BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Setiap manusia akan mencari pasangan hidupnya dan menjalin suatu hubungan serta melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan yang sah dan membentuk suatu keluarga. Pernikahan memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memenuhi berbagai esensial yaitu seperti keintiman, persahabatan, kasih sayang, kebutuhan seksual dan kebersamaan (Papalia, Sterns, Feldman & Camp, 2007). Keluarga merupakan bagian dari masyarakat terkecil dan merupakan bagian dari sebuah negara, maka suatu pernikahan bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang sah secara hukum. Pernikahan memiliki tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa seperti yang dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan. Dengan begitu pernikahan bertujuan untuk menyatukan dua individu yang berbeda agar dapat mencapai satu tujuan yang akan diusahakan agar dapat dicapai secara bersama-sama. Indonesia merupakan salah satu negara yang padat penduduknya dan terdiri dari beragam jenis suku, sosial, budaya serta agama. Dengan keragaman tersebut maka interaksi sosial yang dialami oleh setiap individu tinggi kemungkinannya untuk memiliki beragam variasi rekan dari seluruh suku dan agama yang ada. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk memiliki ketertarikan dengan lawan jenis yang memiliki perbedaan agama, dan menjalin hubungan dan kemudian melakukan pernikahan beda agama sehingga terbentuknya pasangan suami istri yang memiliki perbedaan agama. Dengan adanya segala permasalahan, anjuran bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama namun masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk menjalani pernikahan beda agama sehingga semakin terjadi peningkatan jumlah pernikahan beda agama. Ada berbagai macam alasan mengapa pernikahan beda agama semakin meningkat jumlahnya di Indonesia. Pernikahan campur adalah hasil dari adanya heterogenitas dalam satu populasi penduduk (Bossard & Boll, 1957).
Berdasarkan data sensus yang
didapatkan, tingkat pernikahan beda agama dari tahun 1980 cukup banyak yang melakukan pernikahan beda agama yaitu dengan total 24.677 . Dan pernikahan beda agama mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu terjadi sekitar tahun 1990 yakni 28.668 dan mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu dengan total 2.673 pada tahun 2000. Di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) No.1/1974. Sejak UUP ini dibuat sudah mengundang kontroversi. Ada satu hal yang jelas terlihat membedakan antara UUP sebelum dikeluarkan dan setelah dikeluarkan yaitu mengenai boleh tidaknya perkawinan beda agama dilakukan. Sebelum UUP dikeluarkan, perkawinan beda agama masih dapat dilakukan, karena perbedaan hukum sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan pernikahan (Asmin,1986). Memang, tak berarti pasangan berbeda agama akan cenderung gagal atau berhasil. Semuanya tergantung kesiapan psikologis masing-masing. Ketika masa pacaran semuanya tampak baik-baik saja, tetapi ketika pernikahan berlangsung beberapa tahun, masalah akibat berbagai perbedaan muncul. Dewasa ini pernikahan bukan hal yang dapat dilaksanakan dengan mudah bagi pasangan yang kerap kali memiliki perbedaan agama dan masing-masing individu tetap memilih untuk memeluk agama nya sehingga pernikahan beda agama yang menjadi pilihan bagi pasangan tersebut. Jalan ini diambil ketika masing-masing pihak tidak ada yang pindah mengikuti agama dari pasangannya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa tidak gampang untuk menjalani pernikahan beda agama karena memang sudah ada perbedaan prinsip yang paling dasar yaitu agama. Pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin, antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaan itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa menurut Mandra dan Artadi (1988, dalam Eoh, 1996). Individu yang memiliki perbedaan agama sangat mungkin untuk memiliki ketertarikan satu sama lain ditambah lagi dengan fakta bahwa pada zaman sekarang ini setiap manusia sudah memiliki kebebasan dalam memilih pasangan nya, sehingga kontrol dari pihak keluarga yang memiliki kecenderungan untuk memilih pasangan yang
