BAB 1 Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Erikson (dalam Lahey, 2009), mengungkapkan individu pada masa remaja akan mengalami konflik psikososial antara identity versus identity role confusion. Dalam menghadapi konflik psikososial tersebut, para remaja akan melakukan pencarian jati diri yang sesuai dengan diri mereka. Pada masa pencarian jati diri ini, para remaja mungkin akan terjebak dalam permasalahan perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial yang ada. Salah satu permasalahan yang sering muncul dalam masa remaja adalah tindakan kenakalan (Santrock, 2012). Di Indonesia tingkat kenakalan remaja yang melanggar hukum tidaklah sedikit. Berdasarkan data dari KOMNASHAM (2013), terdapat 811 kasus pelanggaran hukum (index offenses) yang dilakukan oleh remaja dan jumlah remaja yang berhadapan dengan hukum sebesar 136.000 orang. Jenis tindak kenakalan yang dilakukan meliputi tawuran, kekerasan, pelecehan seksual, narkotika & miras, perjudian, pencurian, penganiayaan berat, pembunuhan, dan lain-lainnya (KOMNASHAM, 2013). Remaja yang berhadapan dengan hukum akan melalui proses hukum dan menjalani masa hukuman dalam penjara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 (Hukumonline, 2014), istilah penjara telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), karena tempat tersebut merupakan tempat pembinaan untuk pemasyarakatan. Data dari sistem database pemasyarakatan (DITJENPAS, 2014), jumlah penghuni Lapas di Indonesia mencapai 167.226 orang, sekitar 5437 orang tersebut merupakan anak didik Lapas (Andik Lapas). Di Indonesia, Lapas yang diperuntukkan untuk anak dan remaja hanya berjumlah 17 unit dari 33 provinsi. Berdasarkan data dari Awi (2013), dari 17 unit Lapas tersebut hanya delapan unit yang benar-benar berfungsi untuk menangani anak dan remaja, sedangkan sisanya berfungsi untuk menampung anak-anak dan orang dewasa.
2
Salah satu Lapas yang benar-benar menampung anak dan remaja adalah Lapas Anak Pria Tangerang (Fuadi, 2014).Oleh karena jumlah Lapas yang tidak sebanding, maka mengakibatkan Lapas melebihi kapasitas penghuni daripada yang seharusnya. Kelebihan kapasitas yang terjadi di Lapas menyebabkan pengawasan di Lapas menjadi kurang ideal. Dalam Lapas Anak Pria Tangerang, terdapat tujuh petugas Lapas dalam satu shift penjagaan yang bertugas menjaga 203 Andik Lapas dengan perbandingan 1 petugas : 29 Andik (Fuadi, 2014). Perbandingan tersebut melebihi perbandingan ideal yaitu 1 petugas : 25 Andik, sehingga menyebabkan pengawasan di Lapas menjadi kurang ideal (Angkasa, 2010). Kurangnya pengawasan yang ideal dalam Lapas dapat megakibatkan munculnya permasalahan. Permasalahan yang muncul dalam Lapas berupa sarana dan prasarana yang kurang, masalah gizi dan kesehatan, sanitasi (Darmawa & Aquina, 2011), dan kekerasan (Makitan & Mustika, 2012). Dalam survei yang dilakukan di Lapas Anak Pria Tangerang, Rumah Tahanan Pondok Bambu, dan Lapas Wanita Tangerang terdapat beberapa bentuk kekerasan yang dialami oleh Andik Lapas berupa pembentakan, pemukulan hingga luka permanen, penodongan dengan pistol, hingga dibakar (Makitan & Mustika, 2012). Kekerasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh petugas Lapas, tetapi juga oleh sesama Andik dalam Lapas (Nasa, 2011). Menurut hasil wawancara dengan Andik Lapas Tangerang, kekerasan yang dilakukan oleh sesama Andik berupa pemukulan antar Andik (NN, 2014). Permasalahan-permasalahan yang harus dihadapi oleh Andik ini menyebabkan mereka menjadi stress. Stress adalah suatu peristiwa atau keadaan yang menegangkan atau melebihi kemampuan invidu untuk mengatasi keadaan tersebut (Lahey, 2009). Stress tersebut muncul dikarenakan adanya stressor atau sumber stress yang berlebihan yang dihadapi oleh individu tersebut. Stress yang dialami oleh Andik ini dapat menganggu proses adaptasi dengan lingkungan baru dan juga dalam menjalani masa hukuman dalam Lapas. Dalam menghadapi stress yang muncul, setiap individu akan melakukan coping stress. Coping stress adalah tingkah laku dan cara pandang yang secara konstan berubah untuk mengatur tuntutan internal atau eksternal yang dinilai melebihi dari sumber daya seseorang (Lazarus & Folkman, 1984; Taylor, 2012).
