaskan oleh para ahli, sebab-sebab mengapa pemimpin dengan gaya tersebut memiliki kharisma atau daya tarik yang begitu besar. Konsep gaya kepemimpinan sendiri tidak hanya itu, melainkan masih banyak teori lain yang membahas dari sisi leader maupun kondisi situasi dalam organisasi. The Boston Consulting Group (BCG) baru saja merilis laporan yang menunjukkan hampir 60% karyawan yang baru lulus kuliah (fresh graduate) berpindah-pindah kerja dalam tiga tahun pertama. Partner and Managing Director BCG, Dean Tong mengatakan, sebanyak 6% fresh graduate yang baru jadi karyawan berpindah sebanyak lebih dari tiga kali selama tiga tahun pertama. Sebanyak 29% fresh graduate yang baru jadi karyawan berpindah sebanyak dua-tiga kali di tiga tahun pertama. Dan, sekitar 22% fresh graduate yang baru jadi karyawan berpindah sebanyak satu kali pada tiga tahun pertama. Hampir mencapai 60%. Dan hanya 43% fresh graduate yang bertahan di satu perusahaan selama 3 tahun pertamanya,Dalam laporan BCG, dijelaskan 10 alasan mengapa banyak fresh graduate yang tidak betah
bekerja pada satu perusahaan di tiga tahun pertama dimana salah satunya adalah gaya kepemimpinan atasan dan hubungan dengan manager (EST & NDW, 2013). Fenomena ini mau menunjukan bahwa adanya pengaruh yang besar antara gaya kepemimpinan atasan terhadap stres kerja yang dialami karyawan yang dapat menyebabkan karyawan memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lain atau pindah kerja. Sebuah penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai ‘Peranan Dimensi Gaya Kepemimpinan Atasan, Yang Dipersepsi Terhadap Burnout Pada Guru SMU Swasta Di Jakarta’ (Prawasti & Naptaly Napitupulu , 2005) merupakan acuan awal bagi peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan. Hasil penelitian dalam jurnal tersebut membuktikan bahwa gaya kepemimpinan delegating memberikan sumbangan yang paling bermakna bagi tetjadinya burnout dibanding tiga gaya kepemimpinan lainnya, yaitu telling, selling, dan participating. Gaya kepemimpinan delegating memberikan sumbangan yang bermakna terhadap burnout pada dimensi reduced personal accomplishment pada guru SMU swasta di Jakarta. Hasil studi ini menunjukkan, bahwa semakin tinggi atasan dilihat sebagai pihak yang terlalu sering menyerahkan tugas-tugas dan wewenang-wewenangnya, maka akan semakin besar kemungkinan bagi guru untuk mengalami sindrom burnout pada dimensi rendahnya keyakinan akan kemampuan diri. Dalam kondisi kepemimpinan delegating, guru akan mudah merasa frustrasi yang pada akhirnya mengembangkan ketidakyakinan mengenai kapasitasnya dalam menangani masalah. Guru menjadi mudah merasa gagal dan tidak kompeten. Dari penelitian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan yaitu mengenai pengaruh dari empat gaya kepemimpinan situasional atasan terhadap stres kerja pada karyawan di Jakarta Barat. Alasan mengapa peneliti memilih Jakarta Barat sebagai tempat untuk dilakukannya penelitian adalah karena adanya perencanaan infrastuktur dari kota administrasi Jakarta Barat dimana tercatat pada tahun 2010 jumlah penduduk di Jakarta Barat adalah 2.950.000 jiwa (NN, 2015).
Pada dasarnya, stres kerja yang dialami oleh karyawan apabila tidak dapat diatasi dapat menimbulkan penurunan tingkat produktivitas dan kinerja karyawan. Hal ini tentu menjadi permasalahan yang cukup merugikan bagi organisasi apabila permasalahan stres kerja pada karyawannya tidak dapat diatasi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja karyawan, organisasi tentu di tuntut untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan stres kerja pada karyawan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Prawasti dan Napitulu (2005) membuktikan bahwa gaya kepemimpinan atasan memberikan sumbangan yang bermakna terhadap burnout. Cherniss (1980) memandang burnout sebagai suatu proses transaksional meliputi hubungan (transaksi) antara stres pekerjaan, ketegangan (strain), dan coping. Wujud dari burnout sendiri adalah tindakkan pengunduran diri karyawan dari organisasi / perusahaan dimana tempat ia berkerja. Burnout disini merupakan hasil akhir dari pada stres kerja, sehingga penting bagi organisasi untuk melakukan pencegahan pada tahap karyawan mengalami stres kerja. Karena adanya berbagai banyak faktor penyebab terjadinya stres kerja pada karyawan, dan diperkuat dengan adanya penelitian mengenai gaya kepemimpinan situasional dan stres kerja sebelumnya, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan, terkhusus dalam hal hubungan dalam pekerjaan, yaitu peranan antara karyawan dengan atasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan gaya kepemimpinan dimiliki atasan dalam memimpin organisasi yang berpengaruh terhadap karyawannya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan baru dari sisi ilmu psikologi mengenai topik terkait karena adanya data dan hasil penelitian secara ilmiah, menjadi referensi bagi para peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan, serta menjadi acuan dalam pembuatan program intervensi dalam rangka mengurangi tingkat stres dalam dunia kerja ataupun untuk mencari tahu penyebab lain dari pada stres kerja secara khusus.
1.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini terdiri dari 4 pertanyaan, yaitu: 1. Apakah ada hubungan antara tipe gaya kepemimpinan telling yang digunakan atasan terhadap stres kerja yang dialami oleh karyawan di Jakarta Barat ? 2. Apakah ada hubungan antara tipe gaya kepemimpinan selling yang digunakan atasan terhadap stres kerja yang dialami oleh karyawan di Jakarta Barat ? 3. Apakah ada hubungan antara tipe gaya kepemimpinan participating yang digunakan atasan terhadap stres kerja yang dialami oleh karyawan di Jakarta Barat ? 4. Apakah ada hubungan antara tipe gaya kepemimpinan delegating yang digunakan atasan terhadap stres kerja yang dialami oleh karyawan di Jakarta Barat ?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari pada penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada
hubungan antara tipe gaya kepemimpinan situasional terhadap stres kerja yang dialami karyawan di Jakarta Barat atau tidak.