memiliki latar belakang yang sama semakin berkurang (Duvall, Miller, 1985; Laswell,1987). Dalam suatu pernikahan aspek kepuasan pernikahan memegang peranan penting untuk mencapai keluarga yang bahagia. Menurut Gullota, Adams dan Alexander (1986) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan perasaan seseorang terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya. Hal ini berkaitan dengan perasaan bahagia yang pasangan rasakan dari hubungan yang dijalani. Arti kepuasan pernikahan menurut Clayton dalam Ardhianita dan Andayani (2004) merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan kondisi pernikahan. Evaluasi tersebut bersifat dari dalam diri seseorang (subyektif) dan memiliki tingkatan lebih khusus dibanding perasaan kebahagiaan pernikahan. Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari perkawinan yang memiliki kepuasan yang tinggi, yaitu adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan dalam keluarga sehingga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga, adanya rasa kebersamaan dalam keluarga serta setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dari keluarga, pola orang tua memberikan yang akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka, konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normative serta tidak dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga. kecocokan dan saling memahami sikap antar pasangan dengan hal ini karena pasangan saling melengkapi kelebihan pasangan yang satu dapat menutupi kekurangan pasangan yang lain, dan kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung kepuasan perkawinan pasangan tersebut. Burgess dan Cotrell (dalam Landis dan Landis, 1963) menyatakan bahwa kebahagiaan dalam pernikahan lebih banyak terjadi pada pasangan yang mempunyai masa perkenalan 5 tahun atau lebih, sebaliknya hanya sedikit pasangan yang mencapai kebahagiaan dengan masa perkenalan yang singkat (kurang dari 6 bulan). Hal ini dapat dijelaskan, seperti yang dikatakan oleh Bosscard & Boll (1957), bahwa berbeda agama bukan berarti hanya berbeda dalam tata cara beribadah, kepercayaan teologis ataupun bentuk organisasinya, namun juga cara berfikir yang dihasilkannya. Dengan adanya
perbedaan kepercayaan, terdapat pula perbedaan dalam bertingkah laku, dalam memberikan perhatian dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, dalam bersikap, nilainilai yang dianut dan penilaian moral. Seperti juga yang dikatakan oleh Landis (1970) bahwa tiap kepercayaan tidak hanya melibatkan filosofi religi, tapi juga cara hidup dan nilai-nilai. Pasangan yang tingkat komitmennya tinggi cenderung lebih baik hati dan suka menolong satu sama lain (Wieselquist dkk, dalam Wulandari, 2005), berkomunikasi dan memecahkan masalah secara lebih efektif, dan lebih puas dengan kehidupan daripada pasangan yang komitmennya rendah (Adams & Jones dalam Wulandari, 2005). Banyaknya masalah yang muncul dalam perkawinan beda agama serta sulitnya melakukan penyesuaian dalam perkawinan, meningkatkan kemungkinan gagalnya perkawinan tersebut. Sebuah perkawinan yang gagal dapat berakhir dengan sebuah perceraian. Sebuah studi menunjukan kegagalan sebesar 75% pada perkawinan beda agama (Rosenbaum, 1999). Menurut Rozakis (2001), permasalahan dalam perkawinan beda agama yang disebabkan oleh perbedaan agama suami dan istri antara lain : Pertama, berkaitan dengan pihak keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Kedua, berkaitan dengan ibadah dan pelaksanaan nya sehari-hari serta perayaan hari raya. Ketiga, menyangkut masalah seksualitas. Agama yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan pandangan yang berbeda dalam suatu tujuan, serta apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dalam sebuah hubungan seksual. Keempat, masalah yang memiliki keterkaitan dengan keberadaan anak. Perbedaan agama dalam suatu pernikahan dapat menimbulkan permasalahan seperti : pemilihan rumah sakit dimana anak akan lahir, pemilihan upacara kelahiran, pemilihan nama bagi anak, pemilihan sekolah bagi anak, serta pendidikan dan pendalaman ajaran agama pada anak di kemudian hari. Dapat dikatakan bahwa masalah anak menimbulkan masalah yang cukup berat pada pasangan beda agama, terutama apabila anak sudah dapat berbicara dan sudah cukup dewasa untuk menanyakan identitas agamanya (Cowan & Cowan, 1987). Seperti yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (1989), salah satu aspek dalam perkawinan yang digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah religious orientation. Aspek ini menilai keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan keagamaan yang dilakukan pasangan suami istri secara bersama-sama memberikan kepuasaan psikologis tersendiri bagi pasangan,
sehingga keyakinan yang dianut pasangan suami istri turut mempengaruhi kepuasaan perkawinan itu sendiri. Ketika ada perbedaan keyakinan antara pasangan suami dan istri, hal tersebut dapat memicu kurangnya kebersamaan pasangan yang pada akhirnya berdampak pada kepuasaan perkawinan. Menurut Clark (1998) agama memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap perkawinan dan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan perkawinan, Clark juga menambahkan bahwa ketaatan beragama berhubungan dengan kestabilan perkawinan. Hal ini juga didukung oleh Abdullah (2003) yang menyatakan bahwa seseorang yang mengawali segalanya dengan motivasi iman dan ibadah pada Tuhan semata maka akan merasakan kepuasan dalam hidupnya. Di Indonesia sendiri angka perceraian menunjukan peningkatan. Data terakhir mencatat sejak tahun 2005-2013 angka perceraian di Indonesia naik drastis, jika pada tahun 2005 angka perceraian hanya 55.509 kasus, maka pada tahun 2013 menjadi 324.527 kasus. Perceraian dapat mengindikasikan bahwasannya rasa puas dalam menjalani biduk rumah tangga sudah luntur bahkan telah pudar, sehingga menjadikan kehidupan dalam rumah tangga terasa hambar dan tidak lagi harmonis. Hal terbut juga sejalan dengan pendapat Hurlock (2002) bahwa perceraian merupakan puncak dari ketidakpuasan pernikahan yang tertinggi dan terjadi apabila suami dan istri sudah tidak mampu lagi saling memuaskan, saling melayani dan mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Sehingga berdasarkan fenomena tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan yang seagama memiliki tingkat perceraian yang tinggi apalagi dengan pernikahan beda agama. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, telah diketahui bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga. Rumah tangga kelak membahagiakan ataupun tidak tergantung kepada kedua belah pihak untuk mengusahakan terciptanya kebahagiaan tersebut. Karakter suami – istri sudah sewajarnyalah berbeda, karena mereka tumbuh dan berkembang dari keluarga yang berbeda. Kecocokan dan saling pengertian sangat penting perlu diusahakan dan dipelihara. Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa hidup perkawinan dibangun berdasar berbagai perbedaan, dan dengan adanya perbedaan agama membuahkan
bertambahnya berbagai perbedaan tersebut. Konsekuensi dari bertambahnya perbedaan antara suami-istri maka dibutuhkan usaha yang lebih keras untuk melakukan penyesuaian antara keduanya agar membuahkan kebahagiaan. Perjalanan relasi yang sangat intensif antara dua orang yang berbeda dalam segala hal tentu membuahkan dinamika kehidupan yang sangat berbeda daripada relasi yang dijalin oleh sebagian besar pasangan suami-istri. Pernikahan beda agama sendiri selain memiliki banyak kelemahan, namun bukan berarti tidak memiliki kelebihan. Seperti yang dikatakan oleh Petersen (1986) bahwa penikahan beda agama menghasilkan komitmen yang lebih kuat dibandingkan dengan pernikahan seagama. Eaton (1994) mengatakan apabila pasangan yang menikah beda agama mampu mendiskusikan mengenani perbedaan agama dan menghormati sudut pandang serta tradisi dari pasangannya, mereka bisa membuat kegunaan konstruktif dari perbedaan mereka dan memberikan dukungan pada perkembangan pasangan dalam pelatihan dan identitas keagamaan secara individual, sementara mereka menciptakan perpaduan kultur yang baru yang menyatakan tujuan dan nilai mereka. Pasangan yang menikah beda agama dapat berfungsi dengan baik ketika mereka meminimalkan perbedaan agama dan fokus kepada kesamaan perilaku yang mereka miliki seperti yang dikatakan oleh Joanides, Mayhew dan Mamalakis (2002). Laserwitz menyatakan bahwa pernikahan beda agama menghasilkan peningkatan dalam kebahagian dalam pernikahan dan mengurangi tingkat perceraian seperti yang dikutip oleh dalam Chinitz & Brown (2001) Pernikahan beda agama banyak mengalami peningkatan sekitar tahun 1980-1990 dan mengalami penurunan di tahun 2000, setelah Undang-Undang Pernikahan diperbaharui. Pengertian dewasa madya menurut Hurlock (1980) yang disebut juga dengan usia setengah baya dalam terminologi kronologis yaitu pada umumnya berkisar antara usia 40 – 60 tahun, dimana pada usia ini ditandai dengan berbagai perubahan fisik maupun mental. Schoen, Astone, Rothert, Standish, dan Kim (2002) mendefiniskan kepuasan pernikahan sebagai penilaian keseluruhan pada keadaan pernikahan dan refleksi untuk kebahagiaan dan fungsi perkawinan. Sedangkan dari prespektif revolusioner, Shackelford dan Buse (dalam Zainah, Nasir, Hashim, & Yusof, 2012) menyatakan bahwa kepuasan
pernikahan dapat dilihat dari sisi keadaan pengaturan mekanisme psikologis yang membantu melihat manfaat atau kerugian pernikahan pada orang tertentu. Landis & Landis (dalam Wahyuningsih, 2002) mengatakan bahwa tingkat religiusitas dalam perkawinan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk di dalam nya menjalani kehidupan perkawinan. Pria dan wanita menemukan agama sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan yang lebih besar daripada yang pernah diperoleh sebelumnya seperti yang dikatakan oleh Hurlock (2002), sehingga untuk dapat mencapai kepuasan pernikahan, seseorang harus mendapat kepuasan beragama seperti yang dikatakan Jane (dalam Anastasia,2008) Dengan mengambil topik ini penulis berharap mendapatkan pengetahuan dari kasus pernikahan beda agama serta dapat menjadi referensi bagi orang-orang yang akan menjalani pernikahan seperti ini.
1.2
Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan pokok permasalahannya, yaitu : ”Gambaran mengenai kepuasan pernikahan pada pernikahan beda agama di usia dewasa madya”
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah agar penulis ingin mencari tahu dan memberikan gambaran terhadap pasangan yang sedang atau akan menjalani pernikahan beda agama tentang tingkat kepuasan pernikahan yang dapat dicapai dalam pernikahan beda agama.