3
Menurut Lazarus & Folkman (1984), coping stress terbagi menjadi dua yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping adalah usaha yang menggunakan tindakan langsung untuk menyelesaikan atau mengurangi masalah yang ada. Emotion-focused coping adalah usaha untuk mengontrol atau mengurangi emosi atau perasaan negatif yang muncul dari suatu masalah (Lazarus & Folkman, 1984). Menurut Scholichatun (2011), para Andik Lapas cenderung menggunakan usaha coping yang bersifat emosi (emotionfocused coping) dengan strategi kognitif dan perilaku. Usaha coping yang dilakukan oleh para Andik adalah dengan melamun, berdoa, diam di kamar, bersabar, berusaha menaati peraturan Lapas, berpikir bahwa Andik dapat menyelesaikan masalahnya, dan lainnya. Strategi tersebut dilakukan karena terbatasnya pilihan dan kontrol yang dimiliki oleh Andik dalam Lapas. Dari hasil wawancara dengan Andik di Lapas Tangerang, usaha yang biasa mereka lakukan dalam menghadapi masalah adalah dengan melakukan olahraga, tidur, bercerita kepada orang lain atau berkelahi untuk menyelesaikan masalah (NN, 2014). Selain melakukan coping stress, para Andik juga dapat mengembangkan kemampuan resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi saat menghadapi tragedi, trauma, kesulitan, serta stressor dalam hidup yang bersifat signifikan (Newman, 2005). Dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Riza dan Herdiana (2013), mengemukakan bahwa para narapidana dapat beradaptasi dengan baik dalam kehidupan Lapas karena memiliki kemampuan resiliensi yang tinggi. Dalam Handbook of Resilience in Children (2006), resiliensi dikembangkan ketika seorang individu dihadapkan terhadap kejadian yang menimbulkan stress dan melakukan coping stress terhadap kejadian tersebut, sehingga coping stress dan kemampuan resiliensi merupakan kemampuan yang saling berkaitan satu sama lain dalam menangani keadaan stress yang muncul. Menurut Wagnild (2009), kemampuan resiliensi pada seorang individu memliliki hubungan dengan kesehatan fisik dan mental. Oleh karena itu, para Andik Lapas yang memiliki kemampuan resiliensi yang tinggi akan memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih baik dalam menghadapi permasalahan yang muncul dalam Lapas.
4
Permasalahan dan stress yang dialami oleh individu dapat menyebabkan permasalahan kesehatan mental seorang individu, salah satunya adalah psychological well-being (Lazarus & Folkman, 1984), hal ini juga termasuk untuk para Andik Lapas. Psychological well-being adalah kondisi seorang individu yang ditandai dengan perasaan sehat, bahagia, dan puas dengan hidupnya (Ryff & Singer, 1996). Psychological well-being dibentuk dari enam dimensi yaitu autonomy, environmental mastery, personal growth, positive relation with others, purpose in life, dan self-acceptance (Ryff, 1989). Menurut Susanti dan Maryam (2013), para Andik yang berada dalam Lapas perlu memiliki psychological wellbeing yang baik agar mengembangkan potensi-potensi dalam dirinya setelah kembali ke masyarakat nanti. Para Andik yang kurang memiliki psychological well-being yang baik akan muncul perasaan ketidakmampuaan yang dapat menghambat pengembangan potensi diri yang mereka miliki. Para Andik yang baru masuk dalam Lapas harus beradaptasi dengan lingkungan Lapas, dan hal ini akan berpengaruh dengan salah satu dimensi dalam psychological well-being yaitu environmental mastery. Environmental mastery adalah salah satu indikator kesehatan mental saat seorang individu dapat membentuk lingkungan di sekitarnya agar sesuai dengan kemampuan psikisnya (Ryff, 1989). Hal ini sejalan dengan penelitian Liwarti (2013) bahwa dimensi environmental mastery berpengaruh secara signifikan terhadap psychological well-being penghuni Lapas. Selain dimensi environmental mastery, dimensi lain yang berhubungan dengan Andik Lapas adalah purpose in life. Purpose in life adalah salah satu indikator kesehatan mental saat seorang individu mengetahui tujuan dalam hidupnya dan makna kehidupannya.(Ryff, 1989). Dimensi purpose in life berperan terhadap seorang individu dalam membentuk resiliensi seseorang (Reich, Zautra, & Hall, 2010). Adanya pembentukan lingkungan yang sesuai dengan individu dan tujuan hidup dari para Andik dalam menjalani kehidupan selama masa tahanan dapat mengembangkan resiliensi dalam menghadapi masalah yang ada dan juga meningkatkan psychological well-being para Andik. Selain resiliensi, hal lain yang mempengaruhi psychological well-being adalah coping stress (Tomas, Sancho, Melendez, & Mayordomo, 2012). Pernyataan tersebut sejalan dengan Jonker, Comijs, Knipsehcer, & Deeg (2009)
5
bahwa coping merupakan salah satu prediktor yang penting terhadap well-being. Dalam menggunakan coping terdapat dua strategi yang berbeda, maka dari itu penggunaan strategi yang berbeda akan memiliki efek yang berbeda pula pada dimensi psychological well-being (Tomas et al., 2012). Oleh karena itu para Andik dapat menggunakan coping stress dan kemampuan resiliensi dalam Lapas untuk meningkatkan psychological well-being sehingga dapat meningkatkan potensi yang mereka miliki. Berdasarkan penjelasan adanya hubungan antara coping stress dengan psychological well-being dan juga hubungan antara resiliensi dengan psychological well-being, maka penelitian akan ditujukan untuk mengetahui peran coping stress dan resiliensi terhadap psychological well-being pada Andik Lapas. 1.2
Rumusan Masalah Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Apakah terdapat peran strategi coping stress dan kemampuan resiliensi terhadap psychological wellbeing Andik Lapas Anak Pria Tangerang?” Secara sepesifik rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Apakah terdapat peran problem-focused coping terhadap psychological wellbeing Andik Lapas Anak Pria Tangerang?
2.
Apakah terdapat peran emotion-focused coping terhadap psychological wellbeing Andik Lapas Anak Pria Tangerang?
3.
Apakah terdapat peran resiliensi terhadap psychological well-being Andik Lapas Anak Pria Tangerang?
1.3
Tujuan Masalah Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya peran dari strategi coping stress terhadap psychological well-being, mengetahui peran kemampuan resiliensi terhadap psychological well-being, dan mengetahui keterkaitan antara kemampuan resiliensi dan coping stress terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang.
6